9
2.7 Hubungan Unsur Cuaca dengan
Kebakaran Lahan Gambut 1.
Suhu udara, suhu udara bergantung pada
intensitas panas atau penyinaran matahari. Daerah-daerah dengan suhu tinggi
akan menyebabkan cepat mengeringnya bahan bakar dan memudahkan terjadinya kebakaran.
2. Kelembaban udara, kelembaban udara
disekeliling bahan bakar sangat menentukan potensi kebakaran, makin sedikit kadar air udara
kelembaban nisbi kecil, semakin mudah bahan bakar mengering maka semakin besar potensi
lahan yang terbakar. 3.
Curah hujan, daerah dengan curah hujan tinggi berpengaruh terhadap kelembaban
dan kadar air bahan bakar. Bila kadar air bahan bakar tinggi, akan sulit terjadi kebakaran.
Pengaruh curah hujan akan jelas terlihat pada penetapan indeks kekeringan. Bila curah hujan
tinggi indeks kekeringannya rendah dan akan terjadi sebaliknya bila curah hujan rendah maka
indeks kekeringannya tinggi. 4. Angin,
angin mempengaruhi
kecepatan pengeringan bahan bakar, memperbesar jumlah
oksigen yang tersedia, sebagai agen dalam proses pemanasan dan dapat menentukan arah
meluasnya kobaran api yang searah dengan tiupan angin. Lereng yang terbakar akan
menambah kecepatan tiupan angin. Namun pada malam hari terutama dini hari cuaca dingin,
kelembaban udara tinggi serta tiupan angin lemah, menyebabkan meluasnya kobaran api
lambat JICA, 2000.
Daerah dengan curah hujan tinggi berpengaruh terhadap kelembaban dan kadar air
bakar. Bila kelembaban dan kadar air bahan bakar tinggi akan sulit tejadi kebakaran.
Temperatur udara tergantung terhadap intensitas panas atau penyinaran matahari. Daerah-daerah
dengan temperatur tinggi akan menyebabkan bahan bakar cepat mongering dan mudah
terbakar Dirjen PHPA 1994. Suhu bahan bakar merupakan salah satu faktor yang mengontrol
kemudahan bahan bakar terbakar dan menentukan tingkat kebakarannya. Suhu dicapai
melalui penyerapan radiasi matahari secara langsung dan konduksi dari lingkungan
termasuk pada udara yang menyelimutinya. Suhu udara merupakan faktor yang selalu
berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahannya terbakar, dan sekaligus
sebagai faktor cuaca yang penting Chandler et al. 1983. Kelembaban relatif didefinisikan
sebagai rasio antara kandungan air dalam udara pada suhu tertentu dengan kandungan air
maksimum yang dapat dikandung udara pada suhu dan tekanan yang sama.
Cuaca api didefinisikan sebagai kondisi cuaca yang mempengaruhi awal terjadinya
kebekaran dan sifat-sifat kebakaran atau pengendalian kebakaran. Musim kebakaran
adalah jangka waktu tertentu dimana kebakaran terjadi, menyebar dan menybabkan kerusakan
yang cukup parah. Sehingga memerlukan organisasi pengendali kebakaran Davis 1973.
Daerah yang hanya memiliki dua musim yang jelas, yaitu musim hujan dan musim kemarau
seperti di Indonesia, musim kebakaran akan terjadi pada musim kemarau Suratmo 1985.
Cuaca dan iklim merupakan faktor yang menentukan kadar air dan bahan bakar
hutan, terutama peranan hujan. Pada musim kemarau, kelembaban udara menentukan kadar
air bahan bakar. Berdasarkan periode musim kemarau, Indonesia yang beriklim tropis musim
kemarau jatuh pada bulan Juni sampai September, sedangkan musim penghujan jatuh
pada bulan Desember sampai dengan Maret dengan musim transisi diantaranya. Kebakaran
lahan pada umumnya jatuh pada musim kemarau. Berikut ini adalah sejarah kebakaran
lahan terkait dengan kondisi cuaca pada musim kemarau yang berkepanjangan. Kebakaran hutan
dan lahan gambut di wilayah tropika terutama di Asia Tenggara sudah terjadi selama 20 tahun
terakhir ini. Kebakaran tersebut terjadi umumnya selama musim kering yang terimbas
oleh periode iklim panas atau dikenal sebagai ENSO. Periode panas ini dapat terjadi setiap 3–
7 tahun, dan lama kejadiannya dari 14 bulan hingga 22 bulan Singaravelu 2002. Pemanasan
ini biasanya bermula pada bulan Oktober, terus meningkat ke akhir tahun dan berpuncak pada
pertengahan tahun berikutnya.
Untuk mempertegas keterkaitan periode iklim panas ENSO dengan peristiwa
kebakaran hutan dan lahan, Sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, kebakaran hutan
tropika basah di Indonesia diketahui terjadi sejak abad ke-19, yakni di kawasan antara
Sungai Kalinaman dan Cempaka sekarang Sungai Sampit dan Katingan di Kalimantan
Tengah, yang rusak akibat kebakaran hutan tahun 1877. Statistik Kehutanan Indonesia telah
mencatat adanya kebakaran hutan sejak tahun 1978, meskipun kebakaran besar yang diketahui
terjadi pada tahun 19821983 telah menghabiskan 3,6 juta ha hutan termasuk sekitar
10
500.000 ha lahan gambut di Kalimantan Timur Page et al. 2000; Parish 2002. Selanjutnya
pada tahun 1987 kebakaran hutan dalam skala besar terjadi lagi di 21 propinsi terutama di
Kalimantan Timur, yang terjadi bersamaan dengan munculnya periode iklim panas ENSO,
sehingga sejak saat itu timbul anggapan bahwa kebakaran hutan adalah bencana alam akibat
kemarau panjang dan kering karena ENSO. Kemudian kebakaran besar terjadi lagi pada
tahun 1991, 1994 dan 1997 di 24 propinsi di Indonesia. Kebakaran selama musim kering
pada tahun 1997, telah membakar sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia BAPPENAS
1999, termasuk 750.000 ha di Kalimantan. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997
dinyatakan sebagai yang terburuk dalam 20 tahun terakhir. Atas dasar rekaman sejarah
tersebut di atas, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia berulang setiap lima tahun, yang
sangat berkaitan dengan periode iklim panas ENSO rata-rata 5 tahun.
2.8 Sifat