Sudut Pandang Pengarang Amanat

mengakibatkan seluruh kota Surakarta dan sekitarnya terendam banjir besar dan kegiatan ekonomi menjadi lumpuh. Geger ini memang cukup lama. Mereda sebentar, bisa bekerja kembali. Bu Bei sudah kembali ke pasar. Buruh-buruh bekerja setengah hari, karena menjelang magrib sudah ada jam malam. Wagiman kemudian mendengar bahwa banyak yang ditangkap, banyak yang ditembak, sehingga Sungai Bacem di sebelah selatan penuh dengan mayat. Orang bisa menyeberangi sungai di atas tumpukan mayat Canting, 2007: 151. ”Hari Selasa kemarin saya mendengar berita, di Wonogiri turun hujan. Lebat sekali. Perkiraan saya akan terjadi banjir yang besar. Hari ini Rabu, tanggal 16 Maret, Wonogiri dan Sukoharjo terendam dalam banjir.” Canting, 2007: 156 c. Latar Sosial Dalam novel ini diceritakan kehidupan di lingkungan keraton Surakarta, terutama Ndalem Ngabean Sestrokusuman yang berdiri batik cap Canting. Dalam kehidupan masyarakat Jawa ada suatu jarak antara golongan priayi dan wong cilik. Golongan priayi diwakili oleh kerabat keraton, sedangkan wong cilik diwakili oleh buruh batik dan masyarakat biasa. Latar sosial yang digambarkan dalam novel ini begitu hidup. Hal ini tidak terlepas dari sosial budaya pengarang yang juga berasal dari Surakarta.

5. Sudut Pandang Pengarang

Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang ketiga atau third person narrator. Pengarang berada di luar cerita. Pengarang menggunakan nama-nama tokoh dalam ceritanya dan memakai sebutan “ia” atau “mereka”. Sudut pandang ini memungkinkan pengarang bersikap objektif dan adil. Pengarang sekadar menuturkan sebuah cerita rekaan yang menjadi idenya. Sebagai penutur yang baik, pengarang dapat menggambarkan tokoh- tokoh dan karakternya dengan begitu nyata seolah-olah mereka benar-benar ada. Begitu pula penggambaran setting-nya yang sangat hidup. Pengarang menceritakan kehidupan keluarga priayi dengan sangat intens baik kebiasaan sehari-hari, adat istiadat, keadaan rumahnya maupun lingkungan sosialnya. Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga ini, pengarang berhasil menuturkan sebuah kisah menarik tentang keluarga priayi, yakni keluarga Raden Ngabehi Sestrokusuma beserta konflik yang melingkupinya.

6. Amanat

Amanat yang dapat diambil dalam novel ini adalah kita harus dapat menerima kenyataan bahwa kini zaman telah berubah, kita harus mengikuti perubahan zaman dan menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Kita harus dapat menerima nilai-nilai baru yang masuk tanpa menghapus nilai-nilai masa lampau. Cara yang terbaik untuk menghadapi perubahan zaman yaitu dengan melebur diri tanpa harus kehilangan identitas kebudayaan kita. Amanat ini disampaikan melalui tokoh Ni, ketika ia merelakan untuk tidak memasang cap Canting, ketika itu pula usaha pembatikannya mulai berjalan. Canting tak perlu mengangkat bendera tinggi-tinggi. Bahkan tak perlu berbendera. Akan menimbulkan masalah persaingan yang tajam, dan akan dikalahkan. Karena Canting sekarang ini bukan cap yang dulu adiluhung oleh sebagian besar pemakainya. Karena sebagian terbesar masyarakat tak lagi mengenal nilai-nilai yang ada pada Canting. Kepeloporan zaman silam telah diganti dengan produksi lain. Pada dasarnya, Canting Sestrokusuman adalah yang berbeda pada posisi yang kalah. Posisi sedang sakit. Budaya yang kalah tak lebar langkahnya. Budaya yang kalah tak banyak berubah dengan menjerit atau memuji keagungannya. Malah akan lemah pada saat membanggakan diri Canting, 2007: 402. Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit. Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri. Ketika ia melepaskan cap Canting, ketika itulah usaha batiknya jalan. Ketika ia melepaskan nama besar Sestrokusuman, ketika itulah ia melihat harapan Canting, 2007: 403.

B. Struktur Novel Para Priyayi