Tujuan Penyebab Kebakaran Lahan Gambut

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lahan gambut merupakan salah satu tipe lahan basah yang unik yang dimiliki oleh Indonesia. Lahan gambut memiliki potensi besar yang mendukung kehidupan manusia serta alam sekitarnya. Lahan gambut bermanfaat bagi pendukung segala aspek kehidupanhayati, lahan gambut juga dapat bermanfaat bagi sistem hidrologi lingkungan dan dapat mempengaruhi iklim global apabila ditinjau dari kemampuan lahan gambut dalam menyerap dan menyimpan karbon. Saat ini telah terjadi degradasi luasan lahan gambut di Indonesia. Penyebab dari pengurangan luasan ini dapat berupa kejadian alamiah dan aktivitas manusia. Penyebab utama yang paling nyata adalah kebakaran. Kebakaran lahan gambut di Indonesia telah menimbulkan kerugian dan kerusakan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seakan sudah menjadi tradisi tahunan di Indonesia terutama setiap kali musim kemarau datang, seperti terbakarnya ranting dan daun kering secara spontan akibat panas yang ditimbulkan oleh batu dan benda lainnya yang dapat menyimpan dan menghantar panas, dan pelepasan gas metana CH 4 telah diketahui dapat memicu terjadinya kebakaran. Kebakaran lahan dapat melepaskan emisi gas rumah kaca GRK sebanyak 0,81- 2,57 Gigaton karbon ke atmosfer setara dengan 13-40 total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Komposisi lahan gambut yang menyimpan karbon sebesar 20-35 dari total karbon yang tersimpan di bumi. Gangguan terhadap ekosistem lahan gambut akan mempengaruhi cadangan dan siklus karbon di alam. Gangguan yang terjadi berupa konversi lahan setelah hutan gambut mengalami deforestasi, kebakaran, dan drainase. Akibat gangguan yang terjadi, lahan gambut berpotensi sebagai sumber emisi karbondioksida CO 2 , metana CH 4 , dan nitrous oksida NO 2 yang cukup besar. Lahan gambut di Indonesia telah dimanfaatkan dalam berbagai sektor pembangunan meliputi pertanian, kehutanan, dan penambangan Rieley et al., 1996. Degradasi ini terutama terkait dengan alih fungsi lahan gambut alamiah untuk pertanian, seperti perkebunan kelapa sawit dan tanaman perkebunan lainnya, penipisan lapisan gambut drainase, dan perusakan lapisan gambut oleh peristiwa kebakaran. Kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah tropika terutama di Asia Tenggara sudah terjadi selama 20 tahun terakhir ini. Kebakaran terjadi umumnya selama musim kering dalam periode iklim panas atau dikenal sebagai El Nino-Southern Oscilation ENSO. Periode panas ini dapat terjadi setiap 3–7 tahun, dan lama kejadiannya dari 14 bulan hingga 22 bulan Singaravelu 2002. Pemanasan ini biasanya bermula pada bulan Oktober, terus meningkat ke akhir tahun dan berpuncak pada pertengahan tahun berikutnya Mei. Sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh adanya aktivitas manusia yang dipicu dengan kondisi iklim yang ekstra kering akibat adanya fenomena ENSO sehingga memungkinkan berlangsungnya kebakaran lahan yang besar dan menyebarnya asap secara horizontal. Sejarah panjang kebakaran lahan gambut dengan frekuensi semakin tinggi, memerlukan penanganan yang serius. Pendugaan risiko kebakaran lahan gambut merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam rangka pengendalian kebakaran lahan gambut. Kegiatan pendugaan Risiko itu menjadi penting karena menentukan langkah kegiatan selanjutnya dalam rangka pengendalian kebakaran lahan gambut. Apabila risiko kebakaran lahan gambut di suatu area diketahui, maka tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan baik dan efisien. Usaha-usaha penyelamatan lahan gambut di Indonesia sudah saatnya mendapat perhatian besar dari berbagai pihak khususnya oleh para pengambil kebijakan.

1.2 Tujuan

Studi ini bertujuan menilai risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera khususnya pada wilayah pantai timur Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan berdasarkan unsur cuaca dan iklim, sistem hidrologi, dan aktivitas masyarakat yang menggantungkan hidup pada lahan gambut.

1.3 Kerangka Pikir

Lahan gambut merupakan lahan basah yang unik dengan potensi besar di dalamnya. Lahan gambut memiliki banyak fungsi, Mendukung kehidupan, dan penyeimbang lingkungan seperti pengatur sistem tata air pada 2 suatu wilayah. Sumatera merupakan wilayah yang memiliki sebaran lahan gambut terluas di Indonesia. Bahaya yang sangat mengancam kelestarian lahan gambut adalah bencana kebakaran. Kebakaran pada lahan gambut menimbulkan banyak ancaman. Kebakaran pada lahan gambut akan menimbulkan kerugian sosial maupun ekonomi. Studi literatur ini akan menganalisa kebakaran di lahan gambut Sumatera sehingga dapat menghasilkan penilaian risiko pada kebakaran pada lahan gambut Sumatera. Risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera dinilai dari berbagai aspek baik itu dari penelitianobservasi langsung di lapangan dan sistem penginderaan jauh, bahkan kombinasi dari keduanya. Penelitian ini terdiri atas sintesa dari penelitian-penelitian yang telah ada pada penilaian risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera. Ditinjau dari kondisi lingkungan pada lahan gambut Sumatera maupun kondisi sosial masyarakat pada wilayah gambut. Kondisi sosial pada lahan gambut adalah aktivitas manusia dalam pemanfaatan lahan gambut tersebut. Penilaian tingkat risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera dimulai dari sintesa informasi iklimcuaca berupa bentuk penyimpangan dengan pengaruh ENSO dan indeks vegetasi pada lahan gambut. Kondisi iklim dikaitkan dengan curah hujan dan kondisi hidrologi lahan gambut. Pada nilai indeks vegetasi, risiko kebakaran dapat dinilai dari penutupan lahan, perubahan kedalaman gambut, dan jumlah titik api pada hutan rawa gambut maupun kedekatan dengan pemukiman sekitar lahan gambut. Dari keseluruhan analisa didapatkan seberapa besar nilai risiko kebakaran lahan gambut yang terjadi di Sumatera. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan Dasar Kebakaran Tanaman ataupun bagian-bagiannya merupakan komponen dari biomassa hutan yang paling banyak terbakar. Komponen biomassa yang banyak terbakar pada umumnya berupa tumbuhan yang mampu melakukan fotosintesis. Pada proses fotosintesis terjadi reaksi kimia yang melibatkan karbondiksida, air dan energi dari matahari, sehingga menghasilkan selulosa, lignin, amilum dan berbagai komponen kimia lainnya. Selulosa, lignin, amilum merupakan hasil fotosintesis yang dapat dihasilkan dalam proses fotosintesis yang dapat ditemukan pada setiap tanaman. Proses fotosinteis dan peristiwa kebakaran memiliki hubungan unik. Kebakaran pada tanaman ataupun komponennya, akan melangsungkan perubahan energi. Energi kimia yang diwujudkan dari proses fotosintesis akan diubah menjadi energi termal, energi radiasi, dan energi kinetik, secara sepintas proses fotosintesis dan kebakaran memiliki dua proses yang saling berkebalikan. Pada proses fotosintesis terjadi proses pengikatan energi, dalam hal ini terjadi pemusatan energi kimia yang berlangsung secara perlahan-lahan sedangkan dalam proses kebakaran, energi dilepaskan secara spontan. Formulasi dari dua proses tersebut adalah : Fotosintesis CO 2 + H 2 O + energi matahari Æ C 6 H 10 O 6 n + O Kebakaran C 6 H 10 O 6 n + O + suhu pemicu Æ CO 2 + H 2 O + bahang Sormin dan Hartono 1986 menyatakan kebakaran terjadi terbagi atas fase pemanasan, fase penguraian, dan fase pembakaran. Proses kebakaran pada awalnya merupakan suatu reaksi yang bersifat endotermal karena proses tersebut membutuhkan energi. Dalam hal ini diperlukan pasokan bahang untuk meningkatkan suhu bahan bakar hingga suhu pemicu pengapian terjadi. Ketika pemanasan belum mencapai suhu pengapian, pada sebagian jenis bahan bakar, pemanasan akan terlebih dahulu mengakibatkan volatilisasi sejumlah resin yang bersifat atsiri. Selanjutnya peningkatan suhu yang terus terjadi seiring dengan berlangsungnya pemanasan bahan bakar akan mengakibatkan terjadinya pengeringan. Air yang terjerap pada bahan bakar secara bertahap akan terevaporasikan, dengan kata lain kelembaban bahan bakar akan terus berkurang. Kelembaban bahan bakar sangat beragam, bahan bakar dari vegetasi yang telah mati memiliki kelembaban 1 hingga 300 dari bobot keringnya, sedangkan bahan bakar dari vegetasi hidup pada umumnya memiliki kelembaban yang lebih tinggi dari 300 . Peningkatan suhu selanjutnya akan mengakibatkan berlangsungnya pirolisis. Pyne 1996 mendefinisikan pirolisis sebagai penguraian molekul atau polimer zat karena panas. Proses pirolisis akan menghasilkan arang, karbonmonoksida, karbondioksida, uap air, dan 3 sejumlah zat dari keluarga hidrokarbon yang mudah terbakar seperti methana, methanaol, propane. Ketika pemanasan bahan bakar telah mencapai suhu pengapian, zat-zat produk dari pirolisis akan beraksi dengan oksigen. Zat-zat hidrokarbon akan memicu timbulnya nyala api, selanjutnya oksidasi dari produk pirolisis lainnya akan menimbulkan bara api. Kedua proses akan menyuplai bahang lebih banyak lagi. Pada tahap ini reaksi tidak lagi bersifat endotermal, akan tetapi telah bersifat eksotermal. Ketika api pada suatu bahan bakar telah terbentuk, peningkatan suhu tidak hanya berasal dari sumber pemanasan awal saja. Keberadaan api juga berperan dalam menghasilkan bahang sendiri. Bahang yang dihasilkan selanjutnya akan berperan sebagai sumber pemanasan bagi bahan bakar lainnya melalui mekanisme radiasi, konduksi, ataupun konveksi. Ketika bahan bakar mengalami kebakaran yang tidak sempurna, sebagian dari zat volatil yang dihasilkan akan menyisakan jelaga, selain itu juga dihasilkan partikel hasil pembakaran yang tidak sempurna yang melayang di udara yang dikenal sebagai asap. Api akan padam ketika bahan bakar tidak lagi tersedia tidak cukup lagi untuk mempertahankan kebakaran. Untuk menjelaskan faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan kebakaran digunakan konsep segitiga api. Konsep segitiga api tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 1 Konsep fire triangle. Fire brief 2004 Dalam konsep segitiga api tersebut suatu daerah tidak akan mengalami kebakaran, ketika semua hal tidak berkumpul secara bersamaan. Oleh karena itu konsep segitiga api juga dapat digunakan dalam tindak pencegahan kebakaran. Kebakaran akan dapat dihindarkan dengan mencegah berkumpulnya ketiga komponen dalam konsep segitiga api. Hal tersebut diantaranya adalah dengan mengurangi bahan bakar yang potensial maupun sumber panas yang mungkin timbul baik karena faktor alam ataupun manusia Sormin dan Hartono 1986. 2.1.1 Lingkungan Kebakaran Kebakaran yang terbentuk akan sering berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Perilaku api didefinisikan oleh De Bano 1998 sebagai suatu respon atau kebiasaan api yang terbentuk sebagai hasil interaksi api dengan lingkungannya. De Bano 1998 menyatakan kondisi dan perubahan komponen-komponen lingkungan akan mempengaruhi kebakaran. Komponen-komponen utama dari lingkungan tersebut terdiri atas kondisi cuaca, topografi, dan bahan bakar. Interaksi ketiganya dengan kebakaran yang terjadi akan menentukan karakteristik dan perilaku dari kebakaran. Bahan bakar, topografi, cuaca dan interaksi ketiganya merupakan tiga komponen lingkungan yang sangat mempengaruhi perilaku kebakaran. Bahan bakar menentukan potensi penyebaran api, potensi kerusakan yang dapat terjadi, serta potensi hambatan dalam pengendalian kebakaran. Topografi suatu wilayah pada umumnya memiliki kondisi yang relatif lebih konstan. Secara alamiah kondisi topografi akan berperan dalam penentuan kondisi iklim di suatu wilayah. Topografi merupakan salah satu faktor pengendali unsur- unsur iklim dan cuaca. Perbedaan ketinggian, aspek dan kelerengan suatu daerah akan menimbulkan keragaman nilai unsur-unsur cuaca, selain itu pada umumnya juga dijumpai kekhasan vegetasi di suatu daerah. Topografi juga berperan cukup penting dalam penyebaran aerial fire kelerengan yang terjal akan mempercepat penyebaran aerial fire. Akan tetapi ketika terjadi anomali cuaca seperti angin yang bertiup kencang akan mampu membuat pengaruh topografi di suatu daerah tidak lagi mendominasi penyebaran aerial fire. Cuaca menentukan kebakaran seperti apa yang terjadi, kecepatan penyebaran api, tingkat kerusakan aktual yang ditimbulkan, serta tingkat kesulitan dalam pengendalian kebakaran, Hal ini menunjukkan bahwa cuaca menentukan level dari kebakaran terjadi. Kontrol terhadap bahan bakar relatif lebih mungkin dan mudah untuk dilakukan daripada tindak pengendalian unsur-unsur cuaca. 4

2.1.2 Kondisi Atmosfer dan Kebakaran

Cuaca adalah keadaan fisis atmosfer dan perubahannya di suatu tempat tertentu dalam selang waktu yang relatif pendek. Atmosfer sendiri dapat didefinisikan sebagai lapisan gas atau lapisan gas yang menyelimuti dan terikat oleh bumi oleh gaya gravitasi bumi. Campuran tersebut dinamakan udara. Di dalam atmosfer terdapat udara kering, uap air, dan aerosol. Gas-gas lain yang membentuk udara kering di atmosfer kadarnya sangat kecil, dalam hal ini campuran udara kering dan uap air tidak jenuh dikenal sebagai udara lembab. Meskipun kadar uap air di udara sangat kecil, uap air memainkan peranan yang penting dalam proses termodinamika. Dalam kisaran suhu atmosfer, uap air dapat berubah fasa menjadi cair, atau padat. Uap air masuk ke atmosfer dari permukaan bumi melalui permukaan air di permukaan bumi, ataupun melalui proses transpirasi yang ada pada tanaman. Jika mengalami pendinginan, uap air berubah fasa menjadi padat es dan membentuk awan atau kabut yang kemudian turun ke permukaan sebagai gerimis, hujan, hujan deras, salju, ataupun batu es. Tidak jarang perubahan fasa uap air terjadi di permukaan bumi dan membentuk embun ataupun embun beku. Hampir semua pemanasan pada permukaan bumi dan atmosfer berasal dari radiasi matahari, meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan oleh matahari diterima bumi. Geiger 1959 menyatakan bahwa radiasi matahari yang sampai di pemukaan bumi, nilainya hanyalah setengah dari radiasi matahari yang diterima di puncak atmosfer. Sebagian dari radiasi matahari tersebut akan diserap, dan dipantulkan lagi ke angkasa luar oleh atmosfer bumi. Penerimaan radiasi di permukaan sangat bervariasi menurut ruang ataupun waktu. Keragaman radiasi menurut ruang disebabkan oleh perbedaan letak lintang dan kondisi atmosfer di suatu daerah. Keragaman penerimaan radiasi menurut waktu terjadi karena adanya perbedaan sudut datang dari radiasi matahari, dan jarak antara matahari dan bumi pada saat bumi berevolusi mengelilingi matahari pada orbitnya yang berbentuk elips. Perbedaan jarak tersebut membuat perbedaan kerapatan fluks radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi yang besarnya sebanding dengan perbandingan kuadrat jarak antara bumi dan matahari. Perbedaan sudut datang akan mengakibatkan perbedaan selang waktu penerimaan radiasi matahari. Selang waktu penerimaan radiasi matahari juga dipengaruhi oleh tingkat penutupan awan di atmosfer, serta perbedaan tempat menurut lintang. Dalam skala mikro jumlah radiasi matahari yang diterima dipengaruhi oleh faktor topografi lahan seperti faktor arah kelerenganaspek dan ketinggian lahan Handoko 1993. Perbedaan penerimaan radiasi matahari mengakibatkan perbedaan pemanasan permukaan bumi. Fuller 1991 menyatakan perbedaan pemanasan oleh matahari pada permukaan bumi berperan dalam pembentukan keragaman iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran hutan dan lahan karena bersama dengan angin penyinaran matahari memegang peranan penting pada perubahan suhu dan pengeringan bahan bakar. Jumlah panas yang dapat dikandung oleh suatu benda tergantung dari kapasitas panas benda tersebut. Udara merupakan penyimpan panas yang paling buruk, udara lebih cepat menjadi panas ataupun menjadi dingin dibandingkan dengan daratan dan lautan. Rendahnya kapasitas panas udara menjadikan udara cukup peka terhadap perubahan energi di permukaan bumi. Permukaan bumi merupakan bidang aktif dalam hal penerimaan radiasi matahari. Hal tersebut menjadikan permukaan bumi sebagai pemasok panas pada udara, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah suhunya. Karena sebab yang senada, maka suhu di permukaan bumi semakin rendah dengan bertambahnya letak lintang seperti halnya dengan penurunan suhu menurut ketinggian. Pada penyebaran suhu menurut lintang sumber pemasok bahang terasa berasal dari daerah tropika Handoko 1993. Daerah dengan suhu yang tinggi akan mempercepat terjadinya pengeringan bahan bakar, ataupun mempermudah terjadinya kebakaran. Hal tersebut dikarenakan perubahan suhu bahan bakar dicapai melalui penyerapan radiasi matahari secara langsung ataupun melalui mekanisme konduksi, dan konveksi dari lingkungan termasuk dari udara di sekitar bahan bakar. Suhu udara menentukan kapasitas udara untuk menampung uap air. Semakin tinggi suhu udara maka akan semakin besar kapasitas udara dalam menampung uap air. Kapasitas udara untuk menampung uap air dinyatakan 5 sebagai tekanan uap jenuh, sedangkan kandungan uap air aktual di udara dinyatakan dengan tekanan uap aktual. Perbandingan antara tekanan uap aktual dan tekanan uap jenuh pada suhu yang sama dinyatakan sebagai kelembaban relatif. Kelembaban relatif menggambarkan kejenuhan udara, kelembaban relatif menentukan jauh dekatnya kondisi udara dari keadaan jenuhnya. Pada siang dan malam hari dengan tekanan uap aktual yang relatif tetap, nilai kelembaban relatif pada siang hari akan lebih kecil daripada kelembaban relatif pada malam hari. Hal ini disebabkan karena kapasitas udara dalam menampung uap air akan membesar seiring dengan naiknya suhu udara, sedangkan pada pola suhu diurnal kondisi suhu udara pada siang hari pada umumnya lebih panas daripada suhu udara pada malam hari. Selain kelembaban udara, kondisi kelembaban bahan bakar secara langsung dipengaruhi oleh adanya hujan. Hujan akan seketika itu juga membasahi permukaan bahan bakar, sehingga tidak menimbulkan terjadinya kebakaran. Semakin besar intensitas hujan, maka semakin besar kelengasan bahan bakar mencapai nilai maksimumnya. Pola hujan disuatu daerah akan menentukan selang waktu terjadinya kebakaran. Selama periode atau musim penghujan, kebakaran akan sangat sulit terjadi. Selama musim hujan walaupun hujan turun dengan intensitas yang rendah, pada umumnya ia terjadi pada selang waktu yang relatif panjang. Ketika pergantian musim, intensitas hujan berkurang menurut jumlah maupun periodenya. Pada masa ini, pengeringan bahan bakar dimulai kembali. Pengeringan tersebut diakibatkan oleh penerimaan radiasi surya yang memicu peningkatan defisit tekanan uap yang terjadi seiring dengan meningkatnya suhu udara dan dipercepat oleh angin sebagai pembawa air yang sudah diuapkan oleh bahan bakar. Angin turut memicu terjadinya kebakaran dan juga memasok oksigen yang merupakan salah satu komponen penyebab terjadinya kebakaran. Selain itu Affan 2002 menyatakan bahwa angin juga menentukan arah penjalaran api. Kondisi cuaca yang mempengaruhi timbulnya api, perilaku kebakaran dan pengendalian terhadapnya dikenal dengan cuaca kebakaran fire weather, sedangkan periode ketika sering sekali dijumpai kebakaran dahsyat yang menyebar dengan cepat, serta mengakibatkan kerusakan yang cukup parah disebut dengan musim kebakaran fire season The Glossary Team 2002. 2.2 Definisi Gambut Tanah gambut didefinisikan sebagai tanah dimana terdapat lapisan bahan organik setebal lebih dari 0.5 meter, meliputi wilayah seluas lebih dari satu hektar dan kandungan bahan organik lebih dai 65 Nicolas dan Bowen 1999. Lahan gambut Indonesia berada pada daerah-daerah beriklim tipe A atau B menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson 1951. Pada umumnya terletak diantara hutan rawa dengan hutan hujan. Hutan gambut banyak terdapat di Sumatera dekat pantai timur dan merupakan jalur panjang dari utara ke selatan sejajar dengan pantai timur di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan sebagian kecil di Provinsi Lampung. Sebaran lahan gambut di Sumatera digambarkan pada lampiran 1 Tegakan pada hutan gambut selalu hijau dan mempunyai banyak lapisan tajuk. Jenis-jenis pohon yang terdapat pada hutan ini adalah Alstonia sp., Dyera sp., Durio carinatus, Palaquium spp., dan sebagian lagi merupakan jenis ramin, sejenis kayu yang mewah dan sangat baik digunakan untuk furniture, oleh sebab itu tipe hutan gambut sering disebut juga dengan hutan ramin. Didalam klasifikasi tanah, tanah gambut disebut juga sebagai tanah organosol karena tanah gambut mengandung banyak bahan organik. Berdasarkan bahan yang menyusunnya serta kematangan gambut yang dipengaruhi oleh proses penghancuran bahan organiknya dekomposisi, maka jenis tanah ini digolongkan menjadi tiga jenis Arsyad 1997, yaitu : 1. Tropofibrists, atau lebih dikenal dengan sebutan gambut mentah yaitu tanah organosol yang belum atau sedikit mengalami penghancuran, sebagian besar terdiri dari serat-serat yang mudah dikenal asal botanisnya. 2. Tropohemists, merupakan tanah organosol dengan bahan organik peralihan dan tingkat I penghancuran lebih tinggi dari gambut mentah 3. Troposaprists, atau gambut matang adalah tanah organosol yang telah mengalami penghancuran lebih sempurna. Pada kondisi normal, tanah gambut selalu tergenang air oleh karena itu sering 6 disebut juga dengan hutan rawa gambut. Di Sumatera, sebagian besar tanah gambut berasal dari pohon hutan yang membusuk, terdiri dari batang, akar, dan cabang dalam formasi hampir tanpa bentuk dan struktur berwarna coklat kehitaman. Bahan organiknya sebagian besar berbentuk gambut tropofibrists yang agak matang Nicholas dan Bowen 1999. Lahan gambut di Sumatera merupakan lahan gambut terluas di Indonesia, yang mempunyai peranan dalam berbagai aspek. Dalam pemanfaatannya lahan gambut menjadi rentan untuk terjadi kebakaran. 2.3 Pembentukan, Penyebaran, dan Hidrologi Lahan Gambut Tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik pada kondisi anaerob. Gambut terbentuk dari timbunan bahan organik yang berasal dari tumbuhan purba yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan 30 cm. Proses penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Kondisi anaerob yang tercipta karena penggenangan dataran pantai yang merupakan kondisi penting dalam pembentukan gambut pantai. Gambut pantai mulai terbentuk dari akumulasi bahan organik didaerah belakang tanggul sungai leeve yaitu daerah back swamp. Pada saat gambut masih tipis akar tumbuh- tumbuhan yang tumbuh di gambut dapat mengambil unsur hara dari tanah mineral dibawah gambut selanjutnya gambut terbentuk diperkaya dengan unsur hara dari luapan air sungai Sumawinata 1998. Dalam perkembangan selanjutnya gambut semakin tebal dan akar tumbuhan yang hidup di gambut tidak mampu mencapai tanah mineral di bawahnya, air sungai tidak mampu lagi menggenangi permukaan gambut. Sumber utama dari gambut hanyalah air hujan sehingga vegetasi yang tumbuh menjadi kurang subur dan menyebabkan gambut yang tumbuh menjadi gambut yang miskin akan hara. Gambut ini disebut sebagai gambut ombrogen Soil Survey Staff 1998. Lahan gambut memegang peranan penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa, yaitu sifat lahan gambut yang mempunyai daya menahan air yang dimilikinya. Sifat gambut yang mampu menyerap air ini membuatnya mendapat julukan “spons”. Tanah gambut yang memiliki daya tahan air yang besar sehingga air hujan yang jatuh dapat diserap dan dapat mengurangi bahaya banjir. Tanah gambut telah banyak mengalami perubahan dengan cara direklamasi untuk dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar gambut. Permasalahan lain yang dihadapi oleh lahan gambut saat ini adalah pemborosan sumberdaya alam gambut akibat drainase, dalam hal ini termasuk subsiden selama penyusutan, pemadatan, dekomposisi, pengeringan yang tidak dapat balikirreversible drying serta kehilangan materi gambut selama proses reklamasi. Banjir dan bahaya air permukaan yang dangkal karena elevasi yang rendah, situasi topografi dan hujan yang lebat Jamaludin 2002. Gambut pada umumnya diklasifikasikan sebagai gambut ombrogen atau penerima hujan dimana gambut tipe ini akan memiliki kandungan nutrisi yang rendah. Dikarenakan oleh geomorfologi pesisir atau endapan alluvial, pada umumnya gambut ini memiliki bentuk memanjang dan tidak teratur daripada yang berbentuk membulat. Kedalaman gambut akan lebih rendah pada daerah yang dekat pantaipesisir dan akan semakin meningkat kearah dalam, dan pada lokasi-lokasi tertentu dapat mencapai 20 meter. Air akan memegang peranan penting yang sangat penting dalam pengembangan dan pemeliharaan gambut tropis Huat 2003. Huat 2003 mengemukakan bahwa keseimbangan antara hujan dan evapotranspirasi adalah hal yang krisis bagi kelestarian gambut. Hujan dan topografi permukaan akan mengatur karakteristik dari keseluruhan hidrologi dari lahan gambut. Lahan gambut juga dikenal sebagai istilah lahan basah dikarenakan kondisi air tanahnya yang mendekati atau berada di atas permukaan gambut sepanjang tahun dan berfluktuasi seiring dengan intensitas dan frekuensi curah hujan. Gambut di wilayah tropis pada umumnya adalah non homogen ditinjau dari sifat fisik. Sifat-sifat fisik ini tergantung dari banyak faktor seperti kandungan kayu, derajat pembusukanhumification, bulk density, porositas, sifat menahan air, dan hidrologinya.

2. 4 Lahan Gambut Sumatera

Lahan gambut Sumatera memiliki penyebaran pada lahan rawa, yaitu lahan yang menempati posisi peralihan diantara ekosisitem daratan dan ekosistem perairan. Tanah gambut menempati cekungan, depresi, atau bagian terendah di pelembahan dan penyebarannya 7 terdapat di dataran rendah sampai datarn tinggi. Di Sumatera, penyebaran lahan gambut secara dominan terdapat di dataran rendah sepanjang pantai timur, dari Lampung sampai Sumatera Utara tetapi yang dominan terdapat di wilayah Propinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi. Lahan rawa gambut di Pulau Sumatera mempunyai tingkat kematangan Fibrists belum melapuk masih mentah, Hemists setengah melapuk dan Saprists sudah melapuk hancur dengan ketebalan bervariasi mulai dari 50 cm sampai lebih dari 8 meter. Luas total lahan gambut pada kondisi tahun 1990 sekitar 7,20 juta ha, termasuk Tanah mineral bergambut yang berasosiasi dengan tanah gambut ketebalan gambut 50 cm. Pada kondisi tahun 2002, oleh berbagai pengaruh dari penggunaan lahan selama sekitar 12 tahun terakhir, luas lahan gambut telah menyusut sekitar 9,5 atau sekitar 683 ribu ha. Penyusutan ketebalan gambut ini diduga sebagai akibat adanya perubahan penggunaan lahanvegetasi penutup yang umumnya digunakan untuk pengembangan pertanian perkebunn maupun oleh akibat adanya kebakaran. Gambar 2 Luas dan Sebaran Gambut Sumatera Tahun 1990 Wahyunto 2005

2.4.1 Gambut Riau

Luas seluruh lahan gambut di propinsi Riau adalah seluas 4.043.602 hektar. Penggunaan lahan pada tahun 1990 merupakan konversi lahan gambut ke lahan pertanian maupun perkebunan oleh penduduk setempat. Sebagian besar gambut pada propinsi ini merupakan gambut sangat dalam dan gambut dalam ketebalan gambut 2 sampai 4 meter. Gambar 3 Diagram Luas Lahan Gambut Riau Wahyunto 2005

2.4.2 Gambut Sumatera Selatan

Penyebaran lahan gambut di Sumatera Selatan , merupakan wilayah terluas kedua di Sumatera yakni 1.483.662 hektar. Lahan gambut di Sumatera Selatan pada awalnya merupakan gambut yang terdapat pada landform kubah gambut yang masih dipengaruhi air pasang surut. Sebagian besar lahan gambut telah dibuka sebagai lahan pertanian , sehingga kedalaman gambut di daerah ini tergolong gambut dengan kedalaman sedang yaitu 1-2 meter.

2.4.3 Gambut

Jambi Propinsi Jambi merupakan propinsi ketiga yang memiliki penyebaran gambut terluas di Sumatera. Luasny amencakup areal 716.838 hektar. Lahan gambut menempati landform kubah gambut dan sebagian daerah pasang surut.

2.5 Penyebab Kebakaran Lahan Gambut

Penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut berasal dari beberapa sumber antara lain perladangan berpindah, konsesi hutan, hutan tanaman, perkebunan, dan penebangan, yang berkaitan dengan penggunaaan lahan dan perubahannya Saharjo 2000. Berdasarkan hasil perhitungan terhadap kawasan yang terbakar pada tahun 19971998 di Indonesia diperoleh bahwa lahan pertanian menempati urutan pertama dalam luas kawasan terbakar di Sumatera, yang diikuti oleh hutan daerah payau dan lahan gambut, hutan dataran rendah, semak dan rumput, hutan tanaman, dan perkebunan Tacconi 2003. Dari kajian yang dilakukan di Sumatera, Chokkalingam dan Suyanto 2004 telah mengidentifikasi akar penyebab kebakaran di lahan basah antara lain adalah penggunaan 8 api dalam pengelolaan lahan oleh masyarakat, pembakaran untuk pembersihan lahan oleh perusahaan hutan dan perkebunan, pembukaan daerah transmigrasi, pembangunan berskala besar yang mengubah penggunaan dan penutupan lahan serta konflik antara perusahaan dengan masyarakat. 2.6 Penyimpangan Iklim Secara umum diketahui bahwa kebakaran hutan dan lahan sebagian besar disebabkan oleh kegiatan-kegiatan penyiapan lahan untuk berbagai macam bentuk usaha pertanian dan kehutanan mulai dari skala kecil hingga skala besar seperti ladang berpindah dan pengembangan hutan tanaman industriHTI serta perkebunan kelapa sawit, dan sebagainya. Akibatnya sering sekali diperbesar oleh kondisi cuaca yang ekstrim seperti musim kemarau yang panjang. Pada dasarnya, sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, dan dampak- dampak yang ditimbulkannya terdokumentasi dengan baik. Dalam dua dekade terakhir, Indonesia khususnya Sumatera telah mengalami lima periode kebakaran yang sangat intensif, yaitu 19821983, Agustus 1990, Juni-Oktober 1991, Agustus-Oktober 1994, September- November 1997, dan Februari-Maret 1998. Kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 adalah kebakaran terbesar yang pernah terjadi di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara umumnya dalam kurun 15 tahun terakhir dengan dampak yang sangat buruk sehingga mendapatkan perhatian serius dari dunia internasional serta menimbulkan kecaman dan tuntutan yang sangat besar dari berbagai pihak kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan aksi yang nyata. Menurut Fuller 1991, unsur-unsur iklim besar pengaruhnya terhadap kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dikarenakan iklim dapat mempengaruhi kondisi bahan bakaran dan kemudahannya untuk terbakar. Oleh karena itu unsur-unsur iklim, khususnya curah hujan, maupun penyimpangannya menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat Risiko kebakaran hutan dan lahan di daerah –daerah yang sering mengalami kebakaran hutan dan lahan. Pengalaman membuktikan bahwa kebakaran meningkat saat El-Nino terjadi. Pada peristiwa El-Nino 19971998, hampir sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kekeringan hebat akibat musim kemarau yang panjang, sehingga di beberapa daerah seperti Pulau Kalimantan dan Sumatera telah terjadi kebakaran hutan dan lahan yang sangat luas. Hingga peristiwa kebakaran tahun 19971998, kekeringan banyak dihubungkan dengan peristiwa penyimpangan iklim antar tahunan pada skala global yang dikenal dengan El-Nino atau El-Nino and the Southern Oscillation ENSO. Penyimpangan iklim tersebut ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut Pasifik tropik bagian timur dan tengah sehingga mencapai 0.5 C di atas rata- rata selama beberapa bulan berturut-turut. ENSO yang merupakan fenomena interaksi laut- atmosfer sepanjang tropik yang terjadi pada sirkulasi Walker yaitu sirkulasi udara antar wilayayah Samudera Pasifik dan wilayah Samudera Hindia Winarso dan Mcbride 2002. Sejak tahun 1999 telah ditemukan penyimpangan iklim antar tahunan yang terjadi di sekitar Samudera Hindia yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole IOD. Fenomena ini terjadi karena adanya interaksi laut atmosfer di atas Samudera Hindia yang ditandai dengan anomali suhu permukaan laut di Samudera Hindia sebelah barat yang lebih tinggi dibandingkan dengan Samudera Hindia sebelah timur atau disebut Dipole Mode positif dan sebaliknya disebut Dipole Mode negatif Vinayachandran 2001. Dengan demikian yang dimaksud dengan penyimpangan iklim adalah penyimpangan iklim antar tahunan dari kondisi rata-rata jangka panjangnya yang disebabkan oleh anomali suhu permukaan laut di Samudera Hindia dan anomali suhu permukaan laut pada Samudera Pasifik yang berinteraksi dengan anomali atmosfer di kedua wilayah tersebut dan kemungkinan berdampak terhadap anomali atmosfer di wilayah Indonesia, khususnya di Sumatera. Pengaruh ENSO dan IOD secara terpisah terhadap kondisi iklim di beberapa daerah di Indonesia telah dikaji. Dari beberapa penelitian menunjukkan adanya korelasi nyata antara indeks ENSO dengan curah hujan di beberapa daerah di Sumatera. Penelitian tersebut juga menunjukkan korelasi nyata antara indeks Dipole Mode dengan curah hujan di beberapa deaerah di Sumatera Adiningsih et al. 2003. 9

2.7 Hubungan Unsur Cuaca dengan