Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam

(1)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

(catatan: nomor halaman daftar isi di bawah ini tidak menunjukkan nomor halaman yang sebenarnya. Dalam artian, antara nomor halaman dalam bentuk soft file ini berbeda dengan

nomor halaman dalam bentuk cetakan buku/print out) Daftar Isi

Persembahan ... Kata Pengantar Penerbit ... Kata Pengantar Ahli ... Kata Pengantar Penulis ...

Daftar Isi ... i

Daftar Gambar dan Tabel ... v

Bab I

Pendahuluan

... 1

A. Pengertian Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 2

B. Urgensi Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 4

C. Kerangka Acuan Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 5

D. Ruang Lingkup Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 9

E. Hal-hal yang Terkait dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 11

F. Sistematika Isi Buku ... 14

Daftar Rujukan ... 17

Bab II

Gagasan Thomas S. Kuhn tentang Revolusi Perkembangan Ilmu

Pe-ngetahuan

... 18

A. Konsep Dasar ... 20

1. Nomenklatur yang Digunakan Thomas S. Kuhn ... 20

2. Pengertian Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan ... 26

B. Penelusuran Alam Pikir Thomas S. Kuhn ... 28

1. Konsep Pencarian Kebenaran Vs. Puzzle-solving Milik Thomas S. Kuhn ... 28

2. Posisi Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn ... 29

3. Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn .... 30

C. Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 31

1. Patokan Parelelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn Terhadap Pengembangan Pendi- dikan Agama Islam ... 33

2. Nilai-nilai Dasar Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 34

3. Reinterpretasi Ayat Kauliyah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam . 35

4. Penggunaan Ayat Kauniah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 36

5. Peran Komunitas Ilmiah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 38

D. Penutup ... 39


(2)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

Bab III

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Bera-

gam (

Multiple Intelligences

)

... 43

A. Konsep Dasar ... 46

1. Pengertian Kecerdasan Beragam ... 46

2. Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ... 47

3. Perubahan Paradigma Kecerdasan ... 48

4. Otak sebagai Kunci Utama Kecerdasan ... 50

5. Dasar Hukum Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Beragam ... 51

B. Paradigma Baru Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam ... 52

C. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam yang Ide- al ... 56

D. Penutup ... 64

Daftar Rujukan ... 66

Bab IV Masalah Terorisme dan Pengembangan

Human Security

Melalui

Pendidikan Agama Islam Berbudaya

Nirkekerasan

... 68

A. Konsep Dasar ... 70

1. Pengertian Terorisme ... 70

2. Pengertian Human Security ... 72

3. Pengertian Pendidikan Agama Islam ... 73

4. Tujuan Pendidikan Agama Islam ... 74

5. Melacak Akar Terorisme ... 75

6. Teror Atas Nama Agama ... 77

B. Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan ... 79

1. Pengertian Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan ... 79

2. Agama dan Kekerasan ... 80

3. Urgensi Pendidikan Agama Islam dalam Membangun Budaya Nirkekera- san ... 82

4. Upaya Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan .... 84

C. Pencegahan Terorisme dan Pengembangan Human Security Melalui Pendidikan Agama Islam ... 87

D. Penutup ... 91

Daftar Rujukan ... 93

BAB V Pendidikan Islam di Indonesia: Pesantren, Madrasah, dan Seko-

lah

...

97

A. Konsep Dasar ... 100

1. Bentuk Pendidikan Islam di Indonesia ... 100

2. Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia ... 104

3. Karakteristik Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Seko-lah ... 105

4. Tujuan Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ... 111

5. Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Seko-lah... 112

B. Kecenderungan Masyarakat dalam Memilih Bentuk Pendidikan Islam ... 116

C. Konsep Bentuk Pendidikam Islam yang Ideal ... 117

1. Konsep Pendidikan Agama Islam di Pesantren ... 117

2. Konsep Pendidikan Agama Islam di Madrasah ... 118

3. Konsep Pendidikan Agama Islam di Sekolah ... 119

D. Penutup ... 121

Daftar Rujukan ... 123

BAB VI Pemikiran Tentang Pengembangan Program Studi pada Perguruan

Tinggi Agama Islam

...

126

A. Konsep Dasar ... 128


(3)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

2. Landasan Fondasional Pengembangan Program Studi pada Perguruan Ting-

gi Agama Islam ... 129

3. Landasan Operasional Pengembangan Program Studi pada Perguruan Ting- gi Agama Islam ... 133

B. Langkah-langkah Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam ... 136

1. Pengembangan Program Studi Tipe 1 ... 137

2. Pengembangan Program Studi Tipe 2 ... 137

3. Pengembangan Program Studi Tipe 3 ... 138

C. Menuju Kualitas Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam yang Integratif dan Mandiri dalam Keilmuan ... 138

D. Penutup ... 140

Daftar Rujukan ... 141

BAB VII Penutup

...

143

Indeks

...

144


(4)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

Daftar Tabel dan Daftar Gambar

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kategorisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan ... 6

Gambar 1.2 Langkah-langkah Research and Development Menurut Sugiyono ... 23

Gambar 1.3 Piramida Sistematika Pengembangan PAI Melalui Empat Perspektif ... 31

Gambar 2.1 “BukitParadigma”: Skema Diskontinuitas Perkembangan Ilmu Pengetahuan ... 54

Gambar 2.2 Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Thomas S. Kuhn ... 61

Gambar 3.1 Identifikasi Paradigma Baru Kecerdasan ... 100

Gambar 3.2 Posisi Peserta Didik dalam Bingkai Pendidikan Agama Islam ... 113

Gambar 3.3 Dua Jenis “Makna” Kesuksesan ... 122

Gambar 4.1 Mekanisme Psikologi Teroris dalam Mengkonstruk Pembenaran Diri ... 174

Gambar 4.2 Upaya Pemutusan Mata Rantai Ideologi Teroris Melalui Pendidikan ... 176

Gambar 5.1 Konsumen Fanatik Bentuk Pendidikan Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ... 227

Gambar 5.2 Mekanisme Lama Bentuk Pendidikan Indonesia ... 235

Gambar 5.3 Mekanisme Baru (Sebagai Adaptasi) Sistem Pendidikan Indonesia ... 236

Gambar 6.1 Pola Upgrade Dosen PTAI yang Diambil atau Berasal dari PTU ... 263

Gambar 6.2 Pola Upgrade Dosen PTAI yang Mengajar Mata Kuliah Keagamaan ... 263

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Perbedaan Sistem Pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Barat ... 106

Tabel 3.2 Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam Pembelajaran PAI ... 117

Tabel 3.3 Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam Lingkup Satu Tema (materi) ... 119

Tabel 3.4 Kecerdasan pada Manusia Purba dan Spesises Selain Manusia ... 123

Tabel 3.5 Tipologi Pemikiran Pendidikan Islam dengan Bentuk Tabel ... 125

Tabel 5.1 Kasus Tertentu: Terjadi Kelunturan Identitas/Karakteristik ... 208

Tabel 5.2 Nilai-nilai Karakter pada Sekolah Berbasis Pesantren (SMK Salafiyah Pati Jawa Te- ngah) ... 235

Tabel 6.1 Pengembangan Prodi Berdasarkan Nilai Kesejarahan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Dunia Islam ... 262


(5)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488


(6)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

Mohon maaf di bawah ini hanya potongan dari bagian

buku.

BAB II

GAGASAN THOMAS S. KUHN TENTANG REVOLUSI

PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Oleh: A. Rifqi Amin

Kajian filsafat ilmu, khususnya filsafat ilmu keagamaan Islam bagi pengembangan

Pendidikan Agama Islam1 merupakan kebutuhan mendasar. Yakni, sebagai pisau

analisa dalam menemukan hakikat dan nilai ―kebenaran‖ menurut paradigma2 manusia.

Diharapkan, kebenaran yang menjelma menjadi ilmu pengetahuan dan produknya bisa bermanfaat bagi sendi kehidupan manusia. Oleh karena itu, sebagai awal penguraian (starting point) isi buku ini, memahami terlebih dahulu gagasan Thomas Samuel Kuhn3 dirasa sangat penting. Bagaimanapun, pemikiran kontemporer Kuhn sangat bermanfaat

dalam memahami filsafat ilmu dengan cara yang baru.4 Kendati dapat dipahami bahwa

pemikiran Kuhn bukanlah pemikiran bebas dari kritik. Dengan demikian, mendalami mekanisme revolusi perkembangan ilmu pengetahuan di Bab ini bisa menjadi dasar untuk mengkaji dan mengembangkan sejumlah teori pada Bab-bab berikutnya.

Lebih lanjut, tulisan ini difokuskan pada penelusuran peran Kuhn terkait gagasannya

yang cemerlang. Hasil kemampuan berfikirnya –salah satunya terinspirasi dari

pendalamannya terhadap kajian ―sejarah ilmu .... (terpotong)... ilmuwan agamais

dalam mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan. Lebih gamblangnya, teori Kuhn tentang revolusi ilmu pengetahuan menjadi jawaban atas keraguan dari beberapa kalangan tentang keabsahan integrasi antara dua ilmu. Selain juga, teori Kuhn bisa menjadi kritik atas dominasi luar biasa ilmu pengetahuan, utamanya yang lahir dari

1

Yang dimaksud Pendidikan Agama Islam di sini meliputi pendidikan makro sekaligus pendidikan mikro. Di mana pendidikan makro salah satunya menelaah bidang pendidikan tertentu dalam wilayah luas. Misalnya, lingkup kajiannya pada jenjang pendidikan dasar seperti menelaah SD dan SMP. Tentu ini akan sedikit banyak berbeda bila mengkaji MI (Madrasah Ibtidaiah) dan MTs (Madrasah Tsanawiyah). Oleh karena itu, ilmu yang dibutuhkan untuk pengembangannya pu juga akan berbeda. Yakni, membutuhkan ilmu-ilmu seperti psikologi, sosiologi, manajemen, filsafat, dan beberapa lainnya. Sedangkan pendidikan mikro salah satunya mengkaji pendidikan dalam wilayah sempit. Misalnya, hanya menelaah individunya saja yaitu salah satunya terkait dengan bakat-minat serta perubahan sikapnya, sehingga ilmu yang diperlukan untuk pengembangannya lebih sedikit seperti psikologi saja.

2Mengenai paradigma PAI sebagai salah satu ilmu sosial, maka Tobroni menuliskan bahwa ―Ilmu sosial

menurut Giddent memiliki multi paradigma. Paradigma adalah pangkal tolak (starting point) dan sudut pandang (point of view) dalam mengkaji suatu hal. Perbedaan paradigma bukan hanya akan menghasilkan pemahaman yang berbeda, melainkan juga nilai dan norma berbepa pula. Contoh ekstrem diibaratkan ada beberapa orang buta yang berusaha memahami seekor gajah. Ada yang meraba belalainya, telinganya, kakinya, perutnya dan ekornya, dan lantas masing-masing mendefinisikan gajah. Hasilnya adalah masing-masing memiliki pemahaman, pengertian dan perlakuan berbeda terhadap gajah. Dalam kehidupan sosial, paradigma yang berbeda akan menyebabkan keyakinan, nilai, dan norma yang

berbeda pula.‖ Lihat, Tobroni, ―Paradigma Pemikiran Islam,‖ dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/paradigma-pemikiran-islam/, 1 Desember 2010, diakses tanggal 19 Februari 2015.

3

Thomas Samuel Kuhn penulis buku ―The Structure of Scientific Revolutions,‖ terbit pertama kali tahun 1962. Untuk bukunya edisi kedua tahun 1970 terdapat beberapa penambahan. Buku tersebut telah diterjemahkan lebih dari dua puluh bahasa dan terjual lebih dari satu juta copy (salinan). Lihat, N. M. Swerdlow, Thomas S. Kuhn 1922-1996 a Biographical Memoir (tanpa kota: National Academy of Sciences: 2013), hlm 15.

4

Kuhn telah berjasa besar, terutama dalam mendobrak citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu dan mendobrak citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan yang punya kebenaran seakan-akan sui-generis, objektif. Disamping itu, teori yang dibangun Kuhn mempunyai implikasi yang sangat besar dan luas dalam bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Lihat, Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 210-211.


(7)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488 rahim positivisme. Misalnya, karena kegagalan ilmu pengetahuan sekuler dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang begitu kompleks dan rumit, menyebabkan

timbulnya perubahan ―gagasan.‖ Kemudian, muncullah gagasan baru sebagai pemecah

masalah tersebut, yakni salah satunya pengintegrasian antara agama dengan ilmu. Bisa dikatakan gagasan Kuhn tentang ilmu pengetahuan telah mendobrak persepsi manusia di abad modern ini yang terlalu mengagungkan ilmu pengetahuan. Bahkan mengagungkan rasionalitas manusia-manusia, sehingga dianggap sebagai mahkluk tak

terbatas. Dengan demikian, sangat wajar bila setelah periode Kuhn banyak ilmuwan –

tak terkecuali ilmuwan agamais— terpengaruh oleh gagasannya. Utamanya para

ilmuwan dan pemikir yang resah dengan kegagalan ilmu pengetahuan umum. Yakni, dalam mengatasi adanya bencana sosial dan bencana alam yang salah satunya ditimbulkan oleh produk-produk ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, Kuhn telah menginspirasi masyarakat atau komunitas ilmuwan, terutama terkait konsep

cerdasnya tentang ―revolusi ilmu pengetahuan‖ atau ―pergeseran paradigma (paradigm

shift)‖

Selama ini ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang bebas nilai, harus independen, dan empiris. Namun, menurut Kuhn ilmu pengetahuan tidak akan bisa

bebas dari yang namanya ―paradigma.‖ Kendati disadari atau tidak, paradigma yang

dipegang individu selalu dipengaruhi oleh sesuatu di luar dirinya. Misalnya, organisasi (kelompok) yang ia ikuti, ideologi yang ia anut, alur logika yang digunakan, otoritas (tokoh) yang ia percayai, hingga fanatismenya terhadap sesuatu. Dengan demikian, tidak ada satu ilmu pengetahuan pun yang hanya bisa dijelaskan dengan satu teori saja, terlebih hanya melalui pembuktian empiris. Sebagaimana menurut Tamtowi, bahwa

pergeseran paradigma (shifting paradigm) ―merupakan perubahan yang bersifat mistik

dan tidak bisa dijangkau oleh rasio, maka ia berada dalam bidang psychology of

discovery dan dibangun di atas logic of discovery.‖5 Dengan kata lain, pergeseran

paradigma tidak dapat dipaksan dengan menggunakan logika (rasional),6 karena setiap

paradigma bersifat incommensurable (tidak dapat dibandingkan). Dapat disimpulkan,

revolusi ilmu pengetahuan bisa terjadi karena faktor psikologis, agamais, filosofis,

sosiologis, historis, dan sebagainya yang berada dalam ―wadah‖ paradigma sehingga

ikut berperan mendorong perubahan.

Bagaimanapun, ilmu pengetahuan terbangun tidak hanya karena manusia telah memiliki kesadaran (pencerahan) berpikir dan berlogika. Pengembangan ilmu pengetahuan juga didasarkan pada motif tertentu. Salah satunya karena ingin memperbaiki paradigma lama yang bila tetap digunakan akan membahayakan bagi keadaan terbaru. Hal ini bukan berarti paradigma lama itu adalah sesuatu yang salah, karena bisa disingkirkan oleh paradigma baru. Melainkan, paradigma lama adalah

sesuatu yang dianggap ―benar‖ (bermanfaat) di tempat dan masa kejayaanya terdahulu.

Dapat disimpulkan, peluang adanya gugatan (kegelisahan) atas keganjilan (anomali) yang terjadi pada setiap paradigma senantiasa ada. Di mana, kadang bukti empiris tak

bisa menjawab atas keganjilan itu, tak pelak penggunaan ―nilai kemanusiaan‖

(etika/moral) yang dianggap subjektif lebih tepat untuk digunakan sebagai pemecah masalah.

Sebagai penutup, Bab ini merupakan usaha penulis dalam mencoba menelusuri pokok-pokok pemikiran Kuhn, kemudian dikaitkan dengan pengembangan PAI. Yakni,

tentang pentingnya gagasan ―revolusi ilmu pengetahuan‖ bagi kesejahteraan kehidupan

manusia. Dengan kata lain, akan dibahas sejauh mana peran konsep ―revolusi ilmu

5

Moh. Tamtowi, ―Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos bagi Pengembangan Studi Islam,‖ Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011: hlm 32-41, hlm. 33, dalam

http://www.substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52, didownload 21 Desember 2014.

6

―[pergeseran paradigma] Ini bukan proses rasional; ada langkah imajenatif dan tak terduga ke dalam

yang tidak diketahui, semua dipengaruhi oleh metafora, perumpamaan, dan asumsi yang diambil dari bidang lain. Kuhn tampaknya menyarankan bahwa faktor-faktor estetika, sosial, sejarah, dan psikologi juga terlibat, sehingga cita-cita ―ilmu murni‖ adalah sebuah angan-angan.‖ Lihat, Karen Armstrong, ―Masa

Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme,‖ dalam The Case for God; What Religion Really Means, terj. Yuliani Liputo (Bandung: Mizan Cet. III, 2011), hlm. 456.


(8)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

pengetahuan‖ milik Kuhn tersebut bisa digunakan dalam masa kekinian. Termasuk di

dalamnya akan dibahas tentang penggunaan konsep pergeseran paradigma7 ke dalam

dunia Pendidikan Agama Islam. Mengingat, selama ini PAI masih dianggap masih mengalami banyak permasalahan. Salah satu sebabnya tidak ada perubahan paradigma lama PAI, atau paling tidak perubahan tersebut masih terjadi secara ragu-ragu atau malu-malu. Meski kenyataan sekarang paradigma baru PAI yang belum

―dimunculkan‖ secara masif merupakan sebuah kebutuhan. Oleh karena itu, Bab ini

selain sebagai dasar juga diupayakan menjadi pendorong terhadap pengembangan PAI, sehingga bisa bermanfaat bagi pemecahan masalah kontemporer.

A. Konsep Dasar

1. Nomenklatur yang Digunakan Thomas S. Kuhn

Nomenklatur adalah pemberian nama/kode (tata nama) yang dipakai pada

bidang ilmu tertentu. Biasanya pembentukan nama tersebut disusun sebagai ―ciri

khas‖ bagi objek studi pada cabang ilmu pengetahuan tertentu.8 Pada setiap

gagasan yang dibangun, biasanya Kuhn menggunakan istilah yang butuh pemahaman tersendiri. Hal ini karena beberapa nomenklatur yang diusung oleh Kuhn masih sangat asing bagi masyarakat awam. Bahkan beberapa diantaranya baru dapat dipahami maksudnya secara utuh setelah dijelaskan runtutan mekanismenya. Oleh karena itu, sebelum membahas pokok persoalan secara detail, perlu didalami terlebih dahulu nomenklatur yang sering digunakan oleh Kuhn. Diantaranya sebagai berikut:

a. Paradigma (paradigm)

Paradigma (P)9 adalah bagian dari ―teori‖ lama yang pernah digunakan

serta dipaparkan berdasarkan pengujian-pengujian dan interpretasi dari sikap anggota masyarakat ilmiah yang sudah ditentukan (disepakati) sebelumnya. Selain itu paradigma dipakai sebagai kesuluruhan manifestasi keyakinan, nilai, teknik, dan lain-lain yang telah diakui bahkan dilakukan oleh anggota-anggota

masyarakat ilmiah.10 Dengan demikian dalam paradigma... (terpotong)

Dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan konsensus pemahaman

(penafsiran) masyarakat ilmiah tentang suatu ―pandangan dasar‖ atau cara

berfikir mengenai pokok persoalan pada kajian-kajian ilmu tertentu.11 Paradigma

jugalah yang menjadi ―roh‖ atau sumber kehidupan sehingga suatu teori bisa

terbangun. Tidak hanya itu, paradigma ternyata bisa menjadi gen konstruksi

sosial, sehingga menentukan corak (warna), sifat, dan bentuk ilmu pengetahuan berikutnya.

7

Menurut Kuhn, ide ―pergeseran paradigma‖ diartikan sebagai peralihan secara terus-menerus (berturut-turut) dari satu paradigma ke paradigma yang lain melalui revolusi. Hal itu merupakan hal biasa dalam pola perkembangan saat tercapai ilmu matang. Saat ini, kemungkin studi Islam di Indonesa menunjukkan dinamika. Bahkan mulai mencapai tahap kematangannya. Menurut Khun, perlu ada pergeseran paradigma ketika para ilmuwan menemukan anomali yang belum terpecahkan dan adanya arus paradigma baru yang menantang paradigma lama. Oleh karena itu, disiplin ilmu lama (paradigma lama)

berhak dilempar ke atas meja ―krisis.‖ Lihat, Muhammad Sirozi, ―In Search of a Distinctive Paradigm for

Indonesia Islamic Studies: Some Note From 13th AICIS 2013,‖ dalam

http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY, diakses tanggal 23 Februari 2015.

8

―Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),‖ KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.

9

Huruf ―p‖ kapital dengan font bold (cetak tebal) yang berada dalam tanda baca kurung seperti berikut ini

―(P)‖ merupakan singkatan dari kata paradigma. Untuk pembahasan selanjutnya masih terdapat huruf atau gabungan huruf yang cara penulisannya berpola sama dengan singakatan tersebut. Salah satu

contohnya ―(IN)‖ yang merupakan singkatan dari ilmu pengetahuan normal. Teknik penyingkatan tulisan seperti itu dimaksudkan untuk mempermudah penggambaran gagasan perkembangan ilmu pengetahuan

ke dalam bentuk gambar ―bukit paradigma‖ yang akan dibahas pada halaman berikutnya.

10

Zubaedi, Filsafat Barat: Dari, hlm. 201.

11

Setiap komunitas ilmiah pasti diselimuti atau dipengaruhi oleh paradigma, sehingga paradigma dapat menjadi pemandu komunitas ilmiah dalam memahami segala sesuatu, termasuk memandang fenomena.


(9)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

Menurut Kuhn, apa yang benar menurut paradigma lama belum tentu benar

menurut paradigma baru (adanya relativisme).12 Itu artinya paradigma tidak

selalu terikat pada nilai benar atau salah. Akan tetapi dapat terbimbing oleh

sesuatu yang ―baik‖ atau yang ―terbaik‖ bagi perkembangan ilmu pengetahuan

selanjutnya. Dengan kata lain, penelitian yang akan dilakukan ilmuwan

seharusnya tidak hanya untuk menemukan ―kebenaran‖ dan kecanggihan.

Namun, juga untuk memberikan nilai manfaat bagi kehidupan manusia. Hal ini bukan berarti bahwa paradigma dalam menyelesaikan masalah keilmuan tidak benar-benar objektif. Alasannya, nilai objektifnya tersebut bisa didapat pada penggunaan metode tertentu yang disepakati dan dapat dipahamai bersama oleh masyarakat ilmiah. Pada akhirnya, paradigma akan menentukan metode apa yang cocok lalu disepakati mereka untuk dipakai dalam pemecahan suatu masalah.

―Kuhn juga mengatakan bahwa membandingkan paradigma satu dengan

lainnya bukanlah hal yang mudah karena semua yang menyusun paradigma

sangat berbeda dan tidak analog.‖ Lebih rinci, salah satu prasyarat terjadinya

percepatan pergantian atau pergeseran paradigma dari yang lama menuju yang terbaru adalah melalui dunia pendidikan (akademis). Hal ini karena hampir tidak mungkin illmuwan dapat bekerja secara cepat jika melalui jalur otodidak. Yakni, tanpa menggunakan konsep yang sudah mapan, tanpa latihan, dan dimulai

dengan sesuatu yang masih benar-benar baru (prematur).13 Dapat dikatakan,

paradigma merupakan konstelasi (tatanan) beberapa gagasan yang saling terhubung disertai dengan asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh para ilmuwan

di zamannya.14 Oleh karena itu, antara paradigma lama dengan paradigma baru

tidak bisa saling mengklaim mana yang baik dan yang benar. Bagaimanapun di antara keduanya adalah sama-sama benar dan baik untuk tempat dan zaman yang menaunginya.

Dapat disimpulkan, fungsi paradigma adalah menyuplai ―teka-teki‖ (puzzle)

bagi para ilmuwan untuk dipecahkan. Paradigma juga menyediakan ―alat‖

sebagai solusi bagi... (terpotong)... tersebut dibutuhkan dugaan dasar dan

dugaan teoritis. Di mana pada setiap ―teka-teki‖ karakternya berbeda satu sama

lain. Artinya, paradigma menjadi dasar dalam melihat, memahami, dan

12Basuki, ―Jejak Paradigma Kuhn,‖ diakses tanggal 23 September 2014. 13

Surjani Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains: Menciptakan Masyarakat Sadar Sains (Jakarta: Indeks, 2010), hlm. 123.

14

A paradigm, in Thomas Kuhn‟s view, “is not simply the current theory, but the entire worldvew in which it

exists, and all of the implications which come with it.” This view implies that developing or changing scentific paradigm is not an overnight job for every researchers, because it will take time for investigation, discussion, and dissemmination. It is also not a simple process, because it will involve and require social and political context and construction... It requires long term commitment, intensive researches, and extensive discussions, considering many opinions, and involving scholars of various disciplines. For this reason, a long term planning and action plans will pave the way for thedevelopment of a unique paradigm for Indonesian Islamic studies that can produce open minded attitude and broad understanding of Islamic teachings. In a long term, Azyumardi believes, such a paradigm will develop and promote “moderate Islam

(wasatiyyah Islam)” that can be a model for other Muslim countries.‖ Dari penjelasan tersebut dapat

dipahami bahwa sebuah paradigma dalam pandangan Thomas Kuhn, ―adalah bukan sekedar teori yang

muncul saat ini, tetapi seluruh cara pandang (worldview) ilmuwannya di mana ia eksis (berada), dan semua implikasinya yang datang dengannya.‖ Pandangan ini mengimplisitkan bahwa mengembangkan atau mengubah paradigma lama bukanlah pekerjaan semalam untuk setiap peneliti-peneliti, karena hal tersebut akan memerlukan waktu untuk agenda penelitian, diskusi, dan penyebarannya. Hal itu juga bukan proses yang simple, karena itu akan melibatkan dan memerlukan konteks sosial dan politik... Serta memerlukan komitmem jangka panjang, penelitian intensif, dan diskuksi yang luas, mempertimbangkan banyak opini, dan melibatkan sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Untuk alasan ini, perencanaan jangka panjang dan tindakan terencana akan membuka jalan untuk pengembangan paradigma yang unik pada studi Islam di Indonesia yang dapat memproduk pola tingkah terbuka dan pemahaman orisinil tentang pengajaran Islam. Dalam jangka panjang, Azyumardi percaya, paradigma seperti itu akan berkembang

dan menyebarkan ―Islam moderat‖ yang dapat menjadi model bagi negara-negara Muslim lainnya. Lihat,

Muhammad Sirozi, ―In Search of a Distinctive Paradigm for Indonesia Islamic Studies: Some Note From

13th AICIS 2013,‖ dalam http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY, diakses tanggal 23 Februari 2015.


(10)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

mepersepsi realitas (fenomena). Dengan kata lain, paradigma menjadi wordwiew (cara pandang terhadap dunia) untuk menentukan metode apa yang akan dipakai pada penelitian. Dengan landasan, setiap paradigma selalu berbeda tergantung waktu dan tempatnya. Setiap kelompok atau komunitas ilmiah pun paradigmanya berbeda. Bahkan setiap individu ilmuwan dalam satu

komunitas pun ―paradigmanya‖ dimungkinkan bisa berbeda. Oleh karena itu,

paradigma bisa menentukan sifat dan karakter ilmu pengetahuan yang dibangun. Bisa dikatakan, ilmu pengetahuan merupakan sekumpulan teori-teori yang terbalut dalam sebuah paradigma yang ada pada masing-masing ilmuwan.

b. Ilmu Pengetahuan Normal (normal science)

Yang dimaksud dengan ―normal‖ adalah didasarkan pada aturan atau pola

yang umum, sehingga tidak ada penyimpangan dari suatu norma atau kaidah.15

Bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan normal (IN) merupakan kumpu...

(terpotong)

(terpotong)... normal science ini masyarakat ilmiah tunduk pada paradigma yang paling berhasil dalam memecahkan masalah daripada yang

ditawarkan oleh paradigma lainnya yang dianggap sebagai paradigma gagal

(PG). Keberhasilan di sini, tidak harus sangat berhasil secara sempurna dalam

menangani satu atau sejumlah masalah. Melainkan, dicukupkan pada paradigma tersebut mampu memberikan janji akan keberhasilan yang dapat

ditemukan pada contoh-contoh pilihan dan yang masih belum lengkap.16

Pada lingkup ilmu pengetahuan normal ini, ilmuwan tidak bersikap terlalu kritis terhadap paradigma yang membangun ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini karena mereka kesulitan menemukan kelemahannya, sehingga ilmu

pengetahuan tersebut telah dinyatakan sebagai kesepakatan umum (general

agreement). Namun, lambat laun jika dikaji terus-menerus maka bisa saja

ditemukan sebuah ―keganjilan‖ (anomali) pada ilmu pengetahuan normal ini. Di

mana para ilmuwan tidak lagi mampu menjelaskan dan memecahkan keganjilan tersebut dengan teori-teori lamanya. Selanjutnya, ilmu pengetahuan normal yang dipenuhi oleh anomali ini akan dipertanyakan eksitensinya. Mumpuni untuk tetap digunakan atau bisa digantikan dengan teori lain yang menentangnya.

Hal tersebut menurut Nurkhalis.... (terpotong)... kan bahwa normal

science adalah ilmu pengetahuan atau sekumpulan teori yang sudah mapan. Artinya, di dalamnya terdapat usaha tersistem yang kokoh untuk menjelaskan manfaat paradigma yang digunakan sebagai cara memecahkan masalah. Implikasinya, ia bisa menjadi dasar bagi sejumlah teori lain, baik untuk pengembangan teori maupun untuk pembenaran teori.

c. Anomali (anomalous/anomaly)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ―anomali‖ (An) berarti terjadinya

penyimpangan dan keganjilan dari yang normal.17 Sedangkan menurut Kuhn,

anomali adalah... (terpotong). Implikasinya, ia akan mencari bukti, argumen,

dan teori-teori yang kuat untuk menjaga teori yang dibangunnya agar tetap valid.

Dapat disimpulkan bahwa anomali adalah berkurangnya atau bahkan

hilangnya kemampuan .... (terpotong)...pembaruan dengan menggali

15

―Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014. 16

Yeremias Jena, ―Thomas Kuhn Tentang Perkembangan Sains dan Kritik Larry Laudan,‖ JurnalMelintas

(Jakarta: Departement of Ethics/Philosophy, Atma Jaya Catholic University, 28 Februari, 2012), hlm.

161-181, dalam

https://www.academia.edu/4171062/Thomas_Kuhn_Tentang_Perkembangan_Sains_dan_Kritik_Larry_La udan, didownload tanggal 23 September 2014.

17


(11)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

paradigma baru (menemukan teori baru) agar lebih cocok bagi kehidupan kontemporer.

Namun demikian, syarat terjadinya anomali tidak serta merta hanya karena paradigma yang masih digunakan tersebut mendapat kritik. Bagaimanapun, sanggahan atau kritik saja tidak cukup untuk melemahkan gagasan yang dilontarkan ilmuwan lain. Meski bantahan tersebut menggunakan beberapa teori sebagai argumentasinya. Perlu alasan mendasar dan urgen suatu gagasan harus segera diganti dengan gagasan lain. Salah satunya adalah adanya realitas bahwa masyarakat luas sangat memerlukan solusi baru untuk memecahkan masalah yang baru. Sebagaimana pernyataan terdahulu bahwa

suatu ―penelitian‖ atau kajian bukan untuk mencari kebenaran, akan tetapi

mencari nilai kemanfaatan (untuk memecahkan permasalahan atau puzzle

solving). Alasan lainnya, kritik yang ditujukan pada gagasan (paradigma) lama

harus agresif dalam ―membombardir‖ hal-hal yang paling vital pada objek

terdalamnya.

Hal ini berarti bahwa sampai kapanpun tidak ada paradigma yang terbaik, utuh, dan terlepas dari anomali. Akibatnya, suatu teori atau gagasan yang

dibalut oleh paradigma ―lama‖ akan senantiasa berpeluang diperbarui oleh

paradigma baru. Senyampang paradigma baru tersebut mampu menggempur

lalu menciptakan krisis pada ilmu pengetahuan normal. Dengan kata lain, bila

memenuhi syarat maka secara terus-menerus akan terjadi pergeseran dari satu paradigma ke paradigma lain. Yakni, paradigma yang dipandang lebih cocok digunakan untuk memecahkan masalah terbaru. Dengan demikian, dalam

pengembangan ilmu pengetahuan faktor ―kesadaran‖ dan ketulusan akan

adanya anomali adalah sangat penting. Di mana anomali diawali tidak hanya dengan kritik belaka terhadap gagasan yang ada. Melainkan, mesti ditindak lanjuti dengan penelitian atau kajian mendalam untuk menemukan teori baru sehingga mampu menimbulkan krisis.

Dapat disimpulkan, perbedaan antara ―anomali‖ dengan ―krisis‖ adalah

anomali timbul karena faktor ditemukannya kelemahan dari dalam paradigma lama. Dampaknya, banyak ilmuwan yang meragukan keampuhan paradigma lama dalam memecahkan masalah. Sedangkan adanya krisis karena faktor

serangan dari luar paradigma lama. Yakni, ditemukannya ―tawaran‖ yang lebih

segar oleh paradigma baru dalam memecahkan masalah baru. Bisa dikatakan, anomali menjadi penggugah ilmuwan untuk menawarkan paradigma baru agar anomali yang terjadi segera normal seperti sedia kala. Bila tawaran itu mampu

―menggoyang"atau ―mengubrak-abrik‖ paradigma lama maka inilah yang disebut

dengan keadaan krisis.

d. Krisis (crisis)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ―krisis‖ (Kr) salah satunya

punya arti ―keadaan genting; kemelut,‖ dan ―keadaan suram (tentang ekonomi,

moral, dan sebagainya).‖18 Kata krisis bisa juga berarti pertama ―masa gawat,‖

kedua ―saat genting,‖ dan ketiga ―kemelut, kegentingan, kegawatan.‖19 Secara

detail Nurkhalis menyatakan bahwa krisis.... (terpotong)... paradigma lama

harus diganti dengan kandidat paradigma terbaru (sebagai calon pengganti) atau tidak.

Lebih gamblang, dalam komunitas ilmuwan, Khun menyatakan ada beberapa individu yang lebih kritis dari pada yang lainnya. Mereka lebih peka dan mensinyalir adanya anamoli dalam paradigma yang selama ini dipegang oleh komunitas, sehingga harus ditindaklanjuti dengan usaha penemuan baru.

Di sisi lain, kebanyakan masyarakat ilmiah.... (terpotong)....antara paradigma

18

―Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014. 19


(12)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

satu dengan paradigma lain seperti inilah yang disebut dengan

pertarungan/perbandingan paradigma atau pertentangan paradigma (PP).

Lebih lanjut, ketika menghadapi situasi krisis, para ilmuwan dihadapkan beberapa pilihan yang dilematis. Yakni, akan setia pada paradigma lama dengan berbagai argumentasinya atau menerima paradigma baru. Bisa juga dengan menemukan, mengembangkan, dan merumuskan paradigma lain yang dirasa lebih tepat dalam memecahkan masalah daripada kedua paradigma sebelumnya. Namun, bila dalam perjalanan selanjutnya ternyata paradigma

baru (calon pengganti paradigma lama) tersebut gagal menjaga ―kewibaannya‖

dalam menaungi ilmu pengetahuan maka paradigma lama bisa kembali bangkit lagi. Hal inilah yang disebut dengan penguatan/peneguhan paradigma atau afirmasi paradigma (AP).

Dalam menanggapi fenomena di atas, Kuhn menyatakan ―bahwa ada ....

(terpotong).

e. Revolusi Ilmu Pengetahuan (revolutionary science/scientific revolution)

Revolusi ilmu pengetahuan (Rev) adalah.... (terpotong)....

Dapat disimpulkan, revolusi ilmu pengetahuan adalah manifestasi atau efek yang paling mentok dari ketidakselarasan antara paradigma lama dengan paradigma baru. Yakni, ketika paradigma baru mampu eksis dan diterima oleh sebagian atau bahkan seluruh kalangan ilmuwan. Dengan itu, maka dapat dikatakan suatu revolusi telah terjadi. Namun kalau sebaliknya, maka paradigma lama tetap digunakan atau akan digantikan oleh paradigma baru yang lainnya. Dengan kata lain, dalam revolusi terjadi penjungkirbalikan paradigma yang ada (lama) oleh paradigma baru yang benar-benar berbeda dengan sebelumnya,

baik itu isinya maupun pada metodenya.20 Pada kategori revolusi ilmu

pengetahuan ini sikap kritis, ―kesadaran,‖ dan usaha sungguh-sungguh individu

dan masyarakat ilmiah untuk memecahkan masalah sangat berperan penting. Setalah itu, apabila ada kesepakatan maka akan terjadinya perpindahan komunitas ilmiah, dari komunitas paradigma lama menuju paradigma yang baru. Yakni, memungkinkan ilmuwan untuk mengekspolrasi persoalan baru yang berbeda hasilnya jika tetap menggunakan paradigma lama. Hal ini karena dengan menggunakan paradigma baru mereka seakan-akan ditransformasikan ke wilayah lain. Meski kenyataannya tempatnya tetap pada yang lama. Akan tetapi, karena paradigmanya (perlengkapan) berbeda dari yang lama maka

wilayah tersebut ―tampak‖ berbeda pula dengan sebelumnya. Bahkan, dengan

paradigma baru tersebut ilmuwan mampu menyentuh ―sesuatu‖ yang

sebelumnya tidak pernah mereka sentuh.21 Dari sudut pandang lain, pernyataan

tersebut dirasa terlalu kaku tatkala dibandingkan dengan ungkapan Shuttleworth:

Kuhn originally believed that a paradigm would make a sudden leap from one to the next, called a shift, and he believed that the new paradigm could not be built upon the foundations of the old. Probably the best example of this is in physics. Newton's Laws were an example of a paradigm, and scientists worked upon his principles for centuries. The discovery of the internal structure of the atom started to find holes in the theory, and Einstein provided the 'out of the box thinking' that

20

Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 120.

21Sebagaimana pernyataan Choudhury bahwa ―

with the change in paradigm and a newer way of looking at the world, come about reorganizations and transformations. In such changes, new rules, institutional structures, human convictions and instruments to enforce the new ways of thinking arise.‖ Ia juga

mengutip pendapat Thomas Kuhn yang menyatakan ―It is rather as if the professional community had been suddenly transported to another planet where familiar objects are seen in a different light and are joined by non-familiar ones as well.Lihat, Masudul Alam Choudhury, The Universal Paradigm and the Islamic Word-System: Economy, Society, Ethics, and Science (Singapore: World Scientifc, 2007), hlm. 13.


(13)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

dragged the paradigm in another direction. However, Kuhn later conceded that the process might be more gradual. For example, Relativity did not completely prove Newton wrong, but added to it and adapted it. Even the Copernican revolution was a little more gradual before completely throwing out Ptolemy's beliefs. Taking the Chinese researcher example, there is now a better integration between eastern and western medical philosophies, so the paradigms are merging.22

Dari pernyataan tersebut, dapat dijelaskan bahwa Khun awalnya meyakini

bahwa pergeseran paradigma terjadi dengan adanya ―lompatan‖ secara tiba

-tiba. Ia pun awalnya percaya bahwa paradigma baru tidak bisa dibangun di atas dasar paradigma lama. Namun, Kuhn lantas mengakui bahwa proses revolusi dimungkinkan terjadi dengan bertahap. Contoh yang paling mudah adalah teori relativitas Einstein tidak sepenuhnya menjadikan (membuktikan) bahwa teori Newton salah. Bagaimanapun, dalam teori relativitas juga terdapat penambahan dan adaptasi dari teori Newton. Contoh lainnya adalah ketika peneliti China melakukan integrasi antara filsafat medis Timur dengan Barat dengan cerdas, sehingga terjadi penggabungan paradigma. Oleh karena itu, dalam revolusi ilmu pengetahuan suatu paradigma tidak harus diganti seluruhnya. Akan tetapi

sebagian saja sudah cukup bila dengan ―sebagian‖ paradigma yang diganti tersebut mampu ―mengungguli‖ paradigma lama dalam memecahkan masalah.

Dari semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam revolusi

ilmu pengetahuan tidak ada ―kematangan‖ ilmu atau immatur science (IS). Hal

ini karena setiap kali ilmu pengetahuan berada pada posisi ―matang‖ akan selalu

rentan ditandingi oleh paradigma baru yang lebih menjanjikan. Dengan kata lain, kematangan suatu ilmu dianggap berlaku hanya di zaman (waktu) dan tempat

(ruang) ketika ia masih jaya. Ilmu tersebut tidak akan dianggap ―matang‖ lagi di

zaman dan tempat lain karena paradigma baru ternyata lebih ―matang.‖

Kenyataan ini terjadi disebabkan para ilmuwan dari satu generasi ke generasi lainnya pada dasarnya ingin terus-menerus mengadakan pengembangan. Bahkan, kadang sepenuhnya terjadi penolakan dari hasil temuan

ilmuwan-ilmuwan sebelumnya. Implikasinya, sebuah ―kebenaran‖ yang diakui oleh

ilmuwan zaman sekarang belum tentu akan diakui sebagian atau seluruh kebenerannya oleh ilmuwan masa mendatang.

2. Pengertian Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi berarti perubahan mendasar

dalam suatu bidang tertentu. Sedangkan kata ―perkembangan‖ terkait erat dengan kata ―berkembang‖ yang salah satunya memiliki arti ―menjadi bertambah

sempurna‖ tentang pribadi, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya. Bisa juga

diartikan ―menjadi banyak (merata, meluas, dsb).‖ Sedangkan ilmu pengetahuan

artinya kumpulan berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan tersistem

dengan memperhitungkan sebab serta akibat.23 Kata lain yang biasanya sebagai

pengganti kata ―ilmu pengetahuan‖ adalah sains. Di mana sains berarti pertama

ilmu pengetahuan pada umumnya, kedua pengetahuan sistematis tentang alam

dan dunia fisik, temasuk ilmu tentang makhluk hidup dan benda mati secara detail

(ilmu pengetahuan alam), ketiga pengetahuan sistematis yang diperoleh dari

observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar

atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.24

Dalam pembahasan buku ini disengaja tidak menggunakan kata ―sains‖

sebagai pengganti kata ―ilmu pengetahuan.‖ Alasannya sederhana, karena kata

―sains‖ lebih cenderung pada lingkup kajian ilmu pengetahuan alam dan kurang

22Martyn Shuttleworth, ―

What Is a Paradigm?,‖ dalam https://explorable.com/what-is-a-paradigm, diakses tanggal 23 September 2014.

23

―Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014. 24


(14)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

menekankan ilmu pengetahuan sosial. Adapun, kata ―scientific‖ dalam bukunya

Kuhn yang paling terkenal berjudul ―The Structure of Scientific Revoluions

memiliki arti ―(secara) ilmiah, pendekatan secara ilmiah.‖25 Sedangkan kata ―ilmiah‖

itu sendiri berarti ―bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat

(kaidah) ilmu pengetahuan.‖26 Oleh karena itu, untuk mempertegas diri dari kesan

keperpihakan dengan ―ilmu alam‖27 saja maka dalam buku ini sengaja

menggunakan kata ―ilmu pengetahuan‖ sebagai pengganti dari kata sains.

Pembahasan ini diawali dengan pernyataan Kuhn bahwa revolusi perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak terjadi secara kumulatif atau linier

(kontinu), tapi terjadi secara non kumulatif dan diskontinu.28 Hal ini menunjukkan

perkembangan ilmu pengetahuan bukan berasal dari gabungan beberapa ilmu pengetahuan yang telah ada. Lalu disimpulkan ilmu yang datangnya paling akhir itu adalah yang benar atau yang paling matang. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner. Yakni, terjadi perubahan secara mendasar (terjadi pertentangan) antara paradigma lama dengan paradigma yang

baru.29 Di mana terdapat lompatan-lompatan yang tak teratur dalam proses

kelahiran ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, mekanisme revolusi ilmu pengetahuan dapat disamakan dengan revolusi sosial dan politik.

Bagi Kuhn, penemuan teori tidak menjadi kekuatan pendorong ilmu pengetahuan ke arah kemajuan. Bagaimanapun, ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan kestabilan dan terus menerus ditambah dengan penemuan baru. Akan tetapi, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian selingan yang dimulai dari revolusi intelektual para pemikir. Setelah ada revolusi, konsep baru akan menggantikan konsep ilmu pengetahuan lama, sehingga terjadi pergantian konsep yang berbeda secara terus-menerus. Hal itu akan terus terjadi sepanjang

kehidupan sejarah manusia.30 Dengan demikian, senyampang para ilmuwan dari

generasi ke generasi terus aktif melakukan pengembangan dan pembaruan gagasan, selama itu pula peluang revolusi perkembangan ilmu pengetahuan terus berlangsung.

Kembali ditegaskan, perkembangan ilmu pengetahuan merupakan proses

yang tak menentu, sulit... (terpotong).... tentang mekanisme revolusi

perkembangan ilmu pengetahuan maka perlu dipaparkan skema yang diberi nama Bukit Paradigma dari hasil analisis penulis sebagai berikut:

25

Echols dan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, hlm. 504.

26

―Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014.

27

Perkembangan ilmu pengetahuan bisa terjadi salah satunya ada ketidakpercayaan komunitas masyarakat ilmuwan (komunitas ilmiah) terhadap teori-teori tertentu. Asumsinya, ilmu pengetahuan bisa terbentuk karena senantiasa dibangun atau diisi atas kumpulan beberapa teori. Implikasinya, terdapatnya proses pengembangan ilmu pengetahuan oleh ilmuwan disebabkan adanya proses pengembangan teori-teori yang sudah ada. Tentunya, sebuah teori-teori itu dibangun berdasarkan dari hasil proses tindakan (penelitian) ilmiah. Dengan demikian, pengembangan ilmu pengetahuan harus dilakukan secara komprehensif. Tidak hanya didasarkan pada salah satu aspek ilmu-ilmu alam (sains) atau metode tertentu

saja. Namun juga melihat ―pengaruh‖ ilmu-ilmu sosial yang kemungkinan mendominasi suatu ―teori‖ tersebut.

28

James A. Marcum, Thomas Kuhn‟s Revolution: An Historical Philosophy of Science (New York: Coontinum, 2005), hlm. 68, 75.

29

Basuki, ―Jejak Paradigma Kuhn,‖ diakses tanggal 23 September 2014. 30


(15)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488 Keterangan:

P1 : Paradigma Pertama (ke-1)

IN : Ilmu Pengetahuan Normal

IS : Ilmu pengetahuan yang tak pernah matang/mapan (immature science)

An : Keganjilan (anomali) yang ditemukan pada IN

Kr : Krisis, kegagalan P dalam menjelaskan secara tepat tentang Anomali

Rev : Revolusi, meninggalkan paradigma lama menuju paradigma baru

PP : Pertentangan antar Paradigma (paradigma lama Vs paradigma baru)

P2 : Paradigma ke-2 (paradigma baru yang berhasil menggantikan P1)

PG : Paradigma baru yang gagal menggantikan paradigma lama

AP2 : Afirmasi (bangkitnya) paradigma lama (P2), paradigma baru gagal (PG) dalam

merevolusi

P3 : Paradigma ke-3 (paradigma terbaru yang berhasil menggantikan P2)

PPS : Pergeseran paradigma sebagian (tidak seluruhnya tergantikan oleh paradigma baru)

Gambar 2.1 “Bukit Paradigma”: Skema Diskontinuitas Perkembangan Ilmu

Pengetahuan

Dari gambar di atas dapat disimpulkan, bahwa antar paradigma secara luas tidak saling berhubungan, akan tetapi berdiri sendiri. Kendati harus diaku sebagian

dari ―kaki‖ bukit paradigma terjadi keterkaitan antara paradigma lama dengan

paradigma penggantinya. Di sinilah letak revolusionernya, karena paradigma bertugas membimbing jalannya perkembangan ilmu pengetahuan secara terus-menerus. Dari hal tersebut, dapat dikatakan revolusi perkembangan ilmu pengetahuan adalah perubahan mendasar tentang kumpulan-kumpulan paradigma yang tersusun berdasarkan konteks masyarakat ilmiah (karena paradigma

terbentuk dari konteks masyarakat).31 Artinya, dalam revolusi perkembangan ilmu

pengetahuan terdapat unsur-unsur perubahan secara mendasar bahkan saling

bertolak belakang. Perubahan itu terjadi secara undetermination (tidak tentu

arahnya) dan berjalan dengan mandiri. Hal itu disebabkan karena adanya kegagalan paradigma (isi dan metodenya) yang lama dalam mempertahankan diri dari paradigma baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan bisa dikatakan mengalami perkembangan bila terjadi pergantian paradigma. Meski perlu ditekankan kembali bahwa paradigma lama seringkali memberi inspirasi dan modalitas (nampak di kaki

bukit paradigma terutama pada ―kolong‖ bagian Rev) bagi berkembangnya

paradigma baru.

31

Menurut Wittegenstein sebagaimana dikutip Maksum, arti kebenaran bukan kesesuaian ―teori‖ dengan

data empiris. Namun, kebenaran ditentukan oleh konteks, dalam bingkai linguistik (language-game) dan bingkai sosio-kultur (form of life). Penggunaan bingkai komunitarian ini kemudian dipakai oleh Thomas Kuhn. Bahkan, menurutnya data empiris menjadi data empiris bila ada bingkai itu (theory-ladenness).

Lihat, Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 259.


(16)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488 B. Penelusuran Alam Pikir Thomas S. Kuhn

1. Konsep Pencarian Kebenaran Vs Puzzle-Solving Milik Thomas S. Kuhn

Menurut Kuhn, yang namanya kebenaran tunggal (objektif) itu tidak pernah ada. Karena bagaimanapun konsep kebenaran yang ada sekarang ini dibangun

terdiri atas ―paradigma-paradigma‖ yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat

ilmiah/akademis (ilmuwan). Dengan kata lain, menurut Kuhn kebenaran tunggal

yang dianut positivisme32 merupakan suatu paradigma ilmu pengetahuan yang

tetap mapan karena mendapat dukungan dan dimapankan pihak kalangan

komunitas ilmuwan. Oleh karena itu, ―paradigma‖ merupakan alat yang menjadi

kerangka konseptual dalam memahami ―kebenaran‖ alam semesta. Artinya,

ilmuwan atau masyarakat ilmiah dalam melakukan penelitian tidak bisa lepas dari paradigma. Secara otomatis kebenaran ilmu tidaklah mutlak-tunggal, tapi

relatif-plural, maka ―kebenaran‖ yang ada akan terus-menerus diteliti atau dikritisi oleh

komunitas ilmiah lain.33 Dari sini, sebagian dari kalangan mengatakan dengan

tegas bahwa Kuhn merupakan filsuf penganut relativisme.34 Bahkan disebut

pengusung irasionalisme dalam ilmu pengetahuan.

.... (terpotong) mengembangkan ilmu pengetahuan bukan untuk menemukan

kebenaran, lalu menyalahkan yang ―tidak benar.‖ Akan tetapi penelitian atau

pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan untuk memecahkan masalah sosial.

Dengan kata lain, seringkali ilmuwan ingin atau sedang ―menemukan‖ sesuatu

karena memang pada saat itu masyarakat membutuhkan temuan tersebut untuk

kehidupan mereka yang lebih baik. Implikasinya, saat proses pemecahan ―teka

-teki‖ itu ―kadang‖ metode ilmiah tidak penting. Yang terpenting adalah bagaimana

ilmuwan mampu membangun konsep dari segala sudut. Termasuk di dalamnya

―konteks‖ dan sejarah ilmu pengetahuan yang dapat memecahkan ―teka-teki‖

tersebut, sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.

Dapat disimpulkan, karena ―paradigma‖ masing-masing ilmuwan maupun

paradigma yang disepakati (konsensus) dalam masyarakat ilmiah ikut andil dalam perumusan teori ilmiah (yang diyakini kebenaran), maka subjektivitas memiliki peranan. Nilai subjektivitas muncul bisa berupa pengaruh dari ideologi, psikologis, otoritas, dan fanatisme yang ada pada komunitas ilmiah tersebut. Nilai-nilai

32

Selama ini ilmu pengetahuan berkembang dinaungi oleh paradigma yang dianut oleh positivisme. Yakni, bahwa kebenaran itu harus bersifat mutlak-tunggal (pasti). Di mana, suatu kebenaran (ilmu) bisa diakui keabsahannya bila ilmu tersebut lolos dari ujian verifikasi, standar keilmuan, dan uji kebenaran lainnya. Ciri lainnya adalah suatu ilmu itu harus diperoleh memulai syarat-syarat tertentu, menggunakan prosedur ilmiah, bersifat netral, dan bebas nilai. Implikasinya, ada penolakan atau penerimaan terhadap teori tertentu, sehingga yang ditolak tersebut harus ditinggalkan dan dibuang sepenuhnya. Dengan kata lain,

sesuatu yang tidak bisa ―diraba‖ melalui prosedur ilmiah dinyatakan sebagai sesuatu yang salah dan tidak

bermakna sama sekali. Hal inilah yang ujungnya menyebabkan terjadinya penyeragaman berfikir, bahkan penyeragaman dalam tataran praktik. Bila paradigma tersebut dituangkan dalam dunia PAI maka bisa berakibat pada ketidakabsahannya PAI diakui sebagai sebuah ilmu. Dengan kata lain, menurut positivistik kajian PAI tidak lebih dari gagasan omong kosong yang tidak dapat dibutkikan kebenarannya secara empiris.

33Andri, ―Paradigma Ilmu Thomas Kuhn dan Karl Popper,‖ dalam

https://mhs.blog.ui.ac.id/andri.septian/2010/10/08/paradigma-ilmu-thomas-kuhn-dan-karl-popper/, 08 Oktober 2010, diakses tanggal 23 September 2014.

34―Kebenaran ilmiah itu bersifat relatif dan ilmu pengetahuan perlu terus menerus diadakan penelitian

(research) untuk menemukan kebenaran baru, merevisi dan menyempurnakan temuan yang sudah ada.‖

Lihat, Tobroni, ―Paradigma Pemikiran Islam,‖ diakses tanggal 19 Februari 2015. Selain itu menurut Ben

Dupré menjelaskan bahwa ―Kuhn sendiri berusaha menjauhkan dirinya dari pemahaman relavistik atas karyanya, perhatian tentang bagaimana ilmu pengetahuan berkembang melahirkan keraguan pada gagasan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menemukan secara objektif fakta-fakta yang benar tentang bagaimana segala sesuatu berada di dunia... Pandangan umumnya adalah kebenaran dari sebuah teori ilmu pengetahuan merupakan masalah mengenai seberapa baik teori itu berdiri berdampingan dengan observasi-observasi netral dan objektif tentang dunia. Tetapi bagaimana jika tidak ada fakta-fakta ‗netral‘ dan garis yang tegas antara teori dan data? Bagaimana jika, sebagaimana

dinyatakan oleh karya Kuhn, setiap observasi itu merupakan ‗theory-laden‘ (mengandung banyak teori)?‖ Lihat, Ben Dupré, ―50 Gagasan Besar yang Perlu Anda Ketahui,‖ dalam 50 Big Ideas You Really Need to Know, terj. Benyamin Hadinata (tanpa kota: Esensi, 2010), hlm. 54.


(17)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

subjektivitas inilah yang penulis yakini sebagai salah satu penyebab perkembangan ilmu pengetahun terjadi secara revolusioner bukan secara evolusioner. Meskipun dalam dinamika tersebut diperlukan beberapa waktu yang

berbeda dalam tahap-tahapannya, karena kemampuan dan kecepatan ―perumus‖

paradigma baru berbeda-beda pada tiap zamannya. Dengan demikian ―kebenaran‖

tidak ada yang abadi, karena yang abadi adalah dinamika ilmu pengatahuan itu sendiri beserta perubahan paradigma ilmuwan dari masa ke masa yang disertai dengan interpretasinya.

2. Posisi Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn

Salah satu ciri utama ―konstruk‖ ilmu pengetahuan yang diciptakan Kuhn

beserta aktivitas ilmiahnya adalah tidak mengabaikan peranan sejarah ilmu. Menurutnya, mempelajari sejarah ilmu pengetahuan tak akan bisa lepas dari

memahami dua ―istilah‖ penting. Yakni, pertama discovery yang artinya kebaruan

fakta atau penemuan. Lalu yang kedua invention, artinya kebaruan teori atau

penciptaan. Di mana menurut Kuhn ―penemuan-penemuan‖ (discovery) sebagai

salah satu unsur pembangunan ilmu pengetahuan bukanlah peristiwa-peristiwa

yang dapat diabaikan begitu saja.35 Bagaimanapun sebagian besar penciptaan

(invention)36 teknologi sekarang ini bisa ada karena berkat adanya sejarah ilmu pengetahuan terdahulu. Walaupun sebagian besar penemuan ilmuwan terdahulu

sifatnya masih dasar. Dengan kata lain penciptaan (invention) merupakan bagian

dari tahap-tahap pengembangan atau lebih tepatnya ―pergeseran‖ yang berasal

dari penemuan (discovery) sebelumnya. Dimana ―struktur‖ pentahapannya selalu

berulang dan berpola sama. Yakni, antara discovery dan invention terjadi

keterjalinan yang sangat erat.

Selanjutnya, pernyataan tentang ilmu pengetahuan terikat pada ―sejarah ilmu,‖

berimplikasi pada ilmu pengetahuan juga terikat dengan nilai, ideologi, sosiologis, otoritas, dan latar belakang kehidupan penemunya. Alasannya, mempelajari sejarah secara otomatis akan mempelajari sebanyak-banyaknya lingkup kehidupan yang menyertai tokohnya. Semakin banyak atau lengkap dan komperhensifnya data sejarah maka bisa dikatakan isi kajian sejarah tersebut otentik. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak bisa bebas nilai, utamanya tidak

bisa terbebas dari pengaruh ―paradigma‖ penemu-penemunya yang mereka

peroleh sejak masih kecil hingga dewasa. Implikasi lainnya adalah karena mempelajari sejarah pasti mempelajari ruang dan waktu tentang zaman sebelumnya, maka ilmu pengetahuan juga terikat oleh ruang dan waktu. Itu artinya, bisa saja paradigma sebagai pengkonstruk ilmu pengetahuan belum tentu dapat digunakan pada waktu yang lain. Konsekuensinya, bila ditemukan permasalahan yang berbeda dengan waktu yang berbeda pula, maka penggunaan paradigma lain merupakan kewajiban.

Akhirnya, melalui konsep The Structure of Scientific Revolutions,

sesungguhnya perkembangan ilmu pengetahuan menemui jalan terjal. Selama ini ilmuwan menyembah ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah yang seakan tak

terbantah dan sudah mapan. Kini, dengan nomenklatur.... (terpotong) menurut

kacamata Kuhnian37 bahwa klaim kebenaran pada satu teori yang diyakini ―abadi‖

dan tak tergoyahkan tidaklah tepat. Bagaimanapun suatu saat pasti akan ada revolusi (penjungkirbalikan) ilmu pengetahuan.

35

Thomas S. Kuhn, The Structure of, terj. Tjun Surjaman, hlm. 52.

36

Perbedaan Invetioan dengan Discovery adalah pada hak paten atau hak ciptanya. Di mana untuk

discovery tidak bisa diurus hak patennya karena secara asali ―produk‖ yang ditemukan tersebut sudah

tersedia di alam. Sedangkan invention bisa diurus hak patennya karena ―produk‖ itu adalah murni dari

hasil intelektual penciptanya. Secara detail, kata Invention diserap oleh bahasa Indonesianya menjadi

―invensi.‖ Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata invensi memiliki arti ―penciptaan atau perancangan sesuatu yang sebelumnya tidak ada; reka cipta.‖ Lihat, Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014.

37

Khunian adalah sebutan bagi siapa saja yang menjadi pendukung bahkan pengikut filsafat yang dicanangkan Thomas Samuel Kuhn.


(18)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

Dapat dikatakan, ilmu pengetahuan kapanpun berpeluang untuk direvolusi. Yakni, ketika paradigma atau teori yang lama bisa menggantikan paradigma yang sama sekali baru (paradigma matang/dewasa yang lainnya). Oleh karena itu, dapat dikatakan akan selalu ada pertandingan paradigma. Kapan pun itu setiap

paradigma pasti rentan terkena ―keganjilan‖ atau penyimpangan (anomali) dari apa

yang dinamakan kenormalan (ilmu normal). Di mana paradigma yang paling cocok dan terbaru akan menggantikan paradigma yang lama. Sebaliknya, ketika paradigma baru tidak cukup matang dan tidak lebih baik dari paradigma lama maka paradigma lama akan tetap digunakan oleh komunitas ilmuwan. Kalau itu terjadi berakibat perkembangan ilmu pengetahuan tidak berjalan untuk sementara waktu hingga ditemukan paradigma baru.

3. Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn Dalam kajian sejarah ilmu pengetahuan, runtutan perkembangannya tidak berdiri sendiri atau terpisahkan satu satu sama lain. Asumsinya, kekuatan ilmu pengetahuan terletak pada sifat dan mekanisme revolusinya. Di mana, perkembangan ilmu pengetahuan diperoleh bila teori yang ada bisa ditinggalkan dan sepenuhnya diganti oleh teori yang lebih sesuai. Menurut Kuhn unsur

terpenting dalam sebuah perkembangan ilmu adalah adanya masyarakat illmiah

atau komunitas ilmiah. Baik itu dalam lingkungan formal seperti kampus dan

lembaga penelitian, maupun lingkungan nonformal seperti kehidupan masyarakat secara luas. Masyarakat ilmiah menjadi faktor terbentuknya struktur ilmiah baru dan dapat berkembang dalam kurun waktu tertentu. Semua itu tergantung pada

kaidah ilmiah yang berlaku di masyarakat tersebut.38

Berdasarkan pandangan Kuhn, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner. Yakni, ketika ada peralihahan dari satu paradigma ilmu pengetahuan ke paradigma ilmu pengetahuan lainnya yang lebih mumpuni. Di

mana, di dalamnya juga diselingi oleh paradigma ―ilmu normal‖ sebagai ilmu yang

―sementara‖ mapan sebagai penjaga peradaban di zaman atau periodenya. Untuk

lebih jelas dan detailnya pembahasan, maka penulis paparkan tahap-tahap

perkembangan menurut Kuhn sebagai berikut:39

1. Fase pra-paradigma, pada tahap ini perkembangan ilmu pengetahuan berada pada episode cukup lama. Di mana penelitian keilmuan dilakukan tanpa arah dan tujuan tertentu. Pada episode ini, muncul berbagai aliran pemikiran yang saling bertentangan konsepsinya tentang masalah-masalah dasar disiplin ilmu dan metode apa yang cocok digunakan untuk mengevaluasi teori-teori.

2. Fase ilmu normal, pada masa ini mulai muncul salah satu aliran pemikiran

(teori) yang kemudian mendominasi disiplin ilmu lainnya. Di mana ―teori‖ ini

menjanjikan pemecahan masalah yang lebih handal dan bisa terciptanya masa depan ilmu yang lebih maju.

3. Fase anomali dan krisis, pada periode ini baik secara praktik ilmiah maupun teoritis ilmu pengetahuan normal yang ada tidak mampu lagi untuk diandalkan dalam memecahkan masalah yang baru. Kemudian, tatkala masalah yang begitu sulit dan tidak dapat dipecahkan membuat para ilmuwan menemui jalan buntu. Dari situ muncullah krisis dalam masyarakat ilmiah tersebut. Mereka mulai meragukan paradigma yang telah ada selama ini. Pada titik jenuh, muncullah ilmuwan yang saling bersaing satu sama lain untuk memecahkan

masalah ―krisis‖ yang mereka hadapi. Dari situ, ilmuwan yang mampu

menemukan ilmu atau teori-teori yang digunakan dan diakui oleh komunitas ilmiahlah yang akan menjadi paradigma baru dalam ilmu pengetahuan.

4. Fase munculnya paradigma baru, di sini ilmuwan sudah mampu memecahkan

masalah ―krisis‖ yang dihapadapi pada fase sebelumnya. Awalnya sebagian

komunitas ilmiah tidak menerima (meragukan) paradigma baru ini. Akhirnya,

38

Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 199.

39


(1)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

bung Karno dengan Fatmawati) memang terjadi, akan sangat mempengaruhi keadaan Indonesia dan kemungkinan juga dunia. Artinya, dengan tindakan (perlakukan) sekecil apapun terhadap sesuatu akan berdampak pada perubahan bidang lainnya meski sedikit. Bahkan bukan kemustahilan hasilnya jauh berbeda dari kenyataan sekarang ini. 64

Dapat disimpulkan, runtutan akibat (efek) karena adanya perubahan sekecil apapun di masa lalu –baik yang bersifat kemungkinan maupun yang pasti—tidak bisa terelakkan. Dengan kata lain, perubahan sekecil apapun di suatu zaman dan tempat dapat berefek pada perubahan yang besar untuk beberapa puluh, ratusan, hingga ribuan tahun berikutnya. Begitu pula apa yang manusia lakukan sekarang ini. Sekecil apapun yang diperbuatnya di kala ini bisa berakibat besar di kemudian hari. Inilah penguat pendapat bahwa ―takdir‖ sudah ditentukan secara detail, baik dari segi waktu, tempat, dan dimensinya. Bergeser sedikit saja (waktu dan tempat) maka tentu ―takdir‖ akan mengalami perubahan yang besar. Sistem yang teramat rumit itu memperlihatkan bahwa adanya keterlibatan Maha Cerdas untuk mengatur takdir itu agar tidak bergeser sedikit pun. Asumsinya, bila ada kesalahan dalam mengatur mekanisme takdir (bergeser sedikit saja) bisa berakibat fatal. Yakni, runtutan akibat yang bisa merubah ―nasib‖ dunia ini tidak seperti ―seharusnya.‖

Dari penjelasan di atas, umat Islam sepatutnya meyakini bahwa konsep pengembangan pendidikan Islam suatu saat hasilnya pasti jauh lebih bermanfaat dari ilmu pendidikan sekuler. Utamanya bisa membentuk manusia bermental utuh dan seimbang. Yakni, yang tidak ingin sukses di akhirat saja, atau sebaliknya di dunia saja. Dapat disimpulkan, untuk memenuhi tantangan itu PAI harus bisa membentuk manusia yang ahli dalam ilmu umum tetapi tidak mengalami kegersangan hidup karena ilmunya dipadukan dengan nilai-nilai agama. Bisa juga membentuk ahli agama Islam yang berwawasan dan berbudaya IPTEK, sehingga kajian keagamaannya digunakan untuk mendorong umat Islam memanfaatkan dan menciptakan IPTEK secara benar menurut akidah Islam.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh pemaparan Nurcholis Madjid bahwa penggunaan ayat-ayat Allah yang Kauliyah beserta kauniah perlu dipahami dan diberi interpretasi sesuai dengan kenyataan terkini. Dengan interpretasi beserta reinterpretasi tersebut menjadikan agama mampu dan sejajar atau bahkan posisinya lebih tinggi dan teratas dalam berdialog dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.65 Dengan demikian, pengembangan PAI itu bersifat

open-ended. Artinya, senantiasa terbuka untuk dikritik, direduksi, dan dirubah. Begitu pula pendidikan sekuler maupun pendidikan Islam –dalam wilayahnya sebagai ilmu dan produk (konsep serta benda) atau karya manusia— tidak bisa terus-menerus menghindarkan diri dari ketentuan itu. Di mana, dalam kaidah seperti itu peran ilmu sejarah, psikologi, dan sosiologi sangat penting. Bagaimanapun, pengalaman dinamika pendidikan Islam terdahulu hingga pendidikan Islam sekarang ini sangat bertalian erat. Oleh karena itu, pengembangan PAI tidak bisa berdiri sendiri hanya dengan menggunakan pemahaman (tafsir) manusia terhadap ayat Kauliyah (wahyu). Masih diperlukan kajian PAI di bidang lain yang bercorak interdisipliner. Yakni, kajian mendalam terhadap ayat Kauniah beserta ilmu-ilmu yang menyertainya untuk ikut andil dalam pengembangan PAI.

64

Penjelasan dan pertanyaan tersebut terinspirasi dari chaos theory dan gagasan tentang mekanisme

butterfly effect yang secara tidak sengaja ditemukan oleh Edward Lorenz. Menurut Dupré, dipaparkan

bahwa terdapatnya ―sensitivitas yang mengejutkan dari sistem [kehidupan] terhadap peristiwa-peristiwa

kecil di dalamnya... [selain itu] ketidakmampuan praktisnya dalam mengidentifikasi penyebab-penyebab setiap peristiwa dalam sistem itu. Sungguh, dengan adanya kenyataan bahwa peristiwa-peristiwa yang sangat kecil dapat menyebabkan efek-efek yang besar dan bahwa peristiwa-peristiwa kecil semacam itu

mungkin melampau kekuatan-kekuatan deteksi kita dalam prinsip, maka barangkali akan didapati

kemudian bahwa sistem itu, meskipun sepenuhnya deterministik seluruhnya tidak dapat diramalkan.‖

Lihat, Dupré, ―50 Gagasan Besar, hlm. 227. 65

Nurcholis Madjid, ―Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,‖ dalam Dinamika Pemikiran


(2)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

5. Peran Komunitas Ilmiah dalam Pengembangan PAI

Dalam bahasa Indonesia istilah komunitas ilmiah memiliki padanan kata –yang artinya tidak jauh beda— dengan masyarakat ilmiah, komunitas akademis, dan

masyarakat akademis. Komunitas ilmiah erat kaitannya dengan aktivitas (praktik) ilmiah, metode ilmiah, sikap ilmiah, dan produk (berbentuk teori atau benda) ilmiah. Menurut penulis, sebagaimana hasil pemahaman dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, dapat dirumuskan bahwa komunitas ilmiah PAI memiliki arti sekelompok orang ahli yang aktivitas dan kajiannya terfokus dalam bidang PAI, dengan ciri utamanya memiliki paradigma yang sama terutama terkait praduga (asumsi), nilai, aturan (norma), tujuan, metode (model), dan keyakinan (faith) mereka. Biasanya, komunitas ilmiah PAI saling ―berinteraksi‖ (berargumen) satu sama lain melalui wadah dunia akademis (pendidikan, profesi, dll), media tulis-menulis (jurnal, buku, makalah, laporan penelitian, dll), dan forum ilmiah lainnya. Dengan demikian, tatkala komunitas ilmiah PAI memiliki paradigma yang sama, misalnya ilmu PAI sekarang ini tidak perlu dikembangkan, berdampak suatu pengembangan PAI tidak akan terjadi. Namun, jika ada satu anggota (ilmuwan) komunitas ilmiah yang keluar jalur utama(mainstream) lalu diikuti oleh mayoritas komunitas ilmiah PAI, maka suatu proses pengembangan telah terjadi. Pengembangan PAI dalam bidang tertentu bisa pula terprakarsai adanya aklamasi atau konsensus ―secara alami‖ maupun yang terencana dari mayoritas komunitas ilmiah PAI untuk mengadakan pembaharuan.

Menurut kacamata penulis, suatu komunitas ilmiah PAI pada saat ini telah menunjukkan keberagamannya. Yakni, komunitas ilmiah PAI yang konservatif (tradisional) berfungsi sebagai kritik dan pengerem atas keblabasannya pembaharuan, komunitas ilmiah PAI yang moderat (akomodatif) berfungsi penyeimbang, dan komunitas ilmiah PAI yang liberal (modernis) berfungsi sebagai pembaharu. Di mana, ketiga macam komunitas tersebut saling berdialektika satu sama lain dengan mengajukan argumen supaya gagasan mereka diterapkan di ranah nyata. Implikasinya, karena paradigma dari ketiga jenis komunitas ilmiah PAI itu berbeda, mengakibatkan masing-masing teori yang dibangun (dikembangkan) akan berbeda pula. Selain itu bisa jadi metode, tujuan, nilai, dan sebagainya yang mereka gunakan dalam ―memahami‖ PAI pun akan berbeda. Oleh sebab itu, tidak mengherankan ketika cara pandang sekaligus perlakukan mereka terhadap PAI juga tidak sama. Apabila perbedaan tersebut tidak ada titik temu (kesepakatan) maka menjadi suatu kepastian adanya beberapa varian ilmu PAI versi konservatif, paradigma akomodatif, dan liberal. Serta, tidak menutup kemungkinan adanya varian-varian lain yang salah satunya merupakan sintesis dari beberapa model tersebut.

Dapat dikatakan, peran penting komunitas ilmiah dalam pengembangan PAI adalah sebagai sumber paradigma, sehingga apapun hasilnya dapat dijadikan panduan bagi praktisi PAI. Dengan kata lain, pengembangan PAI –utamanya dalam scope luas— tidak akan bisa berlangsung baik tatkala tidak didukung mayoritas komunitas ilmiah. Meski sekalipun pengembangan itu hanya pada wilayah instruksional (pembelajaran di kelas) tetap membutuhkan ―penguat‖ dari komunitas ilmiah. Bagaimanapun, kemampuan dan wawasan mayoritas pendidik bisa berkembang karena adanya ―paradigma‖ yang diusung oleh komunitas ilmiah PAI. Yakni, paradigma tersebut mereka dapatkan ketika membaca buku, mengikuti seminar, diklat (workshop), dan tentunya juga paradigma yang berasal dari kampus ketika mereka masih proses kuliah. Oleh karena itu, permasalahan dalam dunia PAI harus diselesaikan oleh ahlinya, terlebih lagi adanya kesepakatan dari komunitas ilmiah PAI. Ibaratnya, seorang yang sakit gigi akan sangat kurang optimal penanganannya ketika paradigma pengobatan yang digunakan menggunakan paradigma dokter umum. Penanganan dan penyembuhannya akan bisa berjalan baik dan berefek samping paling sedikit kalau ditangani oleh dokter gigi.


(3)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

Dapat disimpulkan, keberadaan komunitas ilmiah PAI merupakan cermin bagi dunia pendidikan Islam. Apabila komunitas ilmiahnya aktif dalam mengadakan pengembangan PAI secara positif dan konsisten, maka lambat laun akan menghasilkan proses pendidikan Islam yang baik dalam segala aspeknya. Sebaliknya, ketika komunitas ilmiah PAI tidak peka (sensitif) terhadap perubahan masyarakat dan merasa perlu mempertahankan paradigma lama, dampaknya proses pendidikan Islam akan mengalami stagnansi. Hasilnya, generasi umat Islam tidak akan memiliki perbedaan yang jauh dengan generasi-generasi sebelumnya dalam mengatasi masalah. Padahal, paradigma umat Islam terdahulu belum tentu handal untuk digunakan dalam pemecahan masalah di masa kini. Oleh karena itu, ―regenerasi‖ komunitas ilmiah PAI perlu terus dilakukan dan dikembangkan. Alasannya, tanpa adanya komunitas ilmiah PAI yang berkualitas, maka sebuah paradigma ―berkualitas‖ tidak akan pernah ada. Merekalah yang berperan memilihara bahkan seharusnya juga mengembangkan ilmu pengetahuan. Secara moral, mereka adalah pengemban tugas penting untuk membawa umat Islam menyusul dari ketertinggalan yang jauh hingga akhirnya bisa mendahului. Pada akhirnya, umat Islam mampu mendukung bahkan pantas ikut serta aktif dalam memajukan negara Indonesia.

D. Penutup

Dari semua pembahasan sebelumnya dapat simpulkan bahwa gagasan ―paradigma‖ juga ―revolusi‖ ilmu pengetahuannya telah membuka jalan lebar bagi segala macam ilmu untuk ikut serta dalam pengembangan diri. Bagaimanapun, Allah SWT telah memberi dan menunjukkan berbagai ―fenomena‖ kehidupan, sehingga tugas ilmuwan adalah ―membuat‖ teorinya. Termasuk di dalamnya ―ilmu‖ Pendidikan Agama Islam yang selama ini dianggap sebagai ilmu dogmatis yang tidak dapat dianggap (tidak memenuhi syarat) sebagai ilmu pengetahuan.

Ilmu Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu ―alat‖ agama Islam untuk mengembangkan ajarannya perlu diinovasi dan diperbarui. Yakni, salah satunya dengan cara reinterpasi atau penafsiran ulang terhadap sebagian ―paradigma‖ lama yang dipandang sudah tidak mampu lagi memecahkan masalah kekinian. Dengan kata lain, bila melihat konteks kehidupan masyarakat sekarang ini kebutuhan terhadap revolusi perkembangan ilmu pengetahuan Pendidikan Agama Islam merupakan hal yang mendesak.

Ide-ide Kuhn tersebut memang di satu sisi oleh kalangan positivistik tidak bisa dikatan ilmiah. Namun, berkat ide-ide yang cermelangnya tersebut, Khunian bisa menyentuh konteks masyarakat yang tidak bisa dijangkau oleh kaum positivistik. Misalnya, apakah kaum positivistik bisa menyentuh aspek sosiologis, psikologis, dan kepercayaan yang menancap kuat (benar-benar ada) pada suatu fenomena secara tepat dan mendalam. Selain itu dari gagasan Khun tersebut, sebenarnya ilmuwan diajak untuk berfikir kritis. Di mana, dengan sikap kritis itu kemungkinan besar intensitas perkembangan ilmu pengetahuan akan berjalan dinamis sesuai zamannya.


(4)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

Daftar Rujukan

(terpotong)....

Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam: Di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Cet. III, 2004.

Andri, ―Paradigma Ilmu Thomas Kuhn dan Karl Popper,‖ dalam https://mhs.blog.ui.ac.id/andri.septian/2010/10/08/paradigma-ilmu-thomas-kuhn-dan-karl-popper/, 08 Oktober 2010, diakses tanggal 23 September 2014.

Armstrong, Karen. ―Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme,‖ dalam The Case for God; What Religion Really Means, terj. Yuliani Liputo. Bandung: Mizan Cet. III, 2011.

... (terpotong)...

Basuki, Dian. ―Jejak Paradigma Kuhn,‖ dalam

http://indonesiana.tempo.co/read/21561/2014/09/05/desibelku.1/jejak-paradigma-kuhn, 05 September 2014, diakses tanggal 23 September 2014.

Choudhury, Masudul Alam. The Universal Paradigm and the Islamic Word-System: Economy, Society, Ethics, and Science.Singapore: World Scientifc, 2007.

Dupré, Ben. ―50 Gagasan Besar yang Perlu Anda Ketahui,‖ dalam 50 Big Ideas You Really Need to Know, terj. Benyamin Hadinata. Tanpa kota: Esensi, 2010.

Echols, John M.dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2013.

Http://menaraislam.com/content/view/209/1/, diakses 25 Februari 2014.

Jena, Yeremias. ―Thomas Kuhn Tentang Perkembangan Sains dan Kritik Larry Laudan,‖ Jurnal Melintas (Jakarta: Departement of Ethics/Philosophy, Atma Jaya Catholic

University, 28 Februari, 2012), hlm. 161-181, dalam

https://www.academia.edu/4171062/Thomas_Kuhn_Tentang_Perkembangan_Sa ins_dan_Kritik_Larry_Laudan, didownload tanggal 23 September 2014.

Josephrouse, ―Kuhn‘s Philosophy of Scientific Practice,‖ dalam Thomas Kuhn, ed. Thomas Nickles. New York: Cambridge University, 2003.

Kosim, Mohammad. ―Menyoal Islamisasi Sains di Madrasah (Studi Atas Kandungan Agama Islam dalam Buku Ajar Sains di Madrasah Aliyah),‖ Annual International Conference on Islamic Studies Chapter I: Religion & Science: Integrasion

Through Islam Studies, hlm 109-124, dalam

diktis.kemenag.go.id/aicis/file/dokumen/114162031651650DIES.pdf, diakses tanggal 18 Februari 2015.

Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions, terj. Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya Cet. VII, 2012.

Madjid, Nurcholis. ―Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,‖ dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.


(5)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488 Maksum, Ali. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme.

Jogjakarta:Ar-Ruzz Media, 2008.

Marcum, James A.Thomas Kuhn‟s Revolution: An Historical Philosophy of Science. New York: Coontinum, 2005.

Muhaimin, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Maliki Malang, Pemaparan pada Orientasi Program Studi Mahasiswa Baru Semester Ganjil tahun akademik 2014-2015, tanggal 11 September 2014.

Mujtahid, ―Islam dan Nalar Ilmiah,‖ dalam

http://old.uin- malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1943:islam-dan-nalar-ilmiah-2&catid=35:artikel&Itemid=210, 12 Februari 2011, diakses tanggal 18 Februari 2015.

Muslih, Mohammad. ―Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat Ilmu,‖ Hunafat: Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No. 1, Juni 2011: hlm. 53-80, ISID Gontor Ponorogo, dalam http://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/84/75, diakses tanggal 21 Desember 2014.

Nurkhalis, ―Konsep Epistemologi Paradigma Thomas Kuhn,‖ Jurnal Subtantia, vol. 14, No. 2, Oktober 2012 (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry), hlm. 210-223, dalam

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265995&val=7080&title=KON

SEP%20EPISTIMOLOGI%20PARADIGMA%20THOMAS%20KUHN, didownload

tanggal 21 Desember 2014.

Saefuddin, Ahmad Muflih. ―Pembaharuan Pemikiran Islam: Sebuah Pengantar,‖ dalam Percakapan Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1991.

Sirozi, Muhammad. ―In Search of a Distinctive Paradigm for Indonesia Islamic Studies:

Some Note From 13th AICIS 2013,‖ dalam

http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY, diakses tanggal 23 Februari 2015.

Shuttleworth, Martyn. ―What Is a Paradigm?,‖ dalam https://explorable.com/what-is-a-paradigm, diakses tanggal 23 September 2014.

Suharyanta dan Sutarman, ―Relevansi Epistemologi Keilmuan Integratif-interkonektif Amin Abdullah bagi Ilmu Pendidikan Islam,‖ Mukaddimah, Vol. 18, No. 1, 2012:

hlm. 55-76, dalam

http://www.aljamiah.org/mukaddimah/index.php/muk/article/download/6/6, diakses tanggal 18 Februari 2015.

Suyono, Yusuf. ―Studi Perbandingan Risālat al-Tauhīd dan The Reconstruction of Religious Thought in Islam,‖ (Disertasi Doktor, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005), hlm. 13-14, dalam http://digilib.uin-suka.ac.id/14350/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf, diakses tanggal 18 Februari 2015.

Swerdlow, N. M. Thomas S. Kuhn 1922-1996 a Biographical Memoir. Tanpa kota:

National Academy of Sciences: 2013.

Tamtowi, Moh. ―Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos bagi Pengembangan Studi Islam,‖ Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011: hlm


(6)

(Yogyakarta: LKiS, 2005).

Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488

http://www.substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52, didownload 21 Desember 2014.

Tobroni, ―Paradigma Pemikiran Islam,‖ dalam

http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/paradigma-pemikiran-islam/, 1 Desember 2010, diakses tanggal 19 Februari 2015.

Wonorajardjo, Surjani. Dasar-dasar Sains: Menciptakan Masyarakat Sadar Sains. Jakarta: Indeks, 2010.

Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.