Jenis dan Sumber Data
80 penyalahgunaan kekuasaan abuse of power oleh para penguasa negara yang
bertujuan untuk memupuk kekayaan karena kontrol dan akses negara ada di tangan mereka. Jaringan patronase negara yang di bangun pada rezim
Soeharto di kalangan elite politik, kelompok bisnis dan birokrat, telah berhasil menimbun kekayaan bagi diri mereka sendiri melalui sistem yang
korup. Seiring dengan bergulirnya reformasi, jaringan patronase yang telah di bangun pada masa OrBa tidak hilang begitu saja, namun terwariskan ke
kekuasaan yang terdesentralisasi. Tahap Penyempurnaan kediktatoran Soeharto pada masa OrBa adalah
suatu keluarga oligarki kesultanan
117
, rezim Soeharto mengeruk kekayaan negara dan kebal hukum. Kekuasaan saat itu berada di tangan Soeharto atas
segala sumber kekayaan dan akses negara, dan dia membagikan berbagai proyek, lisensi agen tunggal, proteksi tarif, monopoli pasar dan impor, serta
konsesi penebangan hutan dan pertambangan, kepada keluarga dan konco- konconya. Sifat dari oligarki terwariskan pada Orde reformasi. Sistem politik
yang demokratis saat ini justru menyediakan arena terbuka bagi persaingan antar oligarki.
Rezim Soeharto juga membiarkan berlangsungnya korupsi dalam tubuh birokrasi atas anggaran negara, yang dianggap dapat menjinakan
lapisan birokrasi atas ketidakpuasan politik. Dengan pertumbuhan berbagai sektor ekonomi, maka penyimpangan meluas. Lapisan atas birokrasi
memiliki wewenang atas berbagai izin usaha, pajak, pembangunan dan alokasi proyek, sedangkan para pegawai birokrasi menjalankan layanan
administrasi, yang tidak dapat di lepaskan dari aktivitas keduanya adalah adanya imbalan yang harus diberikan. Imbalan bagi lapisan atas menandai
adanya “budaya suap”, sedangkan bagi para pegawai birokrasi menandai adanya “budaya pungutan”. Para pelaku bisnis pun tidak mau kalah, bagi
117
Oligarki pemerintahan oleh segelintir orang kesultanan Sultanik Oligarchies lebih cenderung menggabungkan kekuatan paksa dan mesin ekonomi untuk mengendalikan
Oligarki-oligarki lain dibawahnya agar tunduk pada oligarki utama, dan bagaimana satu keluarga ini mengeruk kekayaan negara dan kebal hukum dalam
Winters JA, Oligarkhi, Jakarta:Gramedia,2011,hal 229-257.
81 yang membutuhkan keamanan bagi aset mereka, mereka membayar “uang
keamanan” untuk aparat keamanan. Korupsi diperparah dengan permainan kasus yang ditangani aparat
penegak hukum maupun kehakiman, yang biasa disebut dengan “mafia peradilan”, sedangkan lembaga legislatif melakukan 4D
datang,duduk,diam,duit. Rezim otoriter membuat sikap politisi maupun birokrat terhadap penguasa tertindas. Para bawahanpun melakukan “budaya
menjilat” semata-mata untuk menyenangkan atasan. Banyaknya upeti dan dana politik yang dikumpulkan mengalir untuk mendapatkan rangkaian
dukungan, dan pada akhirnya Pemilu yang diselenggarakan hanyalah sebuah sandiwara demokrasi
118
. Orde baru telah meletakan dasar-dasar korupsi yang sifatnya sistemik,
sehingga otonomi daerah dewasa ini mewariskan pola korupsi orde baru, hal ini merupakan hambatan bagi tercapainya cita-cita reformasi. Pergeseran
kekuasaan dari pusat ke daerah memunculkan patron-patron politik baru dan peningkatan peran parlemen terutama dalam penyusunanan anggaran. Kini
pemerataan distribusi korupsi mulai dari eksekutif dan jajarannya, legislatif, lembaga peradilan yudikatif di pemerintah pusat hingga lembaga-lembaga
tersebut yang berada di pemerintah daerah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY pernah mengungkapkan
10 sektor area rawan korupsi
119
yakni APBNAPBD, sektor pengadaan barang dan jasa, sektor pajak, sektor kepabeaan dan bea cukai, sektor minyak
dan gas, sektor keuangan dan perbankan, sektor Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, sektor pendapatanpenerimaan negara,
sektor pelayanan umum,dan sektor instansi lembaga dengan alokasi anggaran besar. Namun yang harus menjadi prioritas penanganan Kejaksaan Agung,
Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lima area pertama. Presiden menghimbau bahwa pencegahan dan penanganan yang sangat serius
harus dilakukan terhadap korupsi yang merugikan APBN dan APBD.
118
Harman BK, Negeri Mafia Republik Koruptor :Menggugat Peran DPR Reformasi, Jakarta :Lamalera, hal 106-110.
119
Sitongga LT, Presiden SBY:Ini Dia 5 Sektor Rawan Korupsi, Rabu 25 Juli 2012, http:www.bisnis.comartikel
, 1392012.
82 Mengapa demikian? karena Anggaran merupakan amanah dari rakyat
yang dititipkan kepada eksekutif maupun legislatif untuk kesejahteraan rakyat, karena sumber-sumber APBD adalah Pajak dan retribusi yang
merupakan pungutan kepada rakyat, Laba BUMNBUMD yang pengelolaannya menggunakan uang rakyat, Hutang yang merupakan beban
rakyat, dan Hibah yang ada akibat adanya kepentingan rakyat. Negarapemerintah hanyalah pengelola uang rakyat. Dengan demikian dapat
disimpulkan rakyat memiliki kewajiban membayar pajak, yang kemudian menjadi pendapatan negara, dan rakyat memiliki hak atas pembangunan yang
pengelolaannya dilakukan pemerintahnegara. Dari tahun ke tahun semenjak otonomi daerah berbagai kasus korupsi
di daerah banyak terangkat kepermukaan, ICW memantau perkembangan kasus korupsi tersebut dimulai dari jumlah kasus dan jumlah kerugian negara,
modus operandi, pihak-pihak yang terlibat, dan sektor-sektor yang dikorupsi, dengan sumber data media cetak, on-line website aparat penegak hukum
dan elektronik. Tren korupsi yang di analisis oleh ICW memiliki parameter sederhana untuk menilai perkembangan praktek korupsi, yaitu apakah kasus
korupsi meningkat, berkurang, atau konstan. Walaupun sebenarnya sangat sulit mengukur apakah korupsi
meningkat atau menurun, informasi korupsi sedikit sekali dan dapat memberikan gambaran yang salah, menurut John T Noonan
120
apabila suatu negara telah banyak membawa perkara korupsi ke meja hijau di bandingkan
negara lain, bukan berarti korupsi di negara tersebut lebih banyak daripada negara lain, dan bisa saja semata-mata karena negara tersebut punya kemauan
dan kemampuan tinggi memberantas korupsi. Permasalahan lain yang timbul dalam memantau berbagai kasus
korupsi adalah kesulitan dalam mendapatkan data keseluruhan kasus korupsi di Indonesia, karena tidak semua kasus korupsi aktual di Indonesia ditangani
aparat penegak hukum, dan tidak semua kasus korupsi yang ditangani aparat
120
Klitgaard R, op.cit ,hal 11.