Reinterpretasi Ayat Kauliyah dalam Pengembangan PAI

Yogyakarta: LK iS, 2005. Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LK iS di web: http:lkis.co.idindex.php?option=com_virtuemartpage=shop.product_detailsflypage=flypage_new.tplproduct_id=488 lapangan. Hal ini terjadi karena mereka ―terpenjara‖ oleh aktivitas rutin, sehingga mereka tidak menyadari munculnya anomali-anomali yang hadir dalam wilayah ―ilmu pengetahuan normal.‖ Hanya kalangan terbatas, yang umumnya para pengamat, peneliti, dan kritikus yang mengetahui di mana adanya anomali-anomali tersebut. Selain itu, ia menegaskan bahwa pergeseran paradigma dalam wilayah kebudayaan dan peradaban –atau menurut penulis pada lingkup kecil adalah lembaga pendidikan — harus melalui media dialog peradaban. Bukan lewat ―benturan peradaban‖ atau benturan kebudayaan yang selama ini sering-sering didengungkan. Dengan proses dialog yang bersifat terbuka serta proses take and give antar berbagai peradaban, maka proses pergeseran paradigma akan berjalan wajar, alami, dan menguntungkan kedua belah pihak. Serta tidak mengakibatkan gejolak sosial yang cenderung negatif. 55 Dari pernyataan itu, semestinya nilai-nilai dasar ditanamkan kepada seluruh pelaku pengembangan PAI. Salah satunya yaitu kepada peserta didik. Diharapkan mereka mampu merubah paradigma lama yang sudah mengalami fase krisis tidak lagi handal dalam memecahkan masalah. Salah satunya paradigma yang cenderung ―pasif-pesimis-permisif‖ diubah menjadi ―aktif-optimis-progesif.‖ Dengan itu peserta didi k akan mempunyai mental ―pembaharu‖ yang tidak mudah ikut arus yang menjurus negatif. Misalnya, melalui penekanan dan pemberian semangat bahwa ―Jika ingin memperoleh sesuatu yang lebih baik harus berusaha dulu, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang- senang kemudian.‖ Bisa juga pemberian motivasi ―Pengembangan diri adalah kewajiban Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari besok harus lebih baik dari hari ini.‖ Teknik pengembangan seperti itu didasarkan dari pandangan sebagian kalangan bahwa gagasan Kuhn merupakan pengetahuan yang bersifat apriori. Artinya, suatu paradigma tidak harus dibangun dari sesuatu yang empiris, tapi bisa dicukupkan pada asumsi-asumsi praduga dasar yang dipegang teguh bersama. Dengan penekanan dan penanaman nilai-nilai dasar secara terus menerus serta menggunakan berbagai metode, diharapkan lambat laun orientasi kehidupan peserta didik berubah. Yakni, yang awalnya hanya ingin menjadi ―figuran‖ dalam kehidupan ini berubah tekat menjadi salah satu bagian dari ―pemain utama‖ kehidupan. Dapat dikatakan, paradigma lama peserta didik diguncang tidak menggunakan cara pendoktrinan secara frontal. Melainkan, dengan cara menggunggah peserta didik supaya bisa menemukan sendiri solusi dari anomali- anomali kehidupan yang diajukan. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai dasar dilakukan secara halus. Khawatirnya, bila diguncang dengan cara pendoktrinan secara langsung bisa jadi peserta didik atau orang tuanya masyarakat akan menentang ―doktrin‖ tersebut. Kendati demikian, tidak serta merta peserta didik diberi kebebasan untuk menemukan ―kebenaran‖ secara liberal. Bagaimanapun otoritas pendidik untuk mendoktrin akidah keislamannya harus tetap ada. Tergantung pada jenjang pendidikannya dan latar belakang kehidupan peserta didik itu sendiri.

3. Reinterpretasi Ayat Kauliyah dalam Pengembangan PAI

Agama Islam merupakan agama yang benar dan sempurna. Oleh sebab itu, tak seorangpun bisa mengadakan pembaruan terhadap teks Islam atau ayat Kauliyah. 56 Akan tetapi yang perlu diperbarui adalah ―paradigma‖ manusia terhadap agama. Serta bukan dinamika al Qur‟an yang harus digugat untuk menghadapi perkembangan zaman. Melainkan, dinamika umat Islam dalam memahami teks al Qur‟an-lah yang harus dimulai dan terus-menerus dilakukan 55 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam: Di Era Postmodernisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cet. III, 2004, hlm. 110-111. 56 Ayat Kauliyah adalah ayat- ayat yang difirmankan oleh Allah SWT dalam bentuk al Qur‘an wahyu yang bersifat tetap mutlak. Manusia wajib bertadabur terhadapnya dengan hati. Lihat, http:menaraislam.comcontentview2091, diakses 25 Februari 2014. Yogyakarta: LK iS, 2005. Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LK iS di web: http:lkis.co.idindex.php?option=com_virtuemartpage=shop.product_detailsflypage=flypage_new.tplproduct_id=488 sepanjang zaman. 57 Pernyataan ini hampir sama maksudnya dengan pandangan Kuhn, bahwa ―kunci utama perubahan revolusioner ini ada pada metodologi. Alam tidak terlalu berubah namun metode pencarian penjelasan akan gejala alam kadang- kadang revolutif.‖ 58 Dengan kata lain, bukan teks al Qur‟an-nya yang dirubah tapi ―metodologi‖ dalam memahami teksnya yang harus dirubah direvolusi. Berdasarkan pemaparan di atas, ketika dalam proses pengembangan PAI ditem ukan ―anomali‖ keganjilan atas paradigma manusia tentang isi al Qur‟an, maka perlu diadakan reinterpretasi terhadap teksnya. 59 Bagaimanapun, tafsir merupakan ilmu, sebagaimana dengan ilmu lainnya. Walaupun tak dapat dinafikkan bahwa konteks dan kualitas ―perumusnya‖ di zaman dulu dengan sekarang tentu jauh berbeda. Proses tersebut dilakukan agar pembelajaran PAI bisa kontekstual dan memiliki nilai praktis bagi masyarakat. Serta tentunya agar PAI tidak dicap bertentangan dengan ilmu pengetahuan lain. Misalnya, bagaimana pendidik PAI bisa menjelaskan keberadaan fosil manusia purba yang nyata- nyatanya memang benar keberadaannya tak terpungkiri. Sedangkan di dalam al Qur‟an secara qath‟i belum pernah ditemukan penjelasan tentang ―keberadaan‖ fosil tersebut. Oleh karena itu, wajar bila ada penafsiran pada ayat-ayat terentu terkait keberadaan fosil. Lebih ekstrim daripada pernyataan itu, Mujtahid menyampaikan ―kritik akal Islam berupaya untuk membongkar mitos pemikiran ijtihad yang sudah tidak relevan dengan dinamika masyarakat sekarang. Dengan demikian, tujuan utama kritik akal Islam adalah membebaskan pemikiran dari segala macam citra dan gambaran yang sempit, karena tidak mungkin bagi akal Islam, berpikir jernih selama citra- citra semacam ini melekat dalam akal mereka.‖ Ia melanjutkan bahwa dengan mengkritik akal Islam hasil pemikiran umat Islam bisa membedakan antara tekswahyu dengan sejarah serta analisisnya. Dengan demikian, seharusnya wahyu diposisikan kembali pada tempat semula yang bersifat transenden. Alasannya, wahyu telah mengalami relasi dengan sejarah manusia yang bermuatan ideologi, politik, dan kepentingan lainnya sehingga mengalami reduksi nilai di dalamnya. Oleh karena itu, semua teologisme termasuk epistemologi seperti fiqh, tafsir, dan sebagainya masih perlu dikritisi dalam konteks hari ini. Bagaimanapun, semuanya merupakan ciptaan manusia, sehingga layak untuk diletakkan di atas ―meja‖ kritisisme. Pada akhirnya, revolusi ilmiah tidak akan hilang dari panggung dunia pemikiran Islam sepanjang dinamika kehidupan ini tetap berlangsung. 60

4. Penggunaan Ayat Kauniah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam