Patokan Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn Terhadap Pengembangan Pendidikan Agama Islam

Yogyakarta: LK iS, 2005. Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LK iS di web: http:lkis.co.idindex.php?option=com_virtuemartpage=shop.product_detailsflypage=flypage_new.tplproduct_id=488 paradigma masing-masing komunitas. Namun sekali lagi, pengembangan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip utama ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam konteks ilmu PAI maka ajaran Islam yang universal tidak parsial berwenang memandu dan mengkonstruk pengembangan ilmu pendidikan. Secara detail terkait pembahasan itu, berikut ini beberapa hal terkait pengembangan PAI yang diparalelisasikan dengan pemikiran Kuhn:

1. Patokan Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn Terhadap Pengembangan Pendidikan Agama Islam

Memang harus diakui Kuhn merupakan ahli fisika, yang selanjutnya menjadi pengajar sejarah filsafat ilmu cenderung ilmu alam. Karya-karya tulisnya sebelum buku terkenalnya ―The Structure of Scientific Revolutions‖ 1962 pun dipenuhi oleh kajian ilmu-ilmu kealaman di antaranya tentang Copernican Revolution, Galileo, Kepler, Descartes, Newton, dll. Di mana sebagian besar bahasannya tersebut tentang fisika dan astronomi. 51 Menyikapi kenyataan itu, menurut Gray Gutting, dkk. sebagaimana dikutip oleh Yusuf Suyono bahwa ―tesis [pemikiran] Kuhn bisa juga diaplikasikan pada penelitian-penelitian bidang sejarah, ekonomi, politik, sosiologi, filsafat, budaya, dan agama.‖ Selain dari pada itu, Suyono menambahi bahwa: 52 Namun hal itu tidak harus diartikan sebagai aplikasi total secara serampangan. Setidaknya dari segi term-termnya seperti discovery penemuan dan invention penciptaan adalah hanya bisa diaplikasikan dalam ilmu fisika, dan tidak mungkin bisa diaplikasikan dalam ilmu tauhid secara total. Demikian pula term anomali – sebuah penyimpangan dari suatu paradigma menurut tesis [pemikiran] Kuhn, paling-paling bisa diartikan perbedaan pendapat dalam aplikasinya pada ilmu tauhid atau ilmu kalam. Krisis dalam tesis Kuhn, paling-paling dimaknai sebagai perbedaan pendapat yang tidak bisa dikompromikan lagi, sehingga pendapat belakangan berdiri sendiri dan pada gilirannya mendapat dukungan serta pengikut dan akhirnya menjadi aliran. Sebagai contoh, sejarah berdirinya alira n Mu‘tazilah yang dimulai dari perbedaan pendapat antara Wāṣil ibn ‗Aṭā serta temannya ‗Amr Ibn ‗Ubaid dengan Ḥasan al-Baṣriy mengenai orang yang berdosa besar,... Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merahnya, gagasan Kuhn tidak semuanya mutlak bisa digunakan dalam pengembangan PAI. Bagaimanapun, nilai-nilai pokok Islam dalam PAI seperti akidah ketauhidan, tidak bisa direvolusi. Kajian monoteisme dalam Islam mesti dibebaskan dari berbagai macam bentuk sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris. Agama memberikan aturan bagaimana sebuah kebenaran ilmu dapat diukur, bagaimana ilmu diproduksi, dan bagaimana seharusnya tujuan-tujuan ilmu diarahkan. Dimensi aksiologi [kebermanfaatan ilmu] dalam teologi ilmu ini penting untuk digarisbawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu [termasuk pengembangan pendidikan Islam]. Selain ontologi dan epistemologi keilmuan, agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan. Ilmu yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang objektif. Dalam artian, bahwa ilmu yang dihasilkan tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama, dan anti agama sebagai nilai normativitas semata, tetapi sebagai gejala keilmuan objektif, meliputi sisi historisitas-empirisitas. Maka objektifikasi ilmu merupakan hasil dari pemikiran dari orang-orang beriman untuk seluruh manusia yang bersifat menyejukkan dan damai bukan sebaliknya. Jadi, hakikatnya pengetahuan itu haruslah objektif, artinya harus dapat dir asakan dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia.‖ Lihat, Suharyanta dan Sutarman, ―Relevansi Epistemologi Keilmuan Integratif-interkonektif Amin Abdullah bagi Ilmu Pendidikan Islam,‖ Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012: hlm. 55-76, dalam http:www.aljamiah.orgmukaddimahindex.phpmukarticledownload66, didownload tanggal 18 Februari 2015. 51 Swerdlow, Thomas S. Kuhn 1922-1996, hlm. 5-13. 52 Yusuf Suyono, ―Studi Perbandingan Risālat al-Tauhīd dan The Reconstruction of Religious Thought in Islam ,‖ Disertasi Doktor, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005, hlm. 13-14, dalam http:digilib.uin-suka.ac.id143501BAB20I,20V,20DAFTAR20PUSTAKA.pdf, diakses tanggal 18 Februari 2015. Yogyakarta: LK iS, 2005. Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LK iS di web: http:lkis.co.idindex.php?option=com_virtuemartpage=shop.product_detailsflypage=flypage_new.tplproduct_id=488 ancaman krisis, bahkan anomali keganjilan sekalipun. Dengan demikian, akidah Islam harus dijaga secara terus menerus oleh komunitas Muslim agar terhindar dari kritik dan penyimpangan. Asumsinya, agama Islam rukun Islam dan rukun iman adalah doktrin atau dogma yang harus ditanamkan secara kuat dan kokoh pada generasi umat Islam melalui pendidikan. Di satu sisi lain, pendidikan Islam bukanlah dogma sehingga ia pantas dimasukkan pada jajaran ilmu yang berpeluang untuk direvolusi. Pada akhirnya, fungsi agama dalam pengembangan PAI adalah sebagai pemandu periset komunitas ilmiah dan pelaku pengembangan. Oleh sebab itu, kepercayaan tentang Islam sebagai agama yang kebenarannya bersifat mutlak, tak tergantikan, dan tidak terikat oleh tempat maupun waktu harus mendarah daging serta didakwahkan secara turun-temurun. Hal penting lain yang perlu ditegaskan adalah bahwa Islam bukanlah sebuah paradigma. Melainkan, pemahaman dan pengalaman umat Islam tentang agama Islamlah yang disebut sebagai paradigma. Fungsi Islam adalah sebagai pedoman mutlak umat Islam dalam membangun paradigma. Sedangkan paradigma bermanfaat memandu umat Islam dalam memahami teks, mengamalkan, dan mengembangkan peradaban serta kehidupannya. Tentu, salah satu diantaranya pengembangan pendidikan Islam. Dari itu, maka pemikiran Kuhn dalam pengembangan PAI dapat disejajarkan paralel dengan konsep agama Islam secara historis dan nilai yang mengusung semangat pembaharuan 53 –termasuk di dalamnya ―discovery‖ dan ―invention‖— di segala tempat dan waktu. Oleh karena itu, pengembangan PAI bukanlah perbuatan dosa bahkan bisa bernilai ibadah bila diniatkan sepenuhnya untuk mencari rida Allah dan mengesakan-Nya. Asumsinya, seseorang yang melakukan pengembangan PAI dengan tetap berteguh mengesakan Allah SWT, pasti menjadikan pengembangan itu sebagai upaya untuk mendekatkan diri pada-Nya.

2. Nilai-nilai Dasar Pengembangan Pendidikan Agama Islam