Ketentuan Khusus atau “Provisio”

- 183 - dipahami secara terbatas, yaitu dengan tetap merujuk kepada konteks yang tetap terkait dengan objek yang disebut sebelumnya; ix Biasanya, apabila diinginkan untuk menegaskan se- suatu pengertian dari suatu kata tertentu, peran- cang undang-undang menggunakan kata “berarti”. Kata ini dipakai untuk menunjukkan bahwa “the definition is a hard and fast definition” dan bahwa tidak ada lagi pengertian lain yang dapat ditarik da- ri ekspresi kata yang bersangkutan selain yang ter- dapat dalam definisi tersebut; x Suatu undang-undang mengandung definisi hanya apabila sungguh-sungguh diperlukan dan memang tidak dapat dihindari indispensable; xi Hukum materiel substantive rules harus ditem- patkan dalam rumusan ketentuan undang-undang, bukan dalam definisi. Para perancang undang- undang the legal drafters harus lebih dulu mera- sa yakin akan keperluan untuk mencantumkan de- finisi peristilahan sebelum benar-benar memuatnya dalam rancangan undang-undang. “A legislative definition must not be the result of a drafting mannerism. The legislature is not copying the dic- tionary”. xii Dalam rancangan undang-undang, definisi di- anggap penting untuk menghindarkan terjadi pengulangan repetition atau ambiguitas ambi- quity. Kata-kata seringkali mempunyai lebih dari 1 satu arti, dan perumusan definisi dalam undang- undang menjadi penting karena fungsinya memberi tahu kita mengenai arti kata yang dipilih oleh pem- bentuk undang-undang legislature, terutama jika arti yang dipilih itu bukanlah arti yang biasa dipa- hami sehari-hari; 184 xiii Pada prinsipnya, definisi dari suatu ekspresi harus- lah tidak boleh bertentangan dengan arti kata itu sendiri sebagaimana ia dipahami sehari-hari.

3. Ketentuan Khusus atau “Provisio”

Di antara ketentuan pasal-pasal dalam undang- undang, kadang-kadang terdapat ketentuan yang bersifat khusus. Ketentuan dimaksud biasa dirumuskan secara khusus dan berbeda daripada substansi pokok materi undang-undang yang bersifat umum. Pasal-pasal khusus itu biasanya dirumuskan dalam seksi atau sub-bab tersendiri yang berisi norma kekecualian terhadap ketentuan pokok dalam seksi atau sub-bab utama the main section. Ketentuan pasal-pasal demikian itu biasa dinamakan sebagai “provisio” yang dibedakan dari ke- tentuan pada umumnya yang dalam bahasa Inggeris disebut “provision”. Kata “provision” ini dalam bahasa Indonesia biasanya kita terjemahkan dengan “keten- tuan”, sedangkan “provisio” dapat saja kita terjemahkan dengan istilah “ketentuan khusus” atau kita sebut “provi- sio” saja. Pada prinsipnya, ketentuan yang disebut “provi- sio” tersebut merupakan suatu kualifikasi tertentu terhadap norma hukum yang bersifat umum yang terda- pat dalam suatu seksi atau sub-bab undang-undang. Oleh sebab itu, para perancang undang-undang legal drafters haruslah memahami bahwa pasal-pasal ‘provi- sio’ diadakan untuk ditujukan kepada kasus-kasus yang bersifat khusus di luar kerangka aturan umum yang ditentukan dalam pasal-pasal lain dalam sub-bab atau seksi yang terkait. Bahkan, kadang-kadang, perumusan pasal-pasal ‘provisio’ seperti yang tersebut di atas, juga dimaksudkan untuk membatasi berlakunya ketentuan- ketentuan tertentu dalam undang-undang yang bersang- kutan, sehingga tidak menjangkau hal-hal khusus yang - 185 - ditentukan dalam pasal-pasal ‘provisio’. Dengan perka- taan lain, pasal-pasal ‘provisio’ itu berfungsi sebagai pasal yang mengubah atau memodifikasi ketentuan lain yang berlaku umum dengan hal-hal lain yang bersifat khusus. Dapat dikatakan bahwa perumusan ketentuan pasal ‘provisio’ itu mengandung 4 empat macam ke- gunaan, yaitu: i Untuk menentukan atau mengecualikan ketentuan- ketentuan tertentu dari seksi atau bagian utama to qualify or except certain provisions from the main section; ii Untuk mengubah keseluruhan konsep atau maksud norma yang terkandung dalam suatu seksi atau sub-bab dengan menekankan kondisi mandatori tertentu yang harus dipenuhi sehingga ketentuan undang-undang dapat dijalankan; iii Ketentuan ‘provisio’ itu dapat juga dicantumkan sedemikian rupa dalam bagian section undang- undang sebagai bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari undang-undang, sehingga karena itu menentukan nada dan warna keseluruhan materi undang-undang itu sendiri acquire the tenor and colour of the substantive enactment itself; dan iv Ketentuan ‘priovisio’ itu hanya dapat digunakan untuk mengatur tambahan yang bersifat pilihan terhadap materi bagian section dengan tujuan untuk menerangkan objek sesungguhnya dari ke- tentuan undang-undang yang bersangkutan to act as optional addenda to the section with the sole objective of explaining the real object of the statutory provision. Oleh karena itu, penting untuk dicatat oleh para perancang undang-undang legal drafter bahwa fungsi 186 ‘provisio’ tersebut merupakan norma pengecualian da- lam dan di antara ketentuan-ketentuan utama dalam suatu sub-bab undang-undang. Artinya, materi ‘provisio’ itu terkait erat dengan substansi pokok yang diatur da- lam bab undang-undang yang bersangkutan. Jika suatu ketentuan ‘provisio’ sama sekali mengatur hal-hal yang berbeda dari substansi pokok materi undang-undang, berarti ketentuan tersebut bukan ‘provisio’ lagi, me- lainkan memang merupakan materi pokok yang lain dari apa yang diatur dalam sub-bab yang bersangkutan. 4. Ketentuan Tambahan Ketentuan Tambahan Additional Provisions atau Ketentuan Lain-Lain adalah ketentuan yang berisi tambahan norma terhadap substansi pokok yang hendak diatur dalam undang-undang. Biasanya, Ketentuan Tam- bahan ini ditempatkan dalam bab yang tersendiri sebelum Ketentuan Penutup atau bahkan sebelum Ke- tentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup. Sesuai de- ngan kebutuhan, kadang-kadang ketentuan tambahan ini dapat pula dimuat dalam Ketentuan Penutup. Namun, pada umumnya, ketentuan tambahan dimuat dalam bab tersendiri, yaitu Bab Ketentuan Tambahan sebelum Bab Ketentuan Peralihan. Dinamakan sebagai ketentuan tambahan additional provisions karena isinya memang bukan substansi yang bersifat utama atau pokok, melainkan hanya menyangkut hal-hal lain yang seharusnya menjadi materi undang-undang lain. Namun, karena materi dimaksud dianggap sangat penting untuk juga turut dimuat dalam undang-undang yang bersangkutan, maka hal itu dimuat dalam Ketentuan Lain-Lain atau Keten- tuan Tambahan dalam bab yang tersendiri. - 187 -

5. Ketentuan Peralihan