- 235 -
D. PENYUSUNAN MATERI UNDANG-UNDANG 1. Prinsip Umum
Meskipun disadari bahwa setiap undang-undang yang dibentuk merupakan produk kompromi politik
antar berbagai kepentingan yang sulit diharapkan bersifat sempurna, tetapi pada dasarnya, setiap undang-
undang yang berhasil disusun selalu diharapkan mem- bawa perbaikan dalam sistem hukum yang akan
diberlakukan mengikat untuk umum. Oleh karena itu, sangat penting bagi para perancang undang-undang
untuk memahami benar prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam proses penyusunan materi undang-
undang, dan prinsip-prinsip umum yang hendak dituangkan menjadi norma hukum dalam undang-
undang yang akan dibentuk. Untuk itu, para perancang harus mengerti benar garis besar kebijakan yang akan di-
tuangkan dalam undang-undang itu melalui proses “out- line building” yang bersifat komprehensif dan me-
nyeluruh comprehensible.
Perlu disadari pula bahwa tujuan pokok yang he- ndak dicapai dengan pengaturan materi undang-undang
itu adalah membuat produk undang-undang itu menjadi sejelas dan seberguna mungkin as clear and useful as
possible
103
. Para perancang undang-undang harus memilih dengan hati-hati hal-hal yang yang akan
dituangkan dan mengaturnya sedemikian rupa agar da- pat ditemukan, dimengerti, dan dirujuk dengan mudah
dan paling ringan. Siapa yang harus menentukan mudah tidaknya ketentuan dalam undang-undang dipahami dan
dijadikan rujukan tergantung kepada siapa yang paling banyak danatau yang paling sering akan membaca atau
103
Dickerson, Op Cit., hal.53. Perihal Undang-Undang
236
menggunakan undang-undang itu kelak setelah di- undangkan.
Karena itu, para perancang undang-undang ha- ruslah menyusun undang-undang menurut kepentingan
pihak yang akan melaksanakan undang-undang itu kelak the persons or subjects who will administer the law.
Perancang harus
menyusun ketentuan-ketentuan
pertama-tama yang berhubungan dengan i perbuatan conduct, ii hak-hak rights, iii keutamaan pri-
vileges, atau iv tugas-tugas duties. Baru setelah itu menyusun ketentuan dari sudut pandang orang yang
akan diatur atau yang dijadikan objek aturan undang- undang.
Di samping itu, dapat dikatakan bahwa pada u- mumnya, pengaturan susunan suatu undang-undang
selalu diharuskan bersifat “functional”. Artinya, pe- nyusunan materi undang-undang itu harus selalu me-
ngacu kepada kebutuhan untuk memenuhi tujuan atau untuk maksud mencapai tujuan yang secara garis besar
telah dirumuskan. Persoalan pokok yang selalu timbul dalam setiap upaya penyusunan konsep materi undang-
undang ialah soal i penentuan hirarki gagasan hierarchy of ideas, yaitu berkenaan dengan piramid lo-
gika logical pyramid, dan ii pada setiap lapisan hirarki gagasan itu menentukan pilihan mengenai
prinsip tata urutan yang paling dianggap membantu the most helpful principle of order.
Biasanya, prinsip ekonomi kata menjadi per- timbangan yang menentukan. Karena itu, pada umum-
nya, makin baik suatu undang-undang dirumuskan, makin sedikit halaman yang diperlukan untuk me-
nuangkan materi norma dalam undang-undang yang bersangkutan. Misalnya, untuk efisiensi, perancang se-
baiknya tidak merumuskan ketentuan undang-undang yang mengharuskan pembacanya melakukan perujukan
silang cross references antar pasal-pasal dari berbagai
- 237 -
bab atau bagian yang berbeda. Sebab, hal itu akan menyulitkan pembaca untuk menemukan ketentuan-ke-
tentuan yang saling berkaitan itu satu dengan yang lain. Daripada perumusan yang berisi perujukan silang, lebih
baik menggunakan alternatif lain yang menjamin lebih mudah ditemukan, lebih jelas, dan lebih bisa dipakai
better findability, clarity, and usability. 2. Pembagian Materi Division
Dalam perumusan materi suatu undang-undang, para perancang biasanya dihadapkan pada tiga per-
soalan, yaitu i problem pembagian materi problem of division, ii problem pengelompokan materi problem
of classification, dan iii problem pengurutan atau perurutan materi problem of sequence.
Problem pertama, yaitu pembagian materi pro- blem of division berkaitan dengan penentuan masing-
masing landasan pemikiran yang menyebabkan bagian- bagian materi pokok main or primary division dan
materi penunjang subordinate divisions yang ber- sangkutan disusun. Pembedaan keduanya penting, ka-
rena para perancang biasanya selalu mendahulukan per- umusan bagian utama yang dianggap lebih penting
primary breakdown daripada bagian yang bersifat sekunder subsidiary breakdowns. Dengan perkataan
lain, dalam penyusunan materi undang-undang, yang selalu didahulukan adalah bagian yang dianggap lebih
penting order of importance.
Dalam banyak kasus, dianggap lebih mudah de- ngan mengaitkan upaya pembagian materi undang-
undang tersebut pada soal-soal yang berkenaan dengan i jenis orang yang diatur oleh materi bersangkutan
kinds of people affected, ii organ administratif yang terlibat, atau iii bidang kegiatan operasional yang
dilakukan oleh organ dimaksud. Hal-hal ini disusun se-
238
cara kronologis yang tersendiri; dan untuk tiap-tiap bagian utama itu, logika yang sama juga dipakai untuk
penyusunan bagian-bagian yang bersifat penunjang. Biasanya jumlah orang yang bersifat relatif yang
terlibat dalam suatu kegiatan tidak dijadikan dasar untuk penentuan bagian-bagian materi undang-undang, kecuali
apabila jumlah subjek yang dimaksud berkaitan dengan ketentuan umum general rules yang berhadapan
dengan pengecualian exception. Dalam hal demikian, ketentuan umum selalu ditempatkan lebih dulu daripada
ketentuan kekecualian. Di luar hal ini, maka dalam penyusunan materi undang-undang, jumlah banyak
sedikitnya subjek orang yang terlibat dianggap tidak penting bagi seseorang atau individu yang ingin
mengetahui kedudukannya dalam hukum. Hal itu juga dianggap tidak penting bagi pejabat pemerintahan yang
akan menjalankan undang-undang yang bersangkutan.
Pada setiap lapisan pembagian materi, para pe- rancang haruslah menentukan prinsip urutan pokok
materi yang akan diterapkan dalam penyusunan suatu undang-undang. Dari segi penempatan materinya sp-
atial dimension, menurut Reed Dickerson
104
, keempat prinsip di bawah ini dapat dipakai, yaitu:
a. General provisions normally come before special
provisions; b.
More important provisions normally come before less important provisions;
c. Permanent provisions normally come before
temporary provisions; d.
Technical housekeeping sections normally come at the end.
Sementara itu, dari segi urutan waktunya tem- poral dimension, pengaturan materi undang-undang
104
Ibid, hal. 56.
- 239 -
biasa disusun menurut urutan kronologis perbuatan atau kejadiannya. Dalam rangka perubahan undang-undang,
biasanya pola pengelompokan yang lama tetap diikuti kecuali jika alternatif lain dianggap lebih menjamin
prinsip “findability”, “clarity”, dan “usability” ketentuan undang-undang itu. “Findability” artinya mudah di-
temukan, “clarity” jelas dan mudah dipahami, dan “u- sability” berarti dapat dipakai.
Menurut Reed Dickerson, format Undang- undang Federal Amerika Serikat biasanya memuat u-
rutan bagian materi order of sections sebagai be- rikut:
105
1 Short title, if any;
2 Statement of purpose or policy, if any;
3 Definitions;
4 Most significant general rules and special
provisions; 5
Subordinate provisions, and exceptions large and impotant enough to be stated as separate sections;
6 Penalties;
7 Temporary provisions;
8 Specific repeals and related amendments;
9 Saving clauses;
10 Severability clause, if any;
11 Expiration date, if any;
12 Effective date, if different from the date of
enactment Dari ke-12 hal tersebut, 5 lima di antaranya ber-
sifat relatif, jika memang diperlukan. Bagian-bagian materi undang-undang yang dapat dikatakan bersifat
mutlak hanya 7 tujuh, yaitu: a.
Definitions;
105
Ibid. Perihal Undang-Undang
240
b. Most significant general rules and special
provisions; c.
Subordinate provisions, and exceptions large and impotant enough to be stated as separate sections;
d. Penalties;
e. Temporary provisions;
f. Specific repeals and related amendments;
g. Saving clauses;
Tentu saja, urutan penyebutan ke-12 atau ke-7 bagian itu bersifat fleksibel, tidak mutlak seperti tersebut
di atas. Penempatannya secara konkret dalam rumusan undang-undang tergantung kepada kebutuhan pen-
gaturan di dalam setiap naskah undang-undang yang bersangkutan.
E. KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG
Suatu norma dianggap sah sebagai norma hukum legal norm yang mengikat untuk umum apabila norma
hukum itu berlaku karena diberlakukan atau karena dianggap berlaku oleh para subjek hukum yang
diikatnya. Keberlakuan ini dalam bahasa Inggris disebut “validity”, dalam bahasa Jerman “geltung” atau dalam
bahasa Belanda disebut “gelding”. Keabsahan ber- lakunya atau keberlakuan suatu undang-undang atau pe-
raturan perundang-undangan itu sendiri pada pokoknya ditentukan oleh banyak faktor dan beraneka cara
pandang. Secara umum dapat dikemukakan adanya 4 empat kemungkinan faktor yang menyebabkan norma
hukum dalam undang-undang atau peraturan pe- rundang-undangan dikatakan berlaku.
Norma-norma hukum dimaksud dapat dianggap berlaku karena pertimbangan yang bersifat filosofis,
karena pertimbangan juridis, pertimbangan sosiologis, pertimbangan politis, ataupun dianggap berlaku karena
- 241 -
pertimbangan yang semata-mata bersifat administratif. Untuk undang-undang yang dikatakan baik, sudah se-
harusnya kelima syarat tersebut di atas haruslah dipenuhi sekaligus, yaitu berlaku, baik secara filosofis,
politis, juridis, sosiologis, maupun secara administratif. 1.
Keberlakuan Filosofis
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum itu memang bersesuaian
dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu negara. Seperti dalam pandangan Hans Kelsen mengenai
“gerund-norm” atau dalam pandangan Hans Nawiasky tentang “staatsfundamentalnorm”, pada setiap negara
selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari
segala sumber nilai luhur dalam kehidupan kenegaraan yang bersangkutan.
106
Untuk hal ini, nilai-nilai filosofis negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai “staats-
fundamentalnorm”. Di dalam rumusan kelima sila Pancasila terkandung nilai-nilai religiusitas Ketuhanan
Yang Maha Esa, humanitas kemanusiaan yang adil dan beradab,
nasionalitas kebangsaan
dalam ikatan
kebineka-tunggal-ikaan, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas keadilan bagi segenap rakyat Indonesia. Tidak
satupun dari kelima nilai-nilai filosofis tersebut yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma
hukum yang terdapat dalam berbagai kemungkinan bentuk peraturan perundang-undangan dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
106
Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie dan Muchamad Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
242
2. Keberlakuan Juridis