Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

(1)

PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN

MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

DAN HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DWI PRANOTO NIM: 100200023

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAKSI

Tindak Pidana Perzinahan menurut KUHP dan Hukum Islam

Dr. Madiasa Ablizar, S.H.,M.S.1

Dr. Muhammad Eka Putra, S.H., M.Hum **

Dwi Pranoto***

Skripsi ini berbicara tentang Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan menurut Hukum Islam. Karena dampak buruk yang dihasilkan perzinahan saat ini sangat membahayakan kepentingan bangsa dan negara. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang mempelajari berbagai norma-norma hukum. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literature dan peraturan yang berkaitan dengan pemasalahan di dalam skripsi.

Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan menurut Hukum Islam. Hukum Pidana yang merupakan ultimum remedium (upaya terakhir) seharusnya dapat menjalankan fungsinya dengan baik, dan salah satu fungsinya adalah fungsi prevensinya. Namun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam hal ini pasal 284 yang mengatur mengenai Tindak Pidana Perzinahan tidak dapat mencegah perbuatan keji tersebut, karena yang menjadi tujuan utama dilarangnya perzinahan adalah untuk menjaga ikatan perkawinan saja. Dan perlu diketahui bahwa nilai yang ada didalam pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut merupakan nilai-nilai barat yang individualistik dan tidak mempertimbangkan nilai-nilai KeTuhanan didalam membuat kebijakan-kebijakan hukumnya. Berbeda dengan Hukum Islam yang merupakan hukum ciptaan Allah SWT (Tuhan yang menciptakan dunia dan seisinya) bahwa perzinahan bukan hanya sebatas hubungan suami dan isteri (individu ke individu), namun juga hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat serta manusia dengan Tuhan

Nilai-nilai yang saat ini mengatur mengenai perzinahan (pasal 284 KUHP) sangat bertentangan dengan masyarakat Indonesia yang berKeTuhanan, sehingga banyak dampak buruk yang terus meningkat dari perbuatan hina ini. dan apabila masih dilanjutkan, maka dampak buruk tersebut tentunya akan terus meningkat. Maka dari itu Hukum Islam dianggap dapat memberikan jawaban serta solusi yang relevan dan komperhensif didalam pengaturan mengenai Tindak Pidana Perzinahan kedepannya.

1 Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing II, Staf Pengajar Departermen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Mahasiswa Departermen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Shalawat serta salam tak lupa Penulis kirimkan kepada panutan, teladan serta imam hidup dan mati umat Muslim Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari alam kebodohan kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

Penulis ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Kepada kedua orang tua saya, Almarhum Sudarso yang selalu mampu menjelma sebagai ayah, guru, sahabat,

bahkan ketika ia „pergi‟ kata-kata yang ditinggalkannya masih tetap menjadi semangat didalam hidup ini. Ibunda tercinta yang merupakan pintu sukses dunia dan akhirat serta menjadi alasan yang paling utama kenapa penulis harus berjuang lebih keras. Sampai saat ini masih belum bisa menemukan jawaban bagaimana membalas jasa-jasa yang telah kalian berikan. Sebaik-baiknya do‟a dan amalan selalu anakmu ini usahakan agar dapat menerangimu dialam sana wahai ayahanda dan dapat menjadi semangat hidup dan semangat beramalmu wahai Ibunda.

Skripsi ini ditulis demi memenuhi syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul “PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM”.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun, Penulis masih Menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari segi isi maupun penulisan dari skripsi ini. Oleh karenannya Penulis sangat berharapkan atas kritik dan saran yang sifatnya untuk membangun guna menuju kearah perbaikan dan penyempurnaan dimasa yang akan datang.


(4)

Melalui kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk semua ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Orang tua serta saudara penulis, bang dedi, doko, darni, dan adik bungsu saya Muhammad Dafa atas perhatian dan doanya selama ini. mari kita selalu

berusaha dan berdo‟a agar bisa membahagiakan mama dan almarhum bapak. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. M.Hum. DFM selaku Pembantu Dekan II dan Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku Pembantu Dekan III.

3. Bapak Dr. M. Hamdan, SH. M.H selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan maupun arahan kepada Penulis

4. Ibu Liza Erwina, SH. M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana. 5. Bapak Dr. Madiasa Ablizar, S.H.,M.S. selaku dosen Pembimbing I dalam

penulisan skripsi ini, telah meluangkan waktu untuk membimbing, dan mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

6. Bapak Dr. Muhammad Eka Putra, S.H., M.Hum, Selaku dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini, telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan serta memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik dan bersedia direpotkan oleh penulis dengan meminjam buku-buku yang ada dirumah beliau.

7. Kepada Seluruh dosen, Staf Administrasi dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada adinda Dinda Maurelova (Sunshine) yang telah bersedia dan banyak direpotkan, serta selalu memberikan semangat. Barakallah ukhti, Allah Maha Melihat amalan hamba-hambaNya.

9. Kepada senioren yang selalu memberi nasihat-nasihat yang inshaAllah baik, teman-teman satu stambuk (2010) akhina Dowang Fernando yang merupakan


(5)

idola para akhwat-akhwat, Akhina Reza Winata yang memperbolehkan saya tinggal dirumahnya dan khususnya rekan-rekan presidium 2010 yang semoga kelak kita bertemu lagi. Jazakumullah Khairan Katsiran Wa Jazakumullah Ahsanal Jaza (Semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan yang banyak dan semoga Allah SWT akan membalas kalian dengan balasan yang terbaik) atas persahabatannya.

10.kepada adik-adik pengurus Organisasi Dakwah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, semoga selalu berjalan dijalan Dakwah

11.Kepada teman-teman grup D stambuk 2010 dan kawan-kawan stambuk 2010 lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

12.Kepada UKMI Ad-Dakwah USU, KAM RABBANI dan BTM Aladdinsyah, SH yang membantu Penulis dalam bidang akademis dan dalam bidang dakwah islam kampus.

13.Dan Untuk semua pihak yang telah Membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi Ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.


(6)

Besar harapan Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Perkembangan Ilmu Hukum, khususnya Hukum Pidana Islam, baik itu bagi Penulis sendiri maupun bagi Pembaca semua.

Medan, 2014 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN……….………...….…1

A. Latar Belakang………..1

B. Perumusan Masalah………...……...9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...…..…9

D. Keaslian Penulisan………..………10

E. Tinjauan Kepustakaan………...……..10

1. Hukum Pidana menurut kajian KUHP dan Hukum Islam…....…10

2. Tindak Pidana (Strafbaar Feit) menurut kajian KUHP dan Hukum Islam………..23

3. Kejahatan terhadap kesusilaan………...…………...….39

F. Metode Penelitian………42

G. Sistematika Penulisan………..………51

BAB II : PENGATURAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA…...………52

A. Pengertian Zina……….…54


(8)

C. Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan didalam KUHP…….….…..64

D. Tindak Pidana Perzinahan didalam Yurisprudensi……….………..70

E. Tindak Pidana Perzinahan didalam RUU KUHP………....….73

BAB III : PENGATURAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT HUKUM ISLAM………...….76

A. Pengertian Zina.…..………..77 B. Dasar Hukum Tindak Pidana Perzinahan (Al-Qur‟an dan Hadits)..78 C. Tujuan dan manfaat dilarangnya Perzinahan menurut Hukum Islam……….85 1. Menjaga keturunan……..………..86

2. Menjaga akal pikiran…………...………..90

3. Menjaga jiwa………..96

4. Menjaga perkawinan………..97

5. Mencegah penyebaran penyakit……….…………...……98

6. Mencegah adzab Allah………...….111

D. Rukun / Unsur Tindak Pidana Perzinahan……….……….…111

1. Rukun/Unsur umum Tindak Pidana………111

2. Rukun/Unsur khusus Tindak Pidana………...……….112


(9)

BAB IV : PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM

ISLAM……….121

A. Sumber Hukum……….……..121

B. Subyek Tindak Pidana Perzinahan…...….……….125

C. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam penuntutan………131

D. Dasar kepentingan hukum………..141

E. Pengertian Bersetubuh………152

F. Unsur Kesengajaan………....156

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN………...………..160

A. Kesimpulan..………..………..……….160

B. Saran……….…..……….……….166


(10)

ABSTRAKSI

Tindak Pidana Perzinahan menurut KUHP dan Hukum Islam

Dr. Madiasa Ablizar, S.H.,M.S.1

Dr. Muhammad Eka Putra, S.H., M.Hum **

Dwi Pranoto***

Skripsi ini berbicara tentang Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan menurut Hukum Islam. Karena dampak buruk yang dihasilkan perzinahan saat ini sangat membahayakan kepentingan bangsa dan negara. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang mempelajari berbagai norma-norma hukum. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literature dan peraturan yang berkaitan dengan pemasalahan di dalam skripsi.

Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan menurut Hukum Islam. Hukum Pidana yang merupakan ultimum remedium (upaya terakhir) seharusnya dapat menjalankan fungsinya dengan baik, dan salah satu fungsinya adalah fungsi prevensinya. Namun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam hal ini pasal 284 yang mengatur mengenai Tindak Pidana Perzinahan tidak dapat mencegah perbuatan keji tersebut, karena yang menjadi tujuan utama dilarangnya perzinahan adalah untuk menjaga ikatan perkawinan saja. Dan perlu diketahui bahwa nilai yang ada didalam pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut merupakan nilai-nilai barat yang individualistik dan tidak mempertimbangkan nilai-nilai KeTuhanan didalam membuat kebijakan-kebijakan hukumnya. Berbeda dengan Hukum Islam yang merupakan hukum ciptaan Allah SWT (Tuhan yang menciptakan dunia dan seisinya) bahwa perzinahan bukan hanya sebatas hubungan suami dan isteri (individu ke individu), namun juga hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat serta manusia dengan Tuhan

Nilai-nilai yang saat ini mengatur mengenai perzinahan (pasal 284 KUHP) sangat bertentangan dengan masyarakat Indonesia yang berKeTuhanan, sehingga banyak dampak buruk yang terus meningkat dari perbuatan hina ini. dan apabila masih dilanjutkan, maka dampak buruk tersebut tentunya akan terus meningkat. Maka dari itu Hukum Islam dianggap dapat memberikan jawaban serta solusi yang relevan dan komperhensif didalam pengaturan mengenai Tindak Pidana Perzinahan kedepannya.

1 Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Pembimbing II, Staf Pengajar Departermen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Mahasiswa Departermen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Hukum ada pada setiap masyarakat dimanapun dimuka bumi ini (Ubi societas Ibi ius). Primitif dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu keberadaan (eksistensi) hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah Zoon Politicon yang artinya bahwa manusia itu pada dasarnya selalu ingin bergaul, berkumpul dan membaur dengan sesama manusia. Oleh karena sifat manusia itu disebut “mahkluk sosial”. Manusia sebagai mahkluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup menyendiri, tetapi manusia sebagai mahkluk sosial tidak akan mungkin dapat hidup menyendiri. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup, berkembang, dan meninggal dunia didalam masyarakat.

Setiap anggota masyarakat tersebut pasti memiliki kebutuhan dan kepentingan. Dengan adanya kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda didalam masyarakat tersebut maka sering terjadi pertentangan-pertentangan antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Agar kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan tersebut tidak menimbulkan kekacauan didalam masyarakat dan agar kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara maka perlu adanya suatu kekuasaan berupa petunjuk-petunjuk hidup atau peraturan-peraturan sebagai tata tertib yang harus ditaati oleh masyarakat.


(12)

Indonesia sebagai Negara Hukum memiliki aturan-aturan yang wajib dipatuhi oleh masyarakatnya agar kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda didalam masyarakat tersebut terhindar dari pertentangan-pertentangan antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya, agar kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan tersebut tidak menimbulkan kekacauan didalam masyarakat dan agar kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara.

Tolak ukur praktis mengenai filsafat hukum nasional Indonesia tidak lain adalah Pancasila yang terdiri dari lima sila dan merupakan abstraksi dari nilai-nilai luhur kehidupan manusia Indonesia, yang didalamnya terkandung cita-cita hukum bangsa. Diantara kelima sila tersebut menurut Muhammad Hatta yang merupakan salah seorang dari the founding fathers Negara Indonesia yang juga merupakan proklamator kemerdekaan Indonesia bersama Soekarno, sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa, merupakan sila pertama dan sekaligus merupakan sila yang utama. Sila pertama ini menyinari, mengayomi, memimpin dan mempersatukan keempat sila lainnya.

Sistem hukum Indonesia itu haruslah didasarkan kepada prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Ini pula sebabnya mengapa sistem peradilan diIndonesia yang merupakan bagian dari sistem hukum, harus didasarkan kepada prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Setiap putusan hakim, harus dijatuhkan demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula dalam pembukaan UUD 1945, Tuhan diakui sebagai pemberi Rahmat bagi upaya terwujudnya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia dalam kata-kata : “… Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa.., maka rakyat Indonesia, menyatakan


(13)

dengan ini kemerdekaannya…”. Bahkan mengenai sumpah Presiden dan Wakil Presiden juga diatur berdasarkan pasal 9 UUD 1945, harus diucapkan dimulai dengan kata-kata “Demi Allah”.1 Sejalan dengan hal tersebut didalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Indonesia merupakan Negara Hukum yang hukum-hukum berpedoman kepada nilai-nilai KeTuhanan dan bukan negara sekuler atau liberal yang memisahkan antara kehidupan bernegara dengan kehidupan beragama yang kemudian hanya menggunakan rasionalisasi manusia. Dengan demikian, praktek kehidupan berbangsa dan bernegara harusnya selalu dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan, dan budaya luhur bangsa Indonesia.

Apabila hukum lain selain hukum pidana tersebut gagal, hukum pidana haruslah maju kedepan. Hal ini pernah dikemukakan Modderman dengan mengatakan, Negara seyogyanya memidana hal-hal yang bertentangan dengan hukum, yang tidak dapat dihambat dengan oleh upaya-upaya lain dengan baik, sehingga pidana tetap merupakan ultimum remedium (merupakan upaya terakhir).2

Menurut Soedarto hukum pidana secara umum ditanggapi sebagai semua peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang berupa larangan dan bersifat memaksa, dimana

1

Jimly Asshiddiqie. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:Angkasa 1996), hal. 194

2

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan-kebijakan Kriminalisasi dan Deskriminalisasi, (Jakarta: Pustaka Pelajar 2005), hal. 10


(14)

penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang yang melanggarnya. Menurutnya bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu akibat yang berupa pidana.3 Adapun tujuan pidana menurut Roeslan Saleh yaitu: 4

1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan; dan

2. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan hukum. Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

Realitanya dilapangan apabila kita melihat tujuan dari pidana yang diungkapkan Roeslan Saleh tersebut diatas dan dikaitkan dengan Tindak Pidana Perzinahan yang telah ada diatur didalam hukum pidana Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) ternyata masih jauh dari harapan dan tujuan dari hukum pidana tersebut.

3

Roni wijayanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar maju , Bandung, 2012, hal. 9

4


(15)

Zina sudah dianggap sebagai suatu perbuatan yang sudah biasa atau lazim didalam masyarakat Indonesia. Meningkatnya budaya seks bebas di kalangan pelajar adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan mengancam masa depan bangsa Indonesia. Bahkan perilaku seks pra nikah tersebut dari tahun ke tahun terus meningkat. Pendataan yang dilakukan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Masri Muadz, menunjukan kasus tersebut memperlihatkan peningkatan yang semakin miris, sebagai berikut; 5

1. Menurut penuturan Masri kepada okezone, belum lama ini, Wimpie Pangkahila pada tahun 1996 melakukan penelitian terhadap remaja SMA di Bali. Dia mengambil sampling 633. Kesemuanya memiliki pengalaman berhubungan seks pra nikah, dengan persentase perempuan 18% dan 27% laki-laki. Sedangkan penelitian Situmorang tahun 2001 mencatat, laki-laki dan perempuan di Medan mengatakan sudah melakukan hubungan seks dengan komposisi, 9% perempuan dan 27% laki-laki. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) di tahun 2002-2003, remaja mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada: usia 14-19 tahun, perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%. Sedangkan pada usia 20-24 tahun perempuan 48,6% dan laki-laki 46,5%.

2. SKRRI pun melanjutkan analisanya pada tahun 2003 dengan memetakan beberapa faktor yang mempengaruhi mereka melakukan seks pra nikah.

5

OkeZone.com NEWS., Tiap Tahun, Remaja Seks Pra Nikah Meningkat, diakses dari

http://news .okezone.com/read/2010/12/04/338/400182/tiap-tahun-remaja-seks-pra-nikah-meni ngkat, diakses pada hari selasa 21 Januari 2014


(16)

Menurut SKRRI, faktornya yang paling mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual antara lain: Pertama, pengaruh teman sebaya atau punya pacar. Kedua, punya teman yang setuju dengan hubungan seks para nikah. Ketiga, punya teman yang mendorong untuk melakukan seks pra nikah.

3. Di tahun 2005 Yayasan DKT Indonesia melakukan penelitian yang sama. DKT memfokuskan penelitiannya di empat kota besar antara lain: Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Medan. Berdasarkan norma yang dianut, 89% remaja tidak setuju adanya seks pra nikah. Namun, kenyataannya yang terjadi di lapangan, pertama, 82% remaja punya teman yang melakukan seks pra nikah. Kedua, 66% remaja punya teman yang hamil sebelum menikah. Ketiga, remaja secara terbuka menyatakan melakukan seks pra nikah. Persentase tersebut menunjukkan angka yang fantastis. Jabodetabek 51%, Bandung 54% Surabaya 47% dan Medan 52%.

4. Tahun 2006 PKBI menyebutkan, pertama, kisaran umur pertama kali yakni 13-18 tahun melakukan hubungan seks. Kedua, 60% tidak menggunakan alat atau obat kontrasepsi. Ketiga, 85% dilakukan di rumah sendiri. Sementara merujuk pada data Terry Hull dkk (1993) dan Utomo dkk (2001), PKBI menyebutkan, 2,5 juta perempuan pernah melakukan aborsi per tahun dan 27% atau kurang lebih 700 ribu remaja dan sebagian besar dengan tidak aman. Selain itu 30-35% aborsi penyumbang kematian ibu.

5. Pada 2007 SKRRI melakukan penelitian kembali. Penelitian tersebut menunjukkan peningkatatan yang drastis.


(17)

a. Pertama, perilaku seks pranikah remaja cenderung terus meningkat dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) juga terjadi pada remaja.

b. Kedua, jumlah kelompok remaja Indonesia yang menginginkan pelayanan Keluarga Berencana (KB) diberikan kepada mereka.

c. Ketiga, meningkat jauh dari SKRRI 2002.

d. Keempat, jumlah remaja 15-24 tahun sekitar 42 juta jiwa, berarti sekitar 37 juta jiwa remaja membutuhkan alokon tidak terpenuhi (unmet need berKB kelompok remaja).

e.Kelima, kelompok ini akan tetap menjadi unmet need. Sebab dalam undang-undang No 10 tahun 1992, pelayanan KB hanya diperuntukkan bagi pasangan suami istri, sesuai dengan pemilihannya.

6. Bahkan, temuan Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Penelitian Bisnis dan Humaniora (LSCK-PUSBIH) di tahun 2008 lebih mengagetkan lagi. LSCK-PUSBIH melakukan penelitian terhadap 1.660 mahasiswi di Yogyakarta. Hasil yang mereka dapatkan, 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang kegadisannya dan 98 orang mengaku pernah melakukan aborsi.

7. Kemudian Penelitian yang dilakukan Komnas Perlindungan Anak (KPAI) di 33 Provinsi pada bulan Januari-Juni 2008 menyimpulkan empat hal: Pertama, 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. Kedua, 93,7% remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital stimulation (meraba alat kelamin) dan oral seks. Ketiga, 62,7% remaja SMP tidak perawan. Dan yang terakhir, 21,2% remaja mengaku pernah aborsi.


(18)

Bahkan baru-baru ini kita mendengar ada kasus penyimpangan pelajar siswa dan siswi SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Ibu Kota Jakarta yang sudah berani melakukan dan bahkan merekam perbuatan yang menyimpang tersebut, dan hal ini sudah merupakan yang kesekian kalinya dilakukan.6 Dapat dibayangkan ketika anak-anak yang masih duduk disekolah menengah pertama saja sudah berani melakukan perbuatan persetubuhan diluar pernikahan (Zina) dan bahkan berani merekam perbuatan mereka tersebut, bagaimana lagi dengan orang yang lebih dewasa dari mereka yang merupakan contoh dan panutan bagi mereka?

Sangat diharapkan regulasi mengenai perzinahan kedepannya haruslah lebih komperhensif, serta relevan dengan kepentingan masyarakat. Dan tentunya dapat menjaga dan melindungi seluruh kepentingan, baik itu kepentingan yang bersifat horizontal (manusia dengan manusia) maupun yang bersifat vertikal (manusia dengan Tuhan).

Hal tersebut sesuai dengan tujuan hukum yang disebutkan oleh Jeremy Bentham bahwa hukum harus menuju kearah barang apa yang berguna (anggapan yang mengutamakan utilitet utiliteits theorie). Menurut anggapan itu hukum mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang lain.7

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM”

6

VOAislam, Anak SMP buat video seks, bukti Zina sudah merajalela dan dianggap Biasa

, diakses dari , http://m.voa-islam.com//news/aqidah/2013/10/25/27269/anak-smp-buat-video-seks-bukti-zinah-sudah-merajalela-dianggap-biasa/... pada tanggal 1 Desember 2013

7


(19)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang skripsi ini, maka ada permasalahan yang akan menjadi bahasan dalam skripsi ini. Perumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut;

1. Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?

2. Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan menurut Hukum Islam?

3. Bagaimana perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan Menurut Hukum Islam

C. Tujuan dan manfaat Penelitian

Karya Tulis ini bertujuan untuk mengetahui sejarah dan unsur-unsur yang mempengaruhi Tindak Pidana Perzinahan yang berlaku saat ini kemudian membandingkannya dengan Tindak Pidana menurut Hukum Islam dan mengambil kesimpulan, manakah yang lebih bermanfaat (berfaedah) bagi masyarakat Indonesia. Dan dari penelitian ini semoga dapat bermanfaat dan memperkaya literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khususnya mengenai Tindak Pidana Perzinahan dan dapat menjadi acuan untuk penelitian yang lebih mendalam yang kemudian dapat menjadi sumber pertimbangan bagi hukum positif yang menyangkut tentang perzinahan dimasa mendatang. Sehingga diharapkan dapat mencegah dampak negatif dari perbuatan menyimpang tersebut (zina).


(20)

D. Keaslian Penulisan

Adapun karya tulis dengan judul ““PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM ” dibuat dengan sebenarnya oleh penulis dengan dibantu oleh buku-buku dari kepustakaan yang ada. Keaslian Penulisan ini juga bisa dibuktikan dengan adanya surat Keterangan Lulus Perpustakaaan yang ditetapkan oleh Kepala Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tertanggal ( ). Dan apabila ternyata dikemudian hari ada masalah berkenaan dengan karya tulis ini maka penulis akan bersedia mempertanggungjawabkannya

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Hukum Pidana menurut kajian KUHP dan Hukum Islam

a. Hukum Pidana menurut kajian KUHP 1) Pengertian Hukum Pidana

Stelsel pidana merupakan bagian dari hukum penitensier yang di dalamnya berisikan tentang jenis pidana, cara dan dimana menjalankannya, begitu juga mengenai pengurangan, penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana. Hukum penitensier juga di samping itu berisi tentang sistem tindakan (maatregel stelsel). Dalam usaha negara mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban, melindunginya dari penyimpangan terhadap berbagai kepentingan hukum, secara represif disamping diberi hak dan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana, negara


(21)

juga diberi hak untuk menjatuhkan tindakan (maatregelen).8 Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.9

Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana yang secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).10 Pergaulan manusia didalam kehidupan bermasyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Manusia selalu diharapkan pada masalah-masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Keadaan yang demikian ini hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat. Istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda disebut dengan Strafrecht sedangkan dalam bahasa Inggris istilah pidana disebut dengan Criminal Law. Pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Beberapa pendapat dari para Sarjana tentang pidana yaitu sebagai berikut :

Menurut Sudarto : Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

8

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: RajaGrafindo,2010) hal.23

9

Ibid., hal.24.

10


(22)

undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.11 Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang pelanggar ketentuan Undang-undang tidak lain dimaksudkan agar orang itu menjadi jera. Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempetahankan norma-norma yang diakui dalam hukum. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana inilah yang membedakannya dengan bidang-bidang hukum yang lain. Inilah sebabnya mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai sarana terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya pada bidang hukum yang lain tidak memadai.

Menurut Roeslan Saleh dalam buku Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestafa yang sengaja ditampakan negara kepada pembuat delik.12 Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh ini pada dasarnya hampir sama dengan pengertian pidana dari Sudarto, yaitu bahwa pidana berwujud suatu nestapa, diberikan oleh negara, kepada pelanggar. Reaksi-reaksi atas delik yang dikemukakan oleh Roeslan Saleh ini menunjukkan bahwa suatu delik dapat memberikan reaksinya atau imbalannya apabila dilanggar, yaitu berupa ancaman hukuman atau pidana.

Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa 13 “Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja,

11

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981) hal.109-110.

12

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987) hal.5.

13


(23)

akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling.”

2) Tujuan Hukum Pidana menurut KUHP

Sebagian besar para ahli hukum berpendapat bahwa hukum pidana adalah “Kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilanggar”. Sanksi didalam hukum pidana jauh lebih keras dibandingkan dengan akibat sanksi hukum yang lainnya, “akan tetapi ada juga para ahli yang berpendapat sanksi belaka sebagai ancaman pidana sehingga hukum pidana adalah hukum sanksi belaka.14

Menurut Soedarto hukum pidana secara umum ditanggapi sebagai semua peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang berupa larangan dan bersifat memaksa, dimana penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang yang melanggarnya. Menurutnya bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu akibat yang berupa pidana.15

Adapun tujuan pidana menurut Roeslan Saleh yaitu: 16

14

Marlina, Op.Cit,, hal. 15

15

Roni wijayanto, Op.Cit, hal. 9

16


(24)

1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan; dan

2. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan hukum. Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

b. Hukum Pidana menurut kajian Hukum Islam (Hukum Pidana Islam)

1) Pengertian Hukum Pidana menurut Hukum Islam (Hukum Pidana Islam) Pengertian islam secara terminologis diungkapkan Ahmad Abdullah Almasdoos (1962) bahwa islam adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia digelarkan kemuka bumi. Dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam Al-qur‟an yang suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi-Nya yang terakhir, yakni nabi Muhammad ibn Abdullah, satu kaidah hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.17

17

Ramlan Yusuf Rangkuti dan Sahmiar Pulungan., Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Medan; Bartong Jaya 2008), Hal. 105


(25)

Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-rasulNya, berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta,. Agama yang diturunkan Allah kemuka bumi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW adalah agama Islam sebagaimana diungkapkan oleh Al-qur‟an : 18

Sesungguhnya agama disisi Allah adalah agama Islam (Ali Imran: 19)

Setelah memaknai Islam seperti penjelasan diatas, barulah kita membicarakan apa itu Hukum Islam. Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui asas konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di Indonesia. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam

18


(26)

konsepsi hukum perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.19

Dibandingkan dengan konsepsi Hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu, seperti telah berulang disinggung dimuka, adalah hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.20

Dalam sistem Hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun dilapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, disebut ahkam al-khamsah, atau penggolongan hukum yang lima (Sajuti Thalib, 1985: 16) yaitu (1)

Ja‟iz atau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh, (4) wajib dan (5) haram.21

Kemudian sumber Hukum Islam, Allah telah menentukan sendiri sumber hukum (agama dan ajaran) Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Menurut Al-qur‟an surat Al-Nisa (4) ayat 59, setiap muslim wajib mentaati (mengikuti) kemauan atau kehendak Allah, kehendak rasul dan kehendak ulil amri yakni orang yang mempunyai kekuasaan atau “penguasa”. Kehendak Allah berupa

19

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Cetakan ke-18 2012), hal. 43

20 Ibid. 21


(27)

ketetapan kini tertulis didalam Al-qur‟an, kehendak rasul berupa sunnah terhimpun sekarang didalam kitab-kitab hadis, kehendak “penguasa” kini dimuat didalam peraturan perundang-undangan (dulu dan sekarang) atau dalam hasil karya orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena mempunyai “kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan (ajaran) Hukum Islam dari dua sumber utamanya yakni dari Al-qur‟an dan dari kitab-kitab hadis yang memuat Sunnah Nabi Muhammad. Yang ditetapkan Allah dalam Al-qur‟an itu dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad SAW dengan sahabat Beliau Mu‟az bin Jabal, yang didalam kepustakaan terkenal dengan hadits Mu‟az. Demikianlah menurut riwayat, pada suatu ketika Nabi Muhammad mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman (dari Madinah) untuk menjadi gubernur disana. Sebelum berangkat, nabi Muhammad SAW menguji sahabatnya yang bernama Mu‟az bin Jabal itu, dengan menanyakan sumber hukum yang akan dipergunakannya kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang dijumpainya didaerah baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu‟az dengan mengatakan bahwa ia akan mempergunakan Al-qur‟an. Jawaban tersebut disusul oleh Nabi dengan pertanyaan: “Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam Al-quran bagaimana? “Mu‟az menjawab: “saya akan mencarinya dalam sunnah nabi. Nabi bertanya lagi: “kalau engkau tidak menemukan petunjuk dalam sunnah nabi, bagaimana?” Mu‟az menjawab: “Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan


(28)

dengan jawaban dari Mu‟az tersebut dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan rasul-Nya. 22

Dari hadits Mu‟az bin Jabal diatas, dapatlah disimpulkan bahwa sumber Hukum Islam ada tiga, yaitu (1) Al-qur‟an, (2) As-Sunnah, dan (3) akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal pikiran ini, dalam kepustakaan Hukum Islam, disebut juga dengan istilah ar-ra‟yu atau pendapat orang atau pendapat orang-orang yang memenuhi syarat untuk menentukan nilai dan norma (kaidah) pengukur tingkah-laku manusia dalam segala bidang hidup dan kehidupan.

Selanjutnya Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik, seperti membunuh, menuduh, atau memfitnah maupun kejahatan terhadap harta benda dan lainnya, dibahas didalam Hukum Pidana Islam. Ulama-ulama muta‟akhirin menghimpunnya dalam bagian khusus yang dinamai fiqih jinayah, yang dikenal dengan Hukum Pidana Islam. Didalamnya terhimpun pembahasan semua jenis pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai sasaran, badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup, dan lingkungan hidup.23

Adapun asas-asas didalam hukum pidana islam yang terkandung didalam Al-qur‟an dan Hadits Rasulullah SAW, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Beberapa asas hukum pidana yang umum oleh para pakar Hukum Islam,

22

Ibid. hal 73

23

Rahmat. Hakim, Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Bandung : CV Pustaka Setia 2000), hal. 11


(29)

diantaranya Ahmad Hanafi, Mohammad Daud Ali, yaitu asas legalitas, asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain, asas praduga tak bersalah..24

1) Asas Legalitas.

Asas ini didalam bahasa latin disebut Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali (seseorang tidak dapat dihukum apabila tidak ada hukum yang mengatur perbuatan yang telah dilakukannya). Asas ini merupakan jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktifitas apa yang dilarang secara jelas dan tepat. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi apa yang boleh dan apa yang dilarang.

Asas legalitas didalam Hukum Islam bukan berdasarkan akal manusia, tetapi dari ketentaun Allah. Dalam Kitab Suci Al-qur‟an Allah SWT Berfirman:

…. Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang

rasul.” (Q.S. Al-Israa‟;15)

Jadi jauh sebelum Declaration of the Right Human and Citizen (yang dianggap sebagai tonggak sejarah dalam membasmi kesewenang-wenangan). Asas legalitas ini sudah ada didalam Hukum Islam. Karena hukum ini merupakan hukum yang berasal dari Allah, maka Allah lah yang paling mengerti apa yang paling baik bagi hambah-hambahNya.

2) asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain

24

Neng Djubaedah, Perzinaan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ditinjau dari hukum Islam, (Jakarta: Kencana 2010), hal. 15


(30)

Dasar dari asas ini adalah surat al-Isra ayat 15, bahwa

“… Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.

Kemudian Surat an-Najm ayat 38 - 39, Fatir Ayat 18, dan Luqman ayat 33. Maka perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat ia pindahkan kepada orang lain. Termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh seorang bapak tidak dapat dipindahkan ke anaknya dan sebaliknya.

3) Asas Praduga Tidak Bersalah (The Presumption of innocence)

Suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah asas praduga tidak bersalah. “Principle Of Lawfulness”. Menurut asas ini semua perbuatan (kecuali ibadah khusus) dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan; jika suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan (Sanad, 1991;72).25

Konsep ini juga sebenarnya sudah ada empat belas abad yang lalu, Nabi Muhammad SAW Bersabda;

Hindarkan bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat dan bila kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah,

25

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syaamil Press Grafika 2000), hal. 123


(31)

lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum”26

2) Tujuan Hukum Pidana Islam

Pembuat hukum tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariat tanpa tujuan apa-apa, melainkan disana ada tujuan tertentu yang luas. Dengan demikian untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak perlu diketahui apa tujuan dari ketentuan itu. Disamping itu Karena kata-kata dan teks dari suatu ketentuan mungkin mengandung beberapa arti dari sekian arti lain. Kecuali kita mengetahui tujuan nyata dari pembuat hukum dalam menyusunnya. Lebih jauh lagi kita tidak dapat menghilangkan ketidak sesuaian antara ketentuan ynag bertentangan, kecuali kita mengetahui apa tujuan dari pembuat hukum. Singkatnya adalah muthlak bagi yang mempelajari Hukum Islam untuk mempelajari maksud dan tujuan dari pembuat hukum dan keadaan atau kejadian yang memerlukan turunnya wahyu suatu Al-Qur‟an dan Hadits Nabi SAW.27

Para ahli Hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari syari‟ah sebagai berikut tujuan hukum pidana menurut Audah, 1987: 246-249 ;28

Tujuan pertama

menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari syariah. Ini merupakan hal-hal dimana kehidupan manusia sangat

26 Ibid 27

Topo Santoso, Membumikah Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press 2003), hal. 18-19

28


(32)

tergantung sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila ada kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidak tertiban dimana-mana. Kelima (5) kebutuhan hidup yang primer ini (daruriyat) dalam kepustakaan Hukum Islam disebut dengan istilah al-maqasid al-syari‟ah al-khamsah (tujuan0tujuan syariah), yaitu:

1) Memelihara agama (hifzh al-din)

2) Memelihara Jiwa (hifzh al-nafsi)

3) Memelihara akal pikiran (hifzh al-„aqli)

4) Memelihara Keturunan (hifzh al-nashli)

5) Memelihara harta (hifzh al-mal)

Syariah telah menetapkan pemenuhan, kemajuan dan perlindungan tiap kebutuhan-kebutuhan itu dan menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya sebagai ketentuan-ketentuan yang esensial.

Tujuan Kedua

Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan-keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyyat. Ini mencakup hal-hal yang penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan fasilitas-fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidak tertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan-kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini terdiri dari hal-hal yang menyingkirkan kesulitan-kesulitan dari masyarakat dan membuat hidup mudah bagi mereka.


(33)

Tujuan Ketiga

Tujuan ketiga dari Perundang-undangan Islam adalah membuat perbaikan-perbaikan , yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan social dan menjadikan manusia mampu berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik (keperluan sekunder) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan dan anarki sebagaimana dalam ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan membuat hidup mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual. Dalam arti ini perbaikan mencakup kebijakan (virtues), cara-cara yang baik (good manner) dan setiap hal yang melengkapi bagi peningkatan cara hidup.

2. Tindak Pidana menurut kajian KUHP dan Hukum Islam

a. Tindak Pidana menurut kajian KUHP

1) Pengertian Tindak Pidana

Hukum Pidana Belanda memakai istilah Strafbaar Feit, kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum Pidana Negara-negara Anglo saxon memakai istilah Offense atau Criminal act untuk maksud yang sama.


(34)

Oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia bersumber pada WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu Strafbaar Feit.29

Perkataan “Feit” itu sendiri didalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een geedelte van de werkwlijkheid”. Sedang “Strafbaar

berarti “dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan “Strafbaar Feit” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan.30

Strafbaar Feit yang merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia tersebut mempunyai berbagai arti diantaranya, yaitu: tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana.31

Kemudian oleh Pembentuk undang-undang kita menggunakan perkataan

Strafbaar Feit untuk menyebutkan apa yang kemudian kita kenal sebagai “Tindak

Pidana” didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan

sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “Strafbaar Feit” tersebut.32 Didalam prakteknya para ahli memberikan

29

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta Cetakan ke III 2008), hal 86

30

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti 1997), hal 181

31

Roni Wijayanto, Op.Cit, hal. 160

32


(35)

berbagai definisi Strafbaar Feit atau tindak pidana berbeda-beda, sehingga perkataan tindak pidana mempunyai banyak arti.33

Menurut Profesor POMPE, perkataan “Strafbaar Feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran” norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku. Dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.34

Kemudian Apa yang dimaksud dengan tindak pidana, menurut simons didefinisikan sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (Onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (Schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Rumusan tindak pidana yang diberikan simons tersebut dipandang oleh Jonker dan Utrecht sebagai rumusan yang lengkap, karena akan meliputi: 35

1. Diancam dengan pidana oleh hukum;

2. Bertentangan dengan hukum;

3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld);

4. Seseorang tersebut dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Van Hammel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari Simons, tetapi ia menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat

33

Roni Wijayanto Loc. Cit.

34

P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 162

35


(36)

dihukum”. Jadi pengertian tindak pidana menurut van hamel meliputi lima unsur, yakni ; 36

1. Diancam dengan pidana oleh hukum;

2. Bertentangan oleh hukum;

3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld);

4. Seseorang tersebut dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya;

5. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.

Sedangkan Vos merupakan salah satu diantara para ahli yang merumuskan tindak pidana secara singkat, yaitu hanya mencakup kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana. Kemudian pengertian tindak pidana yang diberikan Vos tersebut, dikomentari oleh Satochid Kartanegara , ia mengatakan rumusan Vos tersebut sama saja memberikan keterangan “een vierkante tafel is vier kant” (meja segi itu adalah segi empat), karena definisinya tidak menjepit isinya, sedangkan pengertian “orang” dan “kesalahan” juga tidak disinggung, karena apa yang dimaksud Strafbaar Feit, sebagai berikut: 37

1. Pelanggaran atau pemerkosaan kepentingan hukum (Schanding of kreenking van een rechtsbelang);

2. Sesuatu yang membahayakan kepentingan hukum (het in gevearbrengen van een rechtsbelang.)

36

Ibid. 37


(37)

Kepentingan hukum yang dimaksud Satochid Kartanegara ialah tiap-tiap kepentingan yang harus dijaga agar tidak dilanggar, yang terdiri atas tiga jenis, yaitu; 38

1. Kepentingan perseorangan, yang meliputi: jiwa (leven), badan (lijk),

kehormatan (eer) dan harta benda (Vermogen).

2. Kepentingan masyarakat, yang meliputi : ketentraman dan keamanan (rusten orde).

3. Kepentingan Negara adalah keamanan Negara.

Melihat berbagai pendapat para ahli tersebut diatas mengenai pengertian

Strafbaar Feit, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana atau Strafbaar Feit yaitu merupakan rumusan yang memuat unsur-unsur tertentu yang menimbulkan dapat dipidananya seseorang atas perbuatannya yang dianggap telah melanggar kepentingan hukum yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan pidana. Unsur-unsur tindak pidana tersebut dapat berupa perbuatan yang sifatnya aktif maupun pasif atau tidak berbuat sebagaimana diharuskan oleh undang-undang, yang dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan, dan bertentangan dengan hukum pidana, dan orang tersebut dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

38


(38)

2) Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menjadi tuntutan Normatif yang harus dipenuhi bila mana seseorang dapat dipersalahkan karena melakukan sesuatu tindak pidana, yaitu perbuatan itu harus dibuktikan mencakup semua unsur Tindak Pidana. Apabila salah satu unsur Tindak Pidana tidak terpenuhi atau tidak dapat dibuktikan, maka konsekuensinya Tindak Pidana yang dituduhkan kepada sipelaku tidak terbukti dan tuntutan dapat batal demi hukum.

Ditinjau dari sifat unsurnya, pada umumnya unsur-unsur Tindak Pidana dapat dibagi menjadi dua macam, yakni: unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur

objektif.

a. Unsur Subjektif

Menurut Lamintang bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif

itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku. Dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Adapun unsur-unsur subjektif menurut lamintang yakni sebagai berikut:

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa);

b. Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) seperti yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

c. Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;


(39)

d. Merencanakan terlebih dahulu (voorbedache raad) misalnya seperti yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

e. Perasaan takut (vress) seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;39

Sedangkan Menurut Satochid Kartanegara, ia membedakan unsur subjektif

hanyamenjadi dua macam saja, yakni;

a. Toerekeningswatbaarheit (kemampuan bertanggung jawab)

b. Schuld (Kesalahan)40

Leden Marpaung mengemukakan asas hukum pidana menyatakan bahwa “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (iintention/opzet/dolus) dan kealpaan (culpa) ini merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan, dimana kealpaan meliputi dua bentuk, yaitu: tidak berhati-hati dan dapat menduga akibat perbuatan tersebut.41

Didalam doktrin dan ilmu pengetahuan hukum pidana unsur kesengajaan atau opzet tersebut kemudian pada umumnya dibedakan menjadi tiga jenis, yakni:

1. Kesengajaan dengan maksud (Opzet als oogmerk)

39

P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal 194

40

Roni Wijayanto Op.Cit. hal. 166

41

Leden Marpaung, Asas Teori Praktik hukum pidana, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), hal. 9


(40)

2. Kesengajaan dengan keinsyafan (Opzet bij zekerheidsbewustzijn)

3. Kesengajaan dengan keinsyafan atau kemungkinan (Opzet bij mogelijkheidsbewustzijn)

Maka dapat diambil kesimpulan dari uraian diatas, bahwa unsur-unsur

subjektif meliputi;

1. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningswatbaarheit)

2. Kesalahan (Schuld) yang terdiri dari :

3. Kesengajaan (dolus)

a. Kesengajaan dengan maksud (Opzet als oogmerk)

b. Kesengajaan dengan keinsyafan (Opzet bij zekerheidsbewustzijn)

c. Kesengajaan dengan keinsyafan atau kemungkinan (Opzet bij mogelijkheidsbewustzijn)

d. Kealpaan (culpa)

4. Unsur Objektif

Menurut Lamintang bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif

itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan. Kemudian ia membagi menjadi tiga bentuk unsur objektif dari tindak pidana, yakni:


(41)

a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid

b. Kualitas dari sipelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” didalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseoan terbatas didalam kejahatan menurut pasal 398 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.42

Sedangkan Menurut Satochid Kartanegara, ia mengemukakan bahwa unsur

objektif merupakan unsur yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang, yang berupa:

a. Suatu tindakan;

b. Suatu akibat; dan

c. Keadaan (omstandigheid)

Kemudian Leden Marpaung lebih mencakup kepada dua pendapat ahli diatas, ia kemudian membagi unsur Objekktif menjadi empat bentuk, yakni;

a. Perbuatan manusia, berupa;

1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;

42


(42)

2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative

b. Akibat (result) perbuatan manusia, yaitu akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya: nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya

c. Keadaan-keadaan (circumstances), yang umumnya berupa;

1) Keadaan-keadaan pada saat perbuatan dilakukan;

2) Keadaan-keadaan setelah perbuatan dilakukan.

d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan sipelaku dari hukuman. Sedangkan sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.43

Kemudian Mengingat tujuan diadakan hukum pidana adalah untuk melindungi dan menghindari gangguan atau ancaman bahaya terhadap kepentingan hukum, baik kepentingan perseorangan, kepentingan masyarakat dan kepentingan Negara. Setiap perbuatan yang memenuhi unsur Tindak Pidana atau delik seperti yang dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan dapat memberikan gambaran kepentingan hukum apa yang dilanggar. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik dapat digolongkan

43


(43)

menjadi berbagai jenis delik. Dan salah satunya adalah tindak pidana dalam perlu tidaknya aduan dalam penuntutan (Delik Biasa dan Delik Aduan).

1. Delik biasa (gewone delichten) adalah suatu delik yang dapat dituntuk tanpa membutuhkan adanya pengaduan.44 Sedangkan

2. Delik aduan (klachtdelict) adalah Tindak Pidana yang penuntutannya hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau terkena. Misalnya penghinaan, perzinahan, pemerasan. Jumlah delik aduan ini tidak banyak terdapat didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. siapa yang dianggap berkepentingan, tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang ada. Untuk perzinahan misalnya, yang berkepentingan adalah suami atau isteri yang bersangkutan. Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute

yang penuntutannya hanya berdasarkan pengaduan dan delik aduan relatif disini karena adanya hubungan istimewa antara pelaku dengan korban, misalnya pencurian dalam keluarga (pasal 367 ayat (2) dan (3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

b. Tindak Pidana dalam kajian Hukum Islam

Suatu perbuatan dinamai jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad ( anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal lain yang harus dipelihara

44


(44)

dan dijunjung tinggi keberadaannya. Jadi, yang menyebabkan suatu perbuatan dianggap sebagai suatu jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain, baik dalam bentuk material (jasad, nyawa atau harta benda) maupun nonmateri ataugangguan nonfisisk, seperti ketenangan, ketenntraman, harga diri, adat istiadat dan sebagainya. Penyebab perbuatan yang merugikan tersebut diantaranya adalah tabiat manusia yang cenderung pada sesuatu yang mengutungkan bagi dirinya walaupun hasil pilihan atau perbuatan tersebut merugikan orang lain. Kenyataan itu memerlukan kehadiran peraturan atau undang-undang. Akan tetapi, kehadiran peraturan tersebut menjadi tak berarti tanpa adanya dukungan yang dapat memaksa sesorang untuk mematuhi peraturan tersebut. Dukungan yang dimaksud adalah penyertaan ancaman hukuman atau sanksi yang menyertai kehadiran peraturan tersebut. Sanksi sangat diperlukan untu mendukung peraturan yang dikenakan pada perbuatan tindak pidana, dengan harapan yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatan tersebut. Disamping itu, agar perbuatan yang sama tidak ditiru orang lain. Dengan demikian, terpeliharalah kepentinngan umum.45

a. Jarimah dan Uqubah

Fikih jinayah adalah ilmu tentang hukum syara‟ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Defenisi tersebut merupakan gabungan antara pengertian “fikih” dan “jinayah”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui

45


(45)

objek pembahasan Fikih Jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah atau tidak pidana dan uqubah atau hukumannya.

Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi adalah sebagai berikut:

“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yanng diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta‟zir”

Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut:

“Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatann yang dilarang oleh syara‟, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya”

Adapun pengertian hukuman sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qodir Audah adalah “hukuman adalah pembalasan yang ditpkan untuk kemaslahatan

masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara”.46

b. Unsur-unsur Tindak Pidana Islam (Jarimah)

Unsur-unsur Tindak Pidana Islam secara umum ada tiga, yaitu adanya usnur formal, unsur materil dan unsur morial, adapun yang dimaksud dengan ketiganya yakni sebagai berikut; 47

1. Unsur Formal atau Rukun Syar‟i

46

Ahmad wardi Muslisch, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), hal ix

47


(46)

Yang dimaksud dengan unsur formal atau rukun syar‟I adalah adanya ketentuan syara atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud

2. Unsur Material atau Rukun Maddi

Yang dimaksud dengan unsur material adalah adanya perilaku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum.

3. Unsur Moril atau Rukun Adaby

Unsur ini juga disebut dengan al-mas‟uliyyah al-jinayah atau pertanggung jawaban pidana. maksudnya adalah pembuat Jarimah (pembuat tindak pidana atau delik) haruslah orang yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Oleh karena itu pembuat Jarimah haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban tersebut. Orang – orang yang diasumsikan memiliki kriteria tersebut adalah orang-orang yang mukallaf sebab hanya merekalah yang terkena khitbah (panggilan) pembebanan (taklif).

c. Macam-Macam Jarimah

Diantara pembagian jarimah yang paling penting adalah pembagian yang ditinjau dari segi hukumannya. Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi


(47)

kepada tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishas dan diat, dan jarimah ta‟zir.

1. Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Pengertian hukuman hadd, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah ; “Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak Allah”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah hudud adalah sebagai berikut:

a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut telah ditentukan oleh syara‟ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang lebih dominan.

Oleh karena hukuman had itu merupakan hak Allah maka hukuman tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah hudud ini ada tujuh macam, yaitu: 48

1) Jarimah zina 2) Jarimah qadzaf

3) Jarimah syurb al-khamar 4) Jarimah pencurian 5) Jarimah hirabah

48


(48)

6) Jarimah riddah, dan

7) Jarimah pemberontakan (Al-Bagyu)

2. Jarimah Qisash dan Diat

Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qisash atau diat. Baik qisash maupun diat kedua-duanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟. Perbedaannnya dengan hukuman had adalah bahwa hukuman had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat mmerupakan hak manusia (hak individu). Disamping itu, perbedaan yang lain adalah karena hukuman qishash dan diat merupakan hak manusia maka hukuman tersebut bisa dimaafkn atau digugurkan oleh korban atau kelluarganya, sedangkan hukuman had tidak bisa dimaafkan atau digugurkan. Pengertian qisash, sebagaimana dikeukakan oleh Muhammad Abu Zahrah adalah “persamaan dan keseimbangan antara jarimah dan hukuman”. Jarimah qhisash dan diat ini hanya ada dua macamm, yaituu pemmbunuhan dan penganniayaan. Namun apabila diperluas, jumlahnya ada lima macam, yaitu: 49

a. Pembunuhan sengaja

b. Pembunuhan mmenyerupai sengaja c. Pembunuhan karena kesalahan d. Penganiayaan sengaja

e. Penganiayaan tidak sengaja

49


(49)

3. Jarimah ta’zir

Jarimah ta‟zir adallah jarimah yang diancaam dengan hukuman ta‟zir. Penngerttian ta‟zir menurut bahasa adallah ta‟dib, artinnya membeeri pelajaran. Ta‟zir juga diartikan dengan Ar-Raddu wal Man‟u, yang artinya menolak dan mencegah. Sedangkan pengertian ta‟zir menurut istilah, sebagaimana dikemukakan olehh Al-Mawardi “Ta‟zir adalah hukuman penddidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara”. Dari defenisi tersebut, dapat diketahui bahw hukuman ta‟zir adala hukuman yang belum ditentukan oleh syara‟ dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepadda ulil amri. Di samping itu, defenisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah ta‟zir adalah sebagai berikut: 50

a) Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya, hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara‟ dan ada bas minimal dan maksimal.

b) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa (ulil amri).

3. Kejahatan terhadap Kesusilaan

Menurut Bemmelen kejahatan adalah Tiap kelakuan yang merugikan (merusak) dan asusila, yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan

50


(50)

mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa terhadap pelaku perbuatan tersebut.51

Sedangkan kata Kesusilaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diterbitkan Balai Pustaka 1989. Dimuat artinya “perihal susila” kata susila dimuat arti sebagai berikut:52

a. Baik budi bahasanya, beradab, sopan santun, tertib;

b. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban;

c. Pengetahuan tentang adat;

Kesusilaan disini pada umumnya diartikan sebagai rasa kesusilaan yang berkaitan dengan nafsu seksual, karena yurisprudensi memberikan pengertian melanggar kesusilaan sebagai perbuatan yang melanggar rasa malu seksual (HR 1 desember 1970, NJ No. 374). Hal ini tidak pernah dibantah oleh para sarjana. Simon misalnya mengatakan bahwa kriterium eer boarheid (kesusilaan) menuntut bahwa isi dan pertunjukkan mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya yang tidak senonoh dapat menyinggung rasa malu atau kesusilaan orang lain. Kesusilaan (zedelijkheid) adalah mengenai adat kebiasaan yang baik dalam hubungan antar berbagai anggota masyarakat, tetapi khusus yang sedikit banyak

51

Forum kajian ilmu kriminologi dan sosial ,http://qsukri.blogspot.com/2010/11/apa-itu-kejahatan.html, diakses pada hari sabtu 4 april 2014

52


(51)

mengenai kelamin (seks) seorang manusia, sedangkan kesopanan (zeden) pada umumnya mengenai adat kebiasaan yang baik. 53

Menurut Barda Nawawi bahwa Delik Kesusilaan adalah delik yang berbuhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana itu apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh ruang lingkupnya ternyata tidaklah mudah, karena pengertian dan batas-batas “kesusilaan” itu cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat. Terlebih pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana mengandung didalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan; bahkan dikatakan bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das Recht ist das ethische minimum). 54

Istilah melanggar dalam melanggar kesusilaan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kata pelanggaran asal kata dari overtredingen (jenis-jenis tindak pidana dalam buku III KUHP), tetapi diartikan melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Melanggar kesusilaan artinya melakukan suatu perbuatan yang menyerang rasa kesusilaan masyarakat.55 Adapun hal yang harus dipahami betul bahwa isi atau materi/substansinya harus bersumber serta mendapat sandaran yang kokoh dari moral agama, seperti yang dikatakan Barda Nawawi Arief, ditambahkan bahwa penentuan delik Kesusilaan juga harus berorientasi pada “nilai-nilai kesusilaan nasional” yang telah disepakati bersama dan juga

53 Ibid 54

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana 2011), hal. 251

55

Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai kesopanan, (Jakarta: Raja Grafindo persada 2005), hal. 16


(52)

memperhatikan nilai-nilai kesusilaan yang hidup didalam masyarakat.56 Dalam perkembangan penyusunan konsep KUHP, tidak lagi dibedakan antara “kejahatan kesusilaan” dan “pelanggaran kesusilaan”. Konsep hanya mengelompokkan dalam satu bab dengan judul “Tindak Pidana terhadap Pelanggaran Melanggar Kesusilaan”.57

Oleh karena itu Maka dapat dikatakan seseorang dianggap melanggar kesusilaan apabila perbuatan tersebut melanggar rasa malu seksual dan dianggap menodai nilai-nilai kesusilaan yang hidup didalam masyarakat, serta nilai-nilai kesusilaan tersebut berdasarkan nilai-nilai agama yang hidup didalam masyarakat tersebut.

Adapun Ketentuan Tindak pidana kesusilaan (berkaitan dengan seks) yang diatur didalam KUHP dapat dikelompokkan menjadi:

a. Bentuk kejahatan diatur dalam pasal 281-289 KUHP

b. Bentuk pelanggaran diatur dalam pasal 532-535 KUHP (Mengungkap atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno).

F. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini agar menjadi tulisan karya ilmiah yang memenuhi kriteria, dibutuhkan data-data yang relevan dari skripsi ini. Dalam

56

Nyoman Serikat Putra Jaya, Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti 2008), hal. 25

57


(53)

upaya pengumpulan data yang diperlukan, menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sifat penelitian dibagi menjadi tiga yakni:58

a. Penelitian eksploratoris (explorative research) atau penjelajahan adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data mengenai hal-hal yang belum diketahui.

b. Penelitian deskriptif Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu

c. Penelitian eksplanatoris Penelitian eksplanatoris merupakan suatu penelitian untuk menerangkan, memperkuat atau menguji dan bahkan menolak suatu teori atau hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil-hasil penelitian yang ada.

Dan sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis. Menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.59 Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.

58

Sejathi, Tipologi Penelitian Hukum, http://id.shvoong.com/law-and-politics/ contem porary-theory/2109107-tipologi-penelitian-hukum/

59

Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian, (Jakarta: PT.Rieneka Citra, 1999), hal. 21.


(54)

Dikenal ada dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris (sosiologis). Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Ronny Hanitijo Soemitro, bahwa:60

a. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal, yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan.

b. Penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, yaitu penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat.

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif yang disebut juga dengan Penelitian Hukum Doktrinal. Jenis penelitian yang dilakukan dan dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. 61 Seperti yang diungkapkan oleh Peter Mahmud Marzuki bahwa tujuan penelitian hukum normatif, yakni;

“…suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai presripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi…”62

60

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cetakan 1 2010), hal. 154

61

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004), hal. 23

62


(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku;

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan-kebijakan Kriminalisasi dan Deskriminalisasi, (Jakarta: Pustaka Pelajar 2005)

Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian, (Jakarta: PT.Rieneka Citra, 1999) Arrasjid, Chainur, Dasar Ilmu Hukum, (Sinar Grafika, 2000)

Asshiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Angkasa 1996)

Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: Refika Aditam, 2011),

Wijayanto, Roni, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia,(Jakarta : Mandar maju 2012)

IIahi, Fadhel, Zina Problematika & Solusinya,(Jakarta: Qisthi Press2005)

Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,Cetakan ke-18, 2012)

Ramlan Yusuf Rangkuti dan Sahmiar Pulungan., Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Medan : Bartong Jaya 2008)

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, (Jakarta : Cetakan ke III, 2008)

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, Cetakan Ketiga 1997)

Marpaung, Leden, Asas Teori Praktik hukum pidana, (Jakarta : Sinar Grafika. 2005)


(2)

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,(Jakarta : Raja Grafindo Persada 2007)

Hakim, Rahmat., Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung : CV Pustaka Setia 2000)

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003)

Nawawi Arief, Barda, Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana 2011)

Wardi Muslisch, Ahmad, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika 2005)

Djubaedah, Neng, Perzinaan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ditinjau dari hukum Islam, (Jakarta : Kencana 2010)

Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandnung : Asy-Syaamil Press Grafika 2000)

Santoso, Topo, Membumikah Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003)

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2004)

Anshari Siregar, Tampil, Metodologi penelitian Hukum, (Medan : Pustaka Bangsa Press 2005)

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cetakan 1 2010),

Abidin Farid, Zainal, Hukum Pidana , (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)

Sulaeman, Eman, Delik Perzinahan dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, (Semarang : Walisongo Press 2008)


(3)

P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, (Jakarta : Sinar Grafika 2009)

Chazawi, Adami, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada 2007)

Surini Ahlan Sjarif Dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, (Jakarta : Kencana 2006)

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2008)

Malik Kamal Bin Asy-Sayyid kamil, Abu, 2008, Shahih Fiqh Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih al- A‟immah jilid 5, (Jakarta: Pustaka at-Tazkia) Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan‟ani, Subulus Salam Jilid 3, (Jakarta :

Darus Sunnah Press 2008)

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa AdillatuhuI Jilid 7, (Jakarta : Gema Insani dan Darul Fikir 2007)

I Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve 2006)

Jauhari, Iman, Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003)

Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung : CitaPustaka Media Perintis 2013)

Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politea Cetakan Kedelapan, 1985)


(4)

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981)

Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987)

Marpaung, Leden, Kejahatan terhadap kesusilaan, (Jakarta: Sinar Grafika 2008)

Serikat Putra Jaya, Nyoman, Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti 2008),

P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Sinar Baru 1976)

Muhammad Nasiruddin Al-Albani, Fiqih Sunnah jilid4 (Jakarta: Cakrawala Publishing 2009)

Ahsin Sakho Muhammad, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam jilid 1 (Jakarta: PT Kharisma Ilmu --)

Ahsin Sakho Muhammad, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam jilid 4 (Jakarta: PT Kharisma Ilmu --)

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam jilid 6 (Jakarta: PT Ichtiar Baru van hoeven 1996)

Al Faruk, Asadulloh, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia Indonesia 2009)

RUU KUHP Tahun 2012

Web / Internet;

OkeZone.com NEWS., Tiap Tahun, Remaja Seks Pra Nikah Meningkat, diakses

darihttp://news.okezone.com/read/2010/12/04/338/400182/tiap-tahun-rema


(5)

VOAislam, Anak SMP buat video seks, bukti Zina sudah merajalela dan dianggap Biasa, http://m.voaislam.com//news/aqidah/2013/10/25/27269/anak-smp-buat-video-seks-bukti-zinah-sudah-merajalela-dianggap-biasa/...

Ja'far Abu Naufal Notes, Memisahkan Negara Dari Agama, http ://lajafa. Wordpress.com/2013/05/27/memisahkan-negara-dari-agama/

Fblog, Politik Kolonial Liberal abad 19, diakses dari ,http:// fandy harwinanto .wordpress.com/2008/12/27/politik-kolonial-liberal-abad-19/

VIVAnews, Prostitusi Marak, Ribuan Remaja Sakit Kelamin, http://fokus .news.viva.co.id/news/read/183151-remaja-tak-pernah-dapat-pendidikan-seks

Rofi‟udin, Abiquinsa, Pencegahan Bahaya HIV/AIDS dalam Perspektif, http ://abiquins.blogspot.com/2013/01/pencegahan-bahaya-hivaids-dalam.html,

LaporanTerakhirKemenkes,http://www.spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id &gg=1

Kompas.com, Seks Bebas Kini Dominasi Penularan HIV/AIDS, http:// nasional .kompas.com/read/2011/11/21/15520126/Seks.Bebas.Kini.Dominasi.Penula ran.HIVAIDS,

JakartaPress, Setahun Ada 1-2 Juta Kasus Aborsi di Indonesia,http:// www .jakartapress.com/detail/read/5886/setahun-ada-1-2-juta-kasus-aborsi-di-indonesia

AnehDidunia.com, Penjelasan Lengkap Bahaya Aborsi dan Foto Proses Aborsi, http://www.anehdidunia.com/2012/04/penjelasan-lengkap-bahaya-aborsi-dan.html,

Penuntut,AborsidanKeruntuhanInstitusidiBarat,http;//ismailgadang.blogspot.com/ 2009/11/aborsi-dan-keruntuhan-institusi-di.html


(6)

Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono,http://www.Presiden ri .go.id/index.php/pidato/2004/12/03/63.html,

Mapsofworld.com, People Living with HIV/AIDS in the World, http://www .mapsofworld.com/thematic-maps/world-people-living-with-hiv-aids-map .html

VOSIslam, Fatwa MUI Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya,http://www.voaislam.com/read/indonesiana/2012/03/22/18307 /fatwa-mui-tentang-kedudukan-anak-hasil-zina-dan-perlakuan-terhadapnya

Forum kajian ilmu kriminologi dansosial ,http://qsukri.blogspot.com/2010/11/apa-itu-kejahatan.html

Hukum Pidana, Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan, http://hukumpidana1 .blogspot.com /2012/04/pengertian-tindak-pidana-kesusilaan.html

Budiyanto, zina, http://budi399.wordpress.com/2009/10/22/zina/,

Kang Imam99, Nasab dan urgensinya dalam Islam, http://imamrusly. Wordpress .com/2012/04/20/nasab-dan-urgensinya-dalam-islam/

NationMaster.com, Crime Statistics > Rapes (most recent) by country, http://www .nationmaster.com/graph/cri_rap-crime-rapes,

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits, Bencana Akibat Tersebarnya Zina, http:// www.alsofwah.or.id/cetakmujizat.php?id=161

VIVAnews, Prostitusi Marak, Ribuan Remaja Sakit Kelamin, http://fokus. News .viva.co.id/news/read/183151-remaja-tak-pernah-dapat-pendidikan-seks

MINA (Mi‟raj Islamic News Agency), Brunei mulai laksanakan hukum syariah 22 April 2014, http://mirajnews.com/id/m-asia/16942-brunei-mulai-laksana kan-hukum-syariah-22-april-2014.html