Cara Anak Mempelajari Peran Gender yang Sesuai Dengan Jenis
70
gender atau berupa sosialisasi peran gender tentang sikap tepat yang harus dimiliki oleh jenis kelamin masing-masing baik laki-laki maupun perempuan
karena bagaimanapun keluarga merupakan agen sosialisasi peran gender yang utama.
Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar informan anak tidak merasa pernah diberikan penjelasan tentang sikap yang harusnya dimiliki oleh anak laki-
laki dan anak perempuan oleh orang tuanya. Hal ini, dapat dikarenakan mereka tidak terlalu memahami atau mengingat penjelasan orang tua tersebut mengingat
usia mereka yang masih dini. Sedangkan bagi informan anak yang merasa pernah diberikan penjelasan mengenai sikap yang tepat bagi masing-masing jenis
kelamin mengatakan bahwa sosok yang memberikan penjelasan tersebut adalah orang tua dan kakak mereka. Diungkapkan oleh informan Zaki Arya Tamam
yakni “pernah dulu tapinya...kata ayah anak laki-laki harus berani pulang sekolah sendiri, gak usah dijemput, kalo anak perempuan baru dijemput
” Zaki Arya Tamam, Depok, 22 Januari 2014. Dari kutipan wawancara tersebut dapat
disimpulkan, ayah informan Zaki Arya Tamam yang juga menjadi informan orang tua dalam penelitian ini yaitu M.Arif memberikan sosialisasi peran gender pada
anaknya bahwa anak laki-laki harus menjadi sosok yang berani dan mandiri dibandingkan anak perempuan sesuai dengan stereotipe yang ada di masyarakat.
Walaupun hanya sedikit informan anak yang mengingat penjelasan orang tua tentang sosialisasi peran gender. Namun, seluruh informan anak dapat
membedakan sikap yang seharusnya dimiliki oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh informan Selfa Adesti Rahmawati
71
yaitu “anak laki-laki galak, suka main lari-larian sama jahil Kak...sering,
kerudung aku suka ditarik-tarik kak. Kalo anak perempuan baik sama diem Selfa Adesti Rahmawati, Depok, 27 Januari 2014.
Seluruh informan anak baik laki-laki maupun perempuan mengatakan bahwa sikap anak laki-laki adalah pribadi yang kuat, aktif, galak, mendominasi
serta jahil. Untuk sikap anak perempuan, informan anak mengatakan bahwa anak perempuan cenderung bersikap baik, lebih penurut serta pasif dibandingkan laki-
laki. Kemudian peneliti memberi pertanyaan kepada anak apabila ada anak laki- laki yang berpenampilan dan berperilaku layaknya perempuan, berikut jawaban
bernada negatif dari para informan anak. Seperti yang diungkapkan oleh informan Zaki Arya Tamam yaitu “gak nanti kaya bencong....tau yang laki-laki suka pake
rambut palsu ngamen, aku pernah ngasih dia duit ” Zaki Arya Tamam, Depok, 22
Januari 2014. Dapat dikatakan bahwa stereotipe mengenai sikap yang sesuai atau pantas
dimiliki oleh seseorang berdasarkan jenis kelaminnya masing-masing sangat melekat dan masih dipercaya oleh lingkungan masyarakat sampai saat ini baik
oleh orang dewasa maupun oleh anak-anak. Kepercayaan tersebut diturunkan dari generasi ke generasi, disampaikan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Karena
apabila ada seseorang yang berperilaku tidak sesuai dengan jenis kelaminnya seperti yang sudah distereotipekan oleh masyarakat maka orang tersebut akan
mendapat sindiran berupa kata ejekan atau olokan. Salah satunya adalah sebutan bencong atau banci yang berarti laki-laki yang meniru perilaku baik dalam
72
tingkah laku, penampilan maupun cara bicaranya. Sebutan ini merupakan sindiran yang terbilang kasar.
Informan anak dalan penelitian ini ternyata sudah dapat mengidentifikasikan sikap-sikap apa saja yang melekat pada anak laki-laki dan anak perempuan.
Mereka juga telah mengetahui resiko yang harus diterima apabila ada anak yang bersikap diluar kebiasaan masyarakat seperti mendapatkan sindiran. Di usia
mereka yang terbilang dini ternyata mereka juga telah mengerti arti dari sindiran tersebut.
Selain melalui sikap yang sesuai bagi masing-masing jenis kelamin, mainan juga seringkali dijadikan oleh orang tua sebagai media sosialisasi peran gender
pada anak karena dunia anak adalah dunia bermain, terlebih bagi anak usia dini. Menurut penuturan informan anak, orang tua yang paling dominan dalam
membelikan mainan adalah ayah, yaitu menurut 7 orang informan. Untuk lebih detailnya lagi, 7 orang informan ini terdiri dari 6 orang informan laki-laki dan
hanya 1 orang informan perempuan. Informan anak laki-laki mengatakan bahwa ayahnya sering membelikan mainan berupa mobil-mobilan, robot-robotan ataupun
bola, sedangkan bagi informan anak perempuan ayahnya membelikan mainan berupa boneka. Disini hanya ada satu orang ayah yang membelikan mainan
kepada anak perempuannya. Hal ini dapat dikarenakan, ayah lainnya tidak terlalu ahli dalam memilih mainan bagi anak perempuan sehingga mereka hanya bisa
memilihkan dan membelikan mainan kepada anak laki-lakinya. Selain itu, karena kesamaan jenis kelamin yaitu sama-sama laki-laki sehingga dirasa lebih mudah
karena hanya perlu mengingat mainan di masa kecilnya.
73
Untuk informan lainnya yang mengatakan ibu merupakan pribadi yang sering membelikan mainan berjumlah 5 orang. Kelima orang informan ini
semuanya berjenis kelamin perempuan. Mereka menuturkan bahwa ibu sering membelikan mainan berupa boneka dan masak-masakan. Menurut informan anak
dalam penelitian ini, orang tua yang paling dominan dalam mensosialisasikan peran gender melalui permainan anak adalah sosok ayah bukan ibu.
Salah satu metode yang digunakan dalam mendukung proses sosialisasi pada anak adalah metode hukuman atau teguran. Oleh karenanya, teguran pun tak
luput pada sosialisasi peran gender melalui media mainan dari orang tua kepada anaknya, apabila sang anak memilih mainan yang dinilai tidak sesuai dengan jenis
kelaminnya. Seperti yang dialami oleh informan anak Rehana Dzulfiandini yaitu “pernah pas pinjem mainan abang...mobil-mobilan...mau main aja...mama bilang
Andin, itu kan mainan abang, balikin, main mainan Andin aja, gitu ” Rehana
Dzulfiandini, Depok, 27 Januari 2014. Selain itu, teguran juga diberlakukan apabila anak meniru perbuatan orang tua yang tidak sesuai dengan umurnya,
contohnya anak perempuan meniru sang ibu berdandan. Diungkapkan oleh informan Selfa Adesti Rahmawati yakni “pernah dandan di kamar tapi abis itu
dimarahin mama ” Selfa Adesti Rahmawati, Depok, 27 Januari 2014.
Mengenai pemilihan teman sebaya, menurut informan anak khususnya anak perempuan, orang tua mereka melarang mereka untuk bermain terlalu sering atau
terlalu dekat dengan anak laki-laki. Seperti yang diungkapkan oleh informan Siti Hilyatul Faizah
yakni “gak boleh... nanti jadi nakal, gak dibolehin sama mama” Siti Hilyatul Faizah, Depok, 27 Januari 2014.
74
Mengenai cita-cita, berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa informan anak perempuan memiliki cita-cita menjadi dokter dengan alasan untuk
menyembuhkan dan merawat orang sakit, sedangkan informan anak laki-laki memiliki cita-cita yang beragam mulai dari ingin menjadi pemain bola, pilot,
tentara bahkan polisi. Ketika peneliti bertanya kepada informan anak perempuan tentang cita-cita menjadi seorang pembalap mengingat ada juga pembalap yang
berjenis kelamin perempuan, berikut jawaban dari informan Siti Hilyatul Faizah yaitu
“gak mau, gak pantes...gak mau kaya laki-laki” Siti Hilyatul Faizah, Depok, Senin, 27 Januari 2014. Selain itu, mengenai pendapat anak laki-laki tentang cita-
citanya menjadi seorang suster. Informan Farril Choir mengungkapkan bahwa “gak mau kaya cewe nanti, susterkan cewe tau” Farril Choir, Depok, 27 Januari
2014. Walaupun masih berusia dini ternyata informan anak telah memiliki cita-
citanya sendiri. Meskipun dapat dianalisa perbedaan cita-cita antara informan anak laki-laki dan perempuan yang mengarah ke gender. Informan anak laki-laki
lebih menginginkan cita-cita yang bertumpu pada kekuatan fisik. Sementara informan perempuan mempunyai cita-cita yang didasari dengan alasan keibuan
yaitu ingin melakukan perawatan kepada orang sakit. Ketika diberi pertanyaan seputar cita-cita yang memang jarang diminati oleh jenis kelamin tertentu seperti
keinginan menjadi suster bagi laki-laki dan menjadi pembalap bagi perempuan. Mereka merasa hal tersebut tidak pantas dan tidak sesuai dengan jenis kelamin.
Mereka lebih menginginkan cita-cita yang memang diinginkan dan sesuai dengan yang ada di lingkungan mereka. Bahkan ada informan anak yang mengatakan
75
bahwa cita-citanya merupakan keinginan dari orang tua. Dituturkan oleh informan Farril Choir bahwa “tentara...disuruh sama ayah biar kaya abang” Farril Choir,
Depok, 27 Januari 2014. Selain itu, diungkapkan pula oleh informan anak Zaki Arya Tamam yakni “pilot...disuruh mama jadi pilot” Zaki Arya Tamam, Depok,
22 Januari 2014. Cita-citapun tak lepas dari stereotipe gender, orang tua juga menginginkan anaknya mempunyai pekerjaan yang sesuai dengan jenis
kelaminnya. Laki-laki yang diidentikan mempunyai sikap kuat dianggap pantas menjadi seorang tentara dan pilot.
Selanjut mengenai warna kesukaan anak. Mayoritas informan anak perempuan pada penelitian ini menjawab bahwa mereka lebih menyukai warna-
warna yang sifatnya lembut seperti pink dan ungu. Sementara informan laki-laki lebih menyukai warna-warna yang sifatnya kuat seperti merah, biru, hijau dan
hitam. Walaupun dalam penelitian ini ada satu orang informan anak perempuan yang juga menganggap hitam adalah warna favoritnya selain warna pink dan
ungu. Serta ada juga, satu orang informan anak laki-laki yang menyukai warna pink. Sebagian besar informan anak baik laki-laki maupun perempuan
mengatakan bahwa laki-laki tidak pantas menyukai warna pink karena warna pink biasanya selalu diidentikan dengan warna perempuan sedangkan warna hitam
biasanya identik dengan warna laki-laki. Warna kesukaan anak ini biasanya dipilihkan oleh orang tua untuk barang kebutuhan anak seperti pakaian, tas, sepatu
dan lainnya. Orang tua juga mensosialisasikan peran gender melalui penerapan
pembagian kerja berdasarkan gender dalam keluarga. Anak, baik laki-laki maupun
76
perempuan mulai dibiasakan untuk mengerjakan tugas rumah sedari kecil. Hal tersebut dilakukan agar kelak ketika dia mulai beranjak besar, dia sudah bisa
bertanggung jawab dengan tugas yang diembannnya. Diungkapkan oleh informan M. Bil Davin ketika diberi pertanyaan mengenai partisipasinya dalam membantu
ibu di rumah yaitu “suka, bersihin kasur sama sapu ubin” M. Bil Davin, Depok,
27 Januari 2014. Informan Nayla Putri Kamila menambahkan yaitu
“nyapu, ngepel, jaga adek....sering kalo disuruh kewarung
” Nayla Putri Kamila, Depok, 22 Januari 2014.
Mengingat usia informan anak yang terbilang usia dini sehingga belum terlihat adanya pembagian kerja berdasarkan gender yang diterapkan dalam
keluarga informan. Tetapi, biarpun begitu, informan anak sudah diberi tanggung jawab untuk membantu orang tua dengan tugas-tugas yang ringan. Dengan adanya
pembagian kerja berdasarkan gender di kalangan masyarakat, kita terbiasa melihat kaum ibu sibuk membersihkan dan merawat rumah. Informan anak dalam
penelitian ini diberi pertanyaan mengenai apakah jika ayah atau anak laki-laki membersihkan rumah seperti menyapu lantai merupakan hal yang diperbolehkan
atau dianggap suatu hal yang wajar. Mayoritas mereka menjawab bahwa tidak ada keanehan atau memperbolehkan jika ayah atau anak laki-laki menyapu karena
merekapun ternyata akrab dengan pemandangan tersebut. Hanya satu orang informan anak yang menjawab berbeda, diungkapkan oleh informan Farril Choir
yaitu “gak, kan ayahnya galak” Farril Choir, Depok, 27 Januari 2014. Jika dianalisa lebih jauh, ayah dari informan Farril Choir kemungkinan besar
beranggapan bahwa yang patut untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga adalah
77
sosok istri. Anggapan ini juga didukung oleh pernyataan dari informan orang tua Farril Choir yaitu Maryati yang mengungkapkan bahwa istrilah yang mengerjakan
semua tugas rumah dan hanya meminta bantuan suami untuk mengerjakan tugas rumah tangga yang ringan saja seperti mematikan saklar mesin air.
Dalam penelitian ini, informan anak usia dini, sosok yang masih lugu dan polos bahkan sudah mulai mengetahui bagaimana seharusnya mereka bersikap
sesuai dengan jenis kelaminnya dan mendeskripsikan sikap dari lawan jenisnya. Hal ini tidak lepas dari peran orang tua dalam mensosialisasikan peran gender
pada anak dalam berbagai media seperti penjelasan perbedaan sikap, permainan, teman sebaya, cita-cita, warna dan sistem pembagian kerja dalam keluarga serta
mensosialisasikan teguran atau hukuman yang akan diterima oleh anak apabila perilaku anak dinilai salah atau kurang tepat oleh orang tuanya. Karena pada
hakikatnya, anak melakukan proses pembelajaran dan pengamatan langsung yang mengacu kepada sosok orang tua mereka. Orang tua diibaratkan sebagai panutan
sekaligus juri yang memberikan penilaian baik atau buruk terhadap tingkah laku anak. Jika tingkah laku anak dinilai buruk maka orang tua akan memberikan
teguran atau bahkan hukuman kepada anaknya. Selain itu, proses berpikir anakpun mulai matang sehingga mereka mulai dapat mengetahui perbuatan yang
benar ataupun salah bukan hanya dari orang tua saja tetapi juga dari pengamatan diri mereka sendiri. Mereka sudah mulai dapat mengontrol diri mereka untuk
berperilaku sesuai dengan jenis kelaminnya masing-masing agar tidak mendapat sindiran berupa ejekan atau olokan dari orang lain. Hal ini memperkuat teori
perkembangan kognitif.
78
2. Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah khususnya guru juga merupakan panutan anak dalam berpikir dan berperilaku karena bagaimanapun guru merupakan orang tua anak di
Sekolah. Dalam pemaparan kali ini, selain informasi dari informan anak, peneliti juga menyajikan informasi yang didapat dari informan guru di TKA Al-Ihsan.
Peneliti selanjutnya ingin mengetahui mengenai sikap-sikap yang ditunjukannya oleh informan guru ketika sedang mengajar atau ketika berhadapan
dengan para santri, untuk mengetahui apakah terdapat perlakuan yang berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan, karena guru diharapkan menjadi sosok
yang dapat memperlakukan anak secara sama tanpa membeda-bedakan jenis kelamin dan guru seharusnya memberikan anak kebebasan baik dalam
berinteraksi maupun bermain dengan teman-temannya. Diungkapkan oleh informan Bunda Yani :
Kita sama sekali gak ada pembedaan antara santri laki-laki maupun santri perempuan, mereka diberi kebebasan, kalo berteman mereka dengan siapa
saja, apalagi sekarang udah semester dua, anak-anak makin kenal beda sama pas awal-awal masuk, mungkin masih malu-malu, yang laki-laki
main sama laki-laki, perempuan main sama perempuan....Posisi duduk mereka pilih sendiri, biasanya mereka pilih duduk sama temen deketnya
tapi kadang-kadang kita rolling biar dia gak deket cuma sama satu anak tapi ke yang lainnnya juga Mayani, Depok, 4 Maret 2014
Berdasarkan penuturan di atas bahwa menurut informan guru tidak ada perlakuan yang dibedakan antara anak laki-laki dan perempuan, semua
diperlakukan secara sama dan adil sehingga tidak menimbulkan terjadinya diskriminasi pada anak. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan gender guru
mengarah ke egaliter atau sederajat.
79
Gambar III.C.1 Suasana Kelas
Sumber : Dokumentasi Pribadi Dapat dilihat dari gambar tersebut bahwa tidak ada pembedaan posisi duduk
antara santri laki-laki dan santri perempuan. Mereka bahkan menyatu dalam satu meja dan duduk berdampingan. Mereka terlihat nyaman dengan posisi duduk
seperti itu. Mereka berinteraksi secara baik satu sama lain baik kepada anak laki- laki maupun pada anak perempuan.
Namun, di TKA Al-Ihsan juga terdapat beberapa kegiatan yang memang disengajakan untuk dibedakan antara anak laki dan perempuan. Seperti pada saat
baris berbaris sebelum masuk kelas, terdapat dua barisan yang berdampingan yaitu barisan pertama adalah barisan anak laki-laki dan barisan kedua adalah
barisan anak perempuan. Kemudian juga pada kegiatan mencuci tangan, kelompok yang mendapat giliran pertama dalam mencuci tangan adalah kelompok
anak laki-laki, setelah kelompok anak laki-laki selesai mencuci tangan dan sudah masuk ke dalam kelas, kemudian kelompok anak perempuan keluar kelas untuk
mencuci tangan di tempat yang sudah disediakan. Hal ini didasari alasan untuk mengenalkan identitas sesuai dengan jenis kelamin masing-masing baik bagi anak
laki-laki maupun anak perempuan. Selain itu, agar pengaturan dan pengendalian
80
anak menjadi lebih mudah dan tertib. Apabila ada anak laki-laki yang masuk dalam kelompok anak perempuan maka akan mendapat teguran dari para guru
dengan mengatakan “eh ada anak perempuan baru ya di kelas ini” atau “kamu anak perempuan ya makanya ikut barisan perempuan”.
Menurut pengamatan peneliti di TKA Al-Ihsan, di dalam kelas juga terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku anak laki-laki dan perempuan. Anak
laki-laki sangat aktif dan sulit untuk diatur. Mereka bahkan bermain kejar-kejaran atau berteriak di dalam kelas ketika para guru sedang sibuk memberikan privat
membaca iqro kepada anak secara bergantian. Sementara, tingkah laku yang berbeda perlihatkan oleh anak perempuan. Mereka cenderung pasif dan lebih
mudah diatur, sehingga para guru harus berkali-kali untuk memberi teguran kepada anak laki-laki untuk bersikap baik. Hal inipun dibenarkan oleh informan
anak dan informan guru. Dituturkan oleh informan Selfa Adisti Rahmawati yakni ”pernah, ibu guru bilang anak laki-laki harus nurut kaya anak perempuan, soalnya
anak laki-laki di kelas aku suka lari-larian, susah dibilanginnya Kak ” Selfa Adisti
Rahmawati, Depok, 27 Januari 2014. Diperkuat menurut informan Bunda Yani selaku informan guru :
Iya, memang yang lebih aktif itu anak laki-laki ketimbang anak perempuan, mereka sibuk lari-larian, lompat-lompatan sama temen-
temennya, apa aja dibuat main. Malah kadang suka keluar kelas tanpa izin. Kalo anak perempuan cenderung pasif Mbak, mereka juga nurut sama
omongan bundanya. Tapi sebagai guru kita musti sabar menghadapinya dan terus diawasi merekanya. Dikasih penjelasan dengan baik-baik nanti
juga merekanya ngerti Mayani, Depok, 4 Maret 2014
Tak hanya di dalam kelas, perilaku aktif anak laki-lakipun ditunjukkan ketika saat jam istirahat, mereka sibuk berlari-lari dan menjahili anak perempuan.
81
Para guru pun tidak diam saja, mereka memberikan teguran kepada anak laki-laki jika perilakunya dinilai salah. Tak hanya anak laki-laki, anak perempuanpun akan
mendapatkan teguran yang serupa jika bersalah. Teguran dari para guru biasanya berupaka kalimat “hei kamu, anak soleh gak boleh kaya gitu” yang kemudian
dilanjutkan dengan penjelasan mengapa perbuatan tersebut dilarang dilakukan. TKA Al-Ihsan menyediakan fasilitas berupa alat bermain deduktif seperti
balok-balok, puzzle, plastisin, tanah liat dan lainnya yang diperbolehkan digunakan di dalam kelas apabila ketika jam istirahat turun hujan sehingga anak
tidak dapat bermain di halaman sekolah yang basah dan licin. Bunda Ela mengungkapkan bahwa para santri diberikan kebebasan dalam memilih
permainan yang disukainya tanpa adanya pengarahan dari para guru : Gak pernah kita arahin kalo anak laki-laki harus main mobil-mobilan atau
perempuan mainnnya masak-masakan. Mereka malah udah paham sendiri. Kadang suka ada anak laki-laki main masak-masakan ya kita cuma liatin
aja gak marahin, mereka kan juga masih kecil mungkin bosan sama mainan biasanya dan mau coba mainan lain, ya gak apa-apa Nurlaela,
Depok, 4 Maret 2014
Anak sudah mengetahui mainan mana saja yang dianggap pantas sesuai dengan jenis kelaminnya masing-masing. Anak laki-laki di kelas lebih menyukai
bermain balok-balok yang dapat digunakan untuk membentuk sebuah bangunan dibandingkan dengan mainan plastisin atau tanah liat yang dianggapnya lebih
cocok dengan anak perempuan. Seperti terlihat pada gambar berikut ini :
82
Gambar III.C.2 Jenis Permainan Anak Laki-laki
Sumber : Dokumentasi Pribadi Bagi anak perempuan mainan plastisin atau tanah liat sering digunakan
untuk membuat bentuk-bentuk replika hewan atau replika bahan makanan untuk permainan masak-masakan. Anak perempuan juga menggunakan salah satu
mainan balok tetapi fungsinya berubah bukan untuk membuat sebuah bangunan, melainkan sebagai alat tumbuk atau alat penggiling plastisin atau tanah liat.
Seperti pada gambar berikut :
Gambar III.C.3 Jenis Permainan Anak Perempuan
Sumber : Dokumentasi Pribadi Mengenai kurikulum di sekolah, kurikulum yang dipakai merupakan
kurikulum umumDepdiknas, kurikulum Depag dan kurikulum khas TKA Al- Ihsan yang berdasarkan atas kesepakatan Yayasan TKA Al-
Qur’an dengan TK
83
lainnnya di Kota Depok. Buku yang digunakan terdiri dari buku teks dan buku penunjang. Di dalam salah satu buku teks yang berjudul Bacaanku Belajar
Membaca terbitan Bina Mitra Press tidak terdapat materi yang sensitif gender. Akan tetapi materi yang sensitif gender ditemui di dalam penunjang, diantaranya
yaitu berjudul Alim Anak-Anak Mulim edisi 04 dan 05. Seperti terlihat pada gambar berikut ini :
Gambar III.C.4 Buku Penunjang Sekolah
Sumber : Jumhur, Alim Anak-Anak Muslim Dapat dianalisa berdasarkan dari gambar di atas bahwa gambar pertama
menunjukkan yang sering melakukan kebiasaan dalam memanjat pohon adalah laki-laki. Hal inipun sering kita jumpai dalam lingkungan masyarakat. Laki-laki
yang distereotipekan pemberani diharuskan tidak takut menghadapi apapun termasuk masalah ketinggian. Tetapi, bagi perempuan yang memanjat pohon
maka akan mendapatkan respon berbeda dari masyarakat. Masyarakat akan
84
beranggapan bahwa anak perempuan tersebut tomboy atau berperilaku layaknya laki-laki.
Untuk gambar kedua, dalam lingkungan masyarakat pekerjaan sebagai penyembelih hewan identik dengan pekerjaan laki-laki. Contohnya pada saat Idul
Adha tiba, panitia yang bertugas menyembelih hewan kurban didominasi oleh kaum lelaki, sedangkan kaum perempuan hanya mengerjakan pekerjaan yang
ringan seperti memasukkan potongan hewan kurban ke dalam kantong-kantong plastik. Perempuan yang dianggap memiliki perasaan sensitif, tidak akan tega jika
harus melakukann penyembelihan. Lain halnya untuk pekerjaan memasak yang identik dengan pekerjaan perempuan. Dengan adanya gambar seperti ini maka
akan membentuk pola pikir anak kedepannya. Anak akan menganggap bahwa kegiatan memanjat dan menyembelih hewan umumnya dilakukan oleh laki-laki.
Informan guru menjelaskan bahwa materi yang sensitif akan gender baik dari bahan bacaan maupun gambar didasari dari segi kebiasaan, nilai dan norma
yang dianut oleh masyarakat setempat, sehingga mereka pun harus tetap memberikan materi tersebut kepada anak. Mekipun masih terdapat buku yang
tradisional namun metode pengajaran yang diberikan oleh guru dianggap sudah egaliter atau sederajat.
4.3. Teman Sebaya atau Teman Bermain
Teman sebaya atau teman bermain merupakan orang terdekat anak kedua setelah orang tua. Dengan teman sebaya anak bebas dalam menjadi dirinya sendiri
tanpa adanya peraturan yang bersifat mengikat kepada dirinya. Melalui teman
85
sebaya anak dapat banyak mempelajari sosialisasi peran gender seperti pemilihan teman, mainan, penggunaan aksesoris dan sikap anak.
Hasil wawancara mengenai pemilihan teman berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa semua informan anak laki-laki menyebutkan teman mereka
lebih banyak berjenis kelamin laki-laki ketimbang perempuan. Begitu pula sebaliknya, bagi informan anak perempuan mengatakan bahwa lebih banyak
mempunyai teman berjenis kelamin perempuan. Menurut mereka dengan memiliki teman yang sesama jenis akan menimbulkan adanya kenyamanan dan
perasaan senang karena mempunyai banyak kesamaan. Seperti sikap dan permainan kesukaan. Walaupun menurut mereka adalah hal yang wajar atau
diperbolehkan ketika ada anak laki-laki bermain dengan anak perempuan atau sebaliknya. Tetapi, ada juga yang melarang dirinya untuk bermain dengan lawan
jenis, salah satunya dengan alasan takut menjadi nakal. Mengenai jenis permainan kesukaan, seluruh informan anak perempuan
menyukai permainan yang bersifat keibuan seperti boneka dan masak-masakan. Diungkapkan oleh informan Selfa Adisti Rahmawati mengenai permainan
kesukaan dan alasannya yakni “masak-masakan biar kalo udah gede bisa masak kaya mama
” Selfa Adisti Rahmawati, Depok, 27 Januari 2014.
Sementara bagi informan anak laki-laki, seluruhnya menyukai permainan yang memerlukan kecepatan dan keahlian seperti sepak bola, mobil-mobilan dan
robot-robotan. Ketika peneliti memberikan ilustrasi untuk mengetahui respon informan anak apabila terdapat anak laki-laki bermain boneka, sedangkan anak
86
perempuan bermain mobil-mobilan, berikut tanggapan informan Rehana Dzulfiandini yakni “gak boleh itu mainan perempuan, masa laki-laki mainan
boneka...gak boleh juga, anak perempuan mainnya boneka sama masak-masakan bukan robot, emangnya anak laki apa Rehana Dzulfiandini, Depok, 27 Januari
2014. Semua informan anak menganggap bahwa hal tersebut suatu hal yang tidak
pantas untuk dilakukan. Selain itu jika diminta untuk memilih, informan anak perempuan lebih memilih untuk bergabung dengan anak perempuan yang sedang
bermain boneka atau masak-masakan dan menolak untuk bergabung dengan anak laki-laki yang sedang bermain mobil-mobilan. Begitu pula dengan informan anak
laki-laki yang menolak bermain boneka atau masak-masakan dengan anak perempuan dan lebih memilih untuk bergabung bersama anak laki-laki yangs
sedang bermain mobil-mobilan. Mengenai penggunaan aksesoris seperti kalung, cincin dan gelang, semua informan anak sepakat bahwa perempuanlah yang lebih
pantas mengenakannya bukan laki-laki. Adanya stereotipe sifat kuat yang melekat pada diri laki-laki akibat kontruk
budaya masyarakat menyebabkan adanya anggapan tidak pantas apabila anak laki- laki menangis. Bagi anak perempuan yang memang diberi stereotipe sensitif dan
cengeng, menangis dianggap hal yang wajar. Seperti yang diungkapkan oleh informan
M. Alfa Fahrizy yaitu “gak boleh. Anak perempuan yang sering nangis. Nanti diledekin temen kalo laki-laki nangis
” M. Alfa Fahrizy Leandi, Depok, 22 Januari 2014. Tak hanya informan anak laki-laki, informan anak perempuan juga
mengatakan hal yang serupa. Informan Rehana Dzulfiandini mengatakan yakni
87
“gak boleh, nanti jadi gak jadi jagoan lagi” Rehana Dzulfiandini, Depok, 27 Januari 2014.
Kata jagoan sering dikaitkan sebagai salah satu karakter laki-laki. Jagoan ibarat pahlawan, yang berarti sosok yang tangguh serta kuat. Ketika anak laki-laki
menangis karena jatuh atau merengek meminta sesuatu maka perbuatannya tersebut dianggap tidak pantas dengan jenis kelaminnya dan akan mendapat
ledekan serta ia akan dituntut untuk memperbaiki sikapnya tersebut. Berbeda dengan yang terjadi pada anak perempuan yang tergolong lebih sensitif, ketika ia
menangis maka ia akan tenangkan dengan cara dipeluk, dicium atau digendong. Anak perempuan juga erat dengan stereotipe berupa sikap yang lemah
lembut, penurut dan cenderung pasif, apabila anak perempuan terlibat dalam perkelahian. Bagi informan anak, hal itu dianggap lebih negatif dibandingkan
anak laki-laki yang berkelahi. Walaupun bagi laki-lakipun berkelahi bukan hal yang pantas untuk dilakukan. Tetapi, bagi anak laki-laki yang distereotipekan kuat
dan pelindung, ada kalanya perkelahian dibutuhkan asal terdapat alasan yang masuk akal. Diungkapkan oleh informan M. Alfa Fahrizy yaitu
“gak boleh kalo perempuan, anak laki-laki baru boleh hahaha
” M. Alfa Fahrizy Leandi, Depok, 22 Januari 2014.
Selain melalui orang tua dan guru, anak juga melakukan proses pembelajaran dan peniruan pola pikir dan perilaku dari teman sebaya baik di
rumah maupun di lingkungan sekolah. Pada kenyataannya, anak sudah dapat menerjemahkan dan memonitori dirinya untuk bertingkah laku sesuai dengan
88
jenis kelaminnya masing-masing sama seperti yang dijelaskan oleh teori perkembangan kognitif. Anak perempuan akan belajar dan meniru pola pikir dan
perilaku dari teman sebayanya yang perempuan dan begitu juga pada anak laki- laki dengan anak laki-laki lainnya. Proses pembelajaran dan peniruan ini akan
berjalan dengan sangat mudah dan mengalir karena dilakukan sambil bermain sehingga tidak ada beban bagi sang anak. Ketika anak bersikap sesuai dengan
jenis kelaminnya maka ia akan dengan mudah diterima oleh teman sebayanya. Sebaliknya, jika perilaku anak dinilai tidak pantas untuk ditiru maka akan
mendapat respon negatif seperti sindiran bahkan pengucilan dari teman sebayanya.
Dapat dikatakan berdasarkan hasil penelitian bahwa pandangan peran gender baik dari informan orang tua dalam penelitian ini masih tergolong
tradisional namun mulai mengarah ke egaliter atau sederajat. Contoh pandangan tradisionalnya yaitu informan orang tua menganggap bahwa anak laki-laki harus
bersikap maskulin dan anak perempuan harus bersikap feminim. Menurut peneliti sendiri terkait sikap yang dianggap tepat bagi masing-masing jenis kelamin
bukanlah sesuatu yang salah karena hal tersebut memang telah menjadi budaya dari masyarakat Indonesia sejak lama dan telah diterima. Tetapi, akan lebih baik
apabila terjadi pengadopsian sikap positif baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Contohnya anak laki-laki mengadopsi sikap penurut dari anak
perempuan dan anak perempuan mengadopsi sikap berani dari anak laki-laki dan lainnya.
89
Contoh pandangan egaliter atau sederajatnya, seperti pada pembagian tugas rumah tangga, terdapat informan orang tua yang mengatakan bahwa terjalin kerja
sama antara suami dan istri dalam mengerjakan tugas rumah tangga, kemudian informan orang tua lain mengatakan tak sungkan dalam meminta bantuan kepada
suami dalam mengerjakan tugas rumah tangga. Mengenai informan guru, mereka tidak memberikan perlakuan yang berbeda antara santri laki-laki dan perempuan,
kemudian membebaskan dan tidak mengarahkan para santri dalam memilih permainan dan teman sebaya anaknya.
Terdapat tiga metode belajar memerankan peran gender anak yang umum yaitu meniru, identifikasi dan pelatihan anak Hurlock,1978:177. Informan anak
dalam penelitian inipun turut melakukan metode tersebut. Anak meniru dan mengamati tingkah laku dari agen sosialisasi gender seperti orang tua, guru dan
teman sebaya. Kemudian anak mengidentifikasikan identitas dirinya dan mengontrol dirinya untuk bertingkah laku sesuai dengan jenis kelaminnya
masing-masing. Selanjutnya anak melatih dirinya untuk bertingkah laku sesuai dengan pembelajaran dan pengamatan dari agen sosialisasi gender dan memberi
larangan pada dirinya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari jenis kelaminnya. Selain menjadi panutan anak, orang tua, guru, teman sebaya dan
masyarakat juga menjadi juri yang menilai benar atau salah tingkah laku dari sang anak. Oleh karena itu, anak berusaha dengan baik untuk mengidentifikasikan
dirinya sesuai dengan identitas jenis kelamin dan gendernya masing-masing agar dapat diterima secara baik.
90