- 27 -
ra i “legislative rules” atau “substantive rules”, ii “interpretive rules”, dan iii “procedural rules”. Seperti
dikemukakan oleh Cornelius M. Kerwin, “The first and most important category consists of ‘legislative’ or
‘substantive’ rules. These are instances when, by congressional mandate or authorization, agencies write
what amounts to new law”
22
. Sementara itu, “A second category consists of ‘interpretive’ rules. These occur
when agencies are compelled to explain to the public how it interprets existing law and policy”. Sedangkan
yang ketiga dinyatakan oleh Cornelius M. Kerwin, “The third category consists of procedural rules that define
the organization and processes of agencies”. Yang terakhir ini menyediakan petunjuk jalan yang penting
untuk mengetahui segala sesuatu yang berkenaan dengan proses pembuatan keputusan dalam birokrasi
pemerintahan dan penyelenggaraan negara dalam arti luas.
2. Ketentuan ‘Directory’ dan ‘Mandatory’ dalam
Undang-Undang
Setiap undang-undang statute dapat berisi ke- tentuan provisions yang bersifat mandatori mand-
atory provisions atau yang bersifat direktori directory provisions. Menurut Mian khurshid A. Nasim, “When a
statute is passed for the purpose of enabling something to be done, it may be either a mandatory enactment, or
a directory one, the difference being that a mandatory enactment must be obeyed or fulfilled exactly, but it is
sufficient, if a directly pen: directory[] enactment be obeyed or fulfilled substantially. If a mandatory enact-
ment is not strictly complied with, the thing done shall
22
Cornelius M. Kerwin, Rulemaking: How Government Agencies Write Law and Make Policy, New York: Universal Book Traders, 1997, hal. 21.
28
be invalid. On the other hand, if an enactment is merely directory, it is immaterial, so far as relates to the
validity of the thing done, whether the provisions of that enactment are strictly complied with or not”
23
. Jika suatu undang-undang disahkan untuk me-
mungkinkan sesuatu dilaksanakan, maka norma yang terdapat di dalamnya dapat bersifat “mandatory” atau
“directory”. Bedanya adalah bahwa ketentuan yang ber- sifat ‘mandatory’ harus ditaati atau dipenuhi secara
tepat atau mutlak, tetapi ketentuan yang bersifat ‘di- rectory’ dipandang sudah cukup jika ditaati atau di-
penuhi secara substantif saja. Jika ketentuan yang ber- sifat ‘mandatory’ tidak dipenuhi secara tepat, maka hal-
hal yang dilakukan menjadi tidak sah. Sebaliknya, jika suatu ketentuan hanya bersifat ‘directory’, ia bersifat
immateriel sepanjang terkait dengan keabsahan sesuatu yang telah dilakukan, apakah ketentuan itu dipenuhi
secara mutlak atau tidak.
Prinsipnya, ketentuan yang bersifat ‘mandatory’ harus ditaati secara mutlak, sedangkan ketentuan yang
bersifat ‘directory’ cukup dipenuhi secara substansial Mandatory or absolute provisions must be obeyed
strictly. Directory provisions may be complied with substantively. Mian Khurshid menggambarkan apa
yang dimaksud dengan “Non-compliance of directory provisions” dengan menyatakan, “where the prescription
of an Act relates to the performance of a duty by a public officer the breach of such prescription, when it
does not cause any real injustice, does not invalidate the act done under the Act and therefore such prescriptions
are merely directory”. Meskipun demikian, katanya, “when the breach of a directory provision does not
create, and invalidating effect, the wrongdoer may be exposed to a penalty for his negligence”.
23
Mian Khurshid A. Nasim, Op Cit., hal. 63.
- 29 -
Dalam hal suatu ketentuan undang-undang ber- kaitan dengan pelaksanaan suatu tugas pejabat publik
tertentu, pelanggaran terhadapnya, sepanjang tidak me- nimbulkan ketidakadilan yang nyata, tidak menyebabkan
batalnya perbuatan yang dilakukan berdasarkan undang- undang yang bersangkutan, dan karenanya ketentuan
yang demikian itu dapat dikatakan bersifat “directory”. Dalam hal pelanggaran terhadap ketentuan yang bersifat
“directory” itu, tidak menimbulkan efek pembatalan, maka pelanggarnya dapat diancam dengan hukuman
karena kelalaian.
Beberapa ciri yang dapat dipakai untuk mem- bedakan kedua jenis ketentuan yang bersifat ‘man-
datory’ atau “directory” itu adalah i “the creation of rights and obligation”. Jika suatu undang-undang mela-
hirkan hak dan kewajiban dengan menentukan cara keduanya dilaksanakan enforcement, maka ketentuan
yang demikian dianggap bersifat “mandatory”, dan pem- bentuknya menginginkan agar pemenuhan atas keten-
tuan demikian dijadikan sebagai hal yang pokok dalam rangka pemberlakuan undang-undang yang bersangkut-
an; ii jika undang-undang menentukan waktu tertentu dalam rangka pelaksanaan suatu ketentuan atau dalam
rangka pelaksanaan suatu tugas tertentu, maka undang- undang itu dikatakan bersifat “directory” yang pemenuh-
annya tidak perlu bersifat formal dan mutlak, tetapi cukup bersifat substantif atau materiel.
30
- 31 -
BAB II TENTANG UNDANG-UNDANG
A. LINGKUP PENGERTIAN UNDANG-UNDANG
Dalam UUD 1945, tidak terang apa lingkup batasan pengertian undang-undang. Pasal 20 UUD 1945
hanya menyebut kewenangan DPR untuk membentuk undang-undang dengan persetujuan bersama dengan
Pemerintah. Pasal 24C ayat 1 hanya menentukan bah- wa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-
undang terhadap UUD. Istilah yang dipakai adalah ‘un- dang-undang’ dengan huruf kecil. Jika dipakai istilah
“Undang-Undang” apakah mempunyai perbedaan pe- ngertian yang signifikan dengan perkataan “undang-
undang” dengan huruf kecil?
Biasanya, penggunaan huruf besar “Undang- Undang” dipahami dalam arti nama atau sebutan un-
dang-undang yang sudah tertentu definite, misalnya dengan nomor dan nama tertentu, seperti Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jika digunakan huruf kecil “undang-undang”
maka yang dimaksudkan adalah kata undang-undang da- lam arti umum atau belum tertentu atau terkait dengan
nomor dan judul tertentu. Dengan kata lain, “undang- undang” adalah genus, sedangkan “Undang-Undang”
adalah perkataan yang terkait dengan undang-undang yang tertentu atau dikaitkan dengan nama tertentu.
Jika demikian, maka undang-undang itu dapat dipahami sebagai naskah hukum dalam arti yang luas,
yang menyangkut materi dan bentuk tertentu. Jeremy
32
Bentham
24
dan John Austin
25
, misalnya, mengaitkan istilah ‘legislation’ sebagai “any form of law-making”.
“The term is, however, restricted to a particular form of law-making, viz. the declaration in statutory form of
rules of laws by the legislature of the State. The law that has its source in legislation is called enacted law or
statute or written law”. Dengan demikian, bentuk per- aturan yang ditetapkan oleh lembaga legislatif untuk
maksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan pe- ngertian “enacted law”, “statute” atau undang-undang
dalam arti yang luas.
Bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga legislatif itu tentu berbeda dari peraturan yang di-
tetapkan oleh lembaga eksekutif ataupun oleh lembaga judikatif. Misalnya, Makamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung juga mempunyai kewenangan untuk mengatur dengan menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi
PMK dan Peraturan Mahkamah Agung PERMA. Pemerintaheksekutif mempunyai kewenangan menga-
tur dengan menetapkan Peraturan Pemerintah PP ataupun Peraturan Presiden Perpres. Oleh karena itu,
sering dibedakan antara pengertian i “judicial legis- lation”, ii “legislative act”, dan iii “executive act” atau
“executive legislation”.
Yang kita maksud dengan undang-undang dalam arti yang sempit adalah “legislative act” atau akta hukum
yang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan per- setujuan bersama dengan lembaga eksekutif. Yang mem-
bedakan sehingga naskah hukum tertulis tersebut di- sebut sebagai “legislative act”, bukan “executive act”
adalah karena dalam proses pembentukan “legislative
24
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, ed. J.H. Burns and H.L.A. Hart, Oxford: Clarendon Press,
1996.
25
Austin, Op Cit.