Cara Orang Tua Mensosialisasikan Peran Gender Pada Anak

53 pantas atau tidak diterima oleh masyarakat, hukuman dapat berupa fisik atau hukuman sosial. Pemberian hukuman dimaksudkan agar anak menyadari kesalahannya, sedangkan ganjaran diberikan kepada anak yang berperilaku baik. Dengan ganjaran diharapkan anak termotivasi untuk selalu berbuat baik Idi, 2011:110. Dalam konteks ini, para orang tua akan memberikan teguran atau hukuman kepada anak, ketika sang anak dianggap melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya. Informan M. Arif mengatakan bahwa “ya kadang- kadang kalo dia salah aja sih, kaya manja itu suka sama bilangin anak laki-laki jangan manja harus mandiri, biasanya kalo minta dibeliin mainan suka ngerengek manja dianya “ M. Arif, Depok, 24 Januari 2014. Ditambahkan oleh informan Ristianti yaitu “misalnya maen gak pulang-pulang udah kaya anak laki aja gitu maennya...ya kadang abangnya begitu, maen dari pagi pulangnya isya. Susah dibilangin kalo anak laki mah ” Ristianti, Depok, 23 Januari 2014. Seharunya hukuman diberikan apabila anak melakukan perilaku yang salah menurut agama dan norma masyarakat seperti melawan orang tua, mencuri, berbohong dan lainnya bukan perilaku yang berhubungan dengan peran gendernya. Sosialisasi peran gender selanjutnya adalah melalui pemilihan permainan. Pada dasarnya tidak ada satupun mainan yang khusus dibuat untuk anak laki-laki maupun untuk anak perempuan. Tetapi, budaya masyarakatlah yang menentukan mana mainan yang dianggap tepat atau tidak tepat bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Dalam penelitian ini, informan orang tua secara sengaja memilihkan mainan yang dianggap pantas untuk dimainkan oleh anaknya. Anak laki-laki 54 dianggap pantas memainkan mainan yang memerlukan ketangkasan dan kecepatan seperti mobil-mobilan, robot-robotan, playstation, sepakbola dan lain sebagainya. Berbeda dengan perempuan memainkan permainan yang bersifat keibuan seperti boneka dan masak-masakan. Biasanya ketika ada anak yang bermain dengan mainan yang tidak sesuai jenis kelamin maka tak jarang anak tersebut akan mendapatkan sindirian atau olokan dari orang lain. Sindiran atau olokan yang diberikan pun berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki akan mendapat julukan banci atau bencong, sedangkan anak perempuan akan mendapat julukan tomboy. Sehingga dapat dikatakan bahwa semua informan orang tua masih menganut pandangan tradisioanl mengenai pemilihan permainan anak. Berikut pernyataan yang diungkapkan oleh informan Roinah : Robotan-robotan....Mainan mah yang sewajarnya aja, kalo anak laki-laki ya dikasih mobil-mobilan, robot-robotan tapi perempuan maenannya boneka, ntar kalo kebalik nanti yang ada diomongin orang lagi anak saya, tetangga saya kan ada anak lakinya kaya cewe lembek gitu, dikatain melulu ama temen-temennya, kasian banget. Roinah, Depok, 27 Januari 2014 Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh informan Irma ketika diberi pertanyaan mengenai mainan yang diberikan kepada anak dan menanyakan penyebab anak perempuan tidak diberikan mainan mobil-mobilan : Ya sesuai anaknya, kalo anaknya perempuan dikasih boneka masak- masakan, anak laki ya dikasih mobil-mobilan atau nggak bola.....Gak mbak, nanti anak perempuan saya jadi tomboy lagi....Janganlah mbak yang sewajarnya anak perempuan aja Irma, Depok, 23 Januari 2014 Secara garis besar, perbedaan gender bukanlah suatu hal yang mengejutkan lagi bahwa banyak anak yang memperlihatkan stereotipe gendernya melalui 55 pemilihan mainan dari umur 18-24 bulan. Secara langsung atau tidak, orang tua mendorong perbedaan gender melalui mainan yang mereka pilihkan untuk anaknya Crawford,2004:189. Orang tua meniadakan kesempatan untuk belajar melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan jenis kelamin. Misalnya, bayi diberi mainan yang sesuai dengan jenis kelaminnya dan ditunjukkan bagaimana cara menggunakannya dengan cara yang disetujui. Bahkan jika mereka tampak lebih menyukai mainan yang sesuai untuk lawan jenis, mereka diberitahu bahwa “anak laki- laki tidak bermain dengan boneka” atau boneka disingkirkan dan mereka dibuat merasa malu karena kedapatan bermain dengan mainan yang tidak sesuai Hurlock,1978:172. Orang tua seharunya tidak melarang anaknya untuk bermain dengan mainan yang dianggap tidak sesuai dengan jenis kelaminnya dan memandang hal terebut sebagai bentuk keingintahuan dan proses penjelajahan diri dari sang anak dalam mengenal jenis-jenis permainan yang ada bukan sebagai bentuk dari perilaku yang menyimpang. Selain dari pemilihan media mainan, para orang tua juga melakukan sosialisasi peran gender melalui pemilihan teman sebaya bagi anak. Teman sebaya dianggap menjadi salah satu orang yang memiliki pengaruh dalam perkembangan anak. Dengan teman sebaya anak dapat mempelajari berbagai hal. Salah satunya adalah pada pola pikir dan perilaku. Pada sesi wawancara, peneliti memberi pertanyaan kepada para informan orang tua mengenai mayoritas jenis kelamin teman sebaya anak serta ada atau tidaknya larangan kepada anak untuk bermain dengan lawan jenis. Hasilnya menunjukan bahwa 11 informan orang tua mengungkapkan bahwa anaknya mayoritas memiliki teman sebaya yang berjenis 56 kelamin sama dengan sang anak. Tetapi, satu orang tua menuturkan cerita berbeda. Informan Kristianti mengungkapkan bahwa “Selfa temennya banyakan laki-laki mau di sekolah, di rumah......ya suka dia aja itu mah, kadangkan kalo sama anak perempuan dia gak bisa ngalah, jadi ya maennya sama anak laki ” Kristianti, Depok, 27 Januari 2014. Kemudian mengenai ada atau tidaknya larangan kepada anak mengenai teman sebayanya, mayoritas orang tua menjelaskan bahwa tidak ada larangan terhadap pemilihan teman sebaya berdasarkan jenis kelamin. Tetapi, bagi informan orang tua yang memberikan larangan dilatarbelakangi berbagai alasan. Diantaranya diungkapkan oleh informan Evvy Nursanti yang mempunyai anak perempuan yaitu “ada sih, larangan mah ada, biasanya sama anak laki, kan anak laki itu agak bandel ya, takutnya jadi ikut-ikutan dia ” Evvy Nursanti, Depok, 23 Januari 2014. Ditambahkan oleh informan M.Arif yang mempunyai anak laki- laki yakni “gak tapi jangan sering juga nanti sifatnya malah jadi kaya perempuan lagi ” M. Arif, Depok, 24 Januari 2014. Berbeda halnya dengan yang diungkapkan oleh informan Irma yang memberlakukan larangan pemilihan teman bermain anak berdasarkan usia dari sang anak : Kalo untuk yang besar mungkin lebih ini ya, lebih ngasih taunya lebih jelas. Dia kan juga udah SMP jangan terlalu deket sama temen perempuan, banyak-banyakin temen laki-laki aja. Kalo yang masih kecil sih masih boleh maen sama siapa aja. Irma, Depok, 23 Januari 2014 Dapat dianalisa bahwa beredarnya anggapan pada beberapa orang tua bahwa dengan memiliki teman sebaya yang berjenis kelamin sama maka pola pikir dan 57 perilaku anak akan menjadi sama. Contohnya, jika anak perempuan berteman dengan sesama anak perempuan maka pola pikir dan perilaku anak akan menjadi layaknya anak perempuan sesuai dengan pandangan masyarakat pada umumnya. Begitu pula dengan anak laki-laki yang berteman dengan sesama anak laki-laki. Jika anak perempuan bermain dengan anak laki-laki terdapat kekhawatiran dari orang tua bahwa pola pikir dan perilaku anaknya tidak akan sesuai dengan jenis kelaminnya. Anggapan ini masih dipercaya di lingkungan masyarakat walaupun belum teruji kebenarannya. Berbeda hal nya dengan yang terjadi pada informan Irma yang membatasi anaknya untuk memiliki teman lawan jenis pada anak yang berusia remaja sedangkan tidak ada batasan dalam berteman kepada anaknya yang masih kecil. Dalam konteks ini, lebih tepatnya informan orang tua melarang anak untuk memiliki hubungan spesial atau berpacaran diusia remaja. Pelarangan ini tentunya masih diberlakukan oleh orang tua lainnya yang ingin anaknya untuk fokus terhadap urusan pendidikan dan memiliki ketakutan anaknya akan terjebak kepada hal-hal yang negatif. Untuk menggali informasi yang lebih dalam, peneliti juga menanyakan tentang permainan yang sering dimainkan oleh anak informan orang tua dengan teman sebayanya. Dengan mengetahui jenis permainan tersebut akan memudahkan peneliti untuk menganalisa mengenai pola pikir dan perilaku anak yang dipengaruhi oleh teman sebaya. Berdasarkan penuturan para informan orang tua, mayoritas informan orang tua yang memiliki anak laki-laki mengatakan bahwa anaknya bermain mobil-mobilan, robot dan sepak bola dengan teman 58 sebaya laki-laki. Sedangkan, bagi informan orang tua yang memiliki anak perempuan mengatakan bahwa anaknya bermain boneka, masak-masakan atau permainan lainnya yang bersifat keibuan dengan teman sebaya perempuan. Dapat disimpulkan bahwa semua anak dari informan orang tua memainkan jenis permainan yang lazim terjadi di lingkungan masyarakat. Lebih lanjutnya, peneliti memberikan sebuah ilustrasi kepada para informan orang tua khususnya yang memiliki anak laki-laki apabila sang anak bersama teman sebayanya bermain dengan alat permainan yang dianggap sesuai untuk perempuan seperti masak-masakan dengan alasan bahwa sang anak bercita-cita menjadi seorang cheff atau juru masak profesional, mengingat pada saat ini baik di acara televisi maupun di restoran banyak terdapat cheff pria. Berikut tanggapan dari informan Nuraini : Jangan kalo itu, emang sih sekarang banyak cheff cowo yang disiarin di tv kaya cheff Juna tapi kayanya agak gimana gitu ya kalo ngeliat cowo lebih pinter masaknya ketimbang cewe....Gak pantes kali ya, kan biasanya perempuan yang jago masak, masa ini laki-laki, kerjaan kita diambil deh, hehe. Nuraini, Depok, 23 Januari 2014 Diperkuat oleh informan Maryati yakni “gaklah neng, jangan itu mah, cita- cita mah yang wajar-wajar aja... Mau jadi tentara kaya abangnya ” Maryati, Depok, 27 Januari 2014. Hal ini mengindikasikan bahwa informan orang tua tidak menginginkan anaknya kelak berprofesi sebagai juru masak dan lebih menginginkan anaknya memiliki cita-cita dan pekerjaan yang di mata masyarakat pantas atau sesuai berdasarkan masing-masing jenis kelamin. Pekerjaan sebagai seorang cheff atau juru masak menurut informan orang tua adalah pekerjaan yang kurang pantas untuk dikerjakan oleh laki-laki dan dianggap lebih pantas 59 dikerjakan oleh perempuan. Hal ini dikarenakan sebagai ibu rumah tangga, perempuan dituntut untuk pandai memasak sehingga memasak diidentikkan sebagai pekerjaan atau keahlian perempuan. Informan orang tua lebih menginginkan anaknya untuk memiliki cita-cita dan bekerja sebagai tentara, dimana profesi sebagai tentara identik dengan sikap kekuatan dan kesigapan. Kedua sikap ini diidentikkan oleh masyarakat sebagai sikap seorang laki-laki, sehingga menjadi seorang tentara bagi laki-laki dianggap hal yang lumrah atau lazim. Pesan perbedaan gender ada dimana-mana. Suatu penelitian terhadap perkembangan anak menemukan secara virtual bahwa tidak mungkin atau tidak ada orang tua yang memberikan sesuatu yang bersifat netral pada pakaian yang dikenakan oleh anak mereka. Sebagai contoh, bayi perempuan yang baru lahir mengenakan pakaian berwarna merah muda atau pink, lengkap dengan dasi atau pita kecil di atas kepala gundulnya. Di Pusat perbelanjaan, perlengkapan bayi perempuan di kategorikan dengan berwarna merah muda atau pink, bentuk lengan bajunya menggelembung, berkerut, berenda sedangkan bayi laki-laki menggunakan pakaian berwarna biru atau merah tanpa bentuk menggelembung atau berkerut atau berwarna merah muda Shakin,ShakinSternglanz,1985, dalam Crawford,2004:185-186. Hal yang samapun dilakukan oleh para informan orang tua, salah satunya seperti yang diungkap oleh informan Evvy Nursanti mengenai model pakaian yang sering dipilihkan untuk anak perempuannya : 60 Kalo model baju anak perempuan sih yang agak feminim ya, dia kan perempuan jadi bajunya harus lebih imut lah dari laki-laki, aku juga orangnya suka banget dandanin dia kaya princess-princess gitu, dipakein bando lah, jepitan biar cantik hehe. Evvy Nursanti, Depok, 23 Januari 2014 Bagi informan orang tua yang memiliki anak laki-laki lebih memilihkan jenis pakaian yang berbeda dengan perempuan seperti kaos, kemeja dan celana jeans. Melalui media pakaianpun ternyata sosialisasi peran gender dapat dibentuk. Mengenai pemilihan warna untuk anak, bagi informan orang tua yang memiliki anak perempuan lebih memilihkan warna-warna yang lembut seperti merah muda atau pink dan ungu, sedangkan bagi informan yang memiliki anak laki-laki memilihkan warna yang kuat seperti merah, biru dan hijau. Para informan orang tua beralasan bahwa pemilihan warna tersebut berdasarkan permintaan warna favorit anak serta ada pula informan orang tua yang mengaku menyukai warna tertentu kemudian memilihkan warna tersebut untuk anak. Peneliti memberikan pertanyaan kepada informan orang tua mengenai ada atau tidaknya komplain berupa rasa tidak suka dari anak terhadap mainan, pemilihan perlengkapan kebutuhan anak serta warna yang berbeda dari lawan jenisnya. Semua informan orang tua menjawab tidak ada komplain berupa rasa tidak suka terhadap mainan. Kalaupun ada bukan karena jenis mainannya yang berbeda melainkan karena mainannya rusak. Dituturkan oleh informan Maryati yaitu “nggak kalo itu mah, biasanya komplain kalo maenannya rusak aja, kok mainan aku rusak sih Ma, biasanya begitu ” Maryati, Depok, 27 Januari 2014. Tetapi, komplain sering ditemui informan orang tua terhadap pemilihan 61 perlengkapan kebutuhan anak yang tidak sesuai dengan selera sang anak, salah satunya diungkapkan oleh informan Evvy Nursanti yakni : Paling barang yang dia gak suka, harusnya begini Ma, gitu katanya, biasanya kalo dibeliin sendal atau sepatu, kalo enggak mau ya gak dipake, jadi kalo beliin apa-apa dianya musti ikut juga, pilih sendiri ”. Evvy Nursanti, Depok, 23 Januari 2014 Pada masyarakat, sosialisasi peran gender terlihat dari pembagian kerja berdasarkan gender atau gender division of labor Mosse,1996:5. Berdasarkan pengamatan di lingkungan sekitar, seringkali orang tua mensosialisasi pembagian kerja yang berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki diberikan tanggung jawab tugas dalam hal tertentu saja seperti yang berhubungan dengan tenaga dan keahlian. Contohnya mengangkat barang, mengantar atau menjemput anggota keluarga serta memperbaiki barang yang rusak. Anak laki- laki diharuskan dapat mengerjakan tugas rumah yang dilakukan oleh ayah agar ketika ayah tidak berada di rumah, maka anak laki-lakilah yang menggantikan tugas tersebut dan sebagai pembelajaran bagi anak laki-laki ketika kelak akan menjadi pemimpin rumah tangga. Bahkan ada pula keluarga yang membebaskan tanggung jawab kepada laki-laki dalam melakukan pekerjaan rumah. Sementara anak perempuan diberikan tanggung jawab tugas yang berhubungan dengan kebersihan dan perawatan seperti membersihkan rumah, menjaga adik bahkan mencuci dan memasak. Perempuan dituntut untuk dapat melakukan pekerjaan selayaknya ibu. Hal ini semata-mata dilakukan karena kelak perempuan akan menjadi ibu rumah tangga. Pada penelitian ini, para informan orang tua belum mensosialisasikan pembagian kerja berdasarkan gender di rumah 62 mengingat usia anak mereka yang masih dini. Orang tua hanya meminta bantuan yang ringan pada anak seperti minta tolong membeli sesuatu di warung, menjaga adik dan menyapu lantai. Untuk mengetahui ada atau tidaknya diskriminasi gender berupa subordinasi dan beban ganda yang terjadi di rumah, peneliti memberi pertanyaan mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Hasilnya, mayoritas informan orang tua menjawab kaum istrilah yang melakukan pekerjaan rumah tangga. Hal ini dilakukan karena mereka telah menerima dan menganggap sudah merupakan kewajiban bagi seorang istri untuk melakukan tugas tersebut dan merasa bersalah apabila meninggalkannya. Pengaruh budaya tentu tidak lepas dari hal ini karena ada anggapan bahwa sudah menjadi kodratnya perempuan untuk mengurus pekerjaan rumah tangga. Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir 90 persen dari pekerjaan dalam rumah tangga. Karena itu, bagi perempuan yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik, mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik BKKBN,2007:11. Berbeda halnya dengan pernyataan informan orang tua bernama Irma yang bercerita bahwa “kita kerja sama kalo soal urusan rumah, saling membantu antara suami dan istri ” Irma, Depok, 23 Januari 2014. Berdasarkan pernyataannya tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat relasi yang seimbang dalam keluarga mengenai pembagian tugas suami dan istri di rumah. Mereka tidak menerapkan pembagian tugas berdasarkan gender. Hal ini tentunya tidak memberikan 63 diskriminasi atau ketidak adilan kepada salah satu jenis kelamin, terutama kaum perempuan. Walaupun istri dianggap sosok yang paling bertanggung jawab dalam pengurusan rumah seperti yang dibentuk dari konstruk budaya masyarakat, terkadang istri juga membutuhkan bantuan dari suami. Mereka tidak lagi sungkan meminta bantuan darinya, mulai dari melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan oleh istri ataupun hanya sebatas membantu pekerjaan yang lain. Hal serupapun juga dilakukan oleh informan orang tua. Diungkapkan oleh informan Maryati yakni “pernah, kaya ayah itu tolong liatin aer, kan lagi nyolokin mesin aer, ya yang begitu-begitu aja tapi kalo nyuruh suami cuci baju mah gak pernah, yang enteng-enteng aja dia mah, hehehe ” Maryati, Depok, 27 Januari 2014. Ketika informan orang tua diberi pertanyaan apabila terdapat keluarga dimana yang mengurus rumah dan anak dilakukan oleh suami, sementara istrinya bekerja di ranah publik. Para informan pun memberikan komentar yang bernada negatif karena menganggap bahwa hal tersebut tidak wajar untuk dilakukan. Seperti yang diungkapkan oleh informan Nuraini : Aneh ya, dimana-mana kan harusnya istri yang ngurusin anak sama rumah, suami yang ke kantor. Aku aja kadang kalo mau pergi terus ninggalin suami sama anak, rumah itu harus udah bersih, gak enak Mbak kalo harus nyuruh suami yang ngurus rumah ngerasa jadi istri yang gak berbakti aja, hehe. Nuraini, Depok, 23 Januari 2014 Pengaruh budaya yang mengatakan bahwa istri merupakan orang yang paling bertanggung jawab dalam mengurus pekerjaan dan anak masih sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari sehingga menurut pandangan informan 64 orang tua apabila suami yang mengerjakan semua itu dianggap hal yang tidak wajar terjadi sedangkan bagi istri mengerjakan semua itu telah dianggap sebagai kewajibannya dan akan merasa bersalah jika tidak melakukannya. Bagi istri yang tidak bekerja, hal ini tentu tidak menjadi sebuah masalah yang besar dalam mengerjakan tugas tesrebut tetapi bagi istri yang bekerja di ranah publik dan ia juga harus mengerjakan tugas tersebut ini dapat dianggap sebagai diskriminasi beban ganda yang tidak mereka sadari. Dalam penelitian ini, peneliti sengaja memilih enam informan yang bekerja di ranah publik dan enam orang yang bekerja di ranah domestik untuk mengetahui pola pengasuhan anak ketika di rumah. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan ternyata terdapat perbedaan pola pengasuhan antara orang tuanya bekerja di ranah domestik dengan orang tuanya bekerja di ranah publik baik dari segi waktu dan pihak yang mendominasi dalam mengasuh dan mendidik anak. Dari segi waktu, bagi orang tua yang berkerja di ranah publik, mereka memiliki waktu bersama anak yang lebih sedikit dibandingkan dengan orang tua yang bekerja di ranah domestik. Seperti yang dikatakan oleh informan Milla Kartika ketika diberi pertanyaan mengenai waktu bermain bersama anak dan siapa yang paling dominan dalam mengasuh anak di rumah : Kalo ditanyain yang paling dominan sih sebenernya mama saya atau neneknya, soalnya kan saya kerja berangkat pagi sampe rumah magrib, suami juga begitu, malah dia pulangnya bisa sampe diatas jam 10 malem, kadang aja pas saya pulang kerja eh anaknya malah udah tidur, jadi dia mau gak mau lebih deket sama neneknya ketimbang saya atau suami, paling weekend sih baru bisa main sama anak, padahal mau banget nganterin anak sekolah, jemput anak, kan anaknya juga sering marahin minta di anterin sekolah bilang Mama anterin uti sekolah tapi gimana kerjaan gak mungkin ditinggalin, saya kerja juga buat anak tapi 65 dibandingin suami saya yang paling dominan sama anak. Milla Kartika, Depok, 24 Januari 2014 Dari segi pihak yang mendominasi dalam mengasuh dan mendidik anak, bagi informan orang tua yang bekerja di ranah publik, komitmen mereka kepada perusahaan menyebabkan meraka mempunyai waktu yang terbatas dengan anaknya, sehingga pengasuhan anak beralih dari yang seharusnya dilakukan oleh orang tua menjadi nenek bahkan kepada pengasuh anak. Padahal seharusnya peran orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak tidak boleh tergantikan. Berbeda halnya dengan informan orang tua yang berprofesi sebagai wiraswasta walaupun mereka bekerja, mereka masih bisa sambil mengasuh anak. Bagi informan orang tua yang bekerja di ranah domestik atau sebagai ibu rumah tangga, mereka memiliki waktu bermain bersama anak yang sangat banyak karena mereka tidak memiliki beban dan tanggung jawab kepada suatu perusahaan tertentu yang mengatur jam mereka. Informan Ristianti menuturkan bahwa “saya sama anak terus, kadang kalo pergi ngaji sama kondangan yang kecil ikut juga...ya harus ikut kalo nggak ikut bisa ngambek dia ” Ristianti, Depok, 23 Januari 2014. Anak usia dini merupakan pribadi yang rentan untuk dipengaruhi oleh sesuatu hal. Oleh karena itu, setiap orang tua diharuskan selalu mengawasi dan mengontrol segala aktivitas anak. Orang tua tentunya tidak menginginkan anaknya mendapatkan pengaruh yang buruk atau negatif yang nantinya dapat membuat perilaku anak menyimpang atau tidak sesuai dengan nilai agama dan norma dalam masyarakat. Salah satunya adalah melalui media massa, khususnya 66 televisi. Pada saat ini banyak acara televisi yang sifatnya tidak mendidik. Untuk itu, peran orang tua dibutuhkan disini untuk memilah-milah dan memberi penjelasan mengenai acara yang dianggap boleh atau tidak boleh ditonton oleh anak. Diantaranya acara televisi yang dianggap tidak boleh ditonton oleh anak adalah yang mengandung kekerasan, penghinaan kepada SARA Suku, Agama, Ras, Adat, tidak sesuai dengan umur serta sifat seseorang yang tidak sesuai dengan jenis kelamin sesuai dengan konstruk budaya masyarakat, contohnya laki- laki yang berperilaku dan penampilan layaknya wanita. Para orang tua informan pun tak luput melakukan hal tersebut. Menurut peneliti, salah satu acara televisi yang dianggap tidak pantas ditonton anak adalah acara YKS Yuk Keep Smile yang kerap mendapatkan komplain dari masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh informan Maryati : Oh iya pasti, keluarga kan suka banget nonton YKS tapi ya kadang gak bagus tayangannya, apalagi si Olga, pasti saya atau bapaknya bilangin ke anak, tuh yang kaya gitu gak boleh ditiru de, kalo anak laki pake baju laki- laki, sikapnya kaya laki laki, gak boleh kaya gitu, dosa Maryati, Depok, 27 Januari 2014 Berdasarkan penuturan informan orang tua, nampaknya orang tua saat ini semakin cerdas dalam memberikan pendidikan yang baik kepada anak. Orang tua tidak lagi masa bodoh dengan tayangan yang ditonton anak. Sebagai orang tua tentunya mereka tidak menginginkan anak terpengaruh hal yang negatif. Tetapi, alangkah baiknya jika orang tua tidak hanya melarang tetapi juga memberikan contoh yang positif kepada anak, seperti tidak menonton juga tayangan tersebut dan mengarahkan anak kepada tayangan yang tepat untuknya. 67 Memperkuat teori belajar sosial atau social learning theory yaitu anak memperoleh identitas, peran dan tingkah laku gender melalui pembelajaran dan pengamatan langsung yang disesuaikan dengan jenis kelamin mereka. Pembelajaran dan pengamatan langsung ini mengacu kepada orang tua. Orang tua memberikan pembelajaran melalui bentuk-bentuk sosialisasi peran gender pada anak seperti penjelasan sikap yang tepat pada anak, pemilihan pola pengasuhan yang tepat, permainan, teman sebaya, perlengkapan kebutuhan anak seperti model pakaian, tas dan lainnya, pemilihan warna, pemberian aksesoris, sistem pembagian kerja dalam keluarga serta pemilihan tayangan televisi untuk anak. Semua hal tersebut didasarkan pada jenis kelamin sang anak dan sesuai dengan konstruk budaya masyarakat agar sang anak dapat diterima di lingkungan masyarakat secara baik. Oleh karenanya, orang tua berusaha memberikan sosialisasi peran gender sedari kecil dalam keluarga. Agar sosialisasi peran gender berjalan sesuai yang diinginkan oleh orang tua, orang tua juga berusaha memberikan contoh yang baik kepada anak agar anak dapat menirunya. Selain itu, orang tua juga tak segan-segan memberikan teguran kepada anak apabila perilaku anak dinilai tidak sesuai dengan jenis kelaminnya.

C. Cara Anak Mempelajari Peran Gender yang Sesuai Dengan Jenis

Kelaminnya dari Orang Tua Keluarga, Lingkungan Sekolah dan Teman Sebaya Bermain Anak dalam penelitian ini berjumlah 12 orang, terdiri dari 6 orang laki-laki dan 6 orang perempuan. Usianya terbilang masih sangat muda yaitu mulai dari usia 4 sampai 6 tahun. Tidak terlalu ada perbedaan signifikan dalam pola pikir 68 anak berdasarkan umurnya. Semua informan anak dapat menjawab setiap pertanyaan peneliti dengan baik dan cerdas. Harapan masyarakat agar individu baik laki-laki maupun perempuan memiliki pola pikir dan tingkah laku yang dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya masing-masing, akibat dari pengaruh konstruk budaya, norma dan nilai yang dianut dalam suatu lingkungan masyarakat, mengharuskan individu tersebut untuk mengikuti aturan tersebut agar dapat diterima secara baik dalam lingkungan masyarakat. Untuk itu lah sosialisasi peran gender dilakukan. Sosialisasi peran gender bahkan berlangsung sejak bayi baru dilahirkan sampai ia beranjak besar. Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan cara anak mempelajari peran gender yang berasal dari orang tua, lingkungan sekolah dan teman sebaya atau bermain. 1. Orang Tua Keluarga Anak diibaratkan sebagai kertas putih sedangkan orang tua sebagai penanya. Orang tualah yang berperan penting dalam mengarahkan masa depan sang anak. Peran tersebut tidak dapat digantikan oleh orang lain, terutama masalah dalam pengasuhan dan pendidikan kepada anak. Kedua orang tua dituntut untuk selalu berada di dekat anak. Meskipun begitu, pada kenyataannya setiap anak tentunya merasakan adanya kedekatan yang lebih kepada salah satu orang tua, baik itu kepada ayah maupun kepada ibu. Kedekatan ini dapat terjadi karena banyak hal, diantaranya salah satu dari orang tua lebih mempunyai waktu luang yang lebih 69 banyak bersama anaknya sehingga dapat bermain bersama anak, kenyamanan serta adanya kebebasan yang diberikan ke anak. Berdasarkan hasil wawancara, dapat diketahui bahwa sosok yang paling dekat dengan anak adalah ibu. Hal ini diutarakan oleh 7 orang informan anak yaitu 6 orang diantaranya berjenis kelamin perempuan dan 1 orang berjenis kelamin laki-laki. Mereka beralasan bahwa karena ayah mereka berkerja sehingga waktunya lebih banyak berada di luar rumah dan ibulah yang selalu menemani mereka di rumah, sedangkan 5 orang informan lainnya mengatakan bahwa mereka lebih dekat kepada ayahnya. Kelima informan ini semuanya berjenis kelamin laki- laki. Ayah menurut mereka merupakan sosok yang baik dan menyenangkan ketika diajak bermain, sedangkan ibu merupakan sosok yang sering marah dan banyak bicara atau cerewet. Oleh karena itu, mereka lebih menyukai bermain bersama ayah daripada dengan ibu, sehingga dalam penelitian ini, semua informan anak perempuan merasa lebih dekat kepada sosok ibu dan mayoritas informan anak laki-laki lebih dekat dengan sosok ayah. Pada kenyataannya, di lingkungan masyarakat, hal itu pun kerap terjadi, anak perempuan biasanya dekat dengan sosok ibu, sedangkan anak laki-laki dekat dengan sosok ayah. Hal ini dapat juga dikarenakan kesamaan jenis kelamin yang sering pula menimbulkan kenyamanan diantara keduanya dalam berbagai aktivitas seperti bercerita, bermain, berjalan- jalan dan sebagainya. Ketika orang tua baik ayah maupun ibu mempunyai waktu luang yang banyak untuk anaknya, maka orang tua secara langsung dapat memberikan banyak pendidikan dan pengetahuan baru kepada anak. Termasuk salah satunya mengenai 70 gender atau berupa sosialisasi peran gender tentang sikap tepat yang harus dimiliki oleh jenis kelamin masing-masing baik laki-laki maupun perempuan karena bagaimanapun keluarga merupakan agen sosialisasi peran gender yang utama. Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar informan anak tidak merasa pernah diberikan penjelasan tentang sikap yang harusnya dimiliki oleh anak laki- laki dan anak perempuan oleh orang tuanya. Hal ini, dapat dikarenakan mereka tidak terlalu memahami atau mengingat penjelasan orang tua tersebut mengingat usia mereka yang masih dini. Sedangkan bagi informan anak yang merasa pernah diberikan penjelasan mengenai sikap yang tepat bagi masing-masing jenis kelamin mengatakan bahwa sosok yang memberikan penjelasan tersebut adalah orang tua dan kakak mereka. Diungkapkan oleh informan Zaki Arya Tamam yakni “pernah dulu tapinya...kata ayah anak laki-laki harus berani pulang sekolah sendiri, gak usah dijemput, kalo anak perempuan baru dijemput ” Zaki Arya Tamam, Depok, 22 Januari 2014. Dari kutipan wawancara tersebut dapat disimpulkan, ayah informan Zaki Arya Tamam yang juga menjadi informan orang tua dalam penelitian ini yaitu M.Arif memberikan sosialisasi peran gender pada anaknya bahwa anak laki-laki harus menjadi sosok yang berani dan mandiri dibandingkan anak perempuan sesuai dengan stereotipe yang ada di masyarakat. Walaupun hanya sedikit informan anak yang mengingat penjelasan orang tua tentang sosialisasi peran gender. Namun, seluruh informan anak dapat membedakan sikap yang seharusnya dimiliki oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh informan Selfa Adesti Rahmawati