- 187 -
5. Ketentuan Peralihan
Ketentuan Peralihan adalah ketentuan yang berisi norma peralihan yang berfungsi mengatasi kemungkinan
terjadinya kekosongan hukum sebagai akibat peralihan normatif dari ketentuan lama ke ketentuan baru. Keten-
tuan peralihan ini memuat penyesuaian terhadap per- aturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat
peraturan perundang-undangan yang baru mulai berlaku agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat ber-
jalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum. Apabila diperlukan penulisan ketentuan peralih-
an itu dituangkan dalam bab yang tersendiri, yaitu sesudah ketentuan pidana dan sebelum ketentuan penu-
tup. Jika tidak diperlukan bab yang tersendiri, maka ketentuan peralihan itu biasanya ditempatkan sebagai
ketentuan terakhir sebelum pasal yang memuat keten- tuan penutup.
Pada saat suatu peraturan perundang-undangan dinyatakan mulai berlaku, maka semua hubungan-hu-
bungan hukum yang ada atau tindakan-tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat, maupun sesudah
peraturan perundang-undangan yang baru itu dinyata- kan mulai berlaku, tunduk pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang baru. Di dalam peraturan perundang-undangan yang baru, dapat pula diatur me-
ngenai penyimpangan sementara atau penundaan se- mentara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum
tertentu, termasuk penyimpangan sementara bagi ke- tentuan-ketentuan tertentu yang dibelakukan surut. Jika
suatu peraturan perundang-undangan diberlakukan su- rut, maka peraturan perundang-undangan tersebut ha-
ruslah memuat ketentuan mengenai status tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di
dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku su-
188
rut dan tanggal berlakunya pengundangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Namun demikian, berkenaan dengan pemberla- kuan surut atau pemberlakuan retroaktif ini perlu dicatat
berlakunya asas-asas umum dalam hukum pidana bahwa penentuan daya laku surut tidak boleh diterapkan dalam
kaitan dengan ketentuan pidana atau pemidanaan baik yang menyangkut bentuk dan jenis pidana, berat-ringan-
nya, sifat maupun kualifikasinya principle of non- retroactivity. Kalaupun pemberlakuan surut sangat
perlu diterapkan, maka penentuan keberlakuan surut itu hendaknya dibatasi sehingga tidak diterapkan bagi per-
aturan perundang-undangan yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakat. Biasa-
nya, pemberlakuan surut itu hanya diterapkan dalam bidang hukum yang bersifat prosedural belaka, atau di
bidang hukum perdata yang tidak berkaitan dengan pi- dana dan pemidanaan.
Khusus mengenai ketentuan pemberlakuan surut tersebut, jika benar-benar harus diterapkan, maka para
perancang peraturan perundang-undangan harus me- nyadari dengan sungguh-sungguh bahwa untuk kepen-
tingan keadilan, pemberlakuan surut itu pada dasarnya tidak sesuai dengan asas “fairness”. Oleh karena itu,
penerapannya haruslah benar-benar bersifat sangat ter- batas, dan penentuan waktu mulai berlakunya tidak di-
tetapkan sembarangan. Misalnya, dalam hal ketentuan berlaku surut itu akan dimuat dalam undang-undang,
maka sebaiknya, waktu mulai berlakunya itu ditentukan dengan tegas, misalnya, sejak rancangan undang-undang
itu resmi mulai dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam persidangan yang bersifat
terbuka untuk umum. Karena sejak saat itulah masya- rakat luas sudah dapat dianggap mengetahui akan hal
itu, sehingga dapat ditegaskan bahwa setiap orang sudah dengan sendirinya tidak akan melakukan hal-hal yang
- 189 -
akan dilarang menurut rancangan undang-undang yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat itu.
Di samping soal pemberlakuan surut seperti dike- mukakan di atas, suatu peraturan perundang-undangan
juga dapat ditentukan ditunda penerapannya untuk se- mentara waktu. Apabila penerapan peraturan perun-
dang-undangan itu ditunda untuk sementara waktu, maka bagi tindakan hukum atau hubungan hukum ter-
tentu, ketentuan tersebut harus pula memuat dengan tegas dan rinci tindakan hukum dan hubungan hukum
mana yang dimaksud. Demikian pula, ketentuan me- ngenai jangka waktu atau syarat-syarat berakhirnya pe-
nundaan sementara itu juga harus diatur dengan tegas dan rinci dalam ketentuan peralihan tersebut Transi-
tional Provisions.
Para perancang peraturan perundang-undangan juga dianjurkan untuk menghindari rumusan dalam ke-
tentuan peralihan yang isinya memuat perubahan ter- selubung atas ketentuan yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan lain. Perubahan per- aturan perundang-undangan hendaklah dilakukan de-
ngan membuat batasan pengertian baru dalam ketentuan umum atau membuat ketentuan substantif yang baru
ataupun dengan secara tegas membuat peraturan per- undang-undangan baru sama sekali. Dengan demikian,
perubahan norma hukum yang diatur tidak diselundup- kan dalam rumusan Ketentuan Peralihan suatu peratur-
an perundang-undangan secara tersamar dan terselu- bung.
Pengaturan-pengaturan mengenai norma hukum yang bersifat peralihan atau transisional transitional
provisions ini dapat terkait dengan i subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban tertentu, ii subjek
hukum yang menyandang tugas dan wewenang tertentu, iii norma hukum yang mengalihkan berlakunya suatu
peraturan dari mengikat menjadi tidak mengikat atau
190
dari tidak mengikat menjadi mengikat untuk umum, iv objek hubungan hukum tertentu atau tindakan hukum
tertentu yang diatur. Penyimpangan untuk sementara atau penundaan
waktu untuk berlakunya norma hukum yang secara u- mum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan dapat dibatasi untuk jangka waktu tertentu terhadap subjek-subjek hukum tertentu. Subjek-subjek
hukum tersebut, baik merupakan subjek yang menyan- dang hak dan kewajiban tertentu, ataupun subjek hukum
yang menyandang tugas dan wewenang tertentu. Dalam hal demikian, norma hukum peralihan itu dapat pula
mengatur akibat hukum karena diberlakukannya per- aturan perundang-undangan yang bersangkutan terha-
dap peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu me- ngalihkan berlakunya dari mengikat menjadi tidak
mengikat atau dari tidak mengikat menjadi mengikat. Norma hukum peralihan itu juga dapat mengalihkan
akibat hukum dari objek tindakan hukum atau perbuatan hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan. 6. Ketentuan Penutup
Ketentuan Penutup berbeda dari Kalimat Penu- tup. Dalam undang-undang, yang biasanya dirumuskan
sebagai Ketentuan Penutup adalah ketentuan yang berkenaan dengan pernyataan mulai berlakunya undang-
undang atau mulai pelaksanaan suatu ketentuan undang- undang. Misalnya, Ketentuan Penutup dalam UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dirumuskan dalam Bab VIII Pasal 88 yang berbunyi, “Undang-
undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Sedangkan dalam UU No. 10 Tahun 2004, Ketentuan
Penutup dirumuskan dalam Bab XIII yang terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 56, 57, dan 58.
- 191 -
Pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004 menentukan, ”Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Kepu-
tusan Gubernur, Keputusan BupatiWalikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebe- lum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca
peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Un- dang-Undang ini”. Pasal 57 menentukan bahwa pada sa-
at Undang-Undang ini mulai berlaku maka: a.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Peme-
rintah Pusat; b.
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-Undang
Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan ten-
tang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Ber- lakunya Undang-Undang Federal Lembaran Negara
Tahun 1950 Nomor 1, sepanjang yang telah diatur dalam Undang-Undang ini; dan
c. Peraturan Perundang-undangan lain yang ketentuan-
nya telah diatur dalam Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Sementara itu, Pasal 58 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perun-
dang-undangan tersebut menentukan, ”undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yang mulai
dilaksanakan pada tanggal 1 November 2004”. Sedang- kan pada bagian penutup Undang-Undang No. 10 Tahun
2004 tersebut, dirumuskan kalimat yang berbunyi, ”Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempat- annya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”.
Kalimat yang sama juga dipakai sebagai penutup Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
192
Konstitusi, yaitu ”Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”.
Jika ditelaah dengan seksama, ketentuan penutup dalam peraturan perundang-undangan, biasanya, me-
muat ketentuan mengenai: a.
penunjukan organ atau lembaga tertentu yang akan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan; b.
nama singkat peraturan perundang-undangan; c.
status peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya; dan
d. saat mulai berlakunya peraturan perundang-undang-
an tersebut. Ketentuan penutup dalam suatu undang-undang
dapat memuat ketentuan pelaksanaan yang bersifat eksekutif atau legislatif. Yang bersifat eksekutif, misal-
nya, menunjuk pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum, atau untuk
mengeluarkan dan mencabut perizinan, lisensi, atau konsesi, pengangkatan dan memberhentikan pegawai,
dan lain sebagainya. Sedangkan yang bersifat legislatif, misalnya, memberi wewenang untuk membuat peraturan
pelaksanaan lebih lanjut delegation of rule-making power dari apa yang diatur dalam peraturan undang-
undang yang bersangkutan. 7. Penutup
Penutup merupakan bagian akhir peraturan perundang-undangan. Di dalam kalimat penutup terse-
but dimuat hal-hal sebagai berikut:
a.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran
- 193 -
Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah;
b.
tandatangan pengesahan atau penetapan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan
oleh Presiden Republik Indonesia atau pejabat yang
terkait lainnya;
c.
pengundangan peraturan perundang-undangan ter- sebut dengan pemberian nomor.
Rumusan perintah pengundangan yang bersifat standar adalah “Agar setiap orang mengetahuinya, me-
merintahkan pengundangan undang-undang [atau bentuk lainnya] ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia [atau Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau
Berita Daerah]. Sedangkan penandatanganan pengesah- an atau penetapan memuat:
a.
Tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;
b.
nama jabatan;
c.
tanda tangan pejabat; dan
d.
nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat.
Untuk undang-undang, maka pejabat yang me- ngesahkan adalah Presiden Republik Indonesia, sedang-
kan pejabat yang mengundangkan adalah menteri yang ditugasi untuk itu. Sekarang, menteri yang meng-
undangkan peraturan perundang-undangan adalah Men- teri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
8. Penjelasan