Tema Alur Penokohan dan Perwatakan

yang sebenarnya. Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa dengan pendidikan yang baik setiap anak dengan berbagai latar belakang dapat menjadi orang baik pula dan dapat diandalkan dalam menyelesaikan setiap masalah. Lantip dengan caranya sendiri dapat menunjukkan makna priayi yang sebenarnya. Ia dapat menunjukkan semangat priayi yang memperhatikan rakyat kecil dan membina kerukunan serta persaudaraan. Musibah yang menimpa keluarga Noegraho, yaitu Marie hamil di luar nikah, juga dapat diambil manfaatnya. Amanat dari kisah ini adalah bahwa perhatian dan pendidikan pada anak itu perlu. Akan tetapi, terlalu memanjakan anak tidak akan menjadikan anak tersebut menjadi anak yang baik dan maju Terlalu memanjakan anak akan membuat anak sangat tergantung pada orang tua, bahkan berbuat yang seenaknya sendiri. Pada bagian Para Istri dikisahkan pengalaman para istri dari keluarga besar Sastrodarsono terutama Ngaisah. Sifat-sifat yang dimiliki para istri ini dapat diambil suatu amanat. Sifat kesetiaan, kesabaran, ketegasan, dan mawas diri menjadikan para suami akan selalu menghormati dan mencintai istrinya.

C. Persamaan antara Novel Canting dan Para Priyayi

Pada kenyataannya novel Canting dan Para Priyayi memiliki persamaan pada beberapa aspek. Aspek tersebut, yaitu pada tema, alur, penokohan dan perwatakan, serta latar, baik tempat, waktu maupun sosialnya. Berikut rincian persamaan kedua novel ini.

1. Tema

Tema yang diangkat dalam kedua novel ini mempunyai kesamaan, yaitu mengenai kehidupan keluarga besar priayi Jawa. Kedua novel ini mewakili citra manusia Jawa. Dalam Canting keluarga priayi Jawa diwakili oleh keluarga Raden Ngabehi Sestrokusuman atau Pak Bei, sedangkan dalam Para Priyayi diwakili keluarga Sastrodarsono. Kedua novel ini mengetengahkan kehidupan sebuah keluarga priayi Jawa yang menempatkan pandangan hidup kejawaannya sebagai bagian dari perilaku sehari-hari. Oleh karena itu, Pak Bei dan Sastrodarsono merupakan priayi Jawa Abangan.

2. Alur

Kedua novel ini menggunakan alur campuran. Hanya saja, porsinya lebih banyak dalam novel Para Priyayi karena Para Priyayi kurun waktu penceritaannya lebih lama daripada Canting. Kedua novel ini juga menggambarkan peristiwa akhir hidup tokohnya. Dalam Canting dikisahkan akhir hidup Bu Bei, sedangkan dalam Para Priyayi, dikisahkan akhir hidup Ngaisah dan Sastrodarsono. Selain itu, kedua novel ini beralur longgar karena pergantian peristiwa demi peristiwa penting berlangsung lambat dan memiliki banyak tokoh.

3. Penokohan dan Perwatakan

Penokohan dan perwatakan dalam kedua novel ini memiliki kesamaan pada aspek peranan dan fungsi tokoh dalam cerita. Pak Bei hampir sama peran dan fungsinya dengan Sastrodarsono. Mereka berdua merupakan kepala keluarga yang memimpin dan berkuasa atas keluarga besarnya. Mereka berdua merupakan tokoh sentral yang menjadi pusat perputaran cerita. Selain itu, Ni hampir sama peran dan fungsinya dengan Lantip juga sebagai tokoh sentral. Kedua tokoh ini mendominasi cerita dan memegang peranan penting atas terjadinya semua peristiwa. Kedua tokoh ini tampil sebagai pahlawan. Ni membantu para buruh batik keluarganya, sedangkan Lantip membantu anak-cucu anggota keluarga Sastrodarsono dalam menyelesaikan masalah. Sementara itu, Wahyu, Lintang, Bayu, Ismaya, dan Wening hampir sama peran dan fungsinya dengan Noegroho, Hardojo, dan Soemini. Selain dari segi peranan dan fungsinya dalam cerita, Pak Bei dan Sastrodarsono juga memiliki kesamaan, yaitu keduanya adalah priayi Jawa Abangan. Mereka berdua beragama Islam, tetapi mempercayai hal-hal yang bersifat “kejawen”. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik Pak Bei maupun Sastrodarsono melandasinya dengan pandangan hidup kejawaan. Mereka dilukiskan tidak pernah sembahyang, bahkan melakukan hal-hal yang dilarang agama, Pak Bei suka mabuk dan zina, sedangkan Sastrodarsono suka berjudi. Sementara itu, baik Bu Bei maupun Ngaisah, juga merupakan priayi Jawa Abangan karena mereka mengikuti jejak suami mereka masing-masing.

4. Latar