Tema Alur Struktur Novel Para Priyayi

Para Priyayi mempunyai kedudukan yang penting dalam peta novel Indonesia modern. Berikut ini hasil penelitian mengenai struktur novel Para Priyayi.

1. Tema

Tema yang diangkat dalam novel Para Priyayi mengenai kehidupan keluarga besar priayi Jawa dan permasalahan yang melingkupinya. Keluarga ini adalah keluarga Sastrodarsono. Perjuangan hidup untuk membangun satu generasi priayi yang berasal dari seorang petani. Usaha untuk meningkatkan status dimulai oleh tokoh Sastrodarsono. Sastrodarsono adalah seorang anak petani desa yang berhasil mengantongi beslit guru bantu. Sastrodarsono menjadi pemula dalam keluarga besarnya yang memasuki jenjang priayi. Kepriayian Sastrodarsono berusaha diturunkan kepada anak-anaknya. Sastrodarsono dan Ngaisah berhasil mendidik anak-anaknya hingga menjadi priayi-priayi modern yang berhasil. Akan tetapi, anak-anak Sastrodarsono juga tidak luput dari permasalahan-permasalahan dalam keluarga mereka masing- masing. Lantip, anak hasil hubungan di luar nikah antara Ngadiyem dan Soenandar, keponakan Sastrodarsono, tampil sebagai pahlawan. Lantip mampu menyelesaikan permasalahan anak-cucu Sastrodarsono dan menjadi priayi yang sebenarnya.

2. Alur

Novel ini terdiri dari sepuluh episode, yaitu: Wanagalih, Lantip, Sastrodarsono, Lantip, Hardojo, Noegroho, Para Istri, Lantip, Harimurti, dan Lantip. Masing-masing episode ini membentuk alurnya sendiri-sendiri. Akan tetapi, antara episode yang satu dan yang lain mempunyai hubungan yang erat. Hubungan ini ditandai dengan episode Lantip. Lantip merupakan penghubung antara episode yang satu dan yang lain. Dengan adanya pembagian episode ini, para tokoh diberi kesempatan untuk menuturkan dirinya sendiri bahkan menilai tokoh lain. Berdasarkan urutan waktu, secara umum alur novel Para Priyayi adalah alur campuran, menggunakan alur maju yang dicampur dengan alur mundur. Oleh karena setiap episode membentuk alurnya sendiri-sendiri, tahapan alur tidak dapat digambarkan secara jelas. Berikut gambaran secara umum tahapan alur novel Para Priyayi. a. Tahap Penyituasian Situation Tahap ini dilukiskan mengenai latar tempat yang menjadi pusat cerita dalam novel ini, yaitu Wanagalih. Tahap penyituasian ini diceritakan oleh tokoh Lantip. Ketika itu, Lantip digambarkan telah menjadi priagung Jakarta. Kemudian, diceritakan keadaan Lantip pada masa kanak-kanak dengan ibunya yang berjualan tempe. Lantip diceritakan belum mengetahui ayah kandungnya. Ayah saya... wah, saya tidak pernah mengenalnya. Embok selalu mengatakan ayah saya pergi jauh untuk mencari duit Para Priyayi, 2001: 10. Baru setelah ibunya meninggal, Lantip diberi tahu oleh Pak Dukuh Wanalawas mengenai ayah kandungnya. Lantip tahu bahwa ia adalah anak jadah dari Ngadiyem dan Soenandar, yang tidak lain adalah keponakan Sastrodarsono. Mulai saat itu ia tahu bahwa ibunya mengenal keluarga Sastrodarsono bukan suatu kebetulan. Ia pun telah mengerti dan tidak akan sakit hati ketika Sastrodarsono marah, kemudian memaki Lantip dengan sebutan anak gento ataupun anak maling. b. Tahap Pemunculan Konflik Generating Circumstances Pemunculan konflik ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono mengalami konflik intern tentang penentuan sikap kepriayiaannya. Sastrodarsono mulai menemukan gaya kepriayiannya dan berhadapan dengan model pemikiran priayi lain. Hal ini terjadi ketika Sastrodarsono ditunjuk untuk menggatikan Martoatmodjo sebagai kepala sekolah desa Karangdompol. Dalam benaknya Martoatmodjo tidak sepantasnya dipindahtugaskan hanya lantaran membaca majalah yang dianggap gupermen menghasut masyarakat. Dan yang lebih tidak menentramkan hati serta tidak enak juga adalah peringatan Opziener bahwa saya jangan sampai terlibat dan bahwa saya harus bersiap untuk mengambil alih pekerjaan kepala sekolah bila dipandang perlu. Di rumah, saya jadi tidak enak tidur siang itu. Bahkan tidak bisa tidur Para Priyayi, 2001: 54-55. Selain itu, pemunculan konflik dapat dilihat ketika Noegroho dikabari bahwa Toni tewas tertembak tentara patroli Belanda. Pada saat itu, Noegroho sedang bertugas ke daerah utara dan barat kota Yogyakarta. Sementara itu, Toni ikut bergabung dengan kawan-kawan TP ke front selatan. Ketika Toni ingin menjenguk ibu dan adiknya, ia tertembak oleh tentara Belanda. Pada suatu siang, waktu itu saya baru pulang dari mengatur koordinasi dengan para lurah desa untuk pengaturan makan dan perlengkapan lain bagi pasukan, datang berita itu. Seorang kurir datang dari kota membawa berita itu. Toni meninggal ditembak Belanda waktu sedang mencoba pulang untuk menengok ibu dan adik-adiknya. Masya Allah Inna lillahi wa inna illaihi rojiun.... Anakku sulung, anakku lanang mati Dan alangkah mudanya dia Tanpa bisa saya bendung air mata saya berlelehan Para Priyayi, 2001: 202-203. Dengan kejadian tersebut, membuat Noegroho dan Sus terlalu memanjakan anak mereka yang lain. Mereka berdua takut apabila sesuatu terjadi pada Marie dan Tommi seperti yang dialami Toni. Akan tetapi, sikap mereka yang memanjakan anak mengakibatkan anak-anaknya menjadi salah pergaulan dan menimbulkan banyak permasalahan. c. Tahap Penanjakan Konflik Rising Action Tahap ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono ditempeleng Tuan Sato. Sastrodarsono dianggap tidak menghormati Jepang karena tidak mau membungkukkan badan menghadap ke utara setiap pagi untuk menyembah dewa. Padahal bukan itu permasalahannya, Sastrodarsono merasa tidak sanggup membungkuk karena usianya yang telah senja. Dengan susah payah dan kaku Ndoro Guru Kakung mencoba membungkukkan badannya. Tuan Sato kelihatan tidak puas dengan bungkuk Ndoro Guru Kakung. Tiba-tiba, dengan secepat kilat, tanpa kita nyana, tangan Tuan Sato melayang menempeleng kepala Ndoro Kakung. Plak Plak Ndoro Kakung geloyoran tubuhnya. Dengan cepat saya tangkap bersama Menir Soetardjo terus kami dudukkan di kursi goyang. ”Darusono, jerek, busuk. Genjimin bogero” Sehabis mengumpat begitu Tuan Sato pergi dengan diiringi yang lain-lainnya. Sesudah sepi ruang depan itu barulah ketegangan itu terasa mereda. Tetapi, justru waktu itu saya lihat muka Ndoro Guru Kakung pucat pasi, nglokro, lesu. Air matanya berlelehan keluar. Beliau menangis seperti anak kecil Para Priyayi, 2001: 129. Selain itu, penanjakan konflik dapat dilihat ketika diketahui bahwa Marie hamil di luar nikah dengan Maridjan. Kejadian ini sangat mengagetkan kedua orang tuanya dan Sastrodarsono. Terlebih lagi, ternyata Maridjan telah menikah, mempunyai istri dan anak. Kejadian ini semakin membuat seluruh keluarga Noegroho terkejut, terutama Marie yang juga belum mengetahui permasalahan ini. “Heeh? Maridjan sudah punya istri dan anak? Asu, bajingan tengik Maridjan” Bude Sus hampir pingsan mendengar laporan saya. Pakde Noegroho merah padam mukanya. Sedang Marie mukanya jadi pucat pasi, tegang, matanya memandang entah ke mana. Tommi, yang biasa acuh tak acuh, kali itu ikut gelisah tidak menentu Para Priyayi, 2001: 248. Konflik semakin meningkat ketika Ngaisah meninggal dunia. Kepergian Ngaisah begitu mendadak bagi Sastrodarsono. Sebelum meninggal, Ngaisah masih sempat menasihati putrinya, Soemini, dalam membina rumah tangga dan menasihati menantunya, Sus, dalam mendidik anak-anaknya. Sebenarnya Ngaisah telah lama mengidap penyakit liver, namun Sastrodarsono tidak mengetahuinya. Kepergian Ngaisah begitu berat dirasakan oleh Sastrodarsono. Tahap ini juga dapat dilihat ketika Harimurti akhirnya menjadi tahanan politik dan dimasukkan penjara karena terlibat gerakan Lekra. Namun demikian, atas usaha Noegroho, Harimurti dapat dibebaskan dari penjara dan menjadi tahanan rumah. d. Tahap Klimaks Climax Harimurti menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya menjemput Gadis, calon istrinya yang sedang hamil tua, dari penjara. Ternyata Gadis meninggal dunia karena terlalu cepat melahirkan. Kabar tersebut sangat mengejutkan Hari bagaikan petir di siang bolong. ”Oh, Allah, Lee. Sudah nasibmu, Ngeer. Istrimu, Naak, istrimu sudah tidak ada....” Saya jadi berdiri membatu. Tidak bisa menangis, tidak bisa apa-apa. Saya hanya mendengar cerita ibu dan bapak saya. Gadis melahirkan terlalu cepat sepasang anak kembar laki dan perempuan Para Priyayi, 2001: 299. e. Tahap Penyelesaian Denouement Pada tahap penyelesaian terdapat dua bagian, yaitu peleraian falling action dan penyelesaian denouement. Tahap peleraian, dapat dilihat ketika Sastrodarsono Embah Kakung sakit karena usianya sudah lanjut yakni 83 tahun. Alur ini merupakan penurunan dari keseluruhan cerita karena semua persoalan telah selesai. Sastrodarsono sebagai tokoh utama dalam cerita ini diceritakan hampir menghadap Tuhan karena sakit-sakitan. Sementara itu, tahap penyelesaian, yaitu dengan meninggalnya tokoh Sastrodarsono. Suatu cara mengakhiri cerita yang cukup baik dengan mematikan tokoh utamanya walaupun cerita masih dapat berlanjut dengan diganti tokoh yang lain dan tentunya dengan cerita yang lain. Tiba-tiba kami mendapat surat kilat khusus dari Pakde Ngadiman bahwa Embah Kakung semakin mundur kesehatannya. Juga semakin pikun dan mulai sering menceracau juga. Bapak dan Ibu segera memerintahkan saya dan Gus Hari untuk pergi ke Wanagalih membantu Pakde Ngadiman dan anak-anaknya menjaga dan merawat Embah Kakung Para Priyayi, 2001: 301. Berdasarkan kepadatan cerita, novel Para Priyayi beralur longgar. Tergolong alur longgar disebabkan peristiwa-peristiwa dalam cerita seolah-olah berdiri sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan terdirinya sepuluh episode dalam cerita ini. Selain itu, hubungan antara tokoh yang satu dan yang lain longgar karena cerita ini memiliki banyak pelaku. Cerita dalam novel ini juga memiliki kebolehjadian plausibility. Akan tetapi, kebolehjadian dalam Para Priyayi lebih kecil daripada Canting. Dalam Para Priyayi dikisahkan seorang anak petani desa, Sastrodarsono, yang berjuang untuk meningkatkan golongannya dan berhasil masuk jenjang priayi. Cerita tersebut memiliki kemungkinan terjadi di masyarakat dan masuk akal. Akan tetapi, mungkin hanya orang sedikit yang melakukan usaha seperti Sastrodarsono yang membangun keluarganya dari golongan petani desa menjadi keluarga priayi yang mumpuni. Tegangan suspense dalam novel ini terjadi ketika Harimurti menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya menjemput Gadis dari penjara. Sementara itu, kejutan surprise dalam novel ini, yaitu ternyata Gadis meninggal dunia karena terlalu cepat melahirkan. Kabar tersebut sangat mengejutkan Harimurti dan seluruh keluarganya. Sementara itu, akhir cerita novel Para Priyayi ini dapat dikatakan happy ending. Hal ini disebabkan setiap tokohnya telah mendapatkan kebahagiaan, Marie telah hidup bahagia dengan Maridjan dan Harimurti telah mendapat kebebasannya. Selain itu, seluruh keluarga telah siap menghadapi keadaan yang paling buruk dengan kesehatan Sastrodarsono.

3. Penokohan dan Perwatakan