Landasan Teori .1 Korupsi Impact of Corruption to Regional Economic Growth in Indonesia (Study Case: Regional Budget Corruption Assumption Mechanism in Banten Province Government at 2011).

26 yang tercipta akibat relasi politik, bisnis dan birokratik yang korup menimbulkan dampak ekonomi sebagai berikut: Pertama, para investor asing enggan menanamkan modal dalam jangka panjang di Indonesia, karena tidak adanya kepercayaan bisnis business confidence , motif pelaku bisnis lebih terhadap mengeruk kepentingan sebanyak mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin, sehingga kehilangan kesempatan jangka panjang. Kedua, Ekonomi biaya tinggi yang tercipta akibat maraknya pungutan yang semakin tersebar luas mengakibatkan biaya produksi menjadi mahal. Ketiga, Dengan adanya peningkatan biaya produksi hingga 5 persen sampai 7 persen, pengusaha menyiasatinya dengan menekan upah buruh, sehingga tingkat upah buruh menjadi sangat rendah. Keempat, korupsi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi juga menghambat pertumbuhan industri nasional, yang berdampak pada menurunnya daya saing produk-produk dalam pasar global. Kelima, Dampak korupsi bukan saja pada nilai kerugian negara, namun juga terhadap sumber daya alam SDA, rakyat yang bergantung pada SDA itu kehilangan mata pencaharian atau akses terhadap lahan, dan pada akhirnya SDA yang terdistorsi itu juga akan menimbulkan kerusakan lingkungan

2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Sukirno 42 istilah pertumbuhan ekonomi digunakan untuk mengukur prestasi dari perkembangan suatu ekonomi. Pertumbuhan ekonomi economic growth adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Dalam kegiatan perekonomian yang sebenarnya pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan fiskal produksi barang dan jasa yang berlaku di suatu negara, seperti pertambahan dan dan jumlah produksi barang industri, perkembangan infrastruktur, pertambahan jumlah sekolah, pertambahan produksi sektor jasa dan pertambahan produksi barang modal. 42 Sukirno S, Teori Makroekonomi, Edisi ketiga, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal 423. 27 Perhitungan pendapatan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pendapatan menurut harga berlaku yang memberi gambaran mengenai kemampuan rata-rata dari penduduk negara berbelanja dan membeli barang- barang dan jasa yang diperlukannya, dan pendapatan menurut harga konstan untuk menunjukan tingkat kemakmuran di suatu negara. Faktor-faktor penting yang dapat memengaruhi perkembangan pertumbuhan ekonomi yang telah lama dipandang oleh para ahli ekonomi adalah kekayaan alam yang dimiliki suatu daerah negara, jumlah dan kemampuan tenaga kerja, tersedianya usahawan yang gigih, kemampuan mengembangkan dan menggunakan teknologi modern, serta kestabilan politik juga kebijakan ekonomi pemerintah. Pertumbuhan ekonomi yang baik dapat tercapai apabila terjadi penataan kelembagaan yang dilakukan secara nasional dan menyeluruh. Peranan politik pemerintah akan memiliki arti yang besar bagi pembangunan peranan kelembagaan-kelembagaan yang ada untuk menopang pilar pilar kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi. Negara-negara maju yang berhasil keluar dari perekonomian yang terbelakang, biasanya memulai dengan penataan kelembagaan-kelembagaan sehingga dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang self government 43 yaitu pemerintahan yang mandiri yang memiliki lembaga- lembaga yang mendukung aspek hukum, pendidikan masyarakat dan sebagainya . Beberapa permasalahan ekonomi yang perlu diatasi dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang baik tercermin dalam pemikiran Arthur Lewis yaitu 44 : 1Pertumbuhan ekonomi bergantung pada usaha mengefektifkan penggunaan input yang ada, 2Peningkatan pengetahuan dan penerapannya mempunyai peranan penting dalam meningkatkan produktivitas suatu masyarakat, 3 Produktivitas dapat ditingkatkan dengan mempertinggi ketersediaan modal capital perkapita sehingga masyarakat memiliki lebih banyak peluang untuk melakukan kegiatan-kegiatan produksi 43 Rachbini DJ, Pembangunan Ekonomi dan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Garsindo, 2001, hal 63. 44 Arthur lewis dalam Ibid. 28 Dari zaman ke zaman pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu bidang penyelidikan yang sudah lama dibahas oleh ahli-ahli ekonomi. Teori Pertumbuhan ekonomi terus berkembang, seperti diuraikan di bawah ini : Teori Pertumbuhan Klasik Smith 1776 dan Ricardo 1817 45 adalah dua tokoh pemikiran pertumbuhan ekonomi klasik. Menurut Smith dan Ricardo faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi adalah tingkat perkembangan masyarakat yang ditentukan dari jumlah penduduk, jumlah stok modal, luas tanah dan tingkat teknologi. Pendapatan masyarakat dapat di kategorikan sebagai upah pekerja, keuntungan pengusaha, dan sewa tanah. Apabila upah pekerja naik akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan penduduk, dan tingkat keuntungan akan menentukan pembentukan modal. Smith berpendapat bahwa perkembangan penduduk akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar dan perluasan pasar akan meningkatkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut. Spesialisasi, kemudian akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan mendorong perkembangan teknologi. Kenaikan dalam produktivitas yang di sebabkan oleh kemajuan teknologi akan meningkatkan tingkat upah dan keuntungan, pada saat yang bersamaan pertumbuhan penduduk juga akan meningkatkan akumulasi capital dan tabungan. Dengan adanya akumulasi kapital maka stok alat-alat modal dapat ditambah dan dapat mendorong meningkatnya produktivitas dan teknologi yang berkelanjutan sehingga proses pertumbuhan akan terus berlangsung sampai seluruh sumber daya alam termanfaatkan atau tercapai kondisi stationary state. Sedangkan Ricardo berpendapat dalam berbagai kegiatan ekonomi akan berlaku the law diminishing return , misalkan pertumbuhan penduduk yang tinggi akan berakibat pada turunnya tingkat upah pekerja, menurunkan keuntungan, dan meningkatkan sewa tanah. 45 Smith dan Ricardo dalam Priyarsono DS, Sahara, Firdaus M, Ekonomi Regional, Jakarta: Universitas terbuka, 2007, hal 93-99. 29 Dalam teori pertumbuhan klasik faktor-faktor produksi utama adalah tenaga kerja, tanah dan modal, serta peran teknologi. Sedangkan input-input lainnya yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan output dianggap konstan tidak berubah. Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar Model pertumbuhan Harrod 1948 Domar 1957 46 termasuk dalam kelompok pemikiran Neo-Keynesian, model ini menekankan bahwa setiap perekonomian pada dasarnya perlu mencadangkan atau menabung sebagian dari pendapatan nasionalnya untuk menambahkan atau menggantikan barang-barang yang sudah rusak susut, barang tersebut adalah barang modal seperti gedung, peralatan dan bahan baku. Tabungan tersebut perlu karena nanti akan berkontribusi untuk kegiatan investasi yang akan mendorong pendapatan nasional sehingga perekonomian dapat tumbuh. Model pertumbuhan Harrod-Domar adalah gabungan atau modifikasi dari dua model pertumbuhan, dimana model pertumbuhan Domar memfokuskan pada laju pertumbuhan Investasi, sedangkan model pertumbuhan Harrod lebih pada pertumbuhan GDP Gross Domestic Product jangka panjang melalui peningkatan rasio modal-output capital-output ratio. Setiap perekonomian dapat menyisihkan suatu proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya jika hanya untuk menganti barang-barang modal yang rusak. Namun demikian untuk menumbuhkan perekonomian tersebut, diperlukan investasi- investasi baru sebagai stok penambah modal. Seandainya ditetapkan rasio modal- output sebagai K dan selanjutnya dianggap bahwa rasio tabungan nasional national saving rasio = s merupakan persentase atau bagian tetap dari output nasional yang selalu ditabung dan bahwa jumlah investasi penanaman modal baru ditentukan oleh jumlah tabungan total s, maka dapat disusun model pertumbuhan ekonomi sederhana sebagai berikut : 1. Tabungan S merupakan suatu proporsi s dari pendapatan nasional Y, oleh karena itu, dapat ditulis dalam bentuk persamaan sederhana : 46 Harrod-Domar dalam Todaro MP, Smith SC, Pembangunan Ekonomi. Ed ke-9 Alih Bahasa oleh Haris Munandar dan Puji A.L Jakarta: Erlangga, 2006, Hal 128-131. 30 S=sY……………………………………………………………………….2.1 2. Investasi I didefinisikan sebagai perubahan dari stok modal K yang dapat diwakili oleh ΔK, sehingga dapat ditulis dalam bentuk persamaan : I= ΔK………………………………………………………………………2.2 Akan tetapi, karena jumlah stok modal K mempunyai hubungan langsung dengan jumlah pendapatan nasional atau output Y, seperti yang ditunjukan oleh rasio modal-output k maka : KY = k atau ΔKΔY= k Akhirnya, ΔK=k.ΔY………………………………………………………..2.3 3. Terakhir mengingat jumlah keseluruhan tabungan nasional S harus sama dengan keseluruhan investasi I, maka persamaan berikutnya dapat ditulis sebagai berikut: S=I…………………………………………………………………………2.4 Dari persamaan 2.1 telah diketahui bahwa S = sY dan dari persamaan 2.2 dan persamaan 2.3, maka dapat diketahui : I = ΔK = k. ΔY Dengan demikian, “identitas” tabungan yang merupakan persamaan modal dalam persamaan 2.4 adalah sebagai berikut: S=sY = k . ΔY = ΔK = I…………………………………………………….…2.5 Atau bisa diringkas menjadi : sY=k. ΔY……………………………………………………………………….2.6 Selanjutnya apabila kedua sisi persamaan 2.6 dibagi mula-mula dengan Y dan kemudian dibagi dengan K, maka akan didapat : ΔYY=sk……………………………………………………………………...2.7 ΔYY pada persamaan 2.7 merupakan pertumbuhan PDB. Persamaan 2.7 merupakan persamaan Harrod-Domar yang disederhanakan. Pada persamaan 2.7 menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan PDB ΔYY ditentukan secara bersama oleh rasio tabungan nasional s dan rasio modal- output nasional COR=k. Secara lebih spesifik, persamaan 2.7 menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan pendapatan nasional ΔYY akan secara langsung atau secara positif berbanding lurus dengan rasio tabungan s dan secara negatif berbanding terbalik terhadap rasio modal-output nasional k dari suatu perekonomian. 31 Maka agar bisa tumbuh pesat, setiap perekonomian harus dapat menabung dan berinvestasi sebanyak mungkin dari bagian GDP-nya. Semakin banyak yang ditabung dan diinvestasikan, maka laju pertumbuhan ekonomi akan semakin cepat. Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow eksogen Teori Pertumbuhan Solow 1956, 1957 47 masuk kedalam pemikiran neoklasik didasarkan pada kritik atas kelemahan-kelemahan sebagai penyempurnaan terhadap pandangan teori Harrod-Domar. Pada intinya model pertumbuhan Solow adalah pengembangan dari formulasi Harrod-Domar, dengan menambahkan dua faktor lagi dalam persamaan pertumbuhan growth equation yaitu tenaga kerja dan teknologi. Sehingga pertumbuhan ekonomi tergantung pada ketersediaan faktor produksi seperti tenaga kerja dan akumulasi modal serta kemajuan teknologi. Pandangan teori ini didasarkan pada asumsi yang mendasari analisis ekonomi klasik, yaitu perekonomian berada pada tingkat pekerjaan penuh full employment dan tingkat pemanfaatan penuh full utilization dari faktor-faktor produksinya. Rasio modal-output capital output ratio dapat berubah-rubah sesuai dengan output yang ingin dihasilkan. Jika lebih banyak modal yang digunakan maka tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit dan sebaliknya. Fleksibilitas ini menggambarkan suatu perekonomian yang memiliki kebebasan dalam menentukan kombinasi antara modal capital, K dan tenaga kerja labour, L yang akan digunakan dalam kegiatan produksi. Dalam model ini fungsi produksi tanpa perkembangan teknologi secara umum dapat dituliskan sebagai berikut: Yt = fKt,Lt……………………………………………………………...2.8 Dimana pertumbuhan pendapatan riil adalah fungsi dari K stok modal dan L tenaga kerja, pendapatan akan meningkat apabila setiap tenaga kerja mendapat modal peralatan lebih banyak dan proses itu disebut capital deepending, namun tidak terus menerus tanpa adanya pertumbuhan teknologi, karena modal 47 Solow dalam Ibid, hal 150. 32 dan tenaga kerja akan meningkat dengan pertumbuhan yang semakin menurun diminishing return . Kemudian dalam model fungsi produksi dengan perkembangan teknologi dapat disajikan ke dalam bentuk fungsi produksi Cobb-Douglass, yaitu output merupakan fungsi dari tenaga kerja dan modal. Sementara itu, tingkat kemajuan teknologi merupakan variabel eksogen. Yt = f At, Kt,Lt………………………………………………………. 2.9 Asumsi yang digunakan adalah skala hasil tetap constan return to scale, CRTS, substitusi antara modal dan tenaga kerja bersifat sempurna dan juga adanya produktivitas marginal yang semakin menurun diminishing marginal productivity dari tiap-tiap inputnya. Dalam bentuknya yang lebih formal, model pertumbuhan neoklasik Solow dapat dituliskan sebagai berikut: Y t K t α A t L t α …………………………………………………..2.10 Keterangan: Y adalah output; K adalah stok modal; L adalah jumlah tenaga kerja; A adalah produktivitas tenaga kerjateknologi, yang pertumbuhannya di tentukan secara eksogen. α adalah melambangkan elastisitas output terhadap modal atau persentase pertambahan output yang diciptakan oleh penambahan satu persen modal fisik dan manusia. Asumsi CRTS menyatakan jika α=a dan 1-α=b, maka a+b=1 artinya nilai a dan b merupakan batas produksi dari masing-masing produksi tersebut. Teori Pertumbuhan Endogen Teori pertumbuhan endogen yang disebut juga teori pertumbuhan baru, adalah modifikasi terhadap model pertumbuhan Solow, model ini mencoba memperbaiki kegagalan model Solow dalam hal memberikan penjelasan terhadap penyebab-penyebab perkembangan teknologi, menurut teori ini perubahan teknologi bersifat endogen dari dalam sistem ekonomi dan memengaruhi pertumbuhan jangka panjang. 33 Mankiw, Romer, Weil MWR 1992 48 mengusulkan menggunakan variabel akumulasi modal manusia human capital dalam memodifikasi model Solow tersebut. Sumber pertumbuhan ekonomi dengan demikian adalah pertumbuhan kapital, tenaga kerja, dan human capital. Ternyata hasil estimasi MWR lebih baik dari pada model Solow 49 . Romer menyatakan bahwa stok pengetahuan knowledge stock merupakan sumber utama peningkatan produktivitas dalam suatu perekonomian. Pertumbuhan endogen memiliki tiga elemen dasar yaitu: 1 adanya perubahan teknologi yang bersifat endogen melalui sebuah proses akumulasi ilmu pengetahuan; 2 adanya penciptaan ide-ide baru sebagai akibat dari mekanisme limpahan pengetahuan knowledge spillover; dan 3 produksi barang-barang konsumsi yang dihasilkan oleh faktor produksi ilmu pengetahuan akan tumbuh tanpa batas. Modifikasi MRW terhadap persamaan pertumbuhan Solow adalah dengan menambahkan human capital sehingga fungsi produksi menjadi 50 : Y t K t α H t β A t L t α β ……………………….………..………2.11 Dimana, H adalah Human Capital, dan semua variabel lainnya yang sudah di definisikan sebelumnya. Dalam Bhinadi 2003, Modifikasi MRW dapat juga dituliskan secara linear, sehingga bentuknya adalah sebagai berikut 51 : Y = g + αK + βH + 1-α-βL ……………………………..…………...…2.12 Dimana, β adalah kontribusi human capital terhadap output agregat , Y adalah pertumbuhan output, K adalah pertumbuhan capital, dan L adalah pertumbuhan tenaga kerja yang ada di wilayah tersebut, H adalah pertumbuhan kualitas sumber daya manusia yang diproksi dengan educational attainment pendidikan menengah lanjutan secondary education di wilayah tersebut, dan g pertumbuhan produktivitas faktor total TFPG yang mencerminkan tingkat teknologi di wilayah tersebut dan merupakan intersep dalam persamaan regresi. 48 Mankiw .NG, Romer .D, Weil .DN, A Contribution To The Empirics Of Economics Growth, Quartely Journal Of Economics , May:415-421, 1992. 49 Bhinadi A, Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa Dengan Luar Jawa, Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian Ekonomi Negara Berkembang , Vol 8, No. 1, Juni 2003, hal 40. 50 Mankiw .NG, Romer .D, Weil .DN, Loc.cit. 51 Bhinadi A, Loc.cit. 34

2.1.4 Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi

Korupsi berkontribusi dalam mengurangi pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan kualitas infrastruktur dan pelayanan publik, mengurangi pajak, membuat pemerintah justru bergandengan dengan para pencari rente daripada melakukan aktivitas yang produktif, dan akhirnya mendistorsi komposisi pengeluaran pemerintah 52 . Korupsi berimplikasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi karena korupsi berpengaruh langsung terhadap tingkat investasi, rendahnya tingkat investasi swasta karena besarnya biaya suap dalam perizinan usaha, dan terdistorsinya investasi pemerintah oleh kelompok kepentingan. Dampak korupsi baik langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi indikator-indikator makro ekonomi suatu negara. Korupsi dapat menciptakan kesenjangan yang lebar antara pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya bisa dicapai, sehingga memengaruhi proses pertumbuhan ekonomi nasional. Analisanya adalah korupsi menimbulkan inefisiensi dan pemborosan dari sumber ekonomi periode sebelumnya, karena hasil dari pengelolaan sumberdaya ekonomi yang ada tidak semuanya dikembalikan sebagai modal perputaran ekonomi secara multiplier, keuntungan yang diperoleh dari korupsi kemungkinan besar digunakan bermewah-mewah atau dilarikan ke rekening pribadi di luar negeri bukan di alihkan ke sektor investasi Secara sederhana korupsi pada dasarnya adalah sebuah misalokasi sumberdaya, yang artinya, korupsi memindahkan sumberdaya dari kegiatan produktif atau memiliki manfaat sosial tinggi ke kegiatan tidak produktif dan menciptakan biaya sosial. Biaya ekonomi korupsi dapat dikaitkan sebagai sumber daya yang terbuang, yang dapat digambarkan pada kurva batas kemungkinan produksi Production Posibility Frontier PPF. Dalam gambar 6 53 , diasumsikan terdapat dua jenis output yaitu X dan Y, semua sumber daya digunakan, dan kemudian sumber dayafaktor produksi tidak dapat ditambah namun dapat dirubah kombinasinya. Batas kemungkinan produksi kombinasi barang X dan Y apabila sumberdaya digunakan dalam kapasitas penuh 52 Shera A, Corruptionand The Impact of The Economic Growth, Journal of Information Technology and Economic Development 2, 2011, hal 8. 53 Zachrie R, Wijayanto, op.cit, Hal 120-122. 35 pareto optimal adalah pada titik A memproduksi lebih banyak Y daripada X dan pada titik B memproduksi lebih banyak X daripada Y. . Sumber : Zachrie, Wijayanto, 2010 . Gambar 6. Korupsi dan Kemungkinan Produksi Pada titik C tidak dapat dicapai karena berada diluar batas kemungkinan produksi, namun bisa saja tercapai apabila tiba-tiba dalam perekonomian terjadi penambahan sumber daya atau pertumbuhan ekonomi. Titik D adalah kondisi saat kegiatan ekonomi tidak berada pada kapasitas maksimal, hal ini dapat disebabkan oleh adanya sumber daya yang menganggur atau semua sumber daya digunakan secara maksimal namun tidak efisien. Korupsi menyebabkan perekonomian sebuah negara daerah berada di titik D bukan A atau B. Namun selama ini terdapat dua sisi pandangan yang berbeda mengenai efek korupsi, beberapa diantaranya memperlihatkan efek buruk, dan sisi lainnya memperlihatkan efek baik korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi. Leff 1964 dan Huttington 1968 secara terpisah pernah menyatakan bahwa korupsi membuat aktivitas ekonomi berjalan lancar dan akhirnya pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Menurut argumen ini, aktivitas bisnis diibaratkan sebagai roda perekonomian dan korupsi dapat menjadi “minyak pelumas” bagi roda itu, terdapat beberapa alasan dari argumen ini, yaitu 54 : Alasan pertama, korupsi dapat menjadi uang pelicin atau speed money sehingga dapat menghindari terjadinya penundaan birokrasi. Hal ini di dukung 54 Rahman A , Kisunko G dan Kapoor K, Estimating the effect of Corruption Implication for Bangladesh,World Bank Report tahun 2000, www.worldbank.org . hal 3-4. X Y C B A D 36 oleh Lui 1985 yang menggunakan keseimbangan Nash pada noncooperative game adanya suap dapat meminimalisasi biaya tunggu atau waiting cost sehingga dapat mengurangi biaya-biaya, yang pada akhirnya menurunkan inefisiensi dari pemerintah. Namun Myrdal 1968 membantah pandangan tersebut, menurutnya teori speed money tidak terjadi. Pada kenyataannya para birokrat dapat memperlambat kerja mereka untuk mendapatkan lebih banyak suap 55 . Alasan yang kedua adalah para pegawai struktural yang mendapat pembayaran rendah, ditambah kurangnya tanggung jawab mereka, tidak termotivasi untuk bekerja lebih efisien. Namun dengan adanya suap akan mendorong mereka untuk bekerja lebih efisien. Alasan yang ketiga dari sisi kesejahteraan welfare, banyak layanan atau barang publik masih dimonopoli oleh pemerintah, tapi apabila ada aparat pemerintah yang menjualnya di pasar gelap secara illegal, maka konsumen bisa mendapatkan barang atau pelayanan publik tersebut dibawah harga resmi. Oknum aparat akan menerima seluruh pembayaran untuk dirinya sendiri, sehingga negara kehilangan pendapatan, namun konsumen mendapatkan harga di bawah harga resmi sehingga terjadi relokasi keuntungan dari negara ke konsumen peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan Mauro 1995 yang membuktikan bahwa korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi negara-negara. Ia menemukan apabila Bangladesh dapat memerangi korupsi pada tingkat yang sama dengan Singapura dan jika laju pertumbuhannya mencapai 4 persen pertahun, maka laju pertumbuhan PDB tahunan per kapita rata-rata antara 1960-1985 tentu akan mencapai 1.8 persen lebih tinggi 56 . Selain itu, Todaro dan Smith 2006 mendukung pendapat bahwa korupsi berimplikasi negatif terhadap pertumbuhan, menurutnya ketiadaan korupsi mendorong investasi dan upaya-upaya untuk memperbesar peluang perekonomian dan bukan hanya untuk memperebutkannya, dan oleh karenanya mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga pada umumnya perbaikan tata kelola governance, terutama pengurangan korupsi akan mempercepat proses 55 Ibid, hal 4. 56 Vinod T. et.al, The Quality of Growth, World Bank, 2000. hal 177. 37 pembangunan. Pemberantasan korupsi penting dilakukan, karena pemerintahan yang jujur dapat mendorong pertumbuhan dan pendapatan tinggi secara berkesinambungan 57 . Sedangkan menurut Swaleheen dan Stansel 2007 korupsi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi, ketika pelaku ekonomi memiliki pilihan yang sedikit kebebasan ekonomi rendah, namun pada keadaan pelaku ekonomi memiliki banyak pilihankebebasan ekonomi tinggi, korupsi membantu pertumbuhan dengan menyediakan jalan di sekitar kontrol pemerintah 58 .

2.1.5 Korupsi dan Perburuan Rente Ekonomi

Korupsi dalam ilmu ekonomi berangkat dari dua dasar bangunan teori, yang pertama adalah teori atasan bawahanpemilik pengelola principal-agent, dan yang kedua adalah teori perburuan rente rent-seeking. Principal-agent theory 59 melihat hubungan antara dua pihak dengan tujuan serta insentif yang berbeda dalam situasi informasi yang tidak seimbang assymentric information. Pihak pemilik principal memiliki sebuah tujuan akhir yang ingin dicapai, untuk mencapai tujuan itu maka didelegasikanlah pekerjaan kepada pihak pengelola agent. Selain dalam hierarki perusahaan, teori ini juga dapat berlaku dalam konteks pemerintahan, dimana pemerintah daerah eksekutif-legislatif sebagai pengelola agent sementara rakyat pemilih adalah pemilik principal. Pada kondisi ideal, pemilik bisa mengawasi penuh kinerja pengelola, agar tujuannya dapat tercapai. Tapi kondisi ideal ini sering tidak terjadi karena biaya mengawasi pengelola setiap saat terlalu tinggi dan pengelola juga memiliki kepentingan pribadi yang ingin dicapai. Pada celah inilah dapat terjadi korupsi, celah ini dapat dimasuki oleh pihak ketiga yang menawarkan imbalan pada agent untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan pihak ketiga, walaupun tidak sesuai tujuan dari principal. Transaksi antara agent dan pihak ketiga belum tentu selalu berupa korupsi atau merugikan perekonomian, seperti halnya perburuan rente. 57 Todaro.MP, Smith.SC, op.cit, hal 51. 58 Swaleheen M, Stansel D, Economic Freedom, Corruption and Growth, Cato Journal, Vol.27, No.3, 2007, hal 343-358. 59 Zachrie R, Wijayanto, op.cit, hal 117-119. 38 Teori yang kedua adalah rent seeking theory, menurut Aidt 2003 ada tiga kondisi dibawah ini yang mendorong terjadinya korupsi 60 : 1. Kekuasaan atau otoritas yang diskretif. Artinya, pejabat publik memiliki wewenang, baik legal maupun tidak untuk menentukan bagaimana sebuah keputusan atau kebijakan dijalankan. 2. Potensi bagi terciptanya rente ekonomi. 3. Institusi yang lemah. Tanpa adanya sanksi, pengawasan dan penegakan aturan yang ketat dan konsisten, maka rente ekonomi bukan hanya sekedar potensi, tapi akan terealisasi. Istilah rente dalam ekonomi politik yang digunakan pada penelitian ini bermakna negatif, walaupun sesungguhnya kata rente atau sewa dapat dimaknai secara netral. Menurut Adam Smith, sewa adalah salah satu balas jasa faktor produksi. Upah adalah balas jasa untuk tenagakerja, keuntungan bagi pengusaha, sementara rente adalah balas jasa bagi aset, seperti bunga pinjaman, sewa tanah atau bangunan. Oleh karena itu, konsep rent seeking dalam ekonomi klasik tidak dimaknai secara negatif sebagai kegiatan ekonomi yang menimbulkan kerugian, bahkan bisa berarti positif karena dapat mendorong kegiatan ekonomi secara simultan, seperti seseorang yang ingin mendapatkan keuntungan. Tetapi pemburu rente dalam kajian ekonomi politik adalah perburuan pendapatan dengan cara monopoli, lisensi, dan penggunaan modal kekuasaan dalam bisnis. Pengusaha memperoleh keuntungan dengan cara bukan persaingan yang sehat dalam pasar . Kekuasaan dipakai untuk memengaruhi pasar sehingga mengalami distorsi untuk kepentingannya. Maka rent seeking tidaklah dimaknai secara netral, tapi dilihat melalui kacamata yang negatif. Asumsi awalnya adalah setiap kelompok kepentingan self interest berupaya mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dengan upaya effort yang sekecil-kecilnya. Persoalannya adalah, jika produk dari lobi tersebut berupa kebijakan , maka implikasi yang muncul bisa sangat besar. Seperti yang diungkap oleh Olson 1982 proses lobi dapat berdampak kolosal karena melibatkan proses pengambilan keputusan decision marking 60 Aidt TS, Economic Analysis of Corruption: A Survey, The Economic Journal ,Vol.113, No.491, November 2003, hal 2. 39 berjalan sangat lambat dan ekonomi akhirnya tidak bisa merespon secara cepat terhadap perubahan-perubahan dan teknologi baru 61 . Kelompok kepentingan ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari rente rent seeking melalui proses politik dengan memengaruhi kebijakan. Dengan adanya praktek perburuan rente yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, kebijakan yang dibuat pemerintah hanya menghasilkan inefisiensi. Hal tersebut mencerminkan tidak bertemunya kepentingan para pelaku, yaitu masyarakat dan pemerintah politisi dan birokrat. Teori ekonomi perburuan rente rent seeking economic theory menjelaskan hubungan pengusaha dengan pemerintah. Pengusaha selalu mencari preferensi atau keistimewaan dari pemerintah dalam bentuk lisensi, kemudahan, proteksi, dan sebagainya untuk kepentingannya 62 . Mallarangeng 2002 memaparkan bahwa pada pemerintahan Orde Baru, kegiatan rent seeking dapat ditelusuri dari persekutuan bisnis besar yang menikmati fasilitas monopoli maupun lisensi impor dengan birokrasi pemerintah. Perusahaan-perusahaan swasta itu sebagian besar dikuasai oleh mereka yang mempunyai hubungan pribadi dengan khusus dengan elite pemerintah, dan dalam banyak kasus dengan Soeharto. Dengan fasilitas tersebut mereka sekaligus memperoleh dua keuntungan: mendapatkan laba yang berlebih supernormal profit dan mencegah pesaing masuk pasar 63 . Dengan lisensi khusus tersebut, maka dengan mudah pelaku yang lain tidak bisa masuk pasar. Karena itu , perilaku perburu rente ekonomi biasanya merupakan perilaku antipersaingan atau menghindari persaingan. Menurut Yustika 2008 perburuan rente rent seeking dapat didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumberdaya yang dimiliki 64 . Krueger 1974 mengidentifikasikan bahwa prilaku pencarian rente rent seeking behavior merupakan usaha-usaha 61 Yustika AE,Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori dan Strategi, Jatim:. Bayumedia Publishing, 2008, hal 140. 62 Ibid , hal 38. 63 Ibid,hal 141. 64 Ibid, hal 140. 40 yang dilakukan pemerintah dalam melakukan berbagai hambatan retriksi melalui regulasi sehingga orang per orang harus bersaing untuk mendapatkan rente tersebut. Kadang-kadang bentuk persaingan untuk mendapatkan rente tersebut sangat legal , tetapi juga dapat dalam bentuk-bentuk lain, seperti penyuapan, korupsi, penyeludupan dan pasar gelap 65 . Sedangkan Steven 1993 mendefinisikan pencarian rente sebagai usaha dengan menggunakan proses politik political process sedemikian sehingga mengizinkan perusahaan atau kelompok perusahaan untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang melebihi biaya imbangan opportunity cost-nya 66 . Dari berbagai pemaparan dan definisi di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa perburuan rente rent seeking adalah usaha individukelompok kepentingan memengaruhi proses politik political process untuk memperoleh rente ekonomikeuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya laba berlebihsupernormal profit dengan upaya effort yang sekecil-kecilnya. Dimana sumber rente adalah kekuatan monopoliwewenang yang diperoleh dari pemerintah. Sebagai upaya untuk memahami kebijakan ekonomi yang menganjurkan kebijakan monopoli dapat dilihat dalam Gambar 7, yang diadaptasi dari Tullock1988 dalam Yustika 2008 67 . Sumbu horizontal merupakan jumlah komoditas, dalam hal ini contohnya adalah gandum, yang bisa diproduksi dengan dengan harga CC, sedangkan permintaan gandum ditunjukan oleh garis DD, yang menunjukan beragam kesuburan lahan. Pasar Kompetitif ditunjukan oleh unit Q, karena pada titik tersebut kurva permintaan,DD, mengenai garis bawah diasumsikan dalam situasi ini adanya informasi yang sempurna dan tidak ada biaya transaksi. Sedangkan titik keseimbangannya adalah pada harga P dan lahan dengan kualitas rendah tidak subur, yakni disisi kanan Q,tidak ditanami. Pada titik ini sewa lahan Ricardian adalah area diatas CC dan di bawah P, dan pemilik lahan gandum akan berproduksi untuk mengumpulkan gandum. 65 Riyanto, Loc.cit, hal 14. 66 ibid. 67 Yustika, Op cit. 41 Sumber: Tullock dalam Yustika,2008. Gambar 7. Biaya Monopoli Akibat Prilaku Pencarian Rente. Sekarang pemilik gandum dapat berinvestasi dengan biaya yang lebih murah, bahwa mereka dapat mengorganisasikan kartel atau monopoli, agar dapat mengendalikan akan drive up harga melalui pembatasan produksi. Perilaku inilah yang biasa disebut dengan mencari rente rent seeking. Hasilnya adalah produksi di batasi menjadi Q1, dengan konsekuensi meningkatnya harga menjadi P1. Maka akan ada dua konsekuensinya yaitu: 1 keuntungan area segiempat di transfer dari konsumen ke produsen pemilik monopoli, 2Masyarakat mengalami kerugian yang direpresentasikan dalam gambar segitiga abu-abu, wilayah tersebut adalah keuntungan yang diperoleh konsumen melalui pembelian antara unit Q1 dan Q jika harga tidak mengalami kenaikan. Keberpihakan keputusan pemerintah terhadap kelompok tertentu, dipicu oleh kegiatan rent seeking. Kelompok atau individu berusaha memanfaatkan kekuasaan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan bagi diri dan kelompoknya. Namun prilaku rent seeking juga bukan hanya dimiliki oleh pihak pengusaha, tapi juga pemerintah eksekutifbirokrasi dan legislatif. Pada awalnya adanya kegagalan pasar market failure merupakan salah satu sebab pemerintah turun tangan dalam perekonomian untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang optimal. Peranan pemerintah tidak selalu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bahkan secara sistematis terjadi kegagalan pemerintah government failure. Kunio 1991 berpendapat bahwa D C D P P C Q Q 42 kapitalisme di Asia Tenggara menjadi ersatz capitalsm kapitalisme semu, hal ini terjadi karena terlalu banyaknya campur tangan pemerintah sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas dan mengakibatkan kapitalisme tidak dinamis. Hal ini menimbulkan perburuan rente di kalangan birokrat, menyebabkan wiraswasta tidak mampu berkembang 68 . Walaupun demikian solusi yang ditawarkan Kunio tidaklah berpihak pada ekonomi liberal, yang menyatakan perkembangan ekonomi semakin baik tanpa campur tangan pemerintah. Jadi terapi yang disarankan bukanlah menggurangi campur tangan pemerintah melainkan memperbaiki kualitas campur tangan pemerintah, “Campur-tangan pemerintah merupakan faktor utama bagi pembangunan industri dan pertumbuhan ekonomi di Jepang, sejak usainya perang dunia kedua ”. Selain itu Kunio juga menyarankan peningkatan kemampuan teknologi dimana pendidikan sains dan teknologi harus menjadi prioritas dibandingkan ilmu sosial, hal ini untuk mencapai pembangunan yang mandiri, karena kapitalisme Asia Tenggara kebanyakan bergerak di bidang jasa, walaupun di bidang industri hanyalah berperan sebagai kaptalisme komprador bertindak sebagai agen industri manufaktur asing di negeri sendiri. Namun prilaku perburuan rente oleh pemerintah juga dapat dipahami melalui proses politik yang sebelumnya telah terjadi. Sistem pemilu yang diadopsi Indonesia saat ini, adalah sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, sejauh ini biaya terbesar yang dikeluarkan partai politik adalah untuk keperluan kampanye. Pendanaan partai politik di Indonesia lebih banyak bergantung pada bantuan pemerintah dan korporasi, pedahal ada pendapat yang menekankan bahwa partai politik tidak perlu didanai dengan uang publik melalui negara, bagi pendukung pendapat ini, sumber-sumber pendanaan yang berasal dari subsidi negara ataupun sumbangan korporasi adalah sesuatu yang patut dicurigai karena membuka peluang bagi praktik-praktik yang merupakan daerah abu-abukoruptif. Secara implisit, asumsi dari pendapat ini adalah bahwa politisi-politisi dari partai 68 Kunio Y, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta:LP3ES, 1991,hal xiv-xv. 43 politik adalah berkarakter sebagai rent seeker yang selalu bertujuan memperkaya diri sendiri 69 . Teori pilihan publik Public choice theory 70 dapat menjelaskan prilaku aktor politik di dalam pasar politik . Anggaran adalah barang publik yang menjadi objek pertukaran atau kontrak antara pemerintah dan rakyatnya. Pemerintah adalah politisi pemenang pemilu, sedangkan masyarakat adalah konsumen publik yang berharap agar anggaran dapat dimanfaatkan untuk pendidikan, kesehatan, keamanan, infrastruktur dan barang publik lainnya. Pasar politik adalah titik pertemuan kontraktual antara pemilih dan politisi, baik dalam pemilihan umum , pembuatan undang undang, kebijakan ekonomi, kebijakan anggaran maupun kebijakan publik lainnya. Seperti pasar barang dan jasa, pemilih voters dianalogikan sebagai pembeli, yang berharap mendapat manfaat dari keputusannya memilih politisi atau partai politik, sedangkan politisi berperan sebagai political seller, seperti pengusaha yang ingin mendapatkan keuntungan, politisi menjual kebijakan publik dan program-program kesejahteraan masyarakat yang disebut komoditas publik. Selain voters dan politisi, dalam pasar politik juga ada distributor yang berperan mendistribusikan komoditas publik atau tepatnya menjalankan kebijakan yang diputuskan oleh politisi atau partai yang berkuasa, yaitu adalah para pekerja resmi yang dibayar oleh pemerintah birokrat. Proses di pasar politik dipandang sebagai perilaku individu, bukan kolektif, karena hasil yang diperoleh bukan merupakan pertemuan antara kepentingan para pelaku. Pemilih menentukan pilihan berdasarkan keinginannya, sedangkan politisi memikirkan kepentingannya kepentingan pribadikelompok dan birokrat akan bertindak memaksimalkan anggaran. Dalam memaksimalkan anggaran, birokrat dapat mengalokasikannya dengan menjual program-program yang akan dijual kepada rakyat, sesuai keputusan partai politik yang berkuasa. Birokrasi memperkuat sistemnya dengan menambah kotak-kotak jabatan, staf dan 69 Vermonte PJ, Mendanai Partai Politik: Problem dan Beberapa Alternative Solusinya, Analisis CSIS , Vol.41,No.1,Maret 2012. Hal 84-85. 70 Rachbini DJ, Teori Bandit, Jakarta: RMBOOKS, 2008,hal 14-17. 44 sebagainya dalam instansi, tindakan demikian yang membuat anggaran pemerintah semakin membengkak. Secara rasional, hal tersebut adalah tindakan pelaku ekonomi dalam memaksimalkan utilitasnya homo economicus. Pasar politik harusnya bertumpu pada tujuan memaksimalkan manfaat untuk publik berubah menjadi pasar ekonomi untuk kepentingan pribadi. Kegagalan demokrasi di Indonesia dan negara berkembang lainnya terjadi karena pasar politik yang rapuh, akibatnya banyak pasar politik yang tidak transparan, di dalam proses politik. Idealnya, pasar politik yang kompetitif political competitiveness market memiliki ciri yang transparan, setiap calon politisi eksekutif-legislatif yang masuk kepada pasar politik adalah manusia-manusia unggul dengan latar belakang yang dapat dipertanggungjawabkan, mereka dikenal masyarakat sebagai abdi publik yang mengabdi untuk kesejahteraan rakyat. Pasar politik jenis ini akan menghasilkan politisi yang berkualitas. Sedangkan pasar politik yang oligopoli menghasilkan politisi pemburu rente ekonomi economic rent seeking, mereka memiliki kepentingan pribadikelompokkartelnya yang akan mendistori barang publik anggaran dan mengabaikan kepentingan publik. Mereka inilah yang dikenal sebagai bandit politik 71 , yang mengambil kekayaan dari masyarakat dalam jumlah besar dengan prilaku perburuan rente yang melekat pada mereka, mereka berupaya terus memaksimalkan anggaran dengan dalih untuk pembangunan publik. Dibandingkan legislatif, birokrasi memiliki informasi lebih banyak informasi asimetrik akibat kepentingannya sendiri birokrasi cenderung memaksimalkan anggaran. Meski demikian, menurut Bayley 72 korupsi dapat bermanfaat sebagai alat untuk meredakan ketegangan antara birokrasi dan politisi, karena dapat membawa kedua belah pihak ini kedalam jaringan kepentingan pribadi masing-masing. Birokrasi dapat didefinisikan sebagai berbagai departemen yang menangani penyediaan jasa yang dihasilkan oleh pemerintah 73 . Setiap biro tidak 71 Istilah bandit politik dikutip dari Olson, Power and Prosperity, 2000, dalam Rachbini DJ, Teori Bandit , ibid, dijelaskan pada bab 3, hal 21-39. 72 Bayley dalam Pope J, op.cit,hal 15. 73 Mangkoesoebroto G, Ekonomi Publik, Yogyakarta:BPFE, 1993,hal 52. 45 memperoleh keuntungan dari penjualan output yang dihasilkan, melainkan dibiayai dengan memberikan gaji. Sesuai dengan Analisis Ekonomi mengenai birokrasi yang dikemukakan Niskanen, menyatakan bahwa birokrasi sebagaimana juga dengan orang lain, adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya, dalam hal ini adalah gaji, jumlah karyawan, reputasi, dan status sosialnya. Karena fungsi utilitas birokrat berkaitan dengan besarnya anggaran, maka seorang birokrat yang berusaha mencapai kepuasan yang optimal dengan memaksimumkan anggaran pemerintah. Seorang birokrat bukanlah orang yang netral terhadap proses pembuatan anggaran, maka birokrat akan cenderung menghasilkan barang atau jasa yang lebih besar daripada yang seharusnya, sehingga terjadi inefisiensi dalam penggunaan sumber ekonomi oleh pemerintah. Analisis Niskanen dapat dijelaskan dalam Gambar 8 74 , kurva CFD menunjukan kurva permintaan sedangkan kurva LRMC=LRAC menunjukan biaya marginal dan biaya rata-rata jangka panjang yang kita asumsikan mempunyai struktur biaya konstan constant return to scale . MR menunjukan kurva penerimaan marginal. Perusahaan swasta yang berada dalam posisi monopoli akan menentukan tingkat output sebesar Q1, menetapkan harga sebesar 0P1 dan memperoleh keuntungan monopoli sebesar P1CBP2. Sebuah perusahaan yang tidak 74 Ibid , hal 53-54. Sumber : Niskanen dalam Mangkoesoebroto, 1992. Gambar 8. Penentuan Output Oleh Birokrat MR Q1 P2 P1 C F G D B Q2 Q3 A 46 memperoleh keuntungan akan menghasilkan output sebesar 0Q2 dan akan menetapkan harga sebesar 0P2. Kita asumsikan birokrat memperoleh anggaran sebesar 0P2AQ3 yang ditentukan oleh proses politik. Birokrat tersebut akan cenderung menghasilkan output sampai dengan 0Q3 yang lebih besar dihasilkan daripada pengusaha monopolis dan pengusaha yang tidak mementingkan keuntungan. Apabila 0P2 merupakan tingkat harga yang menjamin pareto optimal maka seorang monopolis cenderung akan menghasilkan output dibawah tingkat output optimum, sebaliknya seorang birokrat akan menghasilkan output yang lebih besar daripada output optimum. Keduanya menimbulkan welfare loss. Pada kasus pengusaha monopolis, welfare loss sebesar CBF dan pada kasus birokrat sebesar FAG yang merupakan pengurangan kesejahteraan dan merupakan kerugian bagi seluruh masyarakat. Perilaku memaksimalkan anggaran dengan dalih untuk pembangunan publik oleh para pencari rente ekonomi ini dapat dideteksi dengan gagalnya usaha pembangunan di suatu daerah. Pasar kompetitif merupakan contoh baik dimana kepentingan pribadi di transmutasikan ke dalam kegiatan produktif yang mengarah kepada pemanfaatan sumber daya secara efisien 75 . Jika para pejabat tinggi termasuk kepala negaradaerah, berburu rente untuk keuntungan pribadi, mereka akan berpihak pada komposisi dan jangka waktu investasi yang tidak efisien. Pada tahun-tahun terakhir pemerintahan presiden Soeharto, semakin terlihat sikap berburu rente anak-anak Soeharto dan kroni-kroninya yang meningkat karena kecemasan mereka akan masa depan 76 . Para pejabat yang korup mendistorsi pilihan sektor publik demi meningkatkan rente yang besar bagi dirikelompok mereka sendiri, dan menghasilkan kebijakan publik yang tidak efisien dan adil, yang pada akhirnya menghasilkan banyak proyek yang tidak tepat guna dan harus membayar terlalu mahal untuk proyek- proyek yang pada dasarnya bermanfaat. Proyek-proyek besar melibatkan dana pembangunan besar, dampaknya nanti terhadap anggaran pemerintah dan pertumbuhan negara. Proyek-proyek 75 Ackerman SR, 2006, Korupsi dan Pemerintahan : Sebab, akibat dan reformasi,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal 3. 76 Ibid, hal 44. 47 trsebut adalah lahan bagi pejabat tinggi untuk bermitra dengan Multi National Coorporation MNC maupun mitra lokal. Perilaku berburu rente para pejabat tinggi mengakibatkan mereka lebih menyukai proyek-proyek “mercusuar” yang sedikit saja kegunaannya untuk kemajuan ekonomi, mereka lebih suka proyek umum dengan keuntungan jangka pendek yang intensif modal dibandingkan pembelanjaan umum lainnya. Proyek-proyek tersebut mendatangkan jenis korupsi suap yang merupakan keuntungan sekarang jangka pendek bagi para pejabat korup, proyek jangka pendek juga dapat diatur sedemikian rupa agar besar keuntungan dapat dibagi diantara pemerintah dan perusahaan, sedangkan dibandingkan dengan proyek jangka panjang keuntungan yang dapat dirasakan membutuhkan waktu yang lebih lama. Para pejabat yang pada masa kini berkuasa, belum tentu berkuasa pada masa yang akan datang, rasa tidak aman mendorong mereka untuk terus mencuri lebih banyak lagi. Hal tersebut dapat berdampak pada krisis fiskal, mendorong terlalu banyak proyek padat modal dan lisensi untuk mengelola sumber daya alam. Keuntungan yang seharusnya masuk ke kas negara akan jatuh kepada para pencari rente ekonomi yaitu pejabat korup dan kontraktor swasta, dalam kenyataannya kurang jelas apakah pemerintah pihak swasta yang dominan karena mereka bekerjasama untuk memperoleh keuntungan bersama. Korupsi telah dianggap sebagai salah satu bentuk rente. Ini dipandang sebagai sarana khusus oleh pihak swasta yang mungkin berusaha untuk mengejar kepentingan mereka dalam kompetisi untuk perlakuan istimewa. Sama seperti bentuk-bentuk rente, korupsi merupakan cara untuk melepaskan diri dari tangan tak terlihat invisible hand dari kebijakan pasar 77 . Namun tidak semua korupsi itu adalah prilaku perburuan rente, dan tidak semua prilaku perburuan rente adalah korupsi, pada penelitian ini korupsi yang di teliti adalah yang mencakup perburuan rente ekonomi. Dengan berbagai pengertian pencarian rente dan berbagai uraian diatas, fenomena korupsi dapat dipahami terjadi karena perilaku pencarian rente dari badan pemerintah dan 77 Lambsdroff JD,Corruption and Rent Seeking, Nedherlands: Kluwer Academic Publisher, Public Choice 113, 2002, hal 104. 48 perusahaan yang berusaha membuat kebijakan regulasi dari sebuah proses politik yang pada akhirnya menciptakan peluang untuk korupsi.

2.1.6 Desentralisasi

Desentralisasi pada dasarnya merupakan implementasi paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah. Tiebout hypothesis berargumen bahwa dengan diberikannya kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan merumuskan sendiri kebijakan daerahnya, selama tidak bertentangan dengan pemerintah pusat, akan memicu kompetisi yang sehat antar Pemda untuk dapat menyediakan public goods yang memenuhi preferensi masyarakat 78 . Desentralisasi atau otonomi daerahkhusus di Indonesia dimulai sejak berlakunya Undang-Undang Nomer 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-Undang Nomer 51974, diimplementasikan sejak anuari 2001 79 . Kemudian Undang-Undang Nomer 22 tahun 1999 diperbarui dengan Undang-undang Nomer 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk menyesuaikan dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan,dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah ke daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia 80 . Daerah otonomdaerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia 81 . Menurut Oates 82 dasar pelaksanaan desentralisasi adalah: a. Negara yang luas wilayahnya tidak mungkin melakukan sentralisasi. b. Sentralisasi menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan. 78 Stiglitz J, Economics of Public Sector 3 rd edition, New York:W.W. Norton Company,2002. hal 734-736 79 Taufik .R, Maria .P,Dewi .D, Op.cit, hal 14. 80 Pasal 1 ayat 7 UU No.322004 81 Pasal 1 ayat 6 UU No.322004 82 Oates1999 dalam Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, ppt. Ditjen BAKD Depdagri, 2008. 49 c. Kebutuhan daerah lebih dikenal dan diketahui oleh orang yang tinggal di dalamnya. d. Desentralissi fiskal dan otonomi daerah lebih efisien dari manfaat dan pembiayaan. Tujuan desentralisasi adalah dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Tujuan yang hendak dicapai pada akhirnya adalah menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah dan meningkatkan daya saing dalam proses pertumbuhan 83 . Desentralisasi mencakup aspek-aspek politik political decentralization, administratif administrative decentralization , dan fiskal fiscal decentralization 84 ,yaitu: a. Desentralisasi politik adalah pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan. b. Desentralisasi administrasi, merupakan pelimpahan kewenangan, tanggungjawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan. c. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi. Pelaksanaan desentralisasi akan berjalan dengan baik dengan berpedoman terhadap hal-hal sebagai berikut 85 : 1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan law enforcement 2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah 3. Stabilitas politik yang kondusif 83 Widjaja HAW, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta : Rajawali Pers, 2009, Hal 42. 84 Litvack1999 dalam Suparno2010, Loc.cit, hal 14. 85 Ibid, hal 16. 50 4. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan mempengaruhi keputusan- keputusan tersebut 5. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah 6. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat. Dimensi desentralisasi yang paling menonjol dalam Undang-Undang 221999 ini antara lain: desentralisasi keuangan, politik dan hubungan antara lembaga pemerintah di tingkat lokal yang ditandai dengan kuatnya kedudukan lembaga legislatif dibandingan lembaga eksekutif. Pada tahun 2004, dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono SBY bersama DPR mengubah UU No.221999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU No.322004 tentang Pemerintah Daerah yang pada intinya mengurangi kekuasaan DPRD atas kepala daerah, terutama dengan diadakannya pemilihan kepala daerah secara langsung, namun kekuasaan DPRD masih cukup besar terutama dalam hal controling, legislasi dan budgeting. Dalam rangka desentralisasi keuangan berlaku UU No.251999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dengan perubahannya UU No. 332004 yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, yang ditetapkan dengan peraturan daerah 86 . 86 UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. 51 Tabel 1 . Perubahan Setelah Desentralisasi 87 No Item Perubahan UU 51974 UU 221999 1 Struktur Pemda DPRD bagian dari eksekutif DPRD berdiri sendiri 2 Pemilihan Kepala Daerah Hak Prerogatif pemerintah pusat Hak Prerogatif DPRD 3 Pengawasan Eksekutif mengawasi DPRD DPRD mengawasi Eksekutif 4 Hak DPRD Hak DPRD dibedakan dari Hak anggota DPRD Hak DPRD sekaligus adalah hak anggota DPRD 5 Anggaran DPRD Ditentukan dan di kelola eksekutif Ditentukan dan dikelola DPRD 6 Panggilan DPRD kepada pejabat atau masyarakat Diwakilkan pada bawahan atau ditolak DPRD dapat mengenakan sanksi bagi yang menolak 7 Eksplorasi Sumberdaya Alamdaerah DPRD tidak tahu menahu mengenai perjanjian menyangkut eksploitasi SDA Daerah. DPRD Diberi kewenangan untuk memberi pendapat dan pertimbangan. 8 Hak penyelidikan DPRD Tidak pernah digunakan karena tidak pernah ada UU yang mengaturnya Hak Tersebut diatur sendiri oleh DPRD dalam tata tertib DPRD 9 Pelaksanaan aspirasi masyarakat DPRD hanya menampung dan menyampaikan kepada eksekutif. DPRD dapat tugas menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. 10 Fraksi DPRD Hanya ada 3 fraksi Bisa terdapat lebih dari 5 Fraksi Dengan adanya desentralisasi fiskal maka struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD terdiri atas 88 : • Anggaran pendapatan, yang meliputi : 1. Pendapatan Asli Daerah PAD, yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain. 87 Taufik .R, Maria .P,Dewi .D, Loc.cit, hal 14. 88 http:www.djpk.depkeu.go.id diakses 15062012 Sumber : Otonomi Daerah Proyeksi dan evaluasi ,Yayasan Habibie Center ,2003 . 52 2. Bagian dana perimbangan yang merupakan dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi fiskal , yang terdiri dari: a. Dana Bagi Hasil DBH atas bagian daerah dari pajak bumi dan bangunan PBB, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan penerimaan atas sumber daya alam. b. Dana Alokasi Umum DAU adalah dana perimbangan yang dialokasikan untuk tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka desentralisasi. c. Dana Alokasi Khusus DAK adalah dana perimbanganyang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan tertentu. 3. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah seperti dana hibah atau dana darurat. • Anggaran belanja 1. Belanja tidak langsung belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bansos, bagi hasil dan bantuan keuangan. 2. Belanja langsung belanja pegawai, barang jasa, dan modal. • Pembiayaan Daerah 1. Penerimaan pembiayaan, yang meliputi: a. Sisa lebih penggunaan anggaran Silpa tahun sebelumnya b. Pencairan dana cadangan c. Hasil kekayaan daerah yang dipisahkan, d. Penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, 2. Pengeluaran pembiayaan, yang meliputi: a. Pembentukan dana cadangan b. Penyertaan modalinvestasi daerah c. Pembayaran pokok hutang. d. Pemberian pinjaman daerah. Penerimaan dana hibah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bersumber dari APBN, yang tidak mengikat dan telah dianggarkan dalam APBD 53 pada akun pendapatan, dalam kelompok pendapatan daerah lain-lain yang sah. APBD pada awalnya berfungsi sebagai pedoman pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah dalam satu periode. Sebelum anggaran di jalankan harus mendapat persetujuan dari DPRD maka fungsi anggaran juga sebagai alat pengawas dan pertanggung jawaban terhadap kebijakan publik. Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran merupakan power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat itu sendiri 89 . Karena diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat, APBD yang disusun harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu, Musgrave 90 menyebutkan bahwa sebuah anggaran pemerintah harus memenuhi fungsi alokasi alokasi penyediaan barang dan jasa publik yang tepat bagi masyarakat, distribusi fungsi ini untuk mengurangi kesenjangan antar kelompok kaya dan kelompok miskin dalam masyarakat dan stabilisasi biasanya dikaitkan dengan ukuran-ukuran ekonomi makro yang ingin dicapai oleh pemerintah daerah yang dianggap memperbaiki mempertahankan stabilitas ekonomi diwilayahnya, misalnya pengeluaran ditingkatkan untuk kegiatan sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi tinggi untuk pertumbuhan ekonomi daerah. Menurut Sopanah dan Wahyudi 91 , semenjak tingginya otoritas yang dimiliki DPRD, terjadi perubahan kondisi yang akhirnya melahirkan banyak masalah, yaitu : 1Sistem pengalihan anggaran yang tidak jelas dari pusat ke daerah, 2 karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat sering diabaikan, 3 esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih di pelintir oleh pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan sumber sumber pendapatan masih dikuasai pusat, sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya, 4 DPRD dimanapun masih mengalami kesulitan melakukan assessment prioritas kebutuhan rakyat yang harus di dahulukan dalam APBD. 5 volume APBD yang disusun oleh daerah meningkat hingga 80 persen dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah karena sedikit 89 Sopanah dan Wahyudi I, Loc.cit, hal 8. 90 Musgrave1989 dalam Rizak HB, Kebijakan Alokasi Anggaran: Studi Kasus Sulawesi Tengah, Analisis CSIS , vol.41no.1Maret 2012. 91 Sopanah dan Wahyudi I, Loc.cit. 54 banyak DPRD dan pemerintahan daerah perlu bekerja lebih keras dalam menyusun APBD, 6 meskipun masih harus melalui pemerintahan pusat namun pemerintah menurut Undang Undang No 25 tahun 1999 memiliki kewenangan untuk melakukan pinjaman daerah baik kedalam negeri maupun keluar negeri. Beberapa masalah tersebut mendorong beberapa kecenderungan, yaitu pertama, kecenderungan pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD dalam rangka otonomi daerah. Bagi daerah-daerah yang sumber daya alamnya miskin, akan memilih meningkatkan PAD dengan cara meningkatkan pajak, bahkan untuk daerah-daerah dengan sumber daya alam yang melimpah meningkatkan pajak adalah alternatif paling mudah, karena tidak perlu melakukan banyak investasi untuk mengeksplorasi SDA. Peningkatan pajak atau dengan mengurangi pelayanan masyarakat adalah pilihan meningkatkan PAD yang merugikan masyarakat, sesungguhnya PAD dapat ditingkatkan dengan cara lain, yaitu mengurangi inefisiensi pendapatan pemerintah. Kedua, Otoritas yang besar terhadap DPRD dengan tidak disertainya prngawasan sistematis, sangat memperbesar kemungkinan terjadinya suap terhadap DPRD dalam menyetujui suatu pos anggaran tertentu, yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh rakyat. Sehubungan dengan anggaran daerah Azis 2010 menggolongkan pemimpin daerah dalam beberapa tipe, yaitu tipe A, B, dan C. Tipe A adalah apabila kepala daerah bekerjasama dengan elit setempat membawa manfaat kesejahteraan bagi masyarakat dengan meningkatkan local budget.Tipe B adalah apabila kepala daerah bekerjasama dengan elit setempat untuk kepentingannya sendiri, tanpa berkontribusi pada local budget. Dan tipe C yaitu apabila kepala daerah tidak hanya bekerjasama dengan elit lokal untuk kepentingannya sendiri, tetapi juga melakukan korupsi dari local budget, seperti pemerintah daerah yang kleptokrat 92 . Secara teoritis terjadinya korupsi APBD dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya 1 regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, 2 karakteristik tertentu dari sistem perpajakan, dan 3 adanya provisi atas barang dan jasa di 92 Azis IJ, Wihardja MM, Theory of Endogenous Institution and Evidence from an In Depth Field Study In Indonesia, Economics and Finance in Indonesia vol 583, 2010.hal 316. 55 bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena 1 tradisi birokrasi yang cenderung korup, 2 rendahnya gaji di kalangan birokrasi, 3 kontrol atas institusi yang tidak memadai, dan 4 transparansi dari peraturan dan hukum 93 .

2.1.7 Indeks Persepsi Korupsi Transparency International

94 Corruption Perseption Index adalah indeks gabungan dari 13 survei oleh 10 lembaga independen yang mengukur persepsi tingkat korupsi di 178 negara di dunia. Rentang indeks antara 0 sampai dengan 10, 0 berarti dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih. Menurut laporan lembaga Transparancy International, angka Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2010 adalah 2.8 atau berada di peringkat ke-114 dari 178 negara yang disurvei. Nilai Indeks Persepsi Korupsi IPK Indonesia sama dengan Bolivia, Gabon, Benin, Kosovo, dan Kepulauan Solomon. IPK Indonesia lebih rendah dibandingkan Singapura 9.3 yang tertinggi di Asia Tenggara, Brunei Darussalam 5.5, Malaysia 4.4, dan Thailand 3.5. Indonesia 2.8 hanya lebih baik dibandingkan Vietnam 2.7, Timor Leste 2.5, Filipina 2.4, Kamboja 2.1, dan Myanmar 1.4. Dalam situasi pemberantasan korupsi di Indonesia yang tidak jelas arah strateginya ini, tampaknya kehadiran instrumen pengukuran yang bisa dipertanggungjawabkan metodenya paling tidak bisa memberikan arah dalam menyusun skala prioritas pencegahan maupun penindakan korupsi. Transparency International meluncurkan Corruption Perception Index CPI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK mengeluarkan hasil Survei Integritas 2010, Transparency International-Indonesia TI-Indonesia menyampaikan pada publik Indeks Persepsi Korupsi Indonesia IPK Indonesia. IPK Indonesia adalah instrumen pengukuran tingkat korupsi di kota-kota Indonesia. Berbeda dengan CPI yang mengukur tingkat korupsi negara-negara di dunia berdasarkan gabungan beberapa indeks, IPK Indonesia dibuat berdasarkan survei yang metodenya dikembangkan oleh TI-Indonesia. Pada tahun 2008 dan 93 Tanzi 1998 dalam Sopanah dan Wahyudi I, Loc.cit, hal 9. 94 http:www.ipkindonesia.org ,30112011. 56 2010 survei dilakukan dengan cara wawancara tatap muka terhadap 9237 responden terdiri dari para pelaku bisnis, tokoh masyarakat, dan pejabat publik antara bulan Mei sampai dengan Oktober. IPK Indonesia mengukur tingkat korupsi di 50 kota di seluruh Indonesia, meliputi 33 ibukota provinsi ditambah 17 kotakabupaten lain yang signifikan secara ekonomi. Sejak pelaksanaan survei ini pertama kalinya pada tahun 2004, metode riset IPK-Indonesia telah berubah beberapa kali. Perubahan ini ditujukan untuk membuat instrumen pengukuran korupsi ini lebih bisa diandalkan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun pada dasarnya, ada hal-hal yang bersifat fundamental yang tidak berubah dari awal survei ini dirancang. IPK Indonesia menggunakan metode survei persepsi dengan pendekatan kuantitatif. Metode pengambilan sampel menggunakan quota sampling. Total sampel ditentukan secara sengaja purposive, kemudian dibagi secara proporsional berdasarkan tingkat populasi masing-masing kota. Pemilihan kota yang di survei berdasarkan kota-kota yang disurvei oleh Badan Pusat Statistik BPS untuk survei inflasi tahunan. Indeks diambil berdasarkan pengukuran yang didasari persepsi responden, terhadap beberapa variabel-variabel jenis korupsi. Variabel-variabel ini merupakan konsep turunan dari jenis-jenis korupsi yang terdapat di Undang- UndangUU No. 312009 junto UU No. 202001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengukuran menggunakan skala antara 0-10, dengan indikator pengukuran yaitu; Lazim atau tidaknya tindak pidana korupsi tertentu terjadi di kota yang bersangkutan dan serius atau tidaknya pemerintah daerah dan penegak hukum setempat dalam pemberantasan korupsi. Secara lebih terperinci IPK Indonesia disusun dari 11 variabel persepsi, yang terdiri dari : a. Variabel persepsi tentang suap : 1. Mempercepat proses perizinan usaha. 2. Mempercepat prosedur untuk pelayanan umum. 3. Memberikan kelonggaran dalam membayar pajak daerah. 4. Memenangkan kontrak proyek pemerintah. 5. Mendapatkan keputusan hukum yang menguntungkan. 57 6. Mempengaruhi pembuatan kebijakan regulasi. b. Variabel persepsi korupsi : 1. Gratifikasi. 2. Pemerasan. 3. Konflik Kepentingan. c. Usaha Pemerintah daerah dalam memberantas korupsi : 1. Keseriusan aparat pemerintah daerah memberantas korupsi. 2. Keseriusan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi Tahun 2010, Kota Denpasar mendapatkan skor paling tinggi 6.71, disusul Tegal 6.26, Solo 6.00, Jogjakarta dan Manokwari 5.81. Sementara kota Cirebon dan Pekanbaru mendapatkan skor terendah 3.61, disusul Surabaya 3.94, Makassar 3.97 dan Jambi 4.13. Kota-kota dengan skor tertinggi mengindikasikan bahwa para pelaku bisnis, tokoh masyarakat dan pejabat publik di sana menilai korupsi mulai menjadi hal yang kurang lazim terjadi, dan usaha pemerintah dan penegak hukum di sana dalam pemberantasan korupsi cukup serius.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian terdahulu mengenai korupsi dilakukan dengan membangun model ekonomi dalam tingkat mikro yaitu pada level individu, biasanya riset ini dilakukan pada agen pemerintah. Sedangkan seiring dengan munculnya berbagai lembaga yang mengeluarkan indeks persepsi korupsi, sebagai variabel yang dapat mengukur tingkat korupsi, maka munculah berbagai penelitian kuantitatif yang biasanya mengkaji korupsi pada level lintas negara. Krueger 95 dan Ackerman 96 mempelopori penelitian dalam tingkat mikro, yang mencoba memahami korupsi dari perilaku pencarian rente. Menurut mereka penyuapan korupsi menjadi masalah ekonomi karena terdeteksi sebagai perilaku pencarian rente oleh agen pemerintah. Perilaku pencarian rente membuat agen pemerintah menggunakan sebagian besar waktu potensial mereka untuk 95 Krueger 1974 dalam Riyanto, Korupsi dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah: Suatu Kajian Ekonomi Politik dan Budaya, Disertasi, Pascasarjana IPB, 2008, Hal 28. 96 Ackerman SR. Korupsi dan Pemerintahan : Sebab, akibat dan reformasi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2006. 58 keuntungan pribadinya, hal ini untuk mendapatkan pendapatan tambahan extra income untuk kebutuhan dasar, namun akhirnya berkembang menjadi upaya memperkaya diri. Shleifer dan Vinshy 97 menjelaskan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap perekonomian, karena korupsi bersifat rahasia secretive , walaupun bersifat seperti pajak, namun tidak sama karena korupsi menghindari penditeksian, uang suap sebagai sebuah kontrak tidak bisa dikuatkan di pengadilan. Dan ini membuat orang yang disuap untuk ingkar dan bahkan meminta suap yang lebih tinggi lagi. Beberapa pejabat yang disuap mungkin khawatir terhadap reputasi, namun kebanyakan dari mereka tidak peduli. Lambsdorff 98 berpendapat bahwa korupsi dapat dipahami sebagai bentuk perlakuan istimewa oleh para pembuat keputusan publik. Hal tersebut mengundang pihak swasta untuk mencoba mendapatkan keuntungan dari rente ekonomi yang dihasilkan dan bersaing satu sama lain dengan membayar suap. Dibandingkan dengan lobi kompetitif, korupsi umumnya dijelaskan sebagai bentuk monopoli rent-seeking. Rente disebut korupsi ketika kompetisi untuk perlakuan istimewa terbatas pada beberapa orang dalam. Nihjar 99 Corruption In Less Developed Countries:a study on the problem and solution of Corruption in Indonesia. Nihjar mendeskripsikan ide-ide dasar pemberantasan korupsi yang melihat dari faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu pertama, sistem administrasi yang memberikan peluang terjadinya kebocoran. Kedua, tingkat kesejahteraan aparatur rendah, hukum yang belum cukup untuk menangani perkembangan korupsi yang merajalela, dan kecenderungan kolusi yang sulit dibuktikan. Pencegahan dan penanggulangan yang perlu di tempuh dengan pendekatan multidimensional dan interdisipliner, dalam tiga kategori; 1 penyempurnaan dan pembaruan sistem administrasi,2 kenaikan kesejahteraan aparatur 3pembaruan sistem hukum pidana nasional untuk mencegah kolusi. 97 Shleifer A, Vinshy RW. Corruption. The Quarterly Journal of Economics, Vol 108, No.3.Aug,1993, 1993, pp 559-617. 98 Lambsdroff JD, Corruption and Rent Seeking. Nedherlands: Kluwer Academic Publisher, Public Choice 113, 2002, Hal 97-125. 99 Nisjar, K. Corruption In Less Developed Countries a study on the Problem and Sollution of Corruption in Indonesia, Jurnal Akuntansi 43, September, 2005, hal 260-265. 59 Riyanto 100 menganalisis Korupsi dalam Pembangunan Wilayah, dengan pendekatan faktor ekonomi politik dan budaya, hasilnya adalah lemahnya akuntabilitas politis seperti birokrasi di daerah kabupatenkota dan beberapa faktor seperti euphoria demokrasiotonomi ekonomi telah memunculkan berbagai masalah perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi sehingga peraturan daerah yang muncul cenderung bias kepentingan eksekutif birokrat dan legislatif serta kelompok kepentingan tertentu. Maka bibit korupsi sudah muncul sejak perumusan regulasi by design dan kemudian terjadi pada saat pelaksanaan dan pengawasan. Korupsi demikian seolah-olah legal Legalized Corruption. Faktor ekonomi politik dan budaya feodalilistik-paternalistik terwujud dalam budaya birokrasi patrimonial yang berpengaruh terhadap terjadinya korupsi. Selain itu, Riyanto juga mendeskripsikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada era otonomi daerah ternyata tidak berkualitas, hal tersebut karena meningkatnya pertumbuhan ekonomi pada masa otonomi daerah tidak mampu menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan. Sedangkan penelitian kuantitatif yang mencoba mengukur dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi menggunakan variabel korupsi indeks persepsi korupsi adalah Mauro 101 pertamakali meneliti dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi, dalam Corruption and Growth menggunakan data panel indeks persepsi korupsi Business International BI dari 70 negara, pada periode 1960-1985. Metode analisis dengan two-stage least squares regression 2SLS dan Ordinary Least Square OLS. Hasilnya adalah terdapat hubungan negatif dan signifikan antara korupsi dan pertumbuhan rata-rata tahunan, pada periode 1960- 1985, juga antara korupsi dan investasi. Rahman, Kisunko, Kapoor 102 dengan judul Estimating The Effect of Corruption Implications for Bangladesh. Data yang digunakan adalah indeks korupsi dari International Country Risk Guide ICRG index pada periode 1990- 1997 pada 63 negara di dunia. Dengam model panel statis . Hasilnya Korupsi 100 Riyanto. Korupsi dalam pembangunan ekonomi wilayah: suatu kajian ekonomi politik dan budaya. Disertasi. Pascasarjana IPB. 2008. 101 Mauro P. Corruption and growth, Quarterly Journal of Economics 1103: 681-712.1995. 102 Rahman A, Kisunko G, Kapoor K. Estimating the effect of Corruption Implication for Bangladesh.World Bank Report . 2000. www.worldbank.org 60 berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi asing dan domestik. Dewi 103 menganalisis Pengaruh Korupsi Terhadap Pertumbuhan, Investasi Domestik dan Foreign Direct investment. Dalam model pertumbuhan variabel- variabel bebas yang digunakan adalah GDPkapita, populasi, pendidikan dan indeks korupsi. Data indeks korupsi yang digunakan adalah indeks korupsi dari Political Economics Risk Concultancy pada 11 negara di asia tahun 1995-2000. metode analisis dengan panel statis . Hasilnya adalah Korupsi berhubungan negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi domestik, dan berhubungan negatif, namun tidak signifikan terhadap FDI. Maksudnya walaupun negatif namun investor asing lebih mempertimbangkan faktor lain seperti cost of doing business di Asia yang lebih kompetitif dibandingkan kawasan lain. Swaleheen dan Stansel 104 , dengan judul Economic Freedom, Corruption, and Growth . Data yang digunakan adalah data panel 60 negara. Dengan metode regresi panel dynamic. Dimana dalam modelnya menggunakan variabel utama Growth diproksi dengan pertumbuhan GDP perkapita dan Korupsi indeks korupsi dari International Country Risk GuideICRG variabel bebas lainnya adalah investasi, economic freedom dan variabel kontrol x misalnya seperti tingkat pertumbuhan populasi. Hasilnya Korupsi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi, ketika pelaku ekonomi memiliki pilihan yang sedikit kebebasan ekonomi rendah, Korupsi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi apabila memiliki banyak pilihankebebasan ekonomi tinggi. Prahara 105 menganalisis Disparitas Antar Wilayah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kalimantan Barat, walaupun tidak menyertakan variabel korupsi, namun penelitian ini menggunakan model pertumbuhan regional yang mengacu pada model pertumbuhan Mankiw,Romer,Weil MRW yang menyertakan human capital sebagai salah satu faktor determinan, yang di proksi dengan angka harapan hidup AHH untuk tingkat kesehatan, dan angka melek 103 Dewi. Analisis Pengaruh Korupsi Terhadap Pertumbuhan, Investasi Domestik dan Foreign Direct investment .Tesis. FEUI. 2002. 104 Swaleheen M, Stansel D, Economic Freedom, Corruption and Growth, Cato Journal,.273, 2007, hal 343-258. 105 Prahara G. Analisis Disparitas Antar Wilayah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat. Tesis. Pascasarjana FEM IPB. 2010. 61 huruf AMH juga rata-rata lama sekolah RLS untuk tingkat pendidikan. Dalam penelitiannya faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan anggaran pembangunanmodal LNAPBD, peningkatan angka harapan hidup LNAHH, peningkatan angka melek huruf LNAMH, peningkatan rata-rata lama sekolah LNRLS, pertumbuhan jumlah penduduk LNPNDDK, peningkatan panjang jalan LNPJLNT, peningkatan produksi listrik LNPPLN. Hasilnya adalah APBD, PDDK, AHH positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan AMH, RLS, PJLNT dan PPLN tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dibandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu, dalam penelitian ini pembahasan korupsi difokuskan pada korupsi di daerah termasuk korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja DaerahAPBD yang terjadi di salah satu daerah di Indonesia Provinsi Banten, yang diduga penyebabnya adalah faktor dalam proses politik di daerah dari maraknya rent seeking behavior oknum pelaku ekonomi dan pemegang kekuasaan, dan juga sekaligus menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi di level daerah. Selama ini penelitian-penelitian yang ada menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi dengan cakupan lintas negara, sedangkan penelitian ini menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia pada masa otonomi daerah di tahun 2008 dan 2010, hal ini seiring dengan dikeluarkannya indeks persepsi korupsi daerah 50 kabupaten kota pada tahun 2008 dan 2010 di Indonesia. . 62

2.3 Kerangka Pemikiran

Otonomi daerah yang ditandai dengan lahirnya UU Nomer 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomer 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, ternyata mengalami banyak permasalahan dalam implementasinya, salahsatunya adalah terkuaknya berbagai kasus korupsi di daerah dengan pelaku korupsi sebagian besar adalah para pemegang kekuasaan di daerah, dengan objek yang di korupsi adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Desentralisasi mencakup aspek-aspek politik political decentralization, administratif administrative decentralization , dan fiskal fiscal decentralization. Dalam penelitian ini akan membahas aspek politik dan fiskal yang kemudian nanti akan berkaitan dengan permasalahan korupsi. Desentralisasi politik memberikan kewenangan kepada daerah untuk melakukan pemilihan kepala daerah. Korupsi APBD ditenggarai disebabkan tingginya biaya dalam proses politik yang akhirnya menciptakan banyaknya aroma ketidakberesan dalam pelaksanaanya. Misalnya, sebelum seorang kepala daerah terpilih bahkan dalam banyak kasus sudah melakukan jenis korupsi gratifikasi, berupa politik uang. Untuk menangkap gambaran korupsi APBD di daerah, maka diperlukan cakupan sampel yang lebih sempit, maka studi kasus dugaan korupsi APBD dilakukan di salahsatu daerah di Indonesia, yaitu di provinsi Banten, menggunakan analisis teori ekonomi perburuan rente economic rent seeking theory. Provinsi Banten baru-baru ini melakukan pilkada untuk pemilihan Gubernur. Berdasarkan pemberitaan media massa dan hasil temuan ICW ada beberapa kejanggalan pembiayaan kampanye dalam proses pilkada tersebut, dan juga telah terjadi politik uang dengan berbagai modus operandi. Kejanggalan dalam pesta demokrasi tersebut disusul temuan berikutnya yaitu dugaan korupsi terhadap APBD 2011 yang melibatkan pos dana bantuan sosial dan hibah. Perburuan rente ekonomi oleh individukelompok kepentingan terhadap APBD Provinsi Banten diduga telah terjadi. Politik uang dilakukan dengan membagikan uang, barang, atau janji- janji kepada para calon pemilih. Besarnya biaya dalam proses kampanye 63 mendorong para calon kepala daerah untuk mendapatkan dukungan pembiayaan dari berbagai sumber yang illegal, misalkan dengan memanipulasi anggaran dan mendapatkan pembiayaan dari kalangan swasta yang memiliki kepentingan tertentu, dari sini politisi dan swasta sama-sama bertindak menjadi pemburu rente Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Pemilihan kepala daerah, pada akhirnya melahirkan pemerintah daerah yang akan memiliki kewenangan dalam aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan daerah dalam penelitian ini adalah peraturan daerah tentang APBD. Namun peraturan daerah yang akan ditetapkan tidak lagi murni bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi untuk menguntungkan segelintir pihak berkepentingan yaitu para pencari rente. Para pencari rente ekonomi dalam hal ini adalah mereka yang telah menginvestasikan uang mereka pada proses politik sebagai dukungan pembiayaan bagi para calon kepala daerah, dan juga para politisi itu sendiri. Dengan adanya desentralisasi fiskal yang merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi, maka daerah memiliki otoritas dalam menentukan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sendiri. APBD yang terbentuk berdasarkan berbagai keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Sejak APBD dirancang, saat itulah korupsi juga mulai direncanakan. Korupsi didaerah yang terjadi pada akhirnya memberikan dampak nyata terhadap pembangunan ekonomi regional maupun nasional. Indikator utama pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi, maka pada penelitian ini dampak korupsi dibatasi pada pertumbuhan ekonomi regional. Terakhir adalah melakukan evaluasi kebijakan. 64 Gambar 9. Kerangka pemikiran Ket : : Variabel yang diteliti : lingkup penelitian regional Banten : Variabel yang tidak diteliti : lingkup penelitian nasional Indonesia Desentralisasi Adiministrasi Desentralisasi Politik Desentralisasi Fiskal APBD Korupsi Analisa Kuantitatif: Dampak Korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional Indonesia Evaluasi Kebijakan Pilkada Peraturan Daerah Money politics Pemerintah Daerah Otoritas daerah menentukan pendapatan dan belanja daerah Analisa Deskriptif dan kualitatif : Perburuan Rente ekonomi Otonomi Daerah 65

3. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data yaitu data primer dan sekunder dari berbagai sumber untuk dua metode penelitian yang berbeda yaitu kualitatif dan kuantitatif mixed method sehingga diharapkan dapat menjelaskan fenomena korupsi di daerah yang terjadi di Indonesia. Lokasi penelitian dalam studi kasus korupsi adalah Provinsi Banten yang dipilih secara purposive, yaitu metode pengambilan sampel lokasi secara sengaja dengan mempertimbangkan tujuan penelitian, sedangkan untuk mengukur dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional menggunakan lingkup nasional dengan sampel 48 kabupatenkota provinsi di Indonesia sesuai dengan data persepsi korupsi yang diperoleh dari Transparency International .

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, Data Primer yang diambil sesuai dari kebutuhan penelitian yaitu hasil dari wawancara mendalam in depth interview kepada beberapa informan terkait. Data sekunder yang digunakan diambil dari dokumen-dokumen terkait seperti pemberitaan media massa, hasil penelitian, Indonesian Corruption Wacth ICW, Transparency Internasional, Badan Pusat Statistik BPS, Direktorat jendral Perimbangan Keuangan DJPK, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia BPK RI, Badan Pengawas Pemilu Provinsi Banwaslu dan KPUD Komite pemilihan Umum Daerah. Data yang diperlukan pada penelitian ini disusun berdasarkan tujuan- tujuan penelitian, jenis data, informasi yang diperlukan dan sumber data, yang secara ringkas disajikan pada Tabel 2. 66 Tabel 2. Tujuan Penelitian, Jenis dan Sumber Data yang diperlukan Tujuan Penelitian Jenis Data Data dan Informasi yang diperlukan Sumber data Menganalisis korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente di pemerintah Provinsi Banten . Primer Sekunder 9 Mekanisme korupsi APBD dalam perburuan rente ekonomi. 9 Data Audit LKPD Provinsi Banten TA 2011. 9 Data Audit Investigasi Dana Hibah Bansos Pemprov Banten TA 2011 9 Data Laporan Penerimaan dan Pengeluran Dana Kampanye. 9 Peraturan Terkait Dana Hibah dan Bansos. 9 Data Laporan Monitoring Pilkada Banten 2011. 9 Data Laporan Dugaan Korupsi APBD Dana Hibah Bansos 2011 9 Data penerima Bansos Hibah Banten 2011 9 Data Pemenang proyek APBD tahun 2012 9 Informan- informan terkait 106 9 BPK RI 9 BPK RI 9 KPUD 9 BANWASLU 9 BAPPEDA 9 ICW 9 ICW 9 DPKAD 9 Layanan Pengadaan Secara Elekronik LPSE Provinsi Banten Menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Sekunder 9 PDRB menurut harga konstan tahun 2000 9 Corruption Perception Indeks 9 APBD Belanja Modal 9 Penduduk 9 Angka Melek Huruf 9 PMTB Provinsi- provinsi 9 ICOR Provinsi Banten 9 BPS 9 TII 9 DJPK 9 BPS 9 BPS 9 BPS 9 BPS Provinsi Banten 106 Daftar informan tersedia pada lampiran 1. 67

3.2 Metode Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua metode yaitu kualitatif dan kuantitatif, hal ini dikarenakan salah satu faktor penyebab korupsi APBD adalah pilkada yang tidak berkualitas, maka disinilah diperlukan analisa ekonomi politik, dimana blok politik yang sebagian besar datanya kualitatif menyebabkannya kerugian dalam blok ekonomi yang sebagian besar datanya kuantitatif. Maka penelitian ini mencoba menganalisis dengan dua metode tersebut mixed methods agar dapat menjelaskan fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia. Metode deskriptif dan kualitatif dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis mekanisme perburuan rente dalam kasus korupsi APBD di Provinsi Banten. Analisis Deskriptif disajikan dalam bentuk table dan grafik untuk memudahkan pemahaman dan penafsiran. Metode peramalan kualitatif di dalam prosedurnya melibatkan pengalaman, judgements, maupun opini sekelompok orang yang pakar dibidangnya. Termasuk di dalam metode ini antara lain teknik sales-force composite agregasi ramalan dari setiap individu dan teknik delpi mengumpulkan pendapat dari pakar secara iterarif. Sedangkan, metode kuantitatif dengan regresi panel statis dalam penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia.

3.2.1 Metode Analisis Mekanisme Rent Seeking Economic Activity

Pembahasan pada penelitian ini akan diawali dengan mendeskripsikan gambaran umum korupsi di daerah yang terjadi di Indonesia dan gambaran umum Provinsi Banten. Untuk menjelaskan salah satu penyebab terjadinya korupsi APBD di suatu daerah, maka perlu dilakukan analisis terhadap aktivitas ekonomi perburuan rente rent seeking economic activity. Penelitian ini fokus pada fenomena korupsi yang terjadi di daerah yang bersumber dari APBD. Korupsi APBD dalam hal ini adalah korupsi yang terjadi pada pos-pos yang terdapat dalam APBD. Korupsi mencakup perilaku koruptif corruptive behavior yang berbentuk aktivitas pencarian 68 rente, dengan analisis yang dilakukan yaitu dengan pendekatan analisa ekonomi politik, yaitu studi keterkaitan antara fenomena politik dan fenomena ekonomi. Seperti pada masa Orde Baru, dalam era otonomi daerah pola-pola akumulasi kekuasaan politik dan kekayaan ekonomi berbasis rent seeking tetap tumbuh subur. Kewenangan yang tinggi yang tidak diiringi dengan meningkatnya akuntabilitas politik, adiministrasi, dan profesionalisme pemerintah daerah, justru memicu terjadinya korupsi yang berasal dari perilaku pencarian rente. Duduknya pengusaha-pengusaha besar dalam partai politik memperlihatkan kuatnya kendali korporasi terhadap partai politik dan pemerintah, sementara birokrasi telah menjelma dari jejaring rente pengusaha besar yang berperan sebagai pendana politik pada masa orde baru menjadi aktor-aktor penentu kebijakan publik dewasa ini. Konfigurasi politik nasional dewasa ini dapat disebut sebagai struktur pencarian rente pada masa orde baru 107 . Ekonomi Perburuan rente ini biasanya selalu melibatkan pihak pemerintah yang mempunyai wewenang dalam membuat suatu regulasi. Para pengusahaindividukelompok berkepentingan memanfaatkan informasi yang tidak sempurna dari masyarakat untuk mendapatkan keuntungan di atas normal supernormal profit dengan memberikan uang pelicin kepada oknum pejabat yang terkait. Korupsi pada pemerintahan daerah pada era desentralisasi fiskal meningkat sejalan dengan fakta bahwa makin banyaknya peraturan-peraturan baru yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, khususnya pajak, retribusi, dan berbagai perizinan serta kebijakan regulasi di daerah yang diciptakan sebagai aturan semu artificial agar pejabat lokal birokrasi lokal bersama dengan kelompok kepentingan tertentu memperoleh peluang ,mendapatkan rente ekonomi sebesar-besarnya 108 . Berbagai peraturan daerah bermasalah adalah sinyalemen adanya perilaku pencarian rente yang memicu meluasnya korupsi di berbagai daerah dewasa ini. 107 Simanjuntak dalam Riyanto, Loc.cit, hal 6. 108 Henderson dan Kuncoro dalam ibid. 69 Adanya aktivitas berburu rente di suatu daerah ini perlu dibuktikan. Karena kasus korupsi yang begitu banyak, sebaran populasi yang luas, keterbatasan waktu dan biaya, maka perlu memperkecil lingkup penelitian dalam suatu kasus APBD di daerah, yaitu dengan studi kasus. Studi kasus adalah strategi penelitian yang ideal bila diperlukan kajian yang sifatnya holistik dan mendalam. Studi kasus bersifat multi metode, karena dirancang untuk menunjukan suatu masalah secara terperinci dari sudut pandang peneliti dengan menggunakan berbagai sumber data. Metode penelitian studi kasus lazimnya akan memadukan metode pengamatan, wawancara, dan analisis dokumentasi 109 . Kasus yang akan dianalisis adalah dugaan korupsi APBD pada tahun 2011 di daerah Provinsi Banten, Provinsi Banten dipilih secara purposive karena memenuhi beberapa kriteria, yaitu; 1 Banyak pemberitaan tentang kasus korupsi dan dugaan korupsi yang terjadi di daerah ini pasca otonomi daerah yang telah dipublikasikan oleh media massa, 2 Provinsi Banten baru-baru ini melakukan Pemilihan Kepala Daerah dan diduga terjadi banyak penyimpangan dalam prosesnya. Hal ini untuk membuktikan apakah benar terjadi politik biaya tinggi high cost politic yang melibatkan aktivitas perburuan rente dari oknum- oknum pemerintah dan swasta dan akhirnya nanti memicu terjadinya korupsi APBD high cost economy, dan 3 Adanya keterbatasan waktu dan biaya penelitian maka letak wilayah Banten yang terletak tidak jauh, dianggap ideal untuk penelitian studi kasus. Kasus di daerah Provinsi Banten yang dipilih adalah dugaan korupsi Pemilihan Kepala Daerah tahun 2011 dan Korupsi pos Dana Hibah dan Bantuan Sosial dari APBD 2011, oleh karena itu dibutuhkan narasumber yang akurat sehingga dapat dilakukan wawancara mendalam in depth 109 Thomas Nugroho, Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat :Studikasus diKabupaten Karawang Subang dan Kabupaten Garut Ciamis, Tesis, IPB, 2004, hal 46. 70 interview kepada informan-informan yang mengetahui masalah para pemburu rente, dan analisis terhadap dokumen-dokumen terkait. Pengambilan sampel informan dilakukan dengan menggunakan teknik snowball sampling , yaitu teknik penentu sampel yang digunakan apabila jumlah sampel yang diketahui hanya sedikit. Dari sampel yang sedikit tersebut, maka kemudian akan digali informasi adanya sampel lain dari yang dijadikan sampel terdahulu, sehingga semakin lama jumlah sampel yang ada semakin banyak 110 . Seperti bola salju yang menggelinding semakin lama bola salju tersebut semakin besar. Snowball sampling ini dilakukan karena tidak semua orang bersedia mengungkap mekanisme korupsi APBD dalam rent seeking economic activity sehingga dibutuhkan para informan yang akurat untuk menggali informasi yang akurat terhadap masalah tersebut. Wawancara dilakukan dengan mengambil sampel informan-informan yang mengetahui secara lengkap permasalahan perburuan rente dalam dugaan kasus korupsi di daerah. Maka informan-informan tersebut akan dipilih dari berbagai kalangan yaitu pejabat publik eksekutif, legislatif, Akademisi, Banwaslu dan ICW. Selain wawancara dilakukan juga review terhadap dokumen terkait seperti pemberitaan media massa, hasil penelitian, dokumen-dokumen pemerintahan, dan lainnya. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak terstruktur, yaitu wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan 111 . Analisa terhadap studi kasus tersebut dibagi dalam beberapa tahap Gambar 10, yaitu: Tahap pertama, tahap penyusunan kronologis peristiwa, pihak yang terlibat, pengungkapan, dan penanggulangan terhadap kasus tersebut. 110 Sugiyono, Metode Penelitian kombinasi Mixed method, Bandung:Alfabeta, 2011, hal 127. 111 Ibid , hal 191. 71 Gambar 10. Tahapan Analisa Studi Kasus Korupsi APBD dalam Perburuan Rente Ekonomi. Setelah tahap pertama selesai disusun, tahap kedua adalah mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan menyangkut bagaimana polamekanisme terjadinya perburuan rente yang mendorong korupsi APBD, yang dilakukan melalui wawancara. Tahap ketiga, setelah data-data tersebut terkumpul maka peneliti melakukan analisa terhadap kasus yang diteliti untuk menjawab masalah dan tujuan penelitian.

3.2.2 Model Regresi Data Panel Pertumbuhan Ekonomi

Dalam menganalisis dampak praktek korupsi di daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional, menggunakan variabel dependen indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency Internasional Indonesia, seperti yang dipaparkan sebelumnya. Data tersebut merupakan rata-rata indeks dari berbagai variabel, termasuk diantaranya mengukur persepsi tentang suap, persepsi korupsi dan usaha pemerintah daerah dalam memberantas korupsi. Data tersebut tersedia secara regional per kabupatenkota sejak 2004-2010 setiap dua tahun sekali, namun baru tersedia sebanyak 50 kabupatenkota dengan metode survey yang sama pada tahun 2008 dan 2010. Model umum pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari model pertumbuhan Mankiw, Romer, Weil MRW 1992, dimana: Y= AF K,L,H………...…………………………………………………3.0 Penyusunan Kronologis Peristiwa Investigasi pola perburuan rentekorupsi wawancara snowball sampling Analisis data‐data dengan teori dan nalar 72 Dalam Bhinadi 2003 persamaan MWR 1992 dituliskan secara linear menjadi sebagai berikut: Y =g +αK +βH +1-α-βL …………………………….………...………3.1 Dimana, β = kontribusi human capital terhadap output agregat Y = pertumbuhan output, K = pertumbuhan kapital, L = pertumbuhan tenaga kerja yang ada di wilayah tersebut, H =pertumbuhan kualitas sumber daya manusia yang di proksi dengan educational attainment pendidikan menengahlanjutan secondary education di wilayah tersebut, g =pertumbuhan produktivitas faktor total TFPG yang mencerminkan tingkat teknologi di wilayah tersebut dan merupakan intersep dalam persamaan regresi. Dari model umum pertumbuhan ekonomi di atas dikembangkan lagi dengan menambahkan beberapa variabel yang diduga memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi di daerah. Mengacu pada penelitian Prahara 2010 dimana salah satu tujuan penelitiannya adalah mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi regional di Kalimantan Barat. Pertumbuhan output diproksi dengan pertumbuhan output perkapita LnPDRB, sedangkan faktor-faktor determinan pertumbuhan output daerah yang digunakannya yaitu anggaran pembangunanmodal APBD, angka harapan hidup AHH, angka melek huruf AMH, rata-rata lama sekolah RLS, jumlah penduduk PDDK, panjang jalan PJLN, produksi listrik PPLN. Dengan analisis fixed effect model, hasilnya menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi positif dipengaruhi secara signifikan oleh variabel anggaran pembangunanmodal, penduduk dan angka harapan hidup. Sementara angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, panjang jalan dan produksi listrik tidak signifikan. Karena variabel dependen anggaran pembangunanmodal APBD dan penduduk POP signifikan dalam penelitian Prahara, maka akan digunakan dalam penelitian ini sebagai proksi dari kapital dan kuantitas human capital,