- 169 -
Selain pembukaan dalam arti formal, sesungguh- nya, semua judul, yaitu i judul undang-undang, ii
judul bab, iii judul bagian, danatau iv judul pasal juga mempunyai fungsi sebagai pembuka rumusan nor-
matif ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam butir- butir kalimat yang dirumuskan. Karena itu, sesuai de-
ngan kebutuhan, baik bab, bagian, ataupun pasal ter- tentu dapat diberi judul sendiri-sendiri. Pada umumnya,
nomor dan rumusan pasal tidak diberi judul yang tersendiri. Akan tetapi, kadang-kadang, jika isi pasal itu
cukup panjang, maka untuk membedakannya dengan pasal yang lain, dapat saja dirumuskan dengan judul
tertentu.
Sebelum lahirnya UU No. 10 Tahun 2004, ber- dasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1999
tentang Teknis Penyusunan Peraturan Perundang- undangan yang merupakan revisi Keputusan Direktur
Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Tahun 1974 tentang hal yang sama, pasal tidak mempunyai judul.
Apabila materi yang diatur dalam pasal terlalu panjang dan banyak jumlah ayatnya, maka hal itu dapat dijadikan
kumpulan pasal dan dikelompokkan dalam Bagian atau Paragraf yang dapat diberi judul tersendiri. Setelah
lahirnya UU No. 10 Tahun 2004 dan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1999 isinya hampir 99 dilampirkan ke
dalam UU tersebut, aturan semacam itu juga tetap dipakai.
3. Konsideran Konsideran yang terdapat dalam setiap undang-undang,
pada pokoknya, berkaitan dengan 5 lima landasan pokok bagi berlakunya norma-norma yang terkandung di
dalam undang-undang tersebut bagi subjek-subjek hu- kum yang diatur oleh undang-undang itu. Seperti sudah
diuraikan pada bagian lain dari buku ini, bagi setiap nor-
170
ma hukum yang baik selalu dipersyaratkan adanya 5 lima landasan keberlakuan. Kelima landasan dimaksud
adalah landasan yang bersifat filosofis, sosiologis, politis, dan landasan juridis
88
, serta landasan yang bersifat administratif. Empat landasan pertama, yaitu landasan
filosofis, sosiologis, politis, dan juridis bersifat mutlak, sedangkan satu landasan terakhir, yaitu landasan admi-
nistratif dapat bersifat fakultatif. Mutlak, artinya, harus selalu ada dalam setiap undang-undang. Sedangkan lan-
dasan administratif tidak mutlak harus selalu ada. Dicantumkan tidaknya landasan administratif itu ter-
gantung kepada kebutuhan. Bahkan, kadang-kadang lan- dasan filosofis juga tidak dibutuhkan secara mutlak.
Misalnya, UU tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi dapat juga dibentuk tanpa landasan yang bersifat filoso-
fis. Untuk undang-undang seperti ini dianggap cukup di- perlukan landasan yuridis dan sosiologis saja, karena
pembentukan Pengadilan Tinggi hanya bersifat adminis- tratif.
4. Landasan Filosofis
Undang-undang selalu mengandung norma- norma hukum yang diidealkan ideal norms oleh suatu
masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan ber- masyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Karena
itu, undang-undang dapat digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai
luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehi- dupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang
yang bersangkutan dalam kenyataan. Karena itu, cita-
88
Bandingkan dengan pendapat Prof. Purnadi Purbacaraka, SH. dan juga Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH yang mengemukakan tiga landasan undang-
undang yang baik, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan juridis. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Op Cit.
- 171 -
cita filosofis yang terkandung dalam undang-undang itu hendaklah mencerminkan cita-cita filosofis yang dianut
masyarakat bangsa yang bersangkutan itu sendiri. Artinya, jangan sampai cita-cita filosofis yang
terkandung di dalam undang-undang tersebut justru mencerminkan falsafah kehidupan bangsa lain yang
tidak cocok dengan cita-cita filosofis bangsa sendiri. Karena itu, dalam konteks kehidupan bernegara, Pan-
casila sebagai falsafah haruslah tercermin dalam per- timbangan-pertimbangan filosofis yang terkandung di
dalam setiap undang-undang. Undang-undang Republik Indonesia tidak boleh melandasi diri berdasarkan falsa-
fah hidup bangsa dan negara lain. Artinya, Pancasila itulah yang menjadi landasan filosofis semua produk
undang-undang Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.
5. Landasan Sosiologis
Landasan kedua adalah landasan sosiologis, yaitu bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam
undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebu- tuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang
sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Karena itu, dalam konsideran, harus dirumuskan dengan
baik pertimbangan-pertimbangan yang bersifat empiris sehingga sesuatu gagasan normatif yang dituangkan
dalam undang-undang benar-benar didasarkan atas kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum ma-
syarakat. Dengan demikian, norma hukum yang tertuang dalam undang-undang itu kelak dapat dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya di tengah-tengah masyarakat hu- kum yang diaturnya.
172
6. Landasan Politis