Impact of Corruption to Regional Economic Growth in Indonesia (Study Case: Regional Budget Corruption Assumption Mechanism in Banten Province Government at 2011).

(1)

DAMPAK KORUPSI TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA

(Studi Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah

Provinsi Banten Tahun 2011)

AIRIN NURAINI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

DAMPAK KORUPSI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA (Studi Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011)

Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah menyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, April 2013

Airin Nuraini NRP. H151100231


(4)

(5)

ABSTRACT

AIRIN NURAINI. 2013. Impact of Corruption to Regional Economic Growth in Indonesia (Study Case: Regional Budget Corruption Assumption Mechanism in Banten Province Government at 2011). (Didin S Damanhuri as Chairman and Muhammad Findi is a Member of the Advisory of Committee)

Decentralization is marked with the announcement of Regulation Number 22 in 1999 about the Region Government, and Regulation Number 25 in 1999 about the Financial Proportion between Central and Region Government. But apparently there are lots of problems in the implementations, one of them is a lot of corruption cases are revealed, with lots of corruption suspects are the authorities in that region and the resource of corruption is the local budget. Finally, that may bring a negative impact for the region economic growth. The aims of this study are: (1) To analyze local budget corruption in the mechanism of rent seeking at Banten Province, (2) To analyze the impact of corruption for the regional economic growth in Indonesia. Result showed that there is a local budget corruption assumptions have been done by the executive and legislative persons with the cooperation with the third person in the local budget managing, that behavior is triggered by the high cost political system. Then the result of the data processing showed that the impact of corruption for the regional economic growth is negative and significant, which means the region economic growth should have been more higher than now. In that case, an effort should be done to increase the region economic growth by eliminating the corruption in Region/national level by starting to create a low budget political system.


(6)

(7)

RINGKASAN

AIRIN NURAINI. 2013. Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia (studi kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di

Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011). Di bawah bimbingan Prof. Dr. Didin S

Damanhuri, M.S., DEA dan Dr. Muhamad Findi A, M.E.

Desentralisasi ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomer 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomer 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, ternyata mengalami banyak permasalahan dalam implementasinya, salah satunya adalah terkuaknya berbagai kasus korupsi di daerah dengan pelaku korupsi sebagian besar adalah para pemegang kekuasaan di daerah, dengan sumber utama yang di korupsi adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang pada akhirnya diduga akan berakibat negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

Pada intinya penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente di Pemerintah Provinsi Banten, (2) Menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode campuran, untuk tujuan pertama menggunakan metode deskriptif dan kualitatif yang meliputi studi pustaka dan wawancara mendalam untuk mengungkap perilaku koruptif yang berbentuk aktivitas pencarian rente ekonomi, dengan pendekatan analisa ekonomi politik, yaitu studi keterkaitan antara fenomena politik dan fenomena ekonomi. Informan/ Narasumber yang dipilih untuk menjawab tujuan pertama yaitu dari pihak pejabat publik (eksekutif, legislatif), Akademisi, Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Sedangkan untuk mencapai tujuan yang kedua, menggunakan metode kuantitatif dengan regresi data panel statis . Data korupsi yang digunakan untuk tujuan kedua adalah indeks korupsi daerah 48 kabupaten/kota di Indonesia yang diperoleh dari Transparency International Indonesia (TII).

Hasilnya, dalam studi kasus Provinsi Banten telah terjadi korupsi APBD dalam aktivitas pencarian rente oknum eksekutif dan legislatif bergandengan tangan dengan pihak ketiga dalam pengelolaan APBD, perilaku tersebut dipicu oleh adanya sistem politik berbiaya tinggi. Berdasarkan hasil wawancara berbagai informan, beberapa dokumen pendukung, dan pemberitaan media massa maka dapat diketahui bahwa ada dua korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente di Pemerintah Provinsi Banten. Mekanisme pertama, yaitu mekanisme korupsi APBD pos Belanja (Bantuan Sosial) Bansos dan Hibah dalam APBD yang dapat digunakan sebagai dana taktis pembiayaan kampanye, yang dimulai dari tahap perencanaan anggaran (by design), meluas ke tahap pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Mekanisme kedua, yaitu mekanisme perolehan rente melalui proyek-proyek APBD.

Untuk mekanisme pertama, pada tahap perencanaan APBD pos Bansos Hibah tidak ada tolak ukur yang jelas dalam penganggaran dan mekanisme verifikasi, bahkan ada penyaluran yang diberikan tanpa berbasis proposal.


(8)

Kemudian pada tahap pelaksanaan, APBD dana hibah dan bansos disalurkan kepada lembaga/ organisasi yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu kepada lembaga/ organisasi yang dipimpin keluarga/ kerabat Gubernur dan lembaga/ organisasi masyarakat lainnya. Keluarga/ kerabat Gubernur yang memimpin lembaga/ organisasi yang diberi dana hibah bansos juga memiliki badan-badan usaha yang memberikan kontribusi dalam dana kampanye, sehingga menimbulkan dugaan bahwa sebagian kecil dari dana hibah bansos yang diterima bisa diputar kembali untuk dana sumbangan kampanye.

Dugaan yang kedua adalah dana hibah dan bansos bisa langsung digunakan sebagai dana taktis untuk membiayai aktivitas politik dengan dalih diberikan kepada lembaga/ organisasi yang dikuasai lingkaran kelompoknya, sehingga mudah direkayasa secara administratif. Sedangkan penyaluran dana hibah bansos kepada lembaga/ organisasi masyarakat juga bisa dijadikan dana taktis untuk membiayai aktivitas politik maupun kepentingan pribadi/ kelompok yang lain, caranya dengan merekayasa lembaga/ organisasi yang diberi dana hibah dan bansos (lembaga fiktif, alamat tidak jelas, alamat sama) atau juga dengan cara disalurkan kepada masyarakat namun jumlahnya jauh lebih kecil dari nilai pagu anggaran yang ditentukan. Dana hibah bansos yang menjadi dana taktis ini kemudian digunakan dalam membiayai aktivitas politik salah satunya adalah untuk melakukan money poltics. Sedangkan pada tahap pertanggungjawaban, tidak ada peraturan tegas yang mengatur sanksi keterlambatan penyampaian Laporan Pertanggungjawaban, bahkan tidak dilakukan mekanisme monitoring pelaksanaan dan evaluasi pertanggungjawaban.

Untuk mekanisme yang kedua, perolehan rente diperoleh melalui proyek-proyek APBD. Penguasaan proyek-proyek dikoordinasi oleh Gubernur informal atau yang disebut dengan Gubernur Malam, dia memiliki oknum-oknum kepercayaan disejumlah “dinas basah” yang menjaga proyek-proyek APBD, agar akses informasi dengan mudah dia dapatkan. Gubernur informal sebagai pemborong dalam proyek-proyek APBD berkoordinasi dengan Gubernur formal/ jajaran eksekutif dalam menentukan proyek APBD dan siapa saja yang akan menangani proyek. Gubernur formal/ jajaran eksekutif akan menerima beberapa persen dari nilai proyek.

Bagi Gubernur Formal keputusan proyek-proyek APBD dan penentuan pemenangnya adalah salah satu cara mengembalikan modal kampanye bagi dirinya dan pihak-pihak yang telah mendukung pembiayaan pada masa kampanye. Gubernur Malam kemudian mengendalikan DPRD melalui eksekutif agar meloloskan usulan mereka, yaitu dengan cara membeli proyek. Membeli proyek dilakukan dengan memberikan bagian dari proyek atau beberapa persen dari nilai proyek kepada oknum DPRD.

Dengan demikian pada saat perencanaan anggaran telah ditentukan siapa pemenang proyek-proyek APBD, sehingga proses lelang proyek hanyalah sebuah formalitas, monopoli terselubung ini dapat dilihat dari data pemenang proyek-proyek APBD bernilai besar, yang sebagian besar adalah perusahaan yang termasuk dalam tiga kategori. Kategori yang pertama, Perusahaan milik Gubernur informal. Kedua, perusahaan yang diduga merupakan bendera lain milik Gubernur informal dan kelompoknya. Dan yang terakhir adalah badan usaha swasta lainnya. Diketahui juga bahwa ketiga kategori ini adalah pihak-pihak yang memberikan dukungan pembiayaan pada masa kampanye Gubernur formal. Pada kategori


(9)

pemenang terakhir, yaitu badan usaha swasta lainnya, sebelum mereka memenangkan suatu proyek maka harus memperoleh restu dari Gubernur informal, badan usaha swasta harus menyetorkan sebesar 20 persen sampai dengan 40 persen dari nilai proyek-proyek APBD.

Setelah mengetahui mekanisme korupsi di salah satu daerah di Indonesia (Banten), kemudian dilakukan analisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional (48 kabupaten/kota) dengan regresi data panel statis menggunakan fixed effect, hasilnya dapat diketahui bahwa setiap kenaikan indeks persepsi korupsi akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi 48 kabupaten/kota di Indonesia sebesar 0.0223 persen, ceteris paribus. Karena variabel indeks persepsi korupsi TII merupakan indeks antara 0 sampai dengan 10, dimana angka 0 untuk korupsi parah, dan 10 untuk kondisi suatu daerah tidak ada korupsi, sehingga semakin tinggi indeks semakin baik. Dengan demikian terbukti bahwa korupsi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

Potensi pertumbuhan yang dicapai daerah-daerah seharusnya lebih tinggi daripada yang dicapainya sekarang. Dengan demikian upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah adalah dengan melakukan pemberantasan korupsi di level daerah/ nasional yang dimulai dengan menciptakan suatu sistem politik yang berbiaya rendah.

Kata kunci : Korupsi, Pertumbuhan ekonomi, Pencarian rente ekonomi.

   


(10)

(11)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(12)

(13)

DAMPAK KORUPSI TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA

(Studi Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011)

AIRIN NURAINI

Tesis

Sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(14)

(15)

Judul Tesis : Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia (Studi Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun

2011).

Nama Mahasiswa : Airin Nuraini

Nomor Pokok : H151100231

Mayor : Ilmu Ekonomi

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, M.S.,DEA Ketua

Dr. Muhammad Findi A, M.E. Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr.Ir.R.Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(16)

(17)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia (Studi kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten

Tahun 2011).

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, M.S.,DEA sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Muhammad Findi A, M.E., sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc., Agr. selaku penguji luar komisi, serta Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku penguji wakil Program Studi Ilmu Ekonomi atas saran perbaikan tesis. Bapak Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh informan yang telah bersedia berbagi informasi, terutama pihak dari

Indonesian Corruption Wacth (ICW) yang selama ini telah banyak membantu

dalam pembuatan tesis ini, juga kepada orang tua ibu Eni Hayani, Ayah Muhammad Arief yang selama ini telah memberikan dukungan semangat, materi, do’a dan kasih sayang kepada penulis, juga suami dan anak tercinta Novan Widianto dan Alisa Adivia atas dukungan semangat dan do’anya. Teman-teman IE angkatan 2010 dan Staff sekretariat IE terimakasih atas dukungan, kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat.

Bogor, April 2013


(18)

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bogor, Jawa Barat pada tanggal 9 Oktober 1984, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Muhammad Arief dan Ibu Eni Hayani.

Pada tahun 1991 penulis menempuh pendidikan formal di SDN Pengadilan 3 Bogor dan tamat tahun 1997. Setelah tamat dari SD penulis melanjutkan sekolah di SMPN 4 Bogor sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2000 dan melanjutkan pendidikan di SMUN 5 hingga tahun 2003.

Kemudian, pada tahun yang sama melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti pada Program Studi Ekonomi jurusan Akuntansi. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2007.

Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai Tenaga Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kesatuan. Pada akhir tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor .


(20)

(21)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN... ... x

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian... ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Landasan Teori ... 11

2.1.1. Korupsi... ... 11

2.1.2. Korupsi Di Indonesia... ... 21

2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi... ... 26

2.1.4. Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi.. ... 34

2.1.5. Korupsi dan Perburuan Rente Ekonomi.. ... 37

2.1.6. Desentralisasi ... 48

2.1.7. Indeks Persepsi Korupsi Transparency International .... 55

2.2. Penelitian Terdahulu ... 57

2.3. Kerangka Pemikiran ... 62

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 65

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 65

3.2. Metode Analisis Data ... 67

3.4.1. Metode Analisis Mekanisme Rent Seeking Economy Activity………... 67

3.4.2. Model Regresi Data Panel Pertumbuhan Ekonomi ... 71


(22)

(23)

iii 3.2.2.2 Metode Analisis Regresi Data Panel ... …… 74

4. GAMBARAN UMUM ... 79 4.1. Gambaran Umum Korupsi Daerah (termasuk yang bersumber dari

APBD) di Indonesia ... 79

4.2. Gambaran Umum Provinsi Banten ... … 88

5. HASIL DAN PEMBAHASAN……… ... 5.1. Mekanisme Korupsi APBD dalam Perburuan Rente Ekonomi :

Pendekatan Studi Kasus Provinsi Banten……… ...

5.1.1. Faktor Penyebab Korupsi APBD : Dugaan Kasus Korupsi

Pilkada Gubernur Banten Tahun 2011 ... 105

5.1.2. Mekanisme Dugaan Korupsi APBD Dana Hibah Bansos Provinsi Banten 2011……… 115

5.1.3 Mekanisme Perburuan Rente dalam Dugaan Korupsi

pada Proyek-Proyek APBD Provinsi Banten………... …… 144

5.2. Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di

Indonesia ... 160

5.2.1. Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi ... 161

5.2.2. Evaluasi Model Pertumbuhan Ekonomi ... 164

5.2.3. Pembahasan Faktor-faktor yang Memengaruhi Pertumbuh

Ekonomi Regional di Indonesia ... 165

5.2.4. Potensi Pertumbuhan Ekonomi Banten (Analisis ICOR) ... 172

6. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN ... 175 6.1. Kesimpulan ... 178 6.2. Implikasi Kebijakan dan Saran ... 179

DAFTAR PUSTAKA ... 181

LAMPIRAN ... 187 103


(24)

(25)

v

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perubahan Setelah Desentralisasi ……….………...51

2. Tujuan Penelitian, Jenis dan Sumber Data yang diperlukan...66

3. Tren Korupsi APBD Tahun 2009-2011……….………...83

4. PDRB Banten Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2010……...93 5. Perkembangan RLS dan AMH Sebagai Komponen IPM Provinsi Banten

tahun 2000-2010...94 6. Peringkat IPM Provinsi Banten di Pulau

Jawa...95

7. Jumlah Anggota DPRD Berdasarkan Partai Politik Pemenang Pemilu

Legislatif Tahun 2004 dan 2009...100

8. Daftar Incumbent dalam Pilkada Gubernur Langsung

Banten...102

9. Jumlah Dana Kampanye Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Banten Tahun 2011... 114

10. Gambaran Umum Hibah dan Bantuan sosial... ... . ...119

11. Tren Realisasi Anggaran Hibah dan Bansos Provinsi Banten…………... 122

12. Jumlah Voucher dalam Proses Perencanaan………...…127

13. Lembaga Fiktif Penerima Dana Hibah……… 130

14. Lembaga Penerima Hibah yang Memiliki Alamat Sama……….131

15. Daftar Aliran Dana ke Lembaga yang dipimpin Keluarga Gubernur…….132

16. Kepatuhan Instansi Vertikal Kota Serang………135

17. Normatif Pertanggungjawaban Hibah Bansos……….137

18.Rekapitulasi Hasil Temuan Pada Proses Pengelolaan Dana Bansos Hibah yang bersumber dari APBD Provinsi Banten Tahun 2011………..138


(26)

(27)

vi 19. Badan Usaha Penyumbang Dana Kampanye PilGub Tahun 2011 yang

Memenangkan Proyek APBD TA 2012 di Provinsi Banten………153

20. Proyek APBD TA 2012 yang dimenangkan Badan Usaha Milik Keluarga Gubernur………...156

21. Chow test antara Pooled Least Square dan Fixed Effect……….161

22. Hausman Test antara fixed effect dan random effect………162

23. Hasil Regresi Data Panel………..164

24. Interpretasi Hasil Estimasi………...165

25. ICOR tahun 2008 di Pulau Jawa dan Bali………174


(28)

(29)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

20 Mekanisme Dugaan Korupsi APBD dalam Pengelolaan Dana Hibah dan Bansos……….. 21 Penguasaan Berbagai Aspek Strategis di Provinsi Banten dalam

Lingkaran Keluarga……….... 22 Mekanisme Pengerukan APBD Melalui Penguasaan Proyek-Proyek

APBD di Provinsi Banten………

1 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dan Negara Lain di Dunia... 1 2 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dan Negara ASEAN +3... 2 3 Postur Belanja APBD 2007-2011 (%)……… 5 4 Jumlah Kasus Korupsi Menurut Lembaga Tahun 2011…... 6

5 Interaksi yang Berpotensi Menimbulkan Korupsi di Negara Demokrasi... 6 Korupsi dan Kemungkinan Produksi... 35 7 Biaya Monopoli Akibat Prilaku Pencarian Rente………... 41 8 Penentuan Output Oleh Birokrat………. 45 9 Kerangka pemikiran……… 64 10 Tahapan Analisa Studi Kasus Korupsi APBD dalam Perburuan Rente

ekonomi………...

11 Tren Korupsi Indonesia berdasarkan Pelakunya Tahun 2011…………. 85 12 Komposisi Realisasi Pendapatan Provinsi Banten tahun Anggaran

2010 dan 2011……….

13 Pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten tahun 2001-2011 ………. 92 14 Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi Banten

Tahun 2008-2011………...

15 Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten 1961- 2010…... 94 16 Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Banten………... 96 17 Kompilasi Penggunaan Kekuasaan Berdasarkan Modus………... 106 18 Kompilasi Politik Uang Berdasarkan Modus……….. 110 19 Rangkuman berbagai regulasi penyusunan APBD………. 116 71

90

92

142

147

159 18


(30)

(31)

viii 23 Dampak Perubahan (Penambahan) Pengeluaran Pemerintah Terhadap


(32)

(33)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Daftar Informan/Nara Sumber ……… 187

2. Data ICW : Rincian Kejanggalan Penyumbang Dana Kampanye

Incumbent 1 Pada Pilkada Banten Tahun 2011 Uji Petik

Terhadap 30 persen dari Jumlah Penyumbang... 188

3. Output pendekatan pooled least square estimasi model

pertumbuhan ekonomi regional. ... 191

4. Output pendekatan fixed effects estimasi model pertumbuhan ekonomi regional………... 192

5. Output pooled least square/ fixed effects testing dengan menggunakan

rendundant fixed effects – likelihood ratio... 193 6. Output pendekatan Random effects estimasi model pertumbuhan

ekonomi regional... 194

7. Output fixed effects/random effects testing dengan menggunakan

correlation random effects-Hausmant test... 195

8. Output hasil estimasi fixed effect dengan GLS weight: cross section weight dan cross section weight (PCSE)... 196

9. Tingkat Korupsi rata-rata tahun 2008 dan 2010 48 ibukota/kabupaten di Indonesia ... ... 197

10. Contoh lembar survey kuisioner TII... ... 198


(34)

(35)

1.1 Latar Ko berbagai n Namun, p adalah ge Korupsi y berarti bu dibusukan biasanya t praktik ya

Sumber : w

Gambar 1 Ind korupsi y Transpare Korupsi (I ini di In korupsi di menunjuk bebas dar berada di indeks ant Belakang orupsi buka negara, neg perbedaanya ejala massa yang berasal usuk, rusak n oleh koru tanda-tanda ang membus

www.transp . Indeks Per donesia sel yang tinggi

ency Interna IPK) Indon donesia tid ianggap ma kan kemauan

ri unsur ko posisi ke tara 0 samp

New Zealand Denm ark Sin g ap ore

1 2 3 9.4 9.3 9.2

1.

anlah masal gara maju m a dengan ne al dan belu l dari bahas k, menggo upsi? Koru a moral/akhl sukan keuan parency.org rsepsi Koru lama ini di di dunia.

ational dike

nesia berad dak ada per asih meraja n politik da orupsi. IPK 114 dari 1 pai dengan

gp Sweden

Switzerlan

d

Finland

4 5 6 2 9.2 9 8.

PENDA

lah baru, ta maupun neg egara maju, um diiringi

a latin corr

oyahkan, m upsi yang d lak masyara ngan negara g,2010 upsi Indones ikenal seba Dari data etahui Pada da pada skor rbaikan sam alela, karena alam menjal K 2.8 mene 178 negara

10, 0 bera

Finland Neth erlan d s Au stralia C anada

6 7 8 9 .9 8.9 8.7 8

AHULUAN

api masalah gara berkem masalah k

oleh berja

ruptio dari k

memutarbali dipahami m

akat yang ru a pada tingk

sia dan Neg agai salahsa

survey yan tahun 2009 r 2.8, denga ma sekali, s

a para elit ankan keku empatkan In yang disur arti dipersep C anada

Iceland Brunai

li

9 10 39 5 8.7 8.7

5.5 4

N

h yang sud mbang sepe korupsi di N

alannya sup

kata kerja co

ik, menyog masyarakat

usak oleh k kat yang sud

gara Lain di atu negara ng dilakuka

9 dan 2010, an kata lain sehingga da politik di n uasaan nega ndonesia p rvey (Gam psikan sanga Ma lays ia Th ailan d Indonesi a

57 88 114 1 4.5

3.4 2.8

dah lama a erti di Indon Negara Indo premasi hu orrumpere, gok. Apa secara eko keluasan pra dah kronis. Dunia dengan a an oleh lem , Indeks Per n pada dua apat disimpu

negeri ini b ara dengan b pada tahun mbar 1). Ren

at korup, da

Tim o r leste Myan m ar 151 178 2.2 1.4 ada di nesia. onesia ukum. yang yang onomi aktik-angka mbaga rsepsi tahun ulkan belum bersih 2010 ntang an 10


(36)

2   

sangat bersih. Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN praktek korupsi menempatkan Indonesia rata-rata dari tahun ke tahun menduduki urutan kedua terburuk (Gambar 2).

Sumber : Transparency International, 2011(diolah).

Gambar 2. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dan Negara ASEAN +3

Budaya korupsi sudah sedemikian berakar jauh sebelum era Indonesia yang sekarang. Menurut Myrdal, korupsi di Asia Selatan dan Tenggara berakar dari penyakit neopatrimonalisme, yaitu warisan budaya feodal pada masa

kerajaan-kerajaan lama yang terbiasa dengan hubungan patron-client. Dalam

hubungan patron-client tersebut, rakyat biasa atau bawahan memiliki kewajiban

memberi upeti kepada pihak-pihak yang berkuasa, sementara itu kekuasaan harus diwujudkan secara materi/kekayaan serta dukungan sejumlah penduduk yang

harus dijaga kesetiaannya1. Kemudian kini berkembanglah money politics dalam

pemilihan presiden, DPR/DPRD, gubernur, walikota, bupati, pimpinan partai

politik dan seterusnya2, pada setiap masa pemerintahan di Indonesia (Orde Lama,

Orde Baru, dan Era Reformasi).

Akibat dari adanya money politics memberikan kontribusi terhadap

tingginya pengeluaran calon pejabat negara/daerah dalam pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada), untuk memenuhi pembiayaan politik dalam proses pemilihan, seorang calon pejabat negara/daerah perlu mencari dukungan pembiayaan dari kelompok kepentingan dan pelaku politik.       

1

Damanhuri DS, Korupsi,Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Jakarta:LPFEUI,2006,hal 9.

2 Ibid.

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00

Cina Jepang Korea Selatan Singapura Indonesia Malaysia Thailand Filipina


(37)

3   

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Aditjondro di daerah Poso, menengarai bahwa para pelaku bisnis di tingkat provinsi dan nasional memiliki kepentingan sendiri untuk mendukung seorang calon yang pada gilirannya harus “dibayar”

kelak ketika sang calon berhasil terpilih3. Pada akhirnya nanti kebijakan-

kebijakan yang lahir dari para pemerintah negara/daerah sudah tidak lagi independen, bukan lagi bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tapi

lebih banyak menguntungkan segelintir pihak yang terkait dengan money politics

tersebut.

Dalam kondisi seperti yang diuraikan di atas, Myrdal dalam bukunya

Asian Drama pernah memberikan kritikan terhadap negara berkembang yang

dikatakan berstruktur lembek (soft state) terutama berlangsung di Asia Selatan

dan Asia Tenggara4. Dimana para elite politik di negara-negara tersebut sangat

kompromistik dengan segala bentuk korupsi.

Korupsi bisa menjadi kontributor utama terhadap tingkat pertumbuhan

yang rendah dari banyak negara berkembang5, disamping itu korupsi juga dapat

tumbuh bersama dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, walaupun demikian pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi tidak berkualitas melalui pemborosan

dana pembangunan (high cost economy), sehingga pembangunan ekonomi

menjadi tidak merata.

Korupsi tidak menunjukan hubungan langsung terhadap kemiskinan. Korupsi mempunyai konsekuensi terhadap faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi, seperti menghambat investasi, mendistorsi alokasi sumberdaya, menurunkan kapasitas fiskal dan membuat kualitas infrastruktur rendah. Selanjutnya, faktor-faktor tersebut memengaruhi tingkat kemiskinan. Sebagai contoh, untuk pengembangan sumber daya manusia, korupsi membuat kualitas dan kuantitas sekolah jadi tidak optimal, demikian juga dengan upaya

ketersediaan kebutuhan dasar (basic needs), seperti air bersih, pangan, dan

pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini membuat masyarakat Indonesia menjadi       

3

Aditjondro (tidak dipublikasikan) dalam Taufik R, Maria P,Dewi D, Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi, Bank Dunia, 2007, hal 15.

http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/Memerangi_Korupsi_ dprd.pdf, 28 Desember 2012.

4

Asian Drama dalam Damanhuri DS, Ekonomi Politik dan Pembangunan, Jakarta:LPFEUI, 2010, hal 30.

5


(38)

4   

kurang terdidik, kurang gizi dan gampang sakit. Sehingga pada akhirnya masyarakat Indonesia kurang siap bersaing secara regional maupun internasional.

Dari tahun ke tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di Indonesia jumlahnya terus meningkat. Pada masa Orde Baru APBN diperkirakan

mengalami kebocoran mencapai 30 persen (Incremental Capital Output Ratio/

ICOR) hingga lebih dari 50 persen (Input Output/ IO), dengan demikian

sesungguhnya potensi pertumbuhan ekonomi yang bisa mencapai 12 persen

menjadi hanya tumbuh 7 persen per tahun6. Pada masa reformasi, dengan adanya

desentralisasi fiskal maka ada sebagian dari APBN yang ditransfer ke daerah. Desentralisasi atau otonomi daerah/khusus di negeri ini dimulai sejak berlakunya Undang-Undang (UU) Nomer 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-Undang Nomer 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, yang diimplementasikan sejak januari 2001. Perubahan paling penting adalah pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah

menyangkut sektor pelayanan publik7. Bidang pemerintahan yang wajib

dilaksanakan pemerintah Kabupaten/ Kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,

penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga kerja8.

Secara normatif, otonomi daerah merupakan sebuah alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan umum. Pertanyaannya adalah setelah lebih dari satu dasawarsa lebih otonomi daerah diterapkan, apakah tujuannya telah tercapai? dari segi ekonomi, peran pemerintah daerah memang semakin besar, dari berbagai sumber data diketahui beberapa daerah mampu meningkatkan pendapatan perkapita daerahnya lebih besar daripada pendapatan perkapita nasional. Namun, hal itu hanya sebatas data, pada kenyataannya rakyat daerah yang penuh sumber daya alam belum tentu sejahtera. Di daerah yang kaya,

      

6

Damanhuri DS, op. cit, hal 128. 7

Pasal 7 UU No.22/1999 8


(39)

5   

seperti Riau, Kalimantan Timur dan Papua sejumlah pejabatnya justru terbelit

kasus korupsi9.

Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2012. Gambar 3. Postur Belanja APBD, 2007-2011 (%)

Besarnya dana transfer yang berlebihan juga akan memberikan implikasi

bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara tidak efisien10. Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ternyata masih bias kepentingan elite, dana yang dialokasilkan untuk elite terlalu besar daripada untuk anggaran meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kementrian Keuangan mencatat APBD periode 2007-2011 rata- rata persentase untuk belanja pegawai lebih tinggi dibandingkan untuk belanja modal (Gambar 3).

Terlebih lagi sisa persentase dari anggaran yang dimaksudkan untuk membangun ekonomi masyarakat masih juga dikorupsi oleh oknum pemerintah daerah maupun masyarakat. Kompleksitas permasalahan yang muncul kepermukaan adalah terkuaknya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legislatif daerah. Jadi bukan hanya saja kekuasaan yang di desentralisasikan dari pusat ke daerah tapi juga korupsi itu sendiri. Desentralisasi yang tidak diiringi dengan kesiapan pemerintah daerah yang mengelola menorehkan tambahan panjang sejarah korupsi di Indonesia.

      

9

Elok D. Briggita I (Maria Hartiningsih), Korupsi yang Memiskinkan, Jakarta:PT.Kompas Media Nusantara, 2011, hal 73.

10

Mardiasmo dalam Suparno, Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di Indonesia, Tesis, FEM IPB, 2010.

39 40 41 45

58

46

18 18 19 18

20 19

30 27 25

22 22 25

13 15 15 15 14 14

0 20 40 60 80

2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata

Belanja Pegawai Belanja Barang Jasa Belanja Modal Belanja Lainnya


(40)

6    Sumb Gam terda lemb jajara 264 kelem deng peme 88 m Bant sudah menj mem P.T. berba minim provi peng

ber: ICW, 2 mbar 4. Juml

Menurut apat 14 lem baga yang an pemerint kasus koru mbagaan da gan kerugian erintah prov milyar (Gam

Media m ten juga tid

h terungka jadi dugaan miliki banda

Krakatau S agai tempat m sarana p insi Banten gawasan terh

264

56

2012. lah Kasus K

t Indonesia

mbaga yang paling raw tah daerah, upsi denga alam naung n negara 2.4 vinsi (pemp mbar 4).

massa baru-dak luput da

ap dan tela n kasus ko ara internas Steel. Tida

t wisata da prasarana da n tidak jauh hadap tinda

23 18 1

Korupsi Men a Corruptio g terdeteks wan tingkat seperti pem an kerugian gan pemerin 494 milyar prov) denga

-baru ini jug ari berbagai ah diselesa orupsi. Ban sional dan r

ak hanya it an berbagai an pemban h dari Dae ak pidana ko

14 13 12

nurut Lemb on Watch

i paling ra korupsinya merintah kab n negara 9 ntah kota (p

rupiah, sert an jumlah 2

ga ramai m i masalah k aikan secara nten adalah

ribuan indu tu, Banten i mall besa gunan di B erah Khusus orupsi masih

10 8

aga Tahun 2 (ICW), pa awan korup a yaitu sel bupaten (pe 60 milyar pemkot) den ta seluruh le 23 kasus den

memberitaka korupsi. Ad a hukum, provinsi y ustri berska

juga memi ar. Namun Banten sang

s Ibukota ( h minim. M

7 4 4

2011 ada tahun psi. Posisi luruh lemba mkab) deng rupiah. Di ngan jumlah embaga dal ngan kerug

an, bahwa d da banyak k adapula ya yang tergol ala nasional iliki proper sangat iron gat lambat. (DKI) Jaka Monopoli ke 2 1 2011 saja tiga besar aga dalam gan jumlah iikuti oleh h 56 kasus lam jajaran gian negara di Provinsi kasus yang ang masih long kaya, l termasuk rti-properti, nis, Banten Walaupun arta namun ekuasaan di


(41)

7   

bidang pemerintah, sangat rentan menyebabkan penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan anggaran.

1.2Perumusan Masalah

Sejak Otonomi daerah, semakin banyak kasus korupsi di berbagai daerah yang terungkap dengan objek utamanya adalah APBD. Korupsi di daerah yang diwarnai korupsi dalam proses politik telah membelokan tujuan dari pelaksanaan desentralisasi.

Praktek korupsi di pemerintahan daerah terjadi di berbagai negara di dunia, begitu pula negara Indonesia. Untuk menangkap gambaran korupsi di salahsatu daerah di Indonesia, maka dilakukan penelitian kasus korupsi di wilayah Provinsi Banten. Wilayah Banten terutama Kota/kabupaten Tanggerang merupakan wilayah penyangga ibukota negara. Setelah lebih dari satu dasawarsa otonomi daerah ternyata Provinsi Banten tidak menunjukan prestasi yang menggembirakan.

Diperkuat sejumlah data, seperti misalnya pada tahun 2008, Indeks governance di Banten hanya rata-rata 0.3 dari skala 1 yang berarti sangat rendah, menurut Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada (PSKK UGM). Demikian juga Indeks Integritas Pemerintah daerah yang menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kurang, yakni hanya 5.88 dari skala 10.

Juga Indeks Persepsi Korupsi menurut Transparency Internasional Indonesia

(TII) hanya sebesar 4.6 dari skala 10. Terakhir, Indonesian Corruption Watch

(ICW) menyebut Banten sebagai provinsi terkorup ke-15 dari 33 provinsi di Indo-nesia.

Pemilihan Umum Kepala Daerah (PILKADA) di daerah provinsi Banten yang dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2011 untuk periode 2011-2016, sebagai potret salahsatu pelaksanaan pilkada di Indonesia. Pilkada yang terbebas dari praktek korupsi pemilu, dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, dan kepatuhan terhadap dana kampanye. Berdasarkan data ICW pilkada di pemerintah Provinsi Banten telah meninggalkan banyak kejanggalan dan dugaan praktek korupsi politik.


(42)

8   

Bagi daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam para pendukung dana kampanye melibatkan para pemburu rente yang mengincar kekayaan alam tersebut, namun pada kasus Provinsi Banten para pemburu rente mengincar proyek-proyek APBD. APBD menjadi sasaran bagi para pencari rente ekonomi yang mengharapkan keuntungan tanpa dasar, para pencari rente bukan hanya sektor swasta, namun juga pemerintah (politisi dan birokrasi).

Korupsi APBD di daerah biasanya dilakukan bahkan sebelum kepala daerah berkuasa, sumber pembiayaan dimanipulasi, perburuan rente ekonomi dilakukan untuk modal kampanye dan kemenangan calon kepala daerah. Kekuasaan yang diperoleh atas kemenangan kepala daerah dari proses pilkada yang tidak bersih hanya akan menghasilkan perburuan rente yang lebih luas lagi.

Maka diduga akibat biaya politik yang tinggi (high cost politic) di dalam pilkada

adalah salahsatu faktor yang menyebabkan pemborosan/ kebocoran sumber-

sumber ekonomi ( high cost economic) dalam hal ini adalah APBD.

Korupsi memang tidak menunjukan hubungan langsung terhadap kemiskinan dan upaya perbaikan kebutuhan dasar, tetapi korupsi mempunyai konsekuensi terhadap pertumbuhan ekonomi rendah di daerah yang merupakan indikator utama dalam pembangunan daerah, yang pada gilirannya pemerintah daerah (pemda) menjadi tidak efektif dalam menanggulangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan dasar. Namun korupsi juga pernah diyakini dapat

memperlancar perekonomian, sebagai uang pelicin (speed money) dalam

menjalankan roda bisnis dan perdagangan, yang dapat memfasilitasi pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan uraian tersebut, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente ekonomi

di pemerintah Provinsi Banten ?

2. Bagaimanakah dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional


(43)

9   

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente di

pemerintah Provinsi Banten.

2. Menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di

Indonesia.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang praktek korupsi di daerah.

2. Dengan tercapainya tujuan penelitian diharapkan mampu membantu

masyarakat dan pemerintah meminimalkan korupsi pada tingkat daerah, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

3. Penelitian ini juga diharapkan mampu mengungkap akar permasalahan

dari korupsi yang ada di daerah, juga menyarankan solusi yang tepat sasaran, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia.

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini, menganalisis mekanisme perburuan rente ekonomi dalam studi kasus dugaan korupsi APBD di pemerintah Provinsi Banten pada tahun 2011. Sangat luas pengertian korupsi maka untuk tujuan pertama penelitian, memfokuskan pada korupsi di daerah yang terjadi pada APBD. Korupsi APBD disini adalah korupsi yang mencakup korupsi pada pos-pos yang terdapat dalam

APBD. Dalam konteks ini, korupsi mencakup perilaku koruptif (corruptive

behavior) yang berbentuk aktivitas pencarian rente. Analisis yang dilakukan yaitu

dengan pendekatan analisa ekonomi politik, yaitu studi keterkaitan antara fenomena politik dan fenomena ekonomi.

Analisis untuk studi kasus mekanisme perburuan rente ekonomi di Provinsi Banten, dilakukan pada kasus-kasus yang dipilih, yaitu :


(44)

10   

1. Dugaan korupsi Pemilihan Kepala Daerah tahun 2011.

2. Dugaan korupsi APBD pada Dana bantuan sosial dan hibah tahun

2011.

3. Dugaan korupsi dalam proyek-proyek APBD.

Kemudian, untuk menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional dilakukan pada tahun 2008 dan 2010 pada 48 kota/kabupaten di Indonesia. Untuk tujuan kedua penelitian ini, pengertian korupsi adalah definisi

dari Transparency International, yaitu mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor

publik baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka.

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data Primer yang diambil sesuai dari kebutuhan penelitian yaitu hasil dari wawancara

mendalam (in depth interview). Data sekunder yang digunakan diambil dari

dokumen-dokumen terkait seperti pemberitaan media massa, hasil penelitian,

dokumen-dokumen pemerintah sertadata lainnya yang relevan dengan penelitian


(45)

11   

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan berbagai pustaka yang menjadi dasar dalam penelitian. Tinjauan pustaka terdiri dari pembahasan teori-teori, penelitian terdahulu, dan kerangka pemikiran. Sementara itu teori-teori yang dibahas adalah teori tentang korupsi, pertumbuhan ekonomi, perburuan rente ekonomi dan desentralisasi. Selain itu ada juga sub-bab pembahasan tentang variabel-variabel yang membangun Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini.

Kemudian penelitian terdahulu yang digunakan adalah penelitian tentang korupsi yang berkaitan dengan perilaku pencarian rente, penelitian tentang korupsi dan pertumbuhan ekonomi, juga penelitian tentang pertumbuhan ekonomi regional. Setelah mengkaji berbagai teori dan penelitian terdahulu maka disusunlah suatu kerangka pemikiran dari penelitian ini yang disajikan dalam bentuk bagan alur.

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Korupsi

Menurut Transparency International11definisi korupsi adalah mencakup

perilaku pejabat-pejabat sektor publik baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi secara lebih spesifik dikelompokan dalam dua kategori, yaitu korupsi sesuai peraturan yang berlaku dan korupsi melanggar peraturan yang berlaku.

Korupsi sesuai peraturan yang berlaku terjadi dalam situasi, apabila seorang pejabat mendapat keuntungan pribadi secara illegal karena melakukan sesuatu yang sudah menjadi kewajibannya untuk melaksanakan sesuai dengan undang-undang. Korupsi melanggar peraturan yang berlaku terjadi dalam situasi, suap diberikan kepada pejabat yang menurut undang-undang dilarang untuk       

11

Pope J, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal 7.


(46)

12   

melakukan pelayanan tersebut. Keduanya dapat terjadi dalam semua tingkat hierarki pemerintahan.

Namun, korupsi dapat juga dipandang sebagai prilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”, artinya, dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, apakah ini dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Prinsip ini adalah landasan untuk organisasi apapun mencapai efisiensi, apabila sekali dilanggar, maka korupsi akan timbul.

Menurut World Bank Guidelines12“Praktek Korupsi” adalah

menawarkan, memberikan, menerima atau meminta, langsung atau tidak langsung, segala sesuatu yang bernilai untuk memengaruhi tindakan pihak lain secara tidak patut . Sedangkan “Praktek Kecurangan “ adalah suatu tindakan atau penghapusan, termasuk misrepresentasi yang secara sadar maupun secara sembrono menyesatkan atau berupaya menyesatkan , suatu pihak untuk mendapatkan keuntungan financial atau keuntungan lain atau menghindari kewajiban. “Praktek Kolusi” adalah kesepakatan dua pihak atau lebih yang dirancang untuk mencapai tujuan yang tidak sepatutnya, termasuk untuk memengaruhi tindakan pihak lain secara tidak patut.

“Praktek pemaksaan (koersif)” mencakup merusak atau merugikan , atau mengancam untuk merusak atau merugikan , secara langsung ataupun tidak langsung, suatu pihak atau property pihak tersebut untuk memengaruhi tindakan-tindakan suatu pihak secara tidak patut. Dan “Praktek obstruktiif” adalah (i) dengan sengaja merusak, memalsukan, mengubah, atau menyembunyikan bahan bukti investigasi, atau membuat pernyataan palsu kepada petugas penyelidik untuk secara material menghalangi investigasi bank terhadap tuduhan praktek korupsi kecurangan, pemaksaan atau kolusi, dan atau mengancam ,mengganggu, mengintimidasi suatu pihak untuk menghalanginya dalam menyingkap pengetahuannya tentang hal hal yang terkait dengan investigasi atau dalam melakukan investigasi, (ii) perbuatan yang secara material menghalangi hak pelaksanaan Bank dalam mengaudit atau mengakses informasi.

      

12


(47)

13   

Menurut Undang Undang, definisi korupsi telah secara lengkap dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam Undang Undang (UU) Nomer 31 tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana terdapat 30 jenis korupsi yang dikelompokan menjadi Kerugian Keuangan Negara (2 jenis), Suap Menyuap (12 Jenis), Penggelapan dalam jabatan (5 Jenis), Pemerasan (3 jenis), Perbuatan curang (6 Jenis), Benturan kepentingan dalam

pengadaan (1 jenis), Gratifikasi (1 jenis)13.

Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi

terdiri atas14: Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21), tidak

memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (Pasal 22 jo.Pasal 28), bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22 jo. Pasal 29), dan Sanksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu ( Pasal 22 jo.Pasal 35), orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu (Pasal 22 jo.Pasal 36) dan saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 jo.Pasal 31).

Damanhuri15 membagi korupsi menjadi 7 macam, yaitu korupsi

transaktive (kolusi), extortive (memeras), investive (suap), nepotisme, autogenic

(Dilakukan seorang diri), Supportive (bias kekuasaan), dan defensive

(Keterpaksaan). Sedangkan Lopa16 membagi korupsi menjadi dua bentuk, yaitu

material/economic corruption dan political corruption. Bentuk pertama, adalah

yang lebih banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi (uang) dengan manipulasi di bidang ekonomi yang merugikan perekonomian negara, dan yang kedua, berupa perbuatan manipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan, dan campur tangan yang dapat memengaruhi kebebasan memilih, komersialisasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat admnistaratif, janji jabatan dan sebagainya.

      

13 KPK, Memahami Untuk Membasmi, Jakarta:KPK, 2006,hal 15,

http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1250, 28 November 2011. 14 Ibid.

15

Damanhuri DS, Ekonomi Politik Alternatif, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,1996, hal 124. 16


(48)

14   

Menurut Klitgaard17 korupsi dapat dilakukan secara free lance yang

artinya pejabat secara sendiri atau dalam sekelompok kecil menggunakan

wewenang yang dimilikinya untuk meminta suap dan hypercorruption yaitu

korupsi yang tidak menghiraukan aturan main sama sekali, yang sistematis menimbulkan kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif, kerugian politik, kerugian sosial, karena kekayaan dan kekuasaan jatuh ke tangan-tangan yang

tidak berhak. Namun sayangnya jenis hypercorruption adalah yang dewasa ini

sering kita jumpai di pemerintahan daerah di berbagai negara di dunia, sehingga hak milik tidak dihormati, aturan hukum diremehkan, membuat kacau insentif investasi, dan berakibat melumpuhkan pembangunan ekonomi dan politik daerah.

Hubungan pola korupsi dalam hierarki ada dua macam18, yaitu hubungan

pola dari bawah ke atas (bottom-up) dan hubungan dengan pola dari atas ke

bawah (top-down). Pola yang pertama dilakukan dengan cara para pegawai

tingkat rendah mengumpulkan suap dan membaginya dengan atasan mereka, secara langsung maupun tidak langsung. Pola yang kedua beroperasi dimana pegawai tinggi/ pimpinan menutup mulut para bawahannya dengan membagikan keuntungannya yang didapatkan dengan korupsi, melalui gaji yang tinggi dan fasilitas untuk bawahan atau keuntungan dibawah meja.

Bentuk dan definisi korupsi yang luas menjadikan makna korupsi masih rancu (ambigu) sehingga sulit dibedakan. Contohnya adalah batas perbedaan

antara korupsi ekonomi (economic corruption) dan korupsi politik (political

corruption). Walaupun demikian menurut Riyanto19 usaha untuk kepentingan

pribadi termasuk upaya merancang kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan peluang atau kesempatan agar tetap bertahan di pemerintahan dapat dipandang

sebagai korupsi ekonomi politik (political economic corruption).

Dari berbagai pandangan para ahli, ada banyak faktor yang mendorong

terjadinya korupsi, menurut Nisjar20ada empat faktor penyebab terjadinya korupsi,

      

17

Klitgaard R, Penuntun Pemberantasan korupsi dalam pemerintahan daerah, Jakarta:Yayasan Obor, 2005,hal 3.

18

Ackerman SR, Korupsi dan Pemerintahan : Sebab, akibat dan reformasi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006, hal 115

19

Riyanto,Korupsidalam Pembangunan Ekonomi Wilayah: Suatu Kajian Ekonomi Politik dan Budaya, Disertasi, Pascasarjana IPB, 2008, hal 35.

20

Nisjar K, Corruption In Less Developed Countries (a study on the Problem and Sollution of Corruption in Indonesia), Jurnal Akuntansi/thIX/03/September/2005, hal 260.


(49)

15   

yaitu: (1) Sistem administrasi yang memberi peluang terjadinya kebocoran, (2) Tingkat kesejahteraan aparatur rendah, (3) Hukum yang ada belum cukup menangani perkembangan tindak korupsi yang merajalela, serta sanksi hukum atas tindak pidana korupsi belum maksimal dijalankan, (4) Kecenderungan kolusi yang sulit dibuktikan. Sedangkan Lutfi menyatakan faktor-faktor penyebab korupsi adalah (1) Motif, motif ekonomi maupun politik,(2) Peluang,(3) lemahnya

pengawasan21.

Singh22 menemukan bahwa sebab terjadinya korupsi di India adalah

kelemahan moral (41.3 persen), tekanan ekonomi (23.8 persen), hambatan struktur administras (17.2 persen), hambatan struktur social (7.08 persen). Ainan 23

menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu : (1) Perumusan undang-undang yang kurang sempurna, (2) Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes dan (3) Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti dan suap.

Selain itu, Menurut Pope faktor paling populer yang sering disebut-sebut sebagai penyebab korupsi, yaitu kemiskinan dan mitos kebudayaan. Kemiskinan menurut sebagian orang adalah akar korupsi, dimana ketiadaan harta dan kemakmuran membuat orang terpaksa untuk mencari sumber dana tidak legal untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, namun persepsi tersebut segera terbantahkan karena banyaknya koruptor-koruptor pada berbagai kasus korupsi melibatkan banyak kelompok konglomerat dan pejabat-pejabat daerah yang tidak termasuk dalam kelompok “miskin”, apabila kemiskinan menyebabkan korupsi maka sulit menjelaskan mengapa negara-negara kaya dan makmur pun penuh dengan skandal korupsi.

Korupsi merupakan pisau bermata dua, dimana korupsi dapat muncul dari harta dan kemakmuran, atau juga dapat muncul dari ketiadaan harta dan kemakmuran. Korupsi justru dapat menyebabkan kemiskinan, karena keputusan-keputusan mengenai anggaran publik di dasarkan pada pertimbangan keuntungan       

21

Lutfi dalam Sopanah, Wahyudi I, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Korupsi APBD di Malang Raya, hal 5. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/277/290, diakses 14/9/2012

22

Singh dalam Soesatyo B, Perang-perangan Melawan Korupsi : Pemberantasan Korupsi di Bawah pemerintahan Presiden SBY, Jakarta:Ufuk Press, 2010, hal 26.

23


(50)

16   

pribadi dan ditopang oleh uang sogok luar biasa besar dari perusahaan-perusahaan dari negara industri tanpa mempertimbangkan sedikitpun kepentingan negara

bersangkutan atau rakyatnya24.

Di Negara-negara berkembang korupsi merupakan bagian dari kebudayaan, yang berasal dari kebiasaan memberi hadiah, bahkan di beberapa lembaga negara korupsi menjadi sesuatu yang biasa terjadi. Namun apabila kita lihat kebelakang korupsi merupakan sebuah kebudayaan yang dibawa oleh kekuatan asing, misalkan di negara-negara Afrika penjajahan ditandai oleh tidak adanya transparansi. Pengadilan yang ada bukan untuk menegakan keadilan dan hukum, justru untuk mempertahankan penjajahan. Sesungguhnya dalam konsep Afrika mengenai hormat-menghormati dan sopan santun, hadiah biasanya kecil saja, memberi hadiah bukanlah suatu keharusan, nilai yang dilihat adalah semangatnya bukan dari berapa besar hadiahnya. Pemberian hadiah biasa dilakukan secara terbuka, bukan sembunyi-sembunyi, dan nilainya apabila berlebihan akan membuat orang merasa malu.

Klitgaard memodelkan secara sederhana faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya korupsi, yaitu Korupsi (Corruption) sama dengan kekuasaan monopoli

(Monopoly power) ditambah wewenang pejabat (Discretion by officials) dikurangi

akuntabilitas (Accountability) atau dapat pula dirumuskan seperti di bawah ini25:

C = M + D – A………(2.0) Korupsi adalah kejahatan kalkulasi , orang cenderung melakukan korupsi apabila resikonya rendah, sanksi ringan dan hasilnya besar. Apabila kekuasaan monopoli makin besar maka hasil yang diperoleh akan lebih besar. Berdasarkan model yang disusun Klitgaard menunjukan bahwa korupsi akan muncul jika terjadi monopoli terhadap sumber-sumber ekonomi, terjadinya penyimpangan kebijakan publik, dan tidak adanya pertanggungjawaban terhadap publik setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Maka salah satu pendekatan membasmi korupsi adalah dengan cara mengurangi monopoli, memperjelas dan membatasi wewenang, juga meningkatkan akuntabilitas.

      

24

Pope J, op.cit, hal 17. 25


(51)

17   

Semua faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi di atas tidak dapat dipisahkan, seluruhnya adalah satu kesatuan yang pada akhirnya menciptakan prilaku korupsi. Namun khusus bagi kasus Indonesia pada era desentralisasi fiskal, ada faktor politik yang mendorong terjadinya korupsi di daerah, termasuk yang bersumber dari APBD, yaitu kekeliruan dalam penyelengaraan pemilu

kepala daerah (PILKADA). Pilkada dijadikan ajang transaksional, biaya tinggi

dalam pemilihan membuat calon kepala daerah mencari sumbangan dari sektor swasta. Akibatnya , setelah calon terpilih kepala daerah sibuk mengembalikan uang yang dikeluarkan dalam pemilihan, sekaligus mengembalikan investasi yang

diberikan pihak swasta yang membantunya26.

Sedangkan pada praktek pilkada di daerah Sulistio27 mengungkap ada lima

hal tindakan korupsi yang biasa dilakukan kontestan, terutama incumbent dalam

proses pelaksanaan pilkada, yaitu: (1)Penyelewengan jabatan, (2)Pemakaian

fasilitas publik, (3)Money politics, (4)Manipulasi dana kampanye, dan

(5)Pemakaian anggaran publik.

Secara lebih jelas, Jain28 melakukan pemetaan area tempat korupsi terjadi

di negara demokrasi, yang kemudian disesuaikan untuk kondisi di Indonesia oleh 

Zachrie dan Wijayanto29, Gambar 5 di bawah ini membantu memberikan

gambaran untuk tempat yang berpotensi korupsi.

Interaksi 1, melibatkan rakyat dan pemimpin negara (dalam kasus daerah adalah rakyat dan pemimpin daerah) yang dipilih berdasarkan proses demokrasi, dalam interaksi ini menimbulkan peluang korupsi politik dalam berbagai bentuk,

termasuk salah satunya money politics, dukungan pembiayaan mereka dapatkan

dari para investor politik. Interaksi 2 terdiri atas 3 bagian, yaitu (1) interaksi antara birokrat dan pemimpin pilihan rakyat, (2) Interaksi antara birokrat dan       

26

Pernyataan Arif Nur Alam (Direktur Eksekutif Indonesia Budget Centre) dalam Soesatyo B,

Op.cit, hal 29. 27

Sulistio F, Perilaku Korupsi dalam Pemilukada, Dipublikasikan dalam Jurnal Konstitusi PPK FH UB.http://faizinsulistio.lecture.ub.ac.id/2011/05/perilaku-korupsi-dalam-pemilukada/, diakses 6/4/2012

28

Jain AK, Corruption: A Review, Jurnal of Economic Survey, Vol 15, No.1, Corcodia University, 2001, hal 74.

29

Zachrie R, Wijayanto, Korupsi Mengorupsi Indonesia : Sebab akibat dan Prospek Pemberantasan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, hal 13-15.


(52)

18   

anggota legislatif dan (3) Interaksi antara birokrat dan rakyat. Interaksi ini membuka peluang terjadinya korupsi birokrat. Birokrat/ pejabat publik yang dipilih oleh pemimpin negara adalah perpanjangan tangan untuk memeras kekayaan negara, dan menyerahkan setoran rutin kepada para elit politik untuk melanggengkan posisi politik mereka melalui proses demokrasi yang koruptif.

Sumber : Zachrie, Wijayanto, 2010.

Gambar 5. Interaksi yang Berpotensi Menimbulkan Korupsi di Negara Demokrasi Interaksi 3, Interaksi antara pemimpin negara dan anggota legislatif dalam merumuskan dan menyetujui berbagai program pemerintah biasanya terjadi tarik menarik kepentingan dan sangat rentan menimbulkan perselingkuhan, karena konstituen tidak dapat mengawasi apakah para wakil yang mereka pilih benar-benar mewakili kepentingan mereka, proses pembuatan program pemerintah sangat miskin akuntabilitas. Mereka dapat merumuskan dan memutuskan

Birokrat

Anggota Legislatif Pemimpin

Negara

Rakyat:

Menerima manfaat tergantung dari kemampuan untuk memengaruhi pengambilan keputusan

2 2

2 3

4

memilih memilih

Menyetujui berbagai program

pemerintah

Kebijakan

Publik Menegakan

hukum dan perundangan memilih

Memberikan Jasa


(53)

19   

kebijakan yang tidak menomorsatukan kepentingan rakyat, misalnya dalam kebijakan alokasi anggaran, elite politik dapat mengarahkan penggunaan anggaran pemerintah untuk sektor yang kurang bermanfaat bagi rakyat, tapi dapat memperbesar bisnis para “investor politik” mereka (mereka adalah pemimpin negara dan legislatif).

Interaksi 4 Korupsi Legislatif, interaksi yang melibatkan rakyat dan anggota legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum, seringkali dalam proses pemilihan umum legislatif, legislatif menyuap rakyat agar mereka terpilih dalam

pemilu (vote buying) sehingga mereka terpilih bukan berdasarkan kinerja tapi

berdasarkan kemampuan financial mereka. Tentu saja pada akhirnya para investor politik dimana uang tersebut bersumber mengharapkan “pengembalian investasi” berupa kebijakan yang menguntungkan mereka.

Menurut Kwik30 korupsi kolusi nepotisme (KKN) adalah akar dari segala

permasalahan negara (the roots af all evils). KKN tidak terbatas pada mencuri

uang namun juga sudah merasuk kedalam mental, moral, tata nilai, dan cara berfikir. Sejak Jaman Yunani kuno sudah dikenal adanya pikiran yang teracuni

oleh korupsi (Corrupted mind). Daya rusaknya sangat dahsyat, karena sudah

menjadikan orang tersebut menjadi tidak normal lagi dalam sikap, prilaku, dan nalar berpikirnya. Menurutnya konsep dasar pemberantasan korupsi itu sederhana,

yaitu menerapkan Carrot and Stick.

Carrot adalah pendapatan bersih (net take home pay) untuk pegawai negeri,

sipil, maupun Tentara Negara Indonesia (TNI) Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang jelas mencukupi untuk hidup dengan standar yang sesuai dengan pendidikan, pengetahuan, tanggung jawab, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya. Pendapatan tersebut dibuat tinggi, sehingga tidak hanya cukup untuk hidup layak, tetapi cukup untuk hidup dengan gaya “gagah” namun tidak berlebihan, sehingga sama dengan kualifikasi pendidikan dan kemampuan serta kepemimpinan yang sama di sektor swasta.

Stick atau arti harfiahnya pentung adalah hukuman yang dikenakan apabila

semua telah terpenuhi tetapi masih berani korupsi. Maka siapapun yang telah       

30

Kwik KG, Pemberantasan Korupsi: Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan, 2003, hal 2, www.bappenas.go.id/get-file-server/node/5419/ , 28 november 2011.


(54)

20   

melakukan korupsi harus siap menerima hukuman yang seberat-beratnya. Konsep

Carrot and Stick ini harus dijalankan beriringan, dalam era pemberantasan

korupsi di Indonesia sekarang konsep Carrot sudah mulai ditegakan namun Stick

belum.

Selain itu, penerapan Good Governance dapat menjadi solusi dalam

meminimalisir korupsi pada tubuh pemerintahan, menurut United Nation

Development Programme (UNDP) 1997 ada sembilan prinsip yang menandai

adanya Good Governance31, yaitu :

1. Partisipasi masyarakat : Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam

pengambilan keputusan, baik secara langsung, maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh di bangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.

2. Tegaknya supremasi hukum : Kerangka hukum harus adil dan

diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. Penegakan hukum yang netral memerlukan suatu sistem peradilan yang independen dan kesatuan polisi netral yang tidak korup.

3. Transparansi : Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang

bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dipantau dan mudah dipahami.

4. Peduli pada pemangku kepentingan stakeholder (Rensponsif) :

lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan dengan jangka waktu yang wajar.

5. Berorientasi pada konsensus : tata pemerintahan yang baik menjebatani

kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi masyarakat, dan bila mungkin, consensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur.

      

31


(55)

21   

6. Kesetaraan : Semua masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki dan

mempertahankan kesejahteraan mereka.

7. Efektifitas dan efisiensi : Proses pemerintahan dan lembaga-lembaga

membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

8. Akuntabilitas : Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan

organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu sama lainnya, tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.

9. Visi dan Strategis : Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif

yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

2.1.2 Korupsi di Indonesia

Menurut Damanhuri analisis korupsi di Indonesia dikemukakan oleh dua pemikir, yaitu Myrdal dan Alatas. Myrdal menyatakan korupsi di Asia Selatan dan Asia Tenggara berasal dari penyakit neopatrimonalisme, yakni warisan feodal

kerajaan-kerajaan lama yang terbiasa dengan hubungan patron-client. Dalam hal

ini rakyat biasa atau bawahan terbiasa memberi “upeti” kepada pemegang kekuasaan atau atasan. Sedangkan Alatas, pakar sosiologi korupsi, menyatakan korupsi di Asia dikaitkan dengan warisan dari kondisi historis struktural yang telah berjalan akibat lamanya masa penjajahan . Dengan demikian secara terus menerus bangsa ini melakukan pemutarbalikan norma, dimana yang salah jadi benar, dan yang benar jadi salah, namun yang diutamakan adalah terjaganya

loyalitas terhadap penguasa32.

Pengulangan terus menerus terjadi terhadap norma, baik dilakukan oleh penguasa maupun masyarakat, akhirnya penyakit menahun itu, menjadi kebiasaan       

32

Damanhuri DS, Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Jakarta: LPFEUI, 2006, hal 9.


(56)

22   

dan mendarah daging dalam intelektual juga emosional. Maka norma lain terbentuk, norma negatif yang bertentangan dengan norma lama. Menurut Alatas, walaupun kebijakan anti-korupsi banyak dibentuk, akhirnya korupsi diterima sebagai praktek yang tak terhindarkan karena dirasakan terlalu berakar, sehingga sulit untuk diberantas. Secara tidak disadari penyakit-penyakit tersebut sudah

menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia33.

Menurut sejarah, korupsi di Indonesia yang terjadi pada masa kini, tidak

terlepas dari watak para elite-nya. Sejarahwan dari Arsip Nasional Republik

Indonesia (ANRI) Lohanda34 memaparkan pada masa Majapahit sebelum Portugis

datang ke Malaka. Suku Jawa adalah pedagang dan pelaut yang memasarkan berbagai rempah di Malaka, Mereka bermitra dengan China, India, dan Arab. Kapiten Jawa sebagai ketua komunitas pedagang jawa merupakan bandar dunia saat itu. Proses kolonialisasi di Indonesia terjadi pada masa kesultanan, dimana ketika para elite penguasa saat itu sangat suka menerima upeti-upeti tanpa melakukan kerja keras, dan menerima berbagai bentuk hutang. Pada saat mereka tidak mampu membayar hutang, pembayaran dilakukan dengan melepas satu persatu pelabuhan dan berbagai wilayah strategis di Indonesia kepada pihak asing.

Rickleffs adalah sejarahwan Australia yang menegaskan bahwa raja Mataram pernah mengeluarkan ketentuan bahwa orang Jawa tidak boleh berlayar kemanapun diluar Jawa, Madura dan Bali. Ketentuan tersebut lahir karena banyaknya pelabuhan yang sudah dilepaskan ke tangan pihak asing. Suku bangsa Jawa pada akhirnya berorientasi kedaratan, namun ketika terjadi perang suksesi dan sang raja terdesak lengser dari tahta, dia menjanjikan daerah-daerah strategis kepada VOC. Selain itu, Windu alumnus jurusan arkeologi Universitas Udayana Bali, mengisahkan besarnya angka pajak dalam prasasti-prasasti kerajaan sudah

dilakukan pemahalan (mark up) terlebih dahulu oleh para pemungut cukai

kerajaan pada saat itu35. Berbagai hal tersebut menunjukan korupsi sudah terjadi

sejak masa kerajaan di Indonesia. Bahkan pada masa penjajahan Belanda, VOC bangkrut pada awal abad ke-20 karena korupsi yang merajalela ditubuhnya.

      

33 Ibid. 34

Santosa I (Maria Hartiningsih), opcit, hal 108-109. 35


(57)

23   

Menurut Damanhuri36 pemerintahan Orde Lama juga tidak luput dari

praktek korupsi, sejarah pernah mencatat bahwa Iskak Tjokroadisuryo, mentri ekonomi pada kabinet Alisostroamidjojo I, telah melakukan penyalahgunaan

kekuasaan (abuse of power). Penyalahgunaan kekuasaan dilakukan pada lisensi

impor dari kebijakan politik Benteng yang bertujuan untuk memberdayakan para pengusaha pribumi yang kompeten, namun ternyata dijual kepada para pengusaha Cina dan konco-konconya.

Sejak itu KKN skala mega mulai berkembang, namun karena masih diwarnai semangat kemerdekaan, berhasil dilakukan kebijakan tindakan pemberantasan korupsi yang efektif, yang dilakukan oleh Perdana Mentri Burhanudin Harahap yang bekerjasama dengan TNI angkatan Darat. Namun kabinet ini berumur pendek karena terdapat konflik antarpartai sehingga konstituate dibubarkan pada 5 Juli 1965, seiring dengan nasionalisasi perusahaan asing. Sejak itu BUMN banyak diwarnai oleh KKN karena di lakukan pihak partai, dan akhirnya menjadi ciri khasnya hingga masa kini.

Masa Orde Baru (OrBa) adalah masa yang penuh dengan praktek kolusi yang terus menerus dalam waktu yang cukup lama, yaitu lebih dari 30 tahun. Praktek kolusi begitu melembaga dan biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan (pemerintah) dengan kalangan pengusaha swasta. Kolusi yang terjadi adalah untuk memperebutkan lisensi, perizinan dan bentuk pemburuan rente lainnya. Sumber daya pemerintah yang ada kemudian hanya akan dinikmati oleh segelintir kelompok kepentingan yang bertujuan memperkaya diri sendiri.

Hal ini terjadi, karena di satu sisi pemerintah (penguasa dan birokrat) membutuhkan pengusaha untuk pembangunan ekonomi, sedangkam kalangan pengusaha swasta membutuhkan penyediaan sumber-sumber ekonomi dan perlindungan. Pada saat itu, pengusaha swasta tidak meningkatkan kemampuan kompetitifnya dan pemerintah tidak mau menciptakan kondisi persaingan yang sehat. Karena, pemerintah tidak menginginkan menguatnya kalangan pengusaha swasta yang mengancam kedudukan mereka, melainkan lebih ingin menjadi       

36

Damanhuri DS, Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori ,Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang, Bogor: IPB Press, 2010, hal 127.


(58)

24   

penyedia sumber daya ekonomi , proteksi dan monopoli, sehingga dapat menarik

“upeti” yang lebih besar lagi dari para kalangan pengusaha swasta37. Semua hal

itu pada akhirnya menciptakan kesenjangan yang lebar antara pusat dan daerah, yang akhirnya menciptakan ketidakstabilan kekuasaan Orde Baru.

Damanhuri38 mencatat potret korupsi yang terjadi pada masa Orde Baru,

yaitu dimulai oleh korupsi pertamina yang berskala mega pada tahun 1975, dengan kerugian negara sebesar 12,5 miliar dollar AS. Namun tidak adanya tindakan hukum kepada pelaku-pelaku yang terlibat, menunjukan kelumpuhan penegakan hukum untuk kasus korupsi pada saat itu. Kemudian terdapat aliran utang luar negeri rata-rata sebesar 5 miliar dollar AS per tahun, sehingga pada saat Pak Soeharto lengser, stok utang pemerintah sudah mencapai 70 miliar dollar AS. Pada masa itu terdapat banyak investasi langsung perusahaan asing, dan eksploitasi terhadap sumber daya alam (terutama migas dan hutan). Masa OrBa adalah masa pertumbuhan dan perkembangbiakan segala jenis dan bentuk korupsi, sehingga adanya potensi pertumbuhan ekonomi yang harusnya dapat tumbuh 12 persen per tahun hanya tumbuh di sekitar 7 persen per tahun.

Keruntuhan Orde Baru ditandai dengan reformasi yang dilakukan sejak 1998, Namun ternyata adanya era baru yang memiliki tujuan positif untuk kemajuan ekonomi maupun politik, justru membuka celah korupsi yang semakin menyebar ke daerah dan berbagai lembaga pemerintah, yudikatif maupun

legislatif (pusat dan daerah). Rachbini39 memaparkan demokrasi pada masa

desentralisasi berada masa transisi yang belum matang. Wujud kelahirannya yang tiba-tiba tidak memberikan kesempatan belajar yang cukup. Akhirnya , pelaku demokrasi kaget dan tidak memiliki keseimbangan untuk mendorong demokrasi yang adil, transparan dan tertuju untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Bentuk demokrasi yang tidak sempurna muncul kembali, seperti bentuk kolusi pada masa Orde Baru, bahkan lebih parah yaitu kolusi yang melibatkan tidak hanya pemerintah dan pengusaha swasta, tetapi antar parlemen (DPR/DPRD) dengan pemerintah maupun pemerintah daerah, dengan       

37

Harman BK, Negeri Mafia Republik Koruptor:Menggugat Peran DPR Reformasi,

Yogyakarta:Lamalera,2012, hal 102. 38

Damanhuri DS, op.cit, hal 128. 39


(59)

25   

memperebutkan kekuasaan maupun anggaran yang ada yaitu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pada masa pascareformasi parlemen semakin kuat, Parlemen memiliki

fungsi legislasi dalam membentuk undang-undang, fungsi budget dalam

membahas dan menyetujui anggaran, dan fungsi controlling untuk melakukan

pengawasan melalui berbagai instrumen yang dapat dioptimalkan bagi

pemberantasan dan pengurangan secara efektif terhadap praktek korupsi40.

Namun alih-alih melakukan check and balance, parlemen justru banyak

melakukan penyelewengan, melakukan praktek-praktek kolusif yang bertujuan hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi dan lingkaran kecil disekitarnya. Di sisi lain tidak ada kekuatan yang mengontrol parlemen, sehingga DPR/DPRD menjadi tempat berkembangnya praktek politik uang dan korupsi.

Kondisi daerah-daerah di Indonesia setelah lebih dari satu dasawarsa otonomi daerah, ternyata kurang memperlihatkan perbaikan pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat yang signifikan. Otonomi daerah dimaksudkan untuk membentuk keseimbangan antara pusat dan daerah, namun sejauh ini hasil yang dapat dirasakan dalam hanyalah ditebarkannya anggaran besar ke berbagai daerah dalam rangka otonomi anggaran. Pemerintah daerah dan DPRD dapat menentukan pembiayaannya sendiri sesuai kewenangannya, sehingga kekuasaan yang ada di tangan DPR/DPRD dapat disalah gunakan, misalnya untuk jual beli pengalokasian anggaran ,dan proses pengambilan keputusan diambil tidak transparan. Ternyata desentralisasi menghasilkan bukan

hanya praktek kolusi yang vertikal (model patron-client) tapi juga horizontal

(eksekutif-legislatif).

Harman41 menggambarkan secara singkat bagaimana dampak korupsi

terhadap kemajuan ekonomi di Indonesia, salah satunya adalah kerugian negara, yang secara tidak langsung berdampak pada kemajuan pembangunan ekonomi. Kekuatan negara disokong oleh APBN/APBD, namun kebocoran anggaran maupun pendapatan itu tentu saja akan menghambat tercapainya tujuan, hambatan       

40

Harman BK, op.cit, hal 20-21. 41


(60)

26   

yang tercipta akibat relasi politik, bisnis dan birokratik yang korup menimbulkan dampak ekonomi sebagai berikut:

Pertama, para investor asing enggan menanamkan modal dalam jangka

panjang di Indonesia, karena tidak adanya kepercayaan bisnis (business

confidence), motif pelaku bisnis lebih terhadap mengeruk kepentingan sebanyak

mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin, sehingga kehilangan kesempatan jangka panjang. Kedua, Ekonomi biaya tinggi yang tercipta akibat maraknya pungutan yang semakin tersebar luas mengakibatkan biaya produksi menjadi mahal. Ketiga, Dengan adanya peningkatan biaya produksi hingga 5 persen sampai 7 persen, pengusaha menyiasatinya dengan menekan upah buruh, sehingga tingkat upah buruh menjadi sangat rendah. Keempat, korupsi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi juga menghambat pertumbuhan industri nasional, yang berdampak pada menurunnya daya saing produk-produk dalam pasar global. Kelima, Dampak korupsi bukan saja pada nilai kerugian negara, namun juga terhadap sumber daya alam (SDA), rakyat yang bergantung pada SDA itu kehilangan mata pencaharian atau akses terhadap lahan, dan pada akhirnya SDA yang terdistorsi itu juga akan menimbulkan kerusakan lingkungan

2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Sukirno42 istilah pertumbuhan ekonomi digunakan untuk

mengukur prestasi dari perkembangan suatu ekonomi. Pertumbuhan ekonomi

(economic growth) adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu

dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya.

Dalam kegiatan perekonomian yang sebenarnya pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan fiskal produksi barang dan jasa yang berlaku di suatu negara, seperti pertambahan dan dan jumlah produksi barang industri, perkembangan infrastruktur, pertambahan jumlah sekolah, pertambahan produksi sektor jasa dan pertambahan produksi barang modal.

      

42


(61)

27   

Perhitungan pendapatan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pendapatan menurut harga berlaku yang memberi gambaran mengenai kemampuan rata-rata dari penduduk negara berbelanja dan membeli barang-barang dan jasa yang diperlukannya, dan pendapatan menurut harga konstan untuk menunjukan tingkat kemakmuran di suatu negara.

Faktor-faktor penting yang dapat memengaruhi perkembangan pertumbuhan ekonomi yang telah lama dipandang oleh para ahli ekonomi adalah kekayaan alam yang dimiliki suatu daerah/ negara, jumlah dan kemampuan tenaga kerja, tersedianya usahawan yang gigih, kemampuan mengembangkan dan menggunakan teknologi modern, serta kestabilan politik juga kebijakan ekonomi pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi yang baik dapat tercapai apabila terjadi penataan kelembagaan yang dilakukan secara nasional dan menyeluruh. Peranan politik pemerintah akan memiliki arti yang besar bagi pembangunan peranan kelembagaan-kelembagaan yang ada untuk menopang pilar pilar kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi. Negara-negara maju yang berhasil keluar dari perekonomian yang terbelakang, biasanya memulai dengan penataan kelembagaan-kelembagaan sehingga dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi

yang self government43yaitu pemerintahan yang mandiri yang memiliki

lembaga-lembaga yang mendukung aspek hukum, pendidikan masyarakat dan sebagainya . Beberapa permasalahan ekonomi yang perlu diatasi dalam mencapai

pertumbuhan ekonomi yang baik tercermin dalam pemikiran Arthur Lewis yaitu

44

: (1)Pertumbuhan ekonomi bergantung pada usaha mengefektifkan penggunaan

input yang ada, (2)Peningkatan pengetahuan dan penerapannya mempunyai

peranan penting dalam meningkatkan produktivitas suatu masyarakat, (3) Produktivitas dapat ditingkatkan dengan mempertinggi ketersediaan modal

(capital) perkapita sehingga masyarakat memiliki lebih banyak peluang untuk

melakukan kegiatan-kegiatan produksi

      

43

Rachbini DJ, Pembangunan Ekonomi dan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Garsindo, 2001, hal 63.

44


(62)

28   

Dari zaman ke zaman pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu bidang penyelidikan yang sudah lama dibahas oleh ahli-ahli ekonomi. Teori Pertumbuhan ekonomi terus berkembang, seperti diuraikan di bawah ini :

Teori Pertumbuhan Klasik

Smith (1776) dan Ricardo (1817)45 adalah dua tokoh pemikiran

pertumbuhan ekonomi klasik. Menurut Smith dan Ricardo faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi adalah tingkat perkembangan masyarakat yang ditentukan dari jumlah penduduk, jumlah stok modal, luas tanah dan tingkat teknologi.

Pendapatan masyarakat dapat di kategorikan sebagai upah pekerja, keuntungan pengusaha, dan sewa tanah. Apabila upah pekerja naik akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan penduduk, dan tingkat keuntungan akan menentukan pembentukan modal. Smith berpendapat bahwa perkembangan penduduk akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar dan perluasan pasar akan meningkatkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut. Spesialisasi, kemudian akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan mendorong perkembangan teknologi. Kenaikan dalam produktivitas yang di sebabkan oleh kemajuan teknologi akan meningkatkan tingkat upah dan keuntungan, pada saat yang bersamaan pertumbuhan penduduk juga akan meningkatkan akumulasi capital dan tabungan.

Dengan adanya akumulasi kapital maka stok alat-alat modal dapat ditambah dan dapat mendorong meningkatnya produktivitas dan teknologi yang berkelanjutan sehingga proses pertumbuhan akan terus berlangsung sampai

seluruh sumber daya alam termanfaatkan atau tercapai kondisi stationary state.

Sedangkan Ricardo berpendapat dalam berbagai kegiatan ekonomi akan berlaku

the law diminishing return , misalkan pertumbuhan penduduk yang tinggi akan

berakibat pada turunnya tingkat upah pekerja, menurunkan keuntungan, dan meningkatkan sewa tanah.

      

45

Smith dan Ricardo dalam Priyarsono DS, Sahara, Firdaus M, Ekonomi Regional, Jakarta: Universitas terbuka, 2007, hal 93-99.


(1)

Sama sekali tidak mendukung 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sangat mendukung

P13b. Mangapa Anda mengatakan demikian?

.……… ………

……… ……….

……… ……….

……… ……….

Kinerja Pelayanan

P14. Apakah institusi anda melayani masyarakat umum?

Ya ... 1 Tidak ... 2 LANGSUNG KE P16

P15. (SHOW CARD) Dengan skala 0 sampai 10, bagaimanakah anda menilai kualitas pelayanan yang diberikan oleh institusi anda kepada masyarakat? [Definisi kualitas disini adalah pelayanan tepat waktu sesuai peraturan, transparansi biaya pelayanan, dan pelayanan yang diberikan]


(2)

P16a. [SHOW CARD] Seandainya Anda diberikan tongkat wasiat yang punya kekuatan untuk menghentikan korupsi saat itu juga, sebutkan satu lembaga pemerintah di mana Anda akan menggunakan tongkat wasiat tsb. Untuk Lembaga mana Anda akan

menggunakannya? [S]

Kantor pajak ... 1

... Polisi ... 2

Kantor Imigrasi ... 3

Badan pertanahan (BPN) ... 4

DPR/DPRD ... 5

Kejaksaan ... 6

Pengadilan ... 7

Kantor Layanan Publik /One Stop Service ... 8

Departmen Agama ... 9

Departmen Pendidikan ... 10 P16b. Mengapa lembaga itu yang menjadi prioritas Anda ?

... ...

... ...

... ...

P17. Menurut anda, bagaimana kita dapat berpartisipasi memberantas praktek korupsi? PROBE. TULIS VERBATIM

... ...

... ...

... ...

SEBELUM KAMI MENGAKHIRI INTERVIEW, BOLEHKAH KAMI MENANYAKAN BEBERAPA PERTANYAAN TAMBAHAN UNTUK KEPERLUAN KLASIFIKASI:

DEMOGRAFI:

 


(3)

Pria ... 1

Wanita ... 2

D2. Berapakah usia anda pada ulang tahun terakhir? TULISKAN USIA SEBENARNYA LALU LINGKARI KODE YANG SESUAI _________________ Tahun 15-19 tahun ... 1

20-29 tahun ... 2

30-39 tahun ... 3

40-49 tahun ... 4

50+ tahun ... 5

D3. Apakah pendidikan terakhir Anda? Tidak ada pendidikan formal ... 1

Tamat SD ... 2

SLP tidak tamat ... 3

Tamat SLP ... 4

SMU tidak tamat ... 5

Tamat SMU ... 6

Akademi/D3 ... 7

Universitas/S1 ... 8

Paska sarjana/S2 ... 9

Doktoral/PhD. ... 10

D4.

Apa status perkawinan anda?

Belum menikah ... ... 1

Sudah menikah ... ... 2

Duda/Janda/bercerai ... ... 3

  D5. Suku bangsa: Pribumi 1

Keturunan China 2

Keturunan Asing lainnya 3

D6. Agama responden: Islam 1


(4)

Lainnya (Sebutkan ……….) 5

PERNYATAAN INTERVIEWER

SAYA MENYATAKAN BAHWA SEKALI SAYA DITEMUKAN MENIPU PADA 1 PERTANYAAN, SEMUA KUESIONER TIDAK AKAN DIBAYAR, DAN SEMUA AKAN MENJADI MILIK PERUSAHAAN. SAYA JUGA BERSEDIA DI KELUARKAN DARI PT 3i-s TANPA PESANGON

APAPUN.

TANDA TANGAN INTERVIEWER: No. Coder :

No. Puncher :

JANGAN LUPA MEMBERIKAN FORM PENILAIAN/SELF COMPLETION SEBELUM  MENGAKHIRI.


(5)

FORM PENILAIAN/SELF COMPLETION

NAMA RESPONDEN: _________________________ [Swasta/Pejabat Publik/Tokoh

Masyarakat]

KOTA: _____________________________________

SC1. Seberapa setujukah anda dengan pernyataan-pernyataan berikut ini? SILAKAN MENILAI DENGAN MEMAKAI SKALA PENILAIAN INI: 4 artinya ’SANGAT SETUJU’

3 artinya ’SETUJU’ 2 artinya ’KURANG SETUJU’ 1 artinya ’TIDAK SETUJU’ LINGKARI SATU ANGKA YANG SESUAI

Sangat

setuju

Setuju Kurang

setuju

Tidak

setuju

Korupsi dilarang oleh agama

4

3

2

1

Ada ayat di dalam Kitab Suci yang melarang

korupsi

4 3 2 1

Perbuatan korupsi sangat merusak moral

4

3

2

1

Korupsi membunuh masa depan bangsa

4

3

2

1

Menyuap berarti ikut melakukan korupsi

4

3

2

1

Orang yang tidak melaporkan tindak korupsi,

ikut dalam tindakan korupsi

4 3 2 1

Korupsi pasti bisa dikurangi di daerah ini

4

3

2

1

Gerakan anti korupsi hanya bisa berhasil

dengan partisipasi masyarakat

4 3 2 1

Tidak ada yang bisa dilakukan untuk

memberantas korupsi di Indonesia

4 3 2 1

Media berperan paling besar dalam

mengungkap kasus korupsi

4 3 2 1

Korupsi penyebab kemiskinan

4

3

2

1

Korupsi membuat urusan jadi mudah

4

3

2

1

Korupsi membuat roda pembangunan

berjalan sehingga ekonomi tumbuh

4 3 2 1

Di Indonesia, korupsi sudah menjadi budaya

yang sulit dihapus

4 3 2 1

Gerakan anti korupsi adalah agenda pihak

asing untuk melemahkan Indonesia

4 3 2 1

Korupsi kecil-kecilan bisa dimaklumi karena

gaji pegawai negeri memang rendah

4 3 2 1

Korupsi menimbulkan ekonomi biaya tinggi

4

3

2

1


(6)