4. Latar
Latar Para Priyayi terdiri dari tiga unsur, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga latar ini saling mempengaruhi. Dibanding dengan Canting, latar Para
Priyayi lebih kompleks. Berikut rincian latar dalam novel Para Priyayi. a.
Latar Tempat Novel ini memiliki latar tempat yang banyak. Hal ini disebabkan oleh
adanya pembagian episode dalam novel ini. Oleh karena itu, setiap tokoh dapat menuturkan tempat mereka berada. Berikut rincian latar tempat dalam
novel Para Priyayi. 1
Wanagalih dan sekitarnya Wanagalih merupakan tempat tinggal Sastrodarsono dan Ngaisah.
Tempat ini merupakan pusat berkumpulnya seluruh anggota keluarga Sastrodarsono. Sementara itu, latar tempat sekitar Wanagalih meliputi: 1
Kedungsimo, tempat tinggal orang tua Sastrodarsono; 2 Jogorogo, tempat tinggal orang tua Ngaisah; 3 Ploso, tempat Sastrodarsono menjadi
guru bantu; 4 Karangdompol, tempat Sastrodarsono menjadi mantri guru; dan 5 Wanalawas, tempat berdirinya sekolah partikelir yang
didirikan Sastrodarsono dan tempat tinggal Lantip saat masih kecil. Latar desa-desa tersebut intensitas kemunculannya tidak terlalu banyak, tetapi
juga mempengaruhi cerita. Ya, itulah Wanagalih. Kota yang karena dikepung oleh hutan dan
kemudian hutan jati mendapatkan namanya sebagai wana yang berarti hutan dan galih yang berarti bagian terdalam dan terkeras dari kayu Para
Priyayi, 2001: 7.
Keputusan kami untuk bertempat tinggal di Wanagalih dan tidak di desa saya bekerja, yaitu di Karangdompol, adalah juga atas nasihat
Ndoro eh, Romo Seten Kedungsimo yang didukung oleh mertua saya Romo Mukaram Para Priyayi, 2001: 47.
Seperti biasa, bila kami semua berkumpul di Wanagalih, kami akan mereguk semua kenikmatan yang ditawarkan oleh rumah induk
keluarga kami di Jalan Setenan, … Para Priyayi, 2001: 181.
2 Wonogiri
Wonogiri adalah tempat mengajar Hardojo. Hardojo berada di Wonogiri selama dua tahun. Ia juga mendapatkan istri yang berasal dari
daerah Wonogiri. Saya hanya sempat mengajar di HIS Wonogiri selama dua tahun
Para Priyayi, 2001: 149. 3
Solo Solo merupakan tempat bekerja Hardojo setelah mendapat
tawaran menjadi abdi dalem Mangkunegaran. Hardojo mengurusi bidang pendidikan orang dewasa dan gerakan pemuda. Oleh karena itu, seluruh
daerah yang berada di bawah kerajaan Mangkunegaran ia datangi. Begitulah keputusan itu telah saya buat. Saya pindah bekerja ke
Mangkunegaran. Saya diberi waktu hingga akhir tahun pelajaran Para Priyayi, 2001: 159.
4 Yogyakarta
Yogyakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho sebelum pindah ke Jakarta. Pada masa penjajahan Belanda, ia bekerja
sebagai guru HIS di Jetis Yogyakarta. Selain itu, Hardojo juga tinggal di Yogyakarta setelah ia kecewa dengan sikap Mangkunegaran yang
memihak Belanda. Kami pun lantas untuk sementara pindah lagi ke Yogya ke rumah ibu Sus,
yang menetap di Yogya sejak pensiunnya di Semarang. Rumah itu tidak berapa besar, di bilangan Jetis, tidak jauh dari bekas sekolah dasar, tempat
saya mengajar dulu Para Priyayi, 2001: 189.
5 Jakarta
Jakarta merupakan tempat tinggal keluarga Noegroho. Ketika keluarga Noegroho terkena musibah, Marie hamil di luar nikah, Lantip
ditugasi oleh Sastrodarsono dan Ngaisah untuk ikut Sus ke Jakarta dan membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. Selain itu, keluarga
Soemini, anak Sastrodarsono yang ketiga, juga tinggal di Jakarta.
b. Latar Waktu
Latar waktu dalam novel Para Priyayi adalah sebelum dan sesudah masa kemerdekaan, yaitu masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang,
masa kemerdekaan, dan sesudah kemerdekaan. Waktu penceritaan novel ini panjang meliputi tiga generasi keturunan tokoh-tokohnya. Bermula dari tokoh
Sastrodarsono dan Ngaisah, mengawali dinasti keluarga priayi dalam keluarga besarnya. Diteruskan anak-anaknya Noegroho, Hardojo, dan Soemini.
Generasi kedua tersebut menurunkan anak-anaknya Marie dan Tommi anak Noegroho, Harimurti anak tunggal Hardojo, dan Mimi anak sulung Soemini.
Latar waktu novel ini diawali pada masa penjajahan Belanda kemudian pendudukan Jepang, awal Kemerdekaan hingga pemberontakan
PKI. Tahun 1910 cerita ini dimulai, Sastrodarsono mulai menapakkan kakinya ke jenjang priayi. Pada masa ini adalah masa penjajahan Belanda. Tiga puluh
tahun kemudian adalah masa pendudukan Jepang dan revolusi, tokoh yang muncul dalam cerita ini adalah anak-anak Sastrodarsono. Noegroho menjadi
anggota tentara, Hardojo menjadi abdi dalem di Mangkunegaran, dan Soemini menjadi istri asisten wedana. Cita-cita Sastrodarsono untuk membangun
keluarga priayi dapat dikatakan berhasil. Pada tahun 1960-an Satrodarsono hampir berusia 80 tahun dan
Ngaisah 70 tahun. Pada tahun tersebut generasi ketiga keluarga Sastrodarsono mendapat masalah. Marie anak Noegroho melangsungkan pernikahan dengan
Maridjan karena ia telah hamil sebelumnya. Harimurti anak tunggal Hardojo terlibat gerakan komunis sehingga sempat di penjara. Pada tahun 1967,
Sastrodarsono meninggal dunia dengan umur kira-kira 83 tahun. Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia kepada gupermen, saya akan
menjadi guru penuh sekolah desa Para Priyayi, 2001: 29.
Waktu itu, sekitar tahun 1910 Masehi, daerah di sekitar desa-desa tersebut boleh dikata masih lebat hutannya Para Priyayi, 2001: 33.
TANPA terasa tahu-tahu sudah memasuki tahun 1940. Itu berarti kami sudah enam tahun berumah tangga dan saya sudah tujuh tahun bekerja di
Mangkunegaran Para Priyayi, 2001: 161.
Tahu-tahu Jepang kalah perang dan kami, Peta, dibubarkan dan dilucuti senjata kami Para Priyayi, 2001: 189.
ZAMAN revolusi ternyata adalah kepanjangan penderitaan zaman Jepang Para Priyayi, 2001: 191.
Hal yang kemudian mengkhawatirkan adalah perkembangan PKI dan pengaruhnya dalam tubuh tentara terutama di Solo Para Priyayi, 2001: 192.
Umur saya, tanpa terasa, sudah 70 tahun pada tahun 1962 ini Para Priyayi, 2001: 206.
GADIS, mau mentraktir saya malam itu. Hari itu, saya ingat benar, adalah tanggal 8 Mei 1964, hari Pemimpin Besar Revolusi mengumumkan
pelarangan Manifes Kebudayaan Para Priyayi, 2001: 261.
“… Kau itu sudah dua puluh sembilan tahun umurmu, tahun 1964 ini. Masa mau jadi jejaka tua terus?” Para Priyayi, 2001: 267.
Tahun 1967 ini Embah Kakung sudah berumur kira-kira delapan puluh tiga tahun. Untuk orang Jawa itu sudah merupakan usia yang sangat lanjut Para
Priyayi, 2001: 301.
c. Latar Sosial
Latar sosial dalam novel ini adalah gambaran sosial masyarakat Jawa yang mempunyai adat dan kebiasaan yang cukup unik, khususnya daerah
Wanagalih Ngawi Jawa Timur. Hal ini tidak terlepas dari sosial budaya pengarang yang berasal dari Ngawi, Jawa Timur. Kebudayaan Jawa yang
ditampilkan dalam novel ini begitu halus dan lembut penyampaiannya sehingga tidak semua orang dapat memahaminya. Selain itu, kebudayaan di
keraton Mangkunegaran Surakarta pun ikut ditampilkan dalam novel ini. Mangkunegaran merupakan tempat bekerja Hardojo sehingga dalam novel ini
juga diceritakan mengenai kebudayaan di Surakarta.
5. Sudut Pandang Pengarang