Pandangan Orang Tua Terhadap Peran Gender Pada Anak

50 kayanya, beda sama anak perempuan yang agak kalem ” Cut, Depok, 27 Januari 2014. Selanjutnya pandangan informan orang tua terhadap peran gender anak perempuan. Diantaranya sikap yang dianggap tepat dengan anak perempuan menurut informan Nuraini yaitu “lemah lembut, lebih gimana ya?...iya, lebih diem, lebih nurutlah dibanding anak laki-laki ” Nuraini, Depok, 23 Januari 2014. Informan Milla Kartika menambahkan bahwa “lebih cerewet sama cengeng kali ya, kalo anak laki-laki kan biasanya nggak ” Milla Kartika, Depok, 24 Januari 2014. Mengenai pandangan peran gender anak perempuan yang diungkapkan oleh informan orang tua tidak berbeda dengan yang telah distereotipekan di lingkungan masyarakat yaitu lemah lembut, pasif, penurut, keibuan, cerewet serta cengeng.

B. Cara Orang Tua Mensosialisasikan Peran Gender Pada Anak

Ada banyak cara bagi informan orang tua dalam mensosialisasikan peran gender pada anak, diantaranya melalui penjelasan sikap anak, pemilihan pola pengasuhan yang tepat, permainan, teman sebaya, perlengkapan kebutuhan anak seperti model pakaian, tas dan lainnya, pemilihan warna, pemberian aksesoris, sistem pembagian kerja dalam keluarga serta pemilihan tayangan televisi untuk anak. Semua hal tersebut didasarkan pada jenis kelamin sang anak dan sesuai dengan konstruk budaya masyarakat. Sosialisasi peran gender yang pertama yaitu para orang tua umumnya memberi penjelasan bagaimana anak bersikap sesuai dengan jenis kelaminnya masing-masing. Informan orang tua yang memiliki anak laki-laki memberikan 51 penjelasan bahwa anak laki-laki memiliki sikap maskulin sedangkan bagi informan orang tua yang memiliki anak perempuan memberikan penjelasan bahwa anak perempuan memiliki sikap feminim. Mengenai pemilihan pola pengasuhan pada anak yang diterapkan dalam keluarga, informan orang tua mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Pandangan ini pun tidak lepas dari perbedaan jenis kelamin anak. Mayoritas informan orang tua beranggapan bahwa pola pengasuhan untuk anak laki-laki dan perempuan berbeda. Salah satu pola pengasuhan yang dianggap tepat untuk diterapkan pada anak laki-laki adalah pola pengasuhan yang keras. Informan Ristianti mengungkapkan yaitu “didikannya ya, agak beda sih dari perempuan, keraslah lebih keras, anak laki –lakikan biasanya susah diatur ya” Ristianti, Depok, 23 Januari 2014. Berbeda dengan pandangan informan Ristianti, menurut informan orang tua lainnya, pola pengasuhan yang keras ternyata dianggap tidak sesuai untuk diterapkan pada anak laki-laki. Pola pengasuhan dengan cara keras ternyata akan membuat sang anak menjadi lebih susah untuk diatur. Pola pengasuhan dengan cara tegas bukan keras dianggap hal yang paling tepat untuk anak laki-laki. Informan Roinah mengatakan bahwa “justru kalo lebih keras, dia lebih brutal, lebih kasar, biasanya sih kalem aja sambil ngobrol, kalo dibilangin baik-baik nanti dia juga paham, jangan dikerasin ” Roinah, Depok, 27 Januari 2014. Hal serupa pun diterapkan oleh informan M.Arif yaitu “kalo saya sama istri sih lebih tegas aja tapi jangan keras, soalnya kalo dikerasin nanti malah makin makin anaknya, jiwa laki-laki kan jiwa pemberontak “ M. Arif, Depok, 24 Januari 2014. 52 Mengenai pola pengasuhan yang dianggap tepat untuk anak perempuan, sebagian besar para informan orang tua membedakannya dengan pola pengasuhan pada anak laki-laki. Diungkapkan oleh informan Cut yaitu “lebih pelan dari anak laki-laki, perempuan kan lebih ambekan ya lebih sensitif, jadi harus pelan-pelan kasih taunya ” Cut, Depok, 27 Januari 2014. Tetapi, tak selamanya pola pengasuhan yang lembut atau halus diterapkan oleh informan orang tua. Adakalanya informan orang tua harus menerapkan pola pengasuhan yang tegas bahkan keras kepada anak perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh informan Kristianti yakni “kadang kalo misalnya dia lagi nurut, pelan aja sambil dikasih kasih sayang tapi kalo dia agi susah diatur ya agak kita kerasin dikit ” Kristianti, Depok, 27 Januari 2014. Namun, ada juga informan orang tua yang tidak membedakan antara pola pengasuhan pada anak perempuan dan anak laki-laki, seperti yang dituturkan oleh informan Evvy Nursanti yakni “ah enggak sih itu sama aja, gak ada pembedaan didikan laki-laki sama perempuan, kalo dua-duanya salah kaya nakal, harus kita kasih tau dan tegasin, jangan dibedain nanti yang ada malah iri anaknya ” Evvy Nursanti, Depok, 23 Januari 2014. Berdasarkan penuturan di atas, informan Evvy Nursanti menyarankan kepada orang tua untuk tidak membedakan pola pengasuhan antara anak laki-laki dan anak perempuan agar tidak menimbulkan rasa iri pada anak. Salah satu metode yang digunakan dalam mendukung proses sosialisasi pada anak adalah metode ganjaran atau hukuman. Dalam proses sosialisasi, hukuman diberikan kepada anak yang bertingkah laku salah, tidak baik, kurang 53 pantas atau tidak diterima oleh masyarakat, hukuman dapat berupa fisik atau hukuman sosial. Pemberian hukuman dimaksudkan agar anak menyadari kesalahannya, sedangkan ganjaran diberikan kepada anak yang berperilaku baik. Dengan ganjaran diharapkan anak termotivasi untuk selalu berbuat baik Idi, 2011:110. Dalam konteks ini, para orang tua akan memberikan teguran atau hukuman kepada anak, ketika sang anak dianggap melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya. Informan M. Arif mengatakan bahwa “ya kadang- kadang kalo dia salah aja sih, kaya manja itu suka sama bilangin anak laki-laki jangan manja harus mandiri, biasanya kalo minta dibeliin mainan suka ngerengek manja dianya “ M. Arif, Depok, 24 Januari 2014. Ditambahkan oleh informan Ristianti yaitu “misalnya maen gak pulang-pulang udah kaya anak laki aja gitu maennya...ya kadang abangnya begitu, maen dari pagi pulangnya isya. Susah dibilangin kalo anak laki mah ” Ristianti, Depok, 23 Januari 2014. Seharunya hukuman diberikan apabila anak melakukan perilaku yang salah menurut agama dan norma masyarakat seperti melawan orang tua, mencuri, berbohong dan lainnya bukan perilaku yang berhubungan dengan peran gendernya. Sosialisasi peran gender selanjutnya adalah melalui pemilihan permainan. Pada dasarnya tidak ada satupun mainan yang khusus dibuat untuk anak laki-laki maupun untuk anak perempuan. Tetapi, budaya masyarakatlah yang menentukan mana mainan yang dianggap tepat atau tidak tepat bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Dalam penelitian ini, informan orang tua secara sengaja memilihkan mainan yang dianggap pantas untuk dimainkan oleh anaknya. Anak laki-laki