Yogyakarta: LK iS, 2005.
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LK iS di web:
http:lkis.co.idindex.php?option=com_virtuemartpage=shop.product_detailsflypage=flypage_new.tplproduct_id=488
Dapat dikatakan, ilmu pengetahuan kapanpun berpeluang untuk direvolusi. Yakni, ketika paradigma atau teori yang lama bisa menggantikan paradigma yang
sama sekali baru paradigma matangdewasa yang lainnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan akan selalu ada pertandingan paradigma. Kapan pun itu setiap
paradigma pasti rentan terkena ―keganjilan‖ atau penyimpangan anomali dari apa yang dinamakan kenormalan ilmu normal. Di mana paradigma yang paling cocok
dan terbaru akan menggantikan paradigma yang lama. Sebaliknya, ketika paradigma baru tidak cukup matang dan tidak lebih baik dari paradigma lama
maka paradigma lama akan tetap digunakan oleh komunitas ilmuwan. Kalau itu terjadi berakibat perkembangan ilmu pengetahuan tidak berjalan untuk sementara
waktu hingga ditemukan paradigma baru.
3. Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn
Dalam kajian sejarah ilmu pengetahuan, runtutan perkembangannya tidak berdiri sendiri atau terpisahkan satu satu sama lain. Asumsinya, kekuatan ilmu
pengetahuan terletak pada sifat dan mekanisme revolusinya. Di mana, perkembangan ilmu pengetahuan diperoleh bila teori yang ada bisa ditinggalkan
dan sepenuhnya diganti oleh teori yang lebih sesuai. Menurut Kuhn unsur terpenting dalam sebuah perkembangan ilmu adalah adanya masyarakat illmiah
atau komunitas ilmiah. Baik itu dalam lingkungan formal seperti kampus dan lembaga penelitian, maupun lingkungan nonformal seperti kehidupan masyarakat
secara luas. Masyarakat ilmiah menjadi faktor terbentuknya struktur ilmiah baru dan dapat berkembang dalam kurun waktu tertentu. Semua itu tergantung pada
kaidah ilmiah yang berlaku di masyarakat tersebut.
38
Berdasarkan pandangan Kuhn, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner. Yakni, ketika ada peralihahan dari satu paradigma ilmu
pengetahuan ke paradigma ilmu pengetahuan lainnya yang lebih mumpuni. Di mana, di dalamnya
juga diselingi oleh paradigma ―ilmu normal‖ sebagai ilmu yang ―sementara‖ mapan sebagai penjaga peradaban di zaman atau periodenya. Untuk
lebih jelas dan detailnya pembahasan, maka penulis paparkan tahap-tahap perkembangan menurut Kuhn sebagai berikut:
39
1. Fase pra-paradigma, pada tahap ini perkembangan ilmu pengetahuan berada pada episode cukup lama. Di mana penelitian keilmuan dilakukan tanpa arah
dan tujuan tertentu. Pada episode ini, muncul berbagai aliran pemikiran yang saling bertentangan konsepsinya tentang masalah-masalah dasar disiplin ilmu
dan metode apa yang cocok digunakan untuk mengevaluasi teori-teori.
2. Fase ilmu normal, pada masa ini mulai muncul salah satu aliran pemikiran teori yang kemudian mendominasi disiplin ilmu lainnya. D
i mana ―teori‖ ini menjanjikan pemecahan masalah yang lebih handal dan bisa terciptanya masa
depan ilmu yang lebih maju. 3. Fase anomali dan krisis, pada periode ini baik secara praktik ilmiah maupun
teoritis ilmu pengetahuan normal yang ada tidak mampu lagi untuk diandalkan dalam memecahkan masalah yang baru. Kemudian, tatkala masalah yang
begitu sulit dan tidak dapat dipecahkan membuat para ilmuwan menemui jalan buntu. Dari situ muncullah krisis dalam masyarakat ilmiah tersebut. Mereka
mulai meragukan paradigma yang telah ada selama ini. Pada titik jenuh, muncullah ilmuwan yang saling bersaing satu sama lain untuk memecahkan
masalah ―krisis‖ yang mereka hadapi. Dari situ, ilmuwan yang mampu menemukan ilmu atau teori-teori yang digunakan dan diakui oleh komunitas
ilmiahlah yang akan menjadi paradigma baru dalam ilmu pengetahuan.
4. Fase munculnya paradigma baru, di sini ilmuwan sudah mampu memecahkan masalah ―krisis‖ yang dihapadapi pada fase sebelumnya. Awalnya sebagian
komunitas ilmiah tidak menerima meragukan paradigma baru ini. Akhirnya,
38
Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 199.
39
Jena, ―Thomas Kuhn Tentang,‖ Jurnal Melintas, didownload tanggal 23 September 2014.
Yogyakarta: LK iS, 2005.
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LK iS di web:
http:lkis.co.idindex.php?option=com_virtuemartpage=shop.product_detailsflypage=flypage_new.tplproduct_id=488
P1 IN
An Kr
Rev P2
karena bermanfaatnya paradigma baru itu maka perlahan-lahan paradigma baru tersebut diterima.
Agar lebih mudah dalam memahami tahap-tahap perkembangan ilmu pengetahuan menurut Khun, maka perlu diuraikan dalam gambar berikut ini:
40
Pr Pr Pr Pr Pr Pr
Keterangan:
P1 : Paradigma awal yang diterima
IN :
` Ilmu-ilmu normal
An :
Penyimpangan anomali
Kr : Krisis kegagalan P1 dalam menjelaskan secara tetap mengenai
penyimpangan atau An Rev
: `
Menyangsikan P1 sehingga menemukan gagasan baru P2
: Paradigma baru, diharapkan mampu menyelesaikan persoalan- persoalan yang tidak
dapat dipecahkan oleh P1 Pr
: Periode masawaktu
Gambar 2.2 Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Thomas S. Kuhn diadaptasi dari pemaparan Muhaimin
Dari gambar
41
tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mengganti paradigma lama ke paradigma baru diperlukan beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui.
Meskipun –seperti dalam pembahasan sebelumnya– dalam setiap tahapan
periode
42
pada kasus paradigma tertentu masing-masing berbeda masa atau waktu
―prosesnya.‖ Inilah yang berarti bahwa ilmu pengetahuan terikat oleh waktu atau tahapan periode. Artinya,
proses ―pergeseran‖ dari satu periode ke periode lain akan menentukan proses perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sama
seperti revolusi-revolusi di bidang lainnya seperti kasus revolusi pada bidang sosial atau poitik, yang juga membutuhkan waktu. Bahkan, untuk satu jenis revolusi yang
sama membutuhkan sejumlah waktu yang berbeda bila diterapkan di tempat lain. Semuanya tergantung pada paradigma yang digunakan oleh mayoritas
masyarakat.
C. Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn dengan Pengembangan Pendidikan
Agama Islam
Antara paradigma Pendidikan Agama Islam
43
dengan paradigma pendidikan sekuler yang cenderung positivistik sesungguhnya sangat berbeda. Kajian
40
Muhaimin, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Maliki Malang, Pemaparan pada Orientasi Program Studi Mahasiswa Baru Semester Ganjil tahun akademik 2014-2015, tanggal 11 September 2014.
41
Gambar tersebut hampir sama dengan gambar yang dibuat oleh Tobroni. Lihat , Tobroni, ―Paradigma
Pemikiran Islam,‖ diakses tanggal 19 Februari 2015.
42
―Kuhn‟s distinctions between normal science, crisis, and revolution are often misconstrued as a rigid periodization of the development of scientific disciplines. Normal science and crisis are instead ways of
doing science. One or the other may typically predominate within a field at any given time, but they can also coexist
.‖ Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa Kuhn membedakan antara ilmu pengetahuan normal, krisis, dengan revolusi yang sering disalahpahami sebagai pereodiasi rigid kaku
pada pengembangan disiplin ilmu. Di mana, salah satu dari mereka bisa mendominasi lainnya yaitu dari segi waktunya, meski tak jarang satu sama lain juga bisa saling hidup berdampingan dalam satu waktu.
Lihat, Josephrouse, ―Kuhn‘s Philosophy of Scientific Practice,‖ dalam Thomas Kuhn, ed. Thomas Nickles
New York: Cambridge University, 2003, hlm. 113.
43
Berdasarkan pemaparan Sirozi dalam acara AICIS ke-13 di Mataram bahwa agenda konferensi tersebut menekankan gagasan
―pergeseran paradigma‖ untuk studi Islam di Indonesia. Untuk mencapainya diperlukan penggalangan kesadaran kolektif serta pembangunan perspektif umum tentang pentingnya
sebuah gagasan baru. Koferensi itu juga menunjukkan bahwa paradigma baru studi Islam di Indonesia dibutuhkan untuk mengidentifikasi, merefleksikan, dan merepresantasikan pengalaman sejarah,
sosiologis, antropologis, dan budaya sebagai karakteristik utama Islam di Indonesia. Hal itu juga
Yogyakarta: LK iS, 2005.
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LK iS di web:
http:lkis.co.idindex.php?option=com_virtuemartpage=shop.product_detailsflypage=flypage_new.tplproduct_id=488
positivistik salah satunya berparadigma hegemonik dan empiris, sedang PAI salah satunya berparadigma teologis.
44
Perbedaan tersebut menyebabkan PAI di mata positivistik bukan sebagai kajian dari ilmu pengetahuan karena kajiannya tidak
empiris dan tidak memenuhi standar ilmiah dipenuhi unsur metafisika dan transendetal.
45
Hal ini dalam kacamata Kuhn, bukan berarti terpotong bahwa
paradigma dapat dijadikan asumsi atau proposisi, bahkan dari itu bisa menjadi pijakan dalam berbagai kegiatan ilmiah. Selanjutnya ia menjelaskan secara detail:
Berangkat dari konsep tentang paradigma ini lantas melahirkan konsep-konsep turunannya seperti world view pandangan dunia, frame work kerangka kerja,
logical frame work analysis dan mindset. Misalnya, keyakinan bahwa kitab suci merupakan wahyu dari Tuhan dan memiliki kebenaran, lantas dijadikan rujukan
dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku. Pola pikir yang berpedoman pada keyakinan akan kebenaran firman Tuhan, disebut paradigma teologis, yaitu
pandangan dunia dan mindset yang muncul dari sebuah keyakinan teologis, bersumber dari Tuhan.
46
Hampir sama dengan pernyataan Muslih, pada wilayah paradigma sesungguhnya peran ―kesejarahan‖ ilmu pengetahuan menjadi terbukti. Yakni, ada beberapa faktor
lain di luar keilmuan standar ilmiah yang merupakan kesatupaduan dalam membangun ilmu. Misalnya, faktor ekonomi, politik, budaya, dan ideologi. Atas dasar
ini maka semakin terbuka jalan bagi bangunan ilmu pengetahuan untuk menerima
berbagai ―nilai.‖ Termasuk nilai etika-religius sebagaimana yang didamba-dambakan pendidikan Islam. Oleh karena itu, berdasar dari paradigma Kuhnian maka tidak
benar bila semua aktivias pendidikan itu disamaratakan dianggap sama. Bagaimanapun, meski dalam suatu lingkup pendidikan itu berbasis logika, teori, dan
tarekat jalan yang sama tapi masing-masing tradisi organisasi dan pengalaman beragama mengusung paradigmanya sendiri-sendiri. Dengan demikian, wajar
seandainya terdapat perbedaan dalam model pendidikan seperti model pendidikan
menggambarkan bahwa Islam di Indonesia adalah berkarakter pluralistik dan moderat. Oleh karena itu, paradigma baru dibutuhkan untuk kontekstual dan yang relevan dengan karakteristik ini. Dengan
paradigma yang khas tersebut dapat dikembangkan melalui analisis komprehensif dan pemahaman tentang karakteristik unik dari Islam Indonesia. Lebih lanjut, studi Islam tidak dapat dikembangkan hanya
dengan mengadopsi atau meniru paradigma timur tengah atau paradigma Barat. Dalam hal ini, diperlukan studi Islam di Indonesia untuk menggabungkan studi normatif dan empiris dengan pendekatan
multidisipliner. Salah satunya menggunakan metode ilmiah yang diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu sosial modern, ilmu alam, dan kemanusian harus ditelaah secara hati-hati dan dikritisi. Kemudian
dikombinasikan dengan nilai-nilai Islam, sehingga melahirkan model pengetahuan integratif. Yakni, kombinasi ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum atau antara ayat Kauliyah dengan ayat Kauniyah.
Lihat,
Sirozi, ―In Search of a Distinctive,‖ diakses tanggal 23 Februari 2015.
44
Idealnya paradigma teologi tidak hanya pada tataran keilmuan atau materi yang dikaji, akan tetapi menyentuh pada tataran praktis. Harapannya, suatu paradigma yang ―dipegang‖ tidak hanya di dalam
wilayah abstrak saja. Bisa juga suatu paradigma yang ada diakui bersama, oleh oknum pelaku pengembangan pendidikan dimanipulasi manipulasi psikologis. Yakni, sesuatu yang awalnya oleh
paradigma yang ia pegang sesuatu itu adalah haram-buruk menjadi mubah-netral. Untuk memuluskan cara itu perlu pencarian pembenaran-pembanaran, baik secara psikologis, keilmuan, atau ideologi.
Misalnya, seorang kepala sekolah untuk memuluskan agar lembaganya mendapat akreditasi ―A‖ rela menyuap assessor. Dalihnya adalah supaya bisa membuat pendidik dan peserta didik percaya diri ketika
tampil di masyarakat. Contoh lainnya, seorang pendidik yang awalnya bertekad untuk mengabdikan diri secara tulus, pada akhirnya terbawa arus berlomba-
lomba dengan ―menghalalkan‖ segala cara agar mendapatkan tunjangan sertifikasi guru. Bahkan, setelah beberapa tahun karena ada peningkatan
kesejahteraan hidup menyebabkan mereka bertindak negatif. Salah satunya, digunakan untuk selingkuh. Padahal, seharusnya uang rakyat itu difungsikan untuk ―menunjang‖ keprofesionalan pendidik.. Oleh
karena itu, diperlukan pengelolaan dan pengembangan SDM terutama pendidik agar mereka bisa memanajemen uang.
45
―Jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni, tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patok- patok ilmiah secara rigid sebagaimana sains. Di sini [menurut pandangan posivistik] derajat sains
memang menjadi lebih tinggi dari segalanya. Maka pendidikan Islam sebagai pendidikan yang berbasis Islam, akan sangat sulit memasuki diskursusnya [wacana], atau paling tidak perjuangan penuh liku harus
terlebih dulu dilaluinya.‖ Lihat, Muslih, ―Pendidikan Islam dalam,‖ Hunafa: Jurnal Studia Islamika, diakses tanggal 21 Desember 2014.
46
Tobroni, ―Paradigma Pemikiran Islam,‖ diakses tanggal 19 Februari 2015.
Yogyakarta: LK iS, 2005.
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LK iS di web:
http:lkis.co.idindex.php?option=com_virtuemartpage=shop.product_detailsflypage=flypage_new.tplproduct_id=488
salaf ortodoks, khalaf modern, Ma‘arif NU, Muhammadiyah, Gontor, dll. Lahirnya
berbagai model pendidikan ini terkait erat dengan pemahaman keislaman sekaligus pemahaman tentang hakikat ilmu.
47
Ia juga menambahkan bahwa paradigma dalam dunia pendidikan menjadi basis filosofis dan sosiohistoris sekaligus. Dengan demikian, peran dan posisi eksistensi
pendidik ustaz, guru, dan dosen, pengelola penyelenggara, yayasan, organisasi afiliasi, dan sebagainya tidak dapat diabaikan. Bahkan hal itu semuanya menjadi
bagian tak terpisahkan dalam pengembangan keilmuaan dan proses pendidikan. Dari sini dapat dipahami bahwa meskipun metodologi itu penting, akan tetapi bukanlah
segala-galanya,
bagaimanapun ―keberadaan‖ pendidik jauh lebih penting daripada metodologi. Selain itu, dalam perspektif filsafat ilmu kontemporer, setiap model
pendidikan mestinya memberi perhatian lebih secara bersamaan pada tiga elemen filsafat. Di antaranya teori serta metodologi pendidikan, filsafat serta sosiologi
pendidikan, dan teologi serta metafisika pendidikan. Tiga hal itu membawa dunia pendidikan tampil lebih bercirikhas, kokoh, dan tidak pragmatis. Hal ini karena
keyakinan
hingga keimanan
Islam sebagai
dasar teologis-metafisik
penyelenggaranya punya posisi yang kuat. Yakni, sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses pendidikan yang dikembangkannya.
48
Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa pengembangan PAI tidak boleh berhenti sampai di sini. Hal ini karena selama ini ada anggapan bahwa ilmu Islam,
termasuk pendidikan Islam telah mengalami kemandekan atau mencapai titik kulminasi puncak. Artinya, tidak ada yang boleh mengotak-atik metodologi dan teori
dalam PAI. Padahal, pengembangan PAI –dalam artian metodologi dan teorinya-
merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat dewasa ini. Asumsinya, dengan stagnannya segala apa yang ada dalam PAI berimplikasi pada berhentinya
kesadaran intelektual ilmu pengetahuan dan teknologi umat Islam. Di mana umat Islam tidak ada yang mampu menjadi penemu di berbagai bidang IPTEK. Bila
dikaitkan dengan pemikiran Kuhn, maka bisa dikatakan ilmu PAI sekarang ini berada pada fase anomali anomaly. Yakni, masa di mana PAI telah mengalami beberapa
goncangan dan pertanyaan substansial yang menyerangnya. Hal itu terjadi karena ilmu PAI sekarang ini dianggap tidak mampu lagi menopang permasalahan yang
terjadi pada masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan ilmu PAI mutlak dilakukan agar menghasilkan gagasan PAI yang terbaru,
49
yang diharapkan bisa mengatasi segala permasalahan masyarakat luas.
Dengan demikian, dapat disimpulkan paradigma PAI adalah pandangan mendasar yang terkait dengan permasalahan utama dalam suatu ilmu pendidikan,
dengan menggunakan ajaran Islam sebagai asasnya. Bisa dikatakan seseorang boleh menggunakan berbagai sudut pandang kajian ilmu dalam melihat, meneliti,
dan mengetahui permasalahan PAI. Kemudian mencari solusinya dengan menggunakan berbagai pendekatan yang memungkinkan. Di mana semuanya itu,
baik cara mengetahui maupun memecahkan masalahnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, PAI sebagai sebuah ilmu sekaligus keyakinan dan
pengalaman dalam beragama tidak bisa dimiliki atau diklaim oleh komunitas tertentu saja.
50
Implikasinya, siapapun boleh melakukan pengembangan PAI sesuai dengan
47
Muslih, ―Pendidikan Islam dalam,‖ Hunafa: Jurnal Studia Islamika, diakses tanggal 21 Desember 2014.
48
Muslih, ―Pendidikan Islam dalam,‖ Hunafa: Jurnal Studia Islamika, diakses tanggal 21 Desember 2014.
49
Apabila konsep tentang pergeseran paradigma milik Kuhn digunakan untuk memahami pendidikan Islam, maka PAI harus selalu diteliti, dikaji, dan dievaluasi secara berkelanjutan. Bagaimanapun, adanya
permasalahan bidang pendidikan yang senantiasa berkembang mengharuskan adanya pengembangan teori dan metode pendidikan. Lihat
, Tobroni, ―Paradigma Pemikiran Islam,‖ diakses tanggal 19 Februari 2015.
50
Menurut Amin Abdullah sebagaimana ditulis Suharyanta dan Sutarman bahwa ―konsep pendidikan agama yang rahmatan lil al-
„alamin merupakan wahyu Tuhan yang menjanjikan kebahagiaan hidup manusia dengan memberikan konsep aturan kehidupan yang berupa aturan dan nilai-nilai ajaran agama
meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan pengetahuan dalam segala
aspeknya memang berasal dari agama. Agama tidak pernah mengajarkan bahwa wahyu Tuhan hanya
Yogyakarta: LK iS, 2005.
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LK iS di web:
http:lkis.co.idindex.php?option=com_virtuemartpage=shop.product_detailsflypage=flypage_new.tplproduct_id=488
paradigma masing-masing komunitas. Namun sekali lagi, pengembangan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip utama ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam
konteks ilmu PAI maka ajaran Islam yang universal tidak parsial berwenang memandu dan mengkonstruk pengembangan ilmu pendidikan. Secara detail terkait
pembahasan itu, berikut ini beberapa hal terkait pengembangan PAI yang diparalelisasikan dengan pemikiran Kuhn:
1. Patokan Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn Terhadap Pengembangan Pendidikan Agama Islam