ANALISIS PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI JAGUNG
78
Selanjutnya variabel dummy varietas mempunyai nilai koefisien dugaan bertanda positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung artinya bahwa petani
yang dalam usahatani jagung menggunakan varietas hibrida mempunyai peluang peningkatan produksi jagung 0.24 lebih tinggidibandingkan dengan petani yang
menggunakan varietas lokalkomposit. Nilai koefisien dummy varietas adalah terbesar kedua setelah nilai koefisien lahan. Hal ini berarti bahwa produksi jagung dilokasi
penelitian sangat dipengaruhi oleh penggunaan varietas hibrida. Implikasi kebijakan adalah varietas jagung hibrida yang bermutu dan berlabel sangat dibutuhkan petani
untuk meningkatkan produksi jagung. Ketersediaan benih hibrida saat musim tanam tiba perlu dijamin ketersediaannya dengan kualitas benih yang baik serta harga beli
yangterjangkau oleh petani.
Pada dasarnya varietas jagung digolongkan atas dua varietas, yaitu varietas lokal bersari bebas dan hibrida. Varietas lokal biasanya menunjukkan hasil dengan
variasi fenotif yang cukup tinggi. Di antara varietas lokal dan hibrida terdapat varietas komposit dan sintetik yang merupakan perbaikan varietas bersari bebas yang memiliki
daya adaptasi dan produksi yang lebih tinggi dari varietas bersari bebas lokal.Varietas yang banyak digunakan petani jagung di Provinsi Jawa Barat adalah varietas hibrida
Pioner, NK 22, NK 33, dan Bisi 2 yang mempunyai beberapa keunggulan. Potensi hasil Pioner sebesar 13.9 ton per hektar pipilan kering dengan rata-rata hasil 9.4 ton per
hektar pipilan kering, sementara potensi hasil NK 22 dan NK 33 masing-masing 10.48 dan 10.12 ton per hektar pipilan kering dengan rata-rata hasil masing-masing 8.7 dan
8.1 ton per hektar pipilan kering. Untuk Bisi 2 mempunyai potensi hasil sebesar 13 ton per hektar pipilan kering dengan rata-rata hasil 8.9 ton per hektar pipilan kering.
Secara genetis varietas hibrida memiliki potensi produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan benih varietas lokalkomposit. Hasil ini konsisten dengan yang
dilaporkan oleh Muhaimin 2011 dan Khaerizal 2008 bahwa varietas jagung hibrida di Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar mempunyai tingkat produksi lebih tinggi sebesar
5.868 kg per hektar pipilan kering dibandingkan dengan produksi jagung varietas lokal yang hanya sebesar 3.057 kg per hektar pipilan kering di Kecamatan Batujajar
Kabupaten Bandung.
Berdasarkan hasil pendugaan parameter diatas menunjukkan lahan, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dummy petani, dan dummyvarietas mempunyai pengaruh
terhadap produksi jagung. Hal ini dapat dikatakan bahwa lahan, dummy varietas, dummy petani, dan pupuk adalah merupakan input produksi penggeser fungsi produksi kearah
frontiernya. Implikasinya kebijakan adalah a peningkatan pemanfaatan luasan lahan kering yang optimal bagi pertanaman jagung agar dapat meningkatkan produksi yang
lebih tinggi, ini dimungkinkan dengan masih terdapatnya ketersediaan luasan lahan kering di Provinsi Jawa Barat; b ketersediaan dan penggunaan benih varietas hibridadi
tingkat petani yang memiliki hasil tinggi serta spesifik lokasi; c penyuluhan, pelatihan, dan partisipasi petani melalui PTT jagung perlu dilanjutkan dan dikembangkan; d
implementasi rekomendasi pemupukan perlu diperhatikan agar memperoleh produksi yang lebih tinggi.
Efisiensi Teknis dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis Petani Jagung di Provinsi Jawa Barat
79
Efisiensi teknis dihitung dengan menggunakan software frontier 4.1.Rata-rata tingkat efisiensi teknis usahatani jagung petani PTT sebesar 0,88 atau 88 persen dengan
kisaran 0,46 –0,97 atau 46–97 persen. Nilai efisiensi teknis terendah 46 persen dan nilai
efisiensi teknis tertinggi 97 persen. Sedangkan kisaran efisiensi teknis petani bukan PTT sebesar 0,37
–0,97 atau 37–97 persen dengan nilai rata-rata sebesar 0,78 atau 78 persen. Nilai efisiensi teknis terendah 37 persen dan nilai efisiensi teknis tertinggi 97 persen.
Dengan demikian rata-rata tingkat efisiensi teknis petani PTT lebih tinggi 0.10 persen atau 11.36 persen jika dibandingkan dengan rata-rata efisiensi teknis petani bukan PTT.
Hal ini berarti pada tingkat input dan teknologi yang ada, produksi rata-rata jagung masih mempunyai peluang untuk ditingkatkan masing-masing sebesar rata-rata
12 persen petani PTT dan 22 persen petani bukan PTT melalui peningkatan manajemen usahatani dan perbaikan teknologi.
Nilai indeks efisiensi teknis hasil analisis dikategorikan efisien apabila menghasilkan nilai yang lebih dari 0,70 sebagai batas efisien Coelli1998. Hasil
penelitian menunjukkan sebanyak 153 petani PTT 94,44 persen mencapai tingkat efisiensi teknis di atas 0,70 dan sisanya 9 petani 5,56 persen masih berada pada
kondisi tidak efisien atau masih mengalami inefisiensi teknis dalam usahataninya. Sementara pada petani bukan PTT sebanyak 106 petani 76,11 persen telah mencapai
tingkat efisiensi teknis di atas 0,70 dan sebanyak 32 petani 23,19 persen masih mengalami inefisiensi teknis dalam usahataninya.
Distribusi frekwensi efisiensi teknis usahatani jagung terdapat pada Tabel 23. Tabel 23. Distribusi frekuensi efisiensi teknis usahatani jagung petani PTT, petani
bukan PTT dan gabungan responden diProvinsi Jawa Barat tahun 2015
Tingkat efisiensi persentase
Petani Jagung PTT
Petani Jagung bukan PTT
Gabungan Petani
Jumlah petani
Persentase Jumlah
petani Persentase
Jumlah petani
Persentase – 10
11 – 20
21 – 30
31 – 40
3 2
3 1
41 – 50
2 1
7 5
9 3
51 –60
2 1
9 7
11 4
61 – 70
5 3
13 9
18 6
71 – 80
15 9
26 19
41 14
81 – 90
61 38
60 43
121 40
91 – 100
77 48
20 14
97 32
Jumlah 162
100 138
100 300
100 Maksimum
97 97
97 Minimum
46 37
37 Rata-rata
88 78
83 Sumber : Analisis data primer, 2015 diolah
Hasil ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah pada petani bukan PTT telah berhasil mewujudkan pencapaian produksi yang mendekati potensi maksimum dengan
penerapan teknologi bukan PTT dan sebagian lagi dalam prakteknya belum berhasil mewujudkan prestasi terbaik melalui pencapaian produksi yang mendekati potensi
maksimum. Besaran efisiensi teknis yang ada pada petani PTT dan bukan PTT
80
mempunyai implikasi kepada strategi penyuluhan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapabilitas manajerial usahatani jagung.
Pada petani PTT dan bukan PTT masing-masing sebanyak 5.56 persen petani dan 23.19 persen petani mempunyai efisiensi teknis dibawah 0.70 persen dapat
dijadikan sebagai sasaran utama program penyuluhan berupa pelatihan untuk meningkatkan efisiensi teknisnya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan rata-rata
efisiensi teknis petani PTT sebesar 88 persen, petani yang mencapai efisiensi teknis lebih besar 80 persen sekitar 85.19 persen 138 petani. Sedangkan rata-rata efisiensi
teknis untuk petani bukan PTT sebesar 78 persen, dimana petani yang mencapai efisiensi teknis lebih besar 80 persen sekitar 57.97 persen 80 petani.
Perbedaan tingkat efisiensi teknis yang dicapai petani di lokasi penelitian mengindikasikan tingkat penguasaan dan aplikasi teknologi yang berbeda-beda. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Prayoga 2010 dan Murniati et al. 2014 bahwa tingkat penguasaan teknologi yang berbeda-beda dari petani disebabkan oleh faktor
internal petani seperti pendidikan, umur, pengalaman berusahatani, frekuensi mengikuti penyuluhan dan faktor ekternal seperti musim tanam, strategi adaptasi dan persepsi yang
baik terhadap dampak perubahan iklim.
Rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden dalam penelitian ini lebih rendah daripada rata-rata efisiensi teknis yang ditemukan oleh Sumarno et al. 2015 di
dataran rendah kabupaten Gorontalo pada petani PTT 0.96 dan petani non PTT 0.91 dengan metode SPPF; Aye 2010pada petani jagung hibrida 0.88 dan petani jagung
tradisional 0.84 dengan metode SFPF. Namun rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden lebih tinggi daripada yang ditemukan oleh Kuwornu et al. 2013 pada petani
jagung Eastern Regiondi Ghana 0.51; Chiona et al. 2014 untuk petani jagung di district Chibombo 0.49 dan district Mumbwa 0.52 di Zambia dengan metode SFPF;
dan Kitila et al. 2014 untuk petani jagung di Oromia Regional State Ethiopia 0.66.
Faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi usahatani jagung terdapat pada Tabel 24.
Tabel 24. Hasil Pendugaan Parameter Model Efek Inefisiensi Teknis Produksi Stochastic Frontier Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Barat tahun 2015
Variabel Koefisien
Standar-error t-ratio
Konstanta 1.3154
a
0.2825 4.6562
Umur petani Z
1
-0.0046 0.0042
-1.0737 Frekwensi penyuluhan Z
2
-0.0625
a
0.0158 -3.9480
Pendidikan formal Z
3
-0.0840
a
0.0280 -2.9987
Jarak lahan usahatani Z
4
-0.0004
a
0.0002 -2.5740
Dummy akses kredit Z
5
-0.6017 0.5551
-1.0841
Sumber : Hasil pengolahan data primer dengan menggunakan program komputer Fontier 4.1. Keterangan μ a signifikan pada α=0.01
Sumber inefisiensi juga diduga dari model Cobb-Douglas secara simultan. Fungsi produksi batas atau stochastic frontier dengan menggunakan MLE melihat
pengaruh faktor-faktor penduga inefisiensi teknis bersama-sama dengan variabel input produksi lainnya terhadap produksi jagung. Dari hasil analisis terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi inefisiensi teknis menunjukkan faktor pengalaman usahatani, jumlah anggota keluarga, status lahan, dan dummy anggota kelompok tani tidak
signifikan berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis, sehingga dalam analisis
81
selanjutnya variabel-variabel tersebut dikeluarkan dalam model. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis adalah umur petani Z
1
, frekwensi penyuluhan Z
2
, pendidikan formal Z
3
, jarak lahan usahatani Z
4
, dan dummy akses kredit Z
5
. Faktor-faktor penduga inefisiensi selain mempengaruhi produksi jagung juga
menentukan rata-rata inefisiensi teknis petani jagung. Tanda negatif pada parameter inefisiensi menunjukkan bahwa variabel tersebut menurunkan inefisiensi teknis atau
meningkatkan efisiensi teknis dan sebaliknya tanda positif menunjukkan bahwa peningkatan variabel tersebut akan meningkatkan inefisiensi teknis atau menurunkan
efisiensi teknis. Perbedaan efisiensi dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berbeda diantara petani jagung. Beberapa faktor tersebut antara lain faktor sosial ekonomi,
infrastruktur dan faktor lingkungan dapat mempengaruhi efisiensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel umur petani, frekwensi penyuluhan, pendidikan formal, jarak lahan usahatani, dan dummy akses kredit bertanda
negatif. Tanda ini sesuai dengan harapan yang artinya dapat mengurangi inefisiensi teknis atau meningkatkan efisiensi teknis. Variabel frekwensi penyuluhan dan
pendidikan formal nyata pada taraf 1 persen, dan jarak lahan usahatani nyata pada taraf 10 persen. Hal ini menunjukkan variabel tersebut merupakan faktor penentu
ketidakefisienan dalam usahatani jagung. Sedangkan variabel umur petani dan dummy akses kredit secara statistik tidak berpengaruh nyata dan pengaruhnya negatif.
Variabel umur petani tidak signifikan namun nilai koefisien bertanda negatif -0,0046. Hal ini menunjukkan umur petani dapat mengurangi inefisiensi teknis dan
meningkatkan efisiensi teknis usahatani jagung. Masalahnya adalah rata-rata umur petani responden adalah 50 tahun sehingga kemampuan fisiknya juga semakin
berkurang. Fakta ini memperlihatkan umur petani sudah hampir memasuki usia tidak produktif lagi sehingga menjadi fokus kebijakan pemerintah agar bagaimana usahatani
khususnya tanaman pangan menjadi lebih menarik sehingga banyak mendapat minat dari petani-petani muda usia produktif melalui kebijakan pada pasar input dan pasar
output. Hasil ini sesuai dengan penelitian Olufemi et al. 2013 dan Aye 2010 serta kontradiktif dengan temuan Essilfie et al. 2011 dan Dlamini et al 2012.
Kelembagaan penyuluhan yang diwakili oleh variabel frekwensi penyuluhan memperlihatkan signifikan pada α=0,01 terhadap peningkatan efisiensi teknis dengan
nilai koefisien -0,0625. Data di lapang menunjukkan persentasi frekwensi terbesar petani PTT mengikuti penyuluhan dalam setahun sebanyak 9-12 kali 37 persen
sedangkan petani bukan PTT sebanyak 5-8 kali 29 persen. Petani yang memiliki akses terhadap penyuluhan mempunyai posisi yang lebih baik menggunakan sumber daya
yang dipunyai dengan pengetahuan mereka. Hasil ini membuktikan ketersediaan informasi berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi teknis. Penyuluhan dapat
meningkatkan efisiensi melalui perubahan teknik budidaya, mekanisasi, penggunaan input baru dan unggul, jumlah input yang optimal, dan peningkatan teknologi. Dengan
petani mendapatkan penyuluhan maka keterampilan dan manajamen dalam usahatani akan meningkat. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sumarno et al. 2015, Fadwiwati
2013, dan Addai 2014. Namun kontradiktif dengan Musaba 2014 dan Muslimin 2012. Selama inikegiatan penyuluhan pertanian lebih fokus pada aspek teknis
budidaya. Untuk itu ke depan petugas penyuluhan harus juga dibekali dengan pengetahuan terkait informasi harga input, harga output, teknologi terkini yang tepat
guna, serta informasi pasar untuk dapat meningkatkan efisiensi alokatif dan ekonomis.
Variabel pendidikan formal signifikan terhadap inefisiensi teknis pada α=0,01 dengan nilai koefisien sebesar -0,0840. Ini bermakna pendidikan formal kepala keluarga
82
KK rumah tangga petani adalah variabel penting yang dapat meningkatkan efisiensi. Artinya semakin lama seorang KK menempuh tingkat pendidikan formal maka dapat
menurunkan inefisiensi teknis dan meningkatkan efisiensi.Pendidikan dapat meningkatkan kemampuan petani untuk mencari, mengolah informasi tentang
penggunaan input-input produksi. Fakta di lapangan menunjukkan rata-rata tingkat pendidikan formal petani PTT dan petani bukan PTT masih rendah tidak tamat SMP
sehingga menjadi masalah dalam efisiensi serta menjadi fokus pada kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan manajerial petani.
Implikasi kebijakan adalah untuk saat ini tidaklah mungkin meningkatkan pendidikan petani di lokasi penelitian karena tingkat pendidikan masih rendah. Yang dapat
dilakukan pemerintah adalah apabila hendak melakukan program introduksi PTT jagung pada lokasi yang lain, target atau sasaran peserta adalah para petani yang paling tidak
mempunyai jenjang pendidikan setara tamat SMP. Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik maka wawasan dan kemampuan petani untuk meningkatkan keterampilan dan
manajerial dapat lebih baik serta berkeinginan untuk mencoba hal-hal yang baru yang bersifat inovatif. Hasil ini sesuai dengan penelitian Musaba 2014, Fadwiwati 2013,
Sumarno et al. 2015, dan Douglas 2014 yang menyatakan pendidikan dapat mengurangi inefisiensi teknis pada usahatani jagung. Namun kontradiktif dengan
penelitian Mignouna et al. 2010, Olufemi et al. 2013, Isaac 2011, dan Chiona et al. 2014 yang menyebutkan bahwa pendidikan tidak berpengaruh nyata mengurangi
inefisiensi teknis.
Variabel jarak lahan usahatani berpengaruh nyata pada α=0,01 dengan nilai koefisien -0,0004. Ini berarti semakin jauh jarak usahatani jagung dengan rumah dapat
menurunkan inefisiensi teknis produktifitas jagung. Kondisi ini tidak sesuai harapan karena diharapkan semakin dekat usahatani dengan rumah maka jarak tempuh lebih
pendek sehingga petani bisa bekerja efektif. Tetapi yang terjadi sebaliknya, semakin jauh jarak usahatani dengan rumah maka inefisiensi semakin turun dan efisiensi teknis
meningkat. Hal ini diduga kebiasaan petani apabila jauh kebunladangnya dari rumah maka lebih serius menangani usahataninya. Pada saat bekerja di kebunladang yang jauh
dari rumah biasanya petani membawa bekal dari rumah dan bekerja dari pagi sampai sore, sehingga petani bisa lebih lama dan bekerja efektif. Data penelitian menunjukkan
rata-rata jarak lahan usahatani dari rumah adalah 772 meter petani PTT dan 706 meter petani bukan PTT. Hal ini sesuai dengan penelitian Muslimin 2012 pada usahatani
padi di Sulawesi Selatan. Kontradiktif dengan penelitian Sienso 2013 pada usahatani jagung di Ghana dan Bhatt 2014 pada usahatani tanaman pangan di India bahwa jarak
lahan tidak berpengaruh nyata dalam mengurangi inefisiensi teknis.
Variabel dummy akses kredit yang mewakili kelembagaan keuangan menunjukkan tidak berpengaruh nyata namun nilai koefisien sebesar -0,6017
mengindikasikan akses kredit di tingkat petani dapat meningkatkan efisiensi teknis dan menurunkan inefisiensi teknis. Hasil ini sesuai dengan penelitian Essilfie et al. 2011
dan Bempomaa 2014. Sementara kontradiktif dengan hasil penelitian Etim 2013 dan Kuwornu et al. 2013 menyebutkan akses kredit berpengaruh nyata terhadap penurunan
inefisiensi teknis dan peningkatan efisiensi teknis. Sedangkan penelitian Naqvi 2013 dan Kitila 2014 menunjukkan akses kredit justru menambah inefisiensi dan
menurunkan efisiensi.
Efisiensi Alokatif Petani Jagung di Provinsi Jawa Barat
83
Inefisiensi alokatif disebabkan kurang tepatnya petani dalam alokasi input pada kegiatan proses produksi usahatani, dikarenakan terlalu sedikit dalam penggunaan
input atau terlalu berlebihan dalam penggunaan input. Selain itu informasi-informasi yang baik dan tersedia tentang harga input dan harga output di pasar menjadi sangat
penting. Fakta di lapang menunjukkan petani mendapatkan harga input yang lebih mahal karena berbagai faktor. Hal ini tentunya juga menyebabkan tingkat efisiensi
alokatif menjadi semakin rendah, karena dengan harga input yang lebih mahal maka petani akan mengurangi penggunaan input. Saat panen, petani mendapatkan harga jual
output yang cenderung lebih murah karena hanya bisa menjual melalui tengkulak atau pedagang pengumpul walaupun ada juga beberapa petani yang menjual langsung ke
pasar desa atau pasar kecamatan.Rendahnya efisiensi alokatif akan berdampak pada berkurangnya besaran efisiensi ekonomi, karena efisiensi ekonomi merupakan
kombinasi dari efisiensi teknis dan efisiensi alokatif.
Distribusi frekuensi efisiensi alokatif Tabel 25 menunjukkan efisiensi alokatif petani PTT berkisar antara 10 persen sampai 100 persen dengan rata-rata
sebesar 52 persen, sementara tingkat efisiensi alokatif petani bukan PTT berkisar antara 10 persen sampai 98 persen dengan rata-rata sebesar 38 persen.Secara gabungan petani
tingkat efisiensi alokatif petani jagung berkisar antara 10 persen sampai 100 persen dengan rata-rata sebesar 45 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani jagung di
Provinsi Jawa Barat sebanyak 85 persen atau 256 orang petani belum efisien secara alokatif. Ini berarti jika rata-rata petani berkeinginan untuk mencapai tingkat efisiensi
alokatif yang paling tinggi maka petani harus menghemat biaya sebesar1-45100 atau 55 persen, sedangkan petani dengan tingkat efisiensi alokatifnya paling kecil harus
menghemat biaya sebesar 1-10100 atau 90 persen. Hal tersebut menjadi dasar untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani jagung.
Tabel 25. Distribusi frekuensi efisiensi alokatifpada petani jagung PTT, petani jagung bukan PTT dan gabungan responden diProvinsi Jawa Barat tahun 2015
Tingkat efisiensi persentase
Petani Jagung PTT Petani Jagung
bukan PTT Gabungan
petani Jumlah
petani Persentase
Jumlah petani
Persentase Jumlah
petani Persentase
– 10 14
9 30
22 44
15 11
– 20 1
1 1
21 – 30
8 5
9 7
17 6
31 – 40
23 14
21 15
44 15
41 – 50
40 25
36 26
76 25
51 –60
25 15
22 16
47 16
61 – 70
16 10
11 8
27 9
71 – 80
14 9
5 4
19 6
81 – 90
12 7
2 1
14 5
91 – 100
10 6
1 1
11 4
Jumlah 162
100 138
100 300
100 Maksimum
100 98
100 Minimum
10 10
10 Rata-rata
52 38
45 Sumber : Analisis data primer, 2015 diolah
84
Hasil penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian Situmorang 2013 di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara yang melaporkan rata-rata tingkat efisiensi
alokatif petani jagung sebesar 60 persen; Sumarno et al. 2015 di Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo yang menunjukkan tingkat efisiensi alokatif petani jagung PTT
rata-rata sebesar 57 persen dan petani jagung non PTT sebesar 52 persen.
Efisiensi EkonomiPetani Jagung di Provinsi Jawa Barat
Tabel 26 menunjukkan efek kombinasi efisiensi teknis dan efisiensi alokatif petani PTT mempunyai rata-rata 46 persen dengan kisaran 10-100 persen. Hal ini
menunjukkan bila petani rata-rata dalam sampel ingin mencapai efisiensi ekonomi maksimum maka petani dapat merealisasikannya dengan penghematan biaya sebesar
54persen 1-46100, sedangkan pada petani yang tidak efisien mereka dapat menghemat biaya sebesar 90 persen 1-10100.
Efek kombinasi efisiensi teknis dan efisiensi alokatif petani bukan PTT mempunyai rata-rata 29 persen dengan kisaran 5-86 persen. Hal ini menunjukkan bila
petani rata-rata dalam contoh dapat mencapai efisiensi ekonomi maksimum maka petani bukan PTT dapat merealisasikannya dengan penghematan biaya sebesar 71 persen 1-
2986 untuk mencapai efisiensi ekonomi maksimum dan penghematan biaya pada petani yang tidak efisien sebesar 95 persen 1-586.
Sementara efek kombinasi efisiensi teknis dan efisiensi alokatif gabungan petani jagung mempunyai rata-rata 38 persen dengan kisaran 5-100 persen.Hal ini
menunjukkan bila petani rata-rata dalam contoh dapat mencapai efisiensi ekonomi maksimum maka petani dapat merealisasikannya dengan penghematan biaya sebesar 62
persen 1-38100 sedangkan pada petani yang tidak efisien mereka dapat menghemat biaya sebesar 95 persen 1-5100. Tingkat efisiensi ekonomi pada penelitian ini lebih
rendah daripada hasil penelitian Kurniawan 2008 dengan tingkat efisiensi ekonomi rata-rata sebesar 51 persen
Tabel 26. Distribusi frekuensi efisiensi ekonomipada petani jagung PTT, petani jagung bukan PTT dan gabungan responden diProvinsi Jawa Barat tahun 2015
Tingkat efisiensi persentase
Petani Jagung PTT Petani Jagung
bukan PTT Gabungan
responden Jumlah
petani Persentase
Jumlah petani
Persentase Jumlah
petani Persentase
– 10 14
9 30
22 44
15 11
– 20 3
2 12
9 15
5 21
– 30 23
14 30
22 53
18 31
– 40 31
19 22
16 53
18 41
– 50 31
19 27
20 58
19 51
–60 17
10 8
6 25
8 61
– 70 16
10 5
4 21
7 71
– 80 12
7 2
1 14
5 81
– 90 5
3 2
1 7
2 91
– 100 10
6 10
3 Jumlah
162 100
138 100
300 100
Maksimum 100
86 100
Minimum 10
5 5
85
Rata-rata 46
29 38
Sumber : Analisis data primer, 2015 diolah
Berdasarkan temuan di atas, maka efisiensi ekonomi masih dapat ditingkatkan. Sementara, inefisiensi alokatif merupakan masalah yang serius dibandingkan dengan
inefisiensi teknik dalam upaya pencapaian tingkat efisiensi ekonomi yang lebih tinggi, karena secara teknis kondisi petani dikatakan efisien indeks efisiensi teknis 0,8
dengan ruang peningkatan efisiensi yang lebih kecil sementara penghematan biaya sebagai dampak pencapaian efisiensi alokatif adalah cukup besar. Upaya yang dapat
dilakukan dalam rangka peningkatan efisiensi alokatif pada kondisi petani memperhatikan harga input yaitu penambahan input yang kurang atau pengurangan
input yang berlebihan sehingga dicapai biaya minimum. Penelitian Fadwiwati 2013 dan Sianipar 2001 menunjukkan pada petani jagung yang menggunakan varietas
unggul baru hibrida lebih efisien dalam penggunaan input. Demikian juga dengan penelitian Muslimin 2012 bahwa penggunaan input pada usahatani padi lebih efisien
pada kelompok petani yang menggunakan varietas unggul baru VUB dibandingkan petani yang memakai variates unggul lama VUL.