Pembebanan Sanksi Pidana Keberlakuan Juridis

- 233 -

7. Pembebanan Sanksi Pidana

Pengaturan mengenai ketentuan sanksi pidana hanya dapat dimuat dalam bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah; sedangkan peraturan perundang- undangan bentuk lainnya tidak boleh berisi norma yang menentukan sanksi pidana. Pasal 14 UU No. 10 Tahun 2004 menyatakan, “Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan Peraturan Daerah”. Artinya, selain undang-undang, sa- nksi pidana hanya dapat dimuat pengaturan mengenai pembebanannya dalam Peraturan Daerah. Dalam Peraturan Daerah Perda, sanksi pidana yang dimuat tentunya yang bersifat ringan dan berkaitan dengan tindak pidana yang juga ringan seperti misalnya larangan merokok di tempat keramaian dan sebagainya. Sedangkan ketentuan pembebanan pidana yang lebih berat, tentu harus dimuat dalam undang-undang, bukan dalam peraturan daerah. Karena ketentuan pidana itu pada dasarnya dapat berdampak pada pengurangan de- rajat kebebasan warga negara, sehingga apabila hendak ditentukan pembebanannya kepada warga negara ha- ruslah terlebih dulu mendapatkan persetujuan dari para wakil rakyat. Bentuk peraturan perundang-undangan yang da- pat dikategorikan sebagai produk legislatif itu memang ada dua macam, yaitu undang-undang dan peraturan daerah. Undang-undang dibentuk oleh DPR atas per- setujuan bersama dengan Presiden, sedangkan peraturan daerah dibentuk oleh DPRD atas persetujuan bersama dengan Kepala Pemerintah Daerah. 234

8. Penyidikan, Penuntutan, dan Penjatuhan

Vonis Seperti halnya dengan ketentuan mengenai sa- nksi pidana, ketentuan mengenai penyidikan juga hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan peraturan daerah. Ketentuan mengenai penyidikan itu memuat pemberian kewenangan kepada penyidik pegawai negeri sipil PPNS departemen atau instansi tertentu untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran terhadap ke- tentuan undang-undang atau peraturan daerah. Ke- tentuan mengenai penyidikan ini ditempatkan sebelum rumusan ketentuan pidana atau apabila dalam undang- undang atau peraturan daerah yang bersangkutan tidak diadakan pengelompokan, maka ketentuan mengenai hal ini ditempatkan dalam pasal-pasal sebelum ketentuan pidana. Demikian pula ketentuan mengenai penuntutan dan penjatuhan sanksi atau vonnis hakim, hanya dapat diatur dalam undang-undang. Hal-hal yang penting ini bersifat mengurangi kebebasan warga negara, sehingga oleh karena itu, tidak boleh hanya diatur dalam pe- raturan yang lebih rendah daripada undang-undang, seperti Peraturan Pemerintah PP, Peraturan Menteri Permen, dan lain-lain sebagainya. Kalaupun pengaturannya dalam undang-undang dianggap belum juga mencukupi, maka perinciannya dapat saja diatur dalam peraturan yang lebih rendah, asalkan pendelegasian kewenangan pengaturannya itu secara tegas diperintahkan dalam atau oleh undang- undang yang bersangkutan legislatively delegated. Inilah prinsip yang harus dipegang teguh dalam rangka “legislative delegation of rule-making power” dari pembentuk undang-undang kepada lembaga eksekutif atau pelaksana undang-undang. - 235 -

D. PENYUSUNAN MATERI UNDANG-UNDANG 1. Prinsip Umum

Meskipun disadari bahwa setiap undang-undang yang dibentuk merupakan produk kompromi politik antar berbagai kepentingan yang sulit diharapkan bersifat sempurna, tetapi pada dasarnya, setiap undang- undang yang berhasil disusun selalu diharapkan mem- bawa perbaikan dalam sistem hukum yang akan diberlakukan mengikat untuk umum. Oleh karena itu, sangat penting bagi para perancang undang-undang untuk memahami benar prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam proses penyusunan materi undang- undang, dan prinsip-prinsip umum yang hendak dituangkan menjadi norma hukum dalam undang- undang yang akan dibentuk. Untuk itu, para perancang harus mengerti benar garis besar kebijakan yang akan di- tuangkan dalam undang-undang itu melalui proses “out- line building” yang bersifat komprehensif dan me- nyeluruh comprehensible. Perlu disadari pula bahwa tujuan pokok yang he- ndak dicapai dengan pengaturan materi undang-undang itu adalah membuat produk undang-undang itu menjadi sejelas dan seberguna mungkin as clear and useful as possible 103 . Para perancang undang-undang harus memilih dengan hati-hati hal-hal yang yang akan dituangkan dan mengaturnya sedemikian rupa agar da- pat ditemukan, dimengerti, dan dirujuk dengan mudah dan paling ringan. Siapa yang harus menentukan mudah tidaknya ketentuan dalam undang-undang dipahami dan dijadikan rujukan tergantung kepada siapa yang paling banyak danatau yang paling sering akan membaca atau 103 Dickerson, Op Cit., hal.53. Perihal Undang-Undang 236 menggunakan undang-undang itu kelak setelah di- undangkan. Karena itu, para perancang undang-undang ha- ruslah menyusun undang-undang menurut kepentingan pihak yang akan melaksanakan undang-undang itu kelak the persons or subjects who will administer the law. Perancang harus menyusun ketentuan-ketentuan pertama-tama yang berhubungan dengan i perbuatan conduct, ii hak-hak rights, iii keutamaan pri- vileges, atau iv tugas-tugas duties. Baru setelah itu menyusun ketentuan dari sudut pandang orang yang akan diatur atau yang dijadikan objek aturan undang- undang. Di samping itu, dapat dikatakan bahwa pada u- mumnya, pengaturan susunan suatu undang-undang selalu diharuskan bersifat “functional”. Artinya, pe- nyusunan materi undang-undang itu harus selalu me- ngacu kepada kebutuhan untuk memenuhi tujuan atau untuk maksud mencapai tujuan yang secara garis besar telah dirumuskan. Persoalan pokok yang selalu timbul dalam setiap upaya penyusunan konsep materi undang- undang ialah soal i penentuan hirarki gagasan hierarchy of ideas, yaitu berkenaan dengan piramid lo- gika logical pyramid, dan ii pada setiap lapisan hirarki gagasan itu menentukan pilihan mengenai prinsip tata urutan yang paling dianggap membantu the most helpful principle of order. Biasanya, prinsip ekonomi kata menjadi per- timbangan yang menentukan. Karena itu, pada umum- nya, makin baik suatu undang-undang dirumuskan, makin sedikit halaman yang diperlukan untuk me- nuangkan materi norma dalam undang-undang yang bersangkutan. Misalnya, untuk efisiensi, perancang se- baiknya tidak merumuskan ketentuan undang-undang yang mengharuskan pembacanya melakukan perujukan silang cross references antar pasal-pasal dari berbagai - 237 - bab atau bagian yang berbeda. Sebab, hal itu akan menyulitkan pembaca untuk menemukan ketentuan-ke- tentuan yang saling berkaitan itu satu dengan yang lain. Daripada perumusan yang berisi perujukan silang, lebih baik menggunakan alternatif lain yang menjamin lebih mudah ditemukan, lebih jelas, dan lebih bisa dipakai better findability, clarity, and usability. 2. Pembagian Materi Division Dalam perumusan materi suatu undang-undang, para perancang biasanya dihadapkan pada tiga per- soalan, yaitu i problem pembagian materi problem of division, ii problem pengelompokan materi problem of classification, dan iii problem pengurutan atau perurutan materi problem of sequence. Problem pertama, yaitu pembagian materi pro- blem of division berkaitan dengan penentuan masing- masing landasan pemikiran yang menyebabkan bagian- bagian materi pokok main or primary division dan materi penunjang subordinate divisions yang ber- sangkutan disusun. Pembedaan keduanya penting, ka- rena para perancang biasanya selalu mendahulukan per- umusan bagian utama yang dianggap lebih penting primary breakdown daripada bagian yang bersifat sekunder subsidiary breakdowns. Dengan perkataan lain, dalam penyusunan materi undang-undang, yang selalu didahulukan adalah bagian yang dianggap lebih penting order of importance. Dalam banyak kasus, dianggap lebih mudah de- ngan mengaitkan upaya pembagian materi undang- undang tersebut pada soal-soal yang berkenaan dengan i jenis orang yang diatur oleh materi bersangkutan kinds of people affected, ii organ administratif yang terlibat, atau iii bidang kegiatan operasional yang dilakukan oleh organ dimaksud. Hal-hal ini disusun se- 238 cara kronologis yang tersendiri; dan untuk tiap-tiap bagian utama itu, logika yang sama juga dipakai untuk penyusunan bagian-bagian yang bersifat penunjang. Biasanya jumlah orang yang bersifat relatif yang terlibat dalam suatu kegiatan tidak dijadikan dasar untuk penentuan bagian-bagian materi undang-undang, kecuali apabila jumlah subjek yang dimaksud berkaitan dengan ketentuan umum general rules yang berhadapan dengan pengecualian exception. Dalam hal demikian, ketentuan umum selalu ditempatkan lebih dulu daripada ketentuan kekecualian. Di luar hal ini, maka dalam penyusunan materi undang-undang, jumlah banyak sedikitnya subjek orang yang terlibat dianggap tidak penting bagi seseorang atau individu yang ingin mengetahui kedudukannya dalam hukum. Hal itu juga dianggap tidak penting bagi pejabat pemerintahan yang akan menjalankan undang-undang yang bersangkutan. Pada setiap lapisan pembagian materi, para pe- rancang haruslah menentukan prinsip urutan pokok materi yang akan diterapkan dalam penyusunan suatu undang-undang. Dari segi penempatan materinya sp- atial dimension, menurut Reed Dickerson 104 , keempat prinsip di bawah ini dapat dipakai, yaitu: a. General provisions normally come before special provisions; b. More important provisions normally come before less important provisions; c. Permanent provisions normally come before temporary provisions; d. Technical housekeeping sections normally come at the end. Sementara itu, dari segi urutan waktunya tem- poral dimension, pengaturan materi undang-undang 104 Ibid, hal. 56. - 239 - biasa disusun menurut urutan kronologis perbuatan atau kejadiannya. Dalam rangka perubahan undang-undang, biasanya pola pengelompokan yang lama tetap diikuti kecuali jika alternatif lain dianggap lebih menjamin prinsip “findability”, “clarity”, dan “usability” ketentuan undang-undang itu. “Findability” artinya mudah di- temukan, “clarity” jelas dan mudah dipahami, dan “u- sability” berarti dapat dipakai. Menurut Reed Dickerson, format Undang- undang Federal Amerika Serikat biasanya memuat u- rutan bagian materi order of sections sebagai be- rikut: 105 1 Short title, if any; 2 Statement of purpose or policy, if any; 3 Definitions; 4 Most significant general rules and special provisions; 5 Subordinate provisions, and exceptions large and impotant enough to be stated as separate sections; 6 Penalties; 7 Temporary provisions; 8 Specific repeals and related amendments; 9 Saving clauses; 10 Severability clause, if any; 11 Expiration date, if any; 12 Effective date, if different from the date of enactment Dari ke-12 hal tersebut, 5 lima di antaranya ber- sifat relatif, jika memang diperlukan. Bagian-bagian materi undang-undang yang dapat dikatakan bersifat mutlak hanya 7 tujuh, yaitu: a. Definitions; 105 Ibid. Perihal Undang-Undang 240 b. Most significant general rules and special provisions; c. Subordinate provisions, and exceptions large and impotant enough to be stated as separate sections; d. Penalties; e. Temporary provisions; f. Specific repeals and related amendments; g. Saving clauses; Tentu saja, urutan penyebutan ke-12 atau ke-7 bagian itu bersifat fleksibel, tidak mutlak seperti tersebut di atas. Penempatannya secara konkret dalam rumusan undang-undang tergantung kepada kebutuhan pen- gaturan di dalam setiap naskah undang-undang yang bersangkutan. E. KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG Suatu norma dianggap sah sebagai norma hukum legal norm yang mengikat untuk umum apabila norma hukum itu berlaku karena diberlakukan atau karena dianggap berlaku oleh para subjek hukum yang diikatnya. Keberlakuan ini dalam bahasa Inggris disebut “validity”, dalam bahasa Jerman “geltung” atau dalam bahasa Belanda disebut “gelding”. Keabsahan ber- lakunya atau keberlakuan suatu undang-undang atau pe- raturan perundang-undangan itu sendiri pada pokoknya ditentukan oleh banyak faktor dan beraneka cara pandang. Secara umum dapat dikemukakan adanya 4 empat kemungkinan faktor yang menyebabkan norma hukum dalam undang-undang atau peraturan pe- rundang-undangan dikatakan berlaku. Norma-norma hukum dimaksud dapat dianggap berlaku karena pertimbangan yang bersifat filosofis, karena pertimbangan juridis, pertimbangan sosiologis, pertimbangan politis, ataupun dianggap berlaku karena - 241 - pertimbangan yang semata-mata bersifat administratif. Untuk undang-undang yang dikatakan baik, sudah se- harusnya kelima syarat tersebut di atas haruslah dipenuhi sekaligus, yaitu berlaku, baik secara filosofis, politis, juridis, sosiologis, maupun secara administratif. 1. Keberlakuan Filosofis Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu negara. Seperti dalam pandangan Hans Kelsen mengenai “gerund-norm” atau dalam pandangan Hans Nawiasky tentang “staatsfundamentalnorm”, pada setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber nilai luhur dalam kehidupan kenegaraan yang bersangkutan. 106 Untuk hal ini, nilai-nilai filosofis negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai “staats- fundamentalnorm”. Di dalam rumusan kelima sila Pancasila terkandung nilai-nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa, humanitas kemanusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas kebangsaan dalam ikatan kebineka-tunggal-ikaan, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas keadilan bagi segenap rakyat Indonesia. Tidak satupun dari kelima nilai-nilai filosofis tersebut yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma hukum yang terdapat dalam berbagai kemungkinan bentuk peraturan perundang-undangan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 106 Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie dan Muchamad Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Press, 2006. 242

2. Keberlakuan Juridis

Keberlakuan juridis adalah keberlakuan suatu norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum sebagai suatu dogma yang dilihat dari pertimbangan yang bersifat teknis juridis. Secara juridis, suatu norma hu- kum itu dikatakan berlaku apabila norma hukum itu sendiri memang i ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih superior atau yang lebih tinggi seperti dalam pandangan Hans Kelsen de- ngan teorinya “Stuffenbau Theorie des Recht” 107 , ii ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya seperti dalam pandangan J.H.A. Logemann 108 , iii ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku seperti dalam pandangan W. Zevenbergen 109 , dan iv ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang berwewenang untuk itu. Jika ketiga kriteria tersebut telah terpenuhi sebagaimana mestinya, maka norma hukum yang bersangkutan dapat dikatakan memang berlaku secara juridis. 3. Keberlakuan Politis Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis apabila pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata riele machtsfactoren. Meskipun norma yang bersangkutan didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput, sejalan 107 Lihat “Stuffenbau Theorie” yang dikembangkan oleh Hans Kelsen. Kelsen, Op Cit. 108 J.H.A. Logemann 1954 dalam Purnadi Purbacaraka, Op.Cit., hal. 115- 116. 109 Lihat pandangan W. Zevenbergen mengenai soal ini dalam bukunya yang terbit pada tahun 1925, dalam Ibid. hal. 114-115. - 243 - pula dengan cita-cita filosofis negara, dan memiliki landasan juridis yang sangat kuat, tetapi tanpa dukungan kekuatan politik yang mencukupi di parlemen, norma hukum yang bersangkutan tidak mungkin mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan sebagai hukum. Dengan perkataan lain, keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan power theory yang pada gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan. Apabila suatu norma hukum telah men- dapatkan dukungan kekuasaan, apapun wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma hukum yang bersangkutan dari segi politik. 4. Keberlakuan Sosiologis Pandangan sosiologis mengenai keberlakuan ini cenderung lebih mengutamakan pendekatan yang em- piris dengan mengutamakan beberapa pilihan kriteria, yaitu i kriteria pengakuan recognition theory, ii kriteria penerimaan reception theory, atau iii kriteria faktisitas hukum. Kriteria pertama principle of recognition menyangkut sejauh mana subjek hukum yang diatur memang mengakui keberadaan dan daya ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap norma hukum yang bersangkutan. Jika subjek hukum yang bersangkutan tidak merasa terikat, maka secara sosiologis norma hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan berlaku baginya. Kriteria penerimaan sebagai kriteria kedua principle of reception pada pokoknya berkenaan dengan kesadaran masyarakat yang bersangkutan untuk menerima daya-atur, daya-ikat, dan daya-paksa norma hukum tersebut baginya. Inilah yang dijadikan dasar 244 Christian Snouck Hurgronje menyatakan bahwa di Hindia Belanda dahulu yang berlaku adalah hukum adat, bukan hukum Islam. Menurutnya, kalaupun hukum Islam itu secara sosiologis dapat dikatakan berlaku, maka hal itu semata-mata disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat hukum adat sudah meresepsikannya ke dalam tradisi hukum adat masyarakat setempat 110 . Sedangkan kriteria ketiga menekankan pada kenyataan faktual faktisitas hukum, yaitu sejauhmana norma hukum itu sendiri memang sungguh-sungguh berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat. Meskipun suatu norma hukum secara juridis formal memang berlaku, diakui recognized, dan diterima received oleh masyarakat sebagai sesuatu yang me- mang ada exist dan berlaku valid, tetapi dalam kenyataan praktiknya sama sekali tidak efektif, berarti dalam faktanya norma hukum itu tidak berlaku. Oleh karena itu, suatu norma hukum baru dapat dikatakan berlaku secara sosiologis apabila norma hukum dimaksud memang berlaku menurut salah satu kriteria tersebut. 110 Pendapat Christian Snouck Hurgrognje ini banyak ditentang oleh para sarjana hukum Indonesia, terutama oleh Prof. Dr. Mr. Hazairin beserta murid-muridnya, seperti Sayuti Thalib, Mohammad Daud Ali, dan sebagainya. Bahkan, sarjana Belanda sendiri seperti C. van den Berg mempunyai pendapat yang sama sekali berbeda dengan Snouck Hurgrognje mengenai soal ini yang dikenal dengan istilah teori “receptie in complexu”. Sedangkan Hazairin dan Sayuti Thalib mengembangkan teori yang dikenal dengan “receptie a contrario”. Lihat Hazairin, Op Cit. - 245 -

BAB V BAHASA UNDANG-UNDANG

A. BAHASA LEGISLASI Pada pokoknya, bahasa peraturan perundang- undangan tunduk kepada kaidah-kaidah bahasa In- donesia yang baik dan benar, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun penulisan ejaan dan tanda bacanya. Namun, disamping itu, bahasa peraturan dapat dikatakan mempunyai corak yang tersendiri. Bahasa peraturan mempunyai ciri-ciri kejelasan pengertian, kejernihan dan kelugasan perumusan, kebakuan, keserasian, dan ketaat-asasan dalam penggunaan kata- kata sesuai dengan kebutuhan hukum yang dihadapi. Oleh karena itu, dalam merumuskan ketentuan- ketentuan peraturan perundang-undangan, para pe- rancang biasanya diharuskan menggunakan kalimat- kalimat yang singkat, tegas, jelas, dan mudah dimengerti oleh khalayak. Dalam menyusun kalimat perumusan ketentuan peraturan perundang-undangan, para perancang yang baik akan selalu berusaha menghindari penggunaan kata-kata atau frasa yang artinya kurang menentu, konteksnya yang kurang jelas, atau malah akan me- nimbulkan kebingungan. Biasanya, ketentuan-ketentuan dalam undang-undang atau peraturan perundang- undangan lainnya dirumuskan sedemikian rupa sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku. Untuk memperluas pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui oleh umum tanpa membuat definisi baru, para perancang biasanya menggunakan kata “meliputi” atau “termasuk” includes yang akan mencakup pengertian objek-objek yang disebut 246 sesudahnya. Sebaliknya, untuk mempersempit pe- ngertian, biasanya digunakan kata “tidak meliputi” atau “tidak termasuk” does not include. Para perancang dianjurkan untuk menghindari pemberian arti kepada kata atau frase yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan sehari-hari. Dengan demikian, rumusan bahasa undang- undang dan peraturan lainnya tidak menggunakan kata- kata yang sama sekali bertentangan dengan pengetahuan umum. Juga harus dihindarkan penggunaan satu kata atau istilah yang mempunyai arti berbeda-beda di satu tempat dengan tempat yang lain dalam satu undang- undang. Demikian pula harus dihindari penggunaan kata atau istilah yang berbeda-beda untuk pengertian yang sama dalam satu undang-undang. Suatu istilah atau kata yang disebut berulang- ulang dalam undang-undang yang sama, maka dianjurkan agar memuat kata atau istilah tersebut dalam ketentuan umum atau pasal yang memuat pengertian kata dan istilah-istilah. Untuk efisiensi perumusan, pengulangan frasa yang panjang dapat disingkat, yaitu setelah penyebutan frasa itu untuk pertama kali ditambah perkataan “yang selanjutnya disebut ............”. Dalam perumusan ketentuan undang-undang dan peraturan perundang-undangan seringkali kita harus menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Dalam hal demikian, para perancang yang baik harus berusaha menghindari istilah-istilah asing tersebut. Jika memang hal itu terpaksa dilakukan, maka penggunaan kata atau istilah-istilah asing itu hanya ditempatkan dalam penjelasan, bukan dalam perumusan pasal-pasal batang tubuh peraturan. Pertama, dituliskan dulu istilah bahasa Indonesianya, baru setelah itu bahasa asingnya yang ditempatkan dalam kurung. Misalnya, “penghinaan terhadap peradilan contempt of court”, dan sebagainya.