14
karena api yang membakar bahan organik merambat dibawah permukaan tanah.
Seringkali lokasi kebakaran hanya dipenuhi oleh asap yang selain menghalangi pandangan
juga memberikan kesulitan bernafas bagi petugas dalam upaya penanggulangannya. Di
samping itu kegiatan ini memiliki Risiko yang tinggi karena tertimpa pohon yang tumbang.
Api yang membakar bahan organik gambut akan membentuk lorong-lorong atau kawah-
kawah api didalam tanah. Pergerakan api relatif lambat dan pada saat tertentu terutama periode
siang hari api dapat muncul di beberapa tempat yang menyebabkan terjadinya kebakaran
permukaan dengan pergerakan api yang lebih cepat.
Secara umum perilaku kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh faktor-faktor bahan
bakar jumlah, jenis, susunan, dan kadar air, cuaca angin, suhu, kelembaban udara, dan
topografi. Disamping faktor umum tersebut, kebakaran lahan gambut terjadi karena adanya
faktor-faktor khusus. Faktor khusus yang ada dapat berupa jenis gambut, bentuk dan ukuran
gambut ditentukan oleh tingkat kematangannya akan mempengaruhi perilaku api pada
kebakaran bawah. Gambut matang troposabrists mempunyai bentuk yang lebih
padat dengan tekstur yang lebih halus sehingga pergerakan api relatif lambat dan umumnya api
akan membantuk lingkaran atau kawah api. Gambut mentah fibrists atau gambut setengah
matang hemists dengan bahan pembentuknya yang masih tampak, yaitu daun-daunan
ataupun akar memiliki bentuk serta ukuran yang lebih kasar dan renggang, sehingga lebih
banyak menyimpan oksigen O
2
, akibatnya api akan membentuk jalur atau lorong-lorong api.
Faktor khusus lainnya adalah jumlah, jenis, dan kerapatan tumbuhan bawah pada
areal gambut. Pada areal gambut yang memiliki tumbuhan bawah rapat, kebakaran
permukaan akan lebih mudah terjadi. Kebakaran ini akan memicu terjadinya
kebakaran bawah serta kebakaran tajuk pohon. Air tanah juga mempengaruhi kebakaran lahan
gambut. Keadaan air tanah selain mepengaruhi kelembaban dan kandungan air pada tanah
bergambut, serta serasah serta pohon-pohon yang ada di atasnya, maka kedalaman air tanah
water table menentukan kedalamanan api pada kebakaran bawah.
2.10 Deteksi Titik-Titik Panas Hotspot dan Indeks Kekeringan
Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi, yang secara umum merupakan
indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan baik yang lokasinya dekat maupun jauh di dalam
hutan Dephutbun 1998. Deteksi titik panas dapat dilakukan dengan pemanfaatan kanal
termal kanal 3 dengan panjang gelombang 3.8 µm dan kanal 4 dengan panjang gelombang 10.5
µm pada sensor AVHRR yang dibawa oleh satelit NOAA.
Pemanfaatan data satelit ini merupakan sarana potensial untuk mendeteksi dan
memantau terjadinya kebakaran hutan karena disamping memiliki sensor yang peka terhadap
wilayah dengan temperatur tinggi, juga dapat meliputi daerah yang sangat luas 2,600x1,500
km
2
serta dapat mengirimkan data minimal satu kali dalam satu hari.
Deteksi lainnya untuk menyusun suatu sistem penilaian bahaya kebakaran adalah
dengan menunjukkan kemungkinan terbakarnya bahan bakar untuk kondisi iklim yang beragam
Deeming 1995 dalam Hoffman et.al. 1999. Indeks kekeringan didefinisikan sebagai
bilangan yang menunjukkan pengaruh bersih net effect dari evapotranspirasi dan presipitasi
yang menghasilkan kekurangan defisiensi kelengasan secara kumulatif pada lapisan
organik tanah yang dalam maupun pada lapisan tanah yang lebih dangkal. Karena itu, indeks
kekeringan merupakan suatu jumlah atau besaran yang berhubungan dengan kemudahan
terbakar flammability bahan organik. Contoh pada kasus ini adalah indeks kekeringan Keetch-
Byram, yang dikembangkan tahun 1968 di Negara bagian Florida, Amerika Serikat. Di
Indonesia sistem ini diperkenalkan oleh Deeming pada tahun 1995 di propinsi
Kalimantan Timur, untuk mengukur tingkat kebakaran pada daerah-daerah di sepanjang
daerah tepi pantai utara Samarinda dan Balikpapan. Sistem ini berdasarkan indeks
musim kemarau Keetch-Byram dan telah terbukti sebagai alat yang baik untuk
memprediksi kebakaran Hoffman et.al. 1998.
Asumsi dari penilaian ini bahaya ini adalah :
1. Kecepatan hilangnya kelembaban di
daerah kawasan hutan tergantung pada ketinggian penguapan vegetasi. Besarnya
penguapan vegetasi disesuaikan dengan nilai rata-rata curah hujan tahunan.
15
2. Kecepatan hilangnya kelembaban tanah
ditentukan oleh evapotranspirasi dan kandungan kelembaban tanah
3. Kedalaman lapisan tanah yang
dipengaruhi oleh kekeringan yang serius, mempengaruhi hutan dan daya hangus tanah
organik yang memiliki kapasitas lapang 8 inci 203 mm.
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari - Juli 2011 di Laboratorium
Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, IPB.
3.2
Alat dan Bahan
1. Jurnal-jurnal yang berkaitan dengan
lahan gambut. 2.
Jurnal-jurnal yang berkaitan dengan kebakaran dan kekeringan.
3. Buku-buku yang berkaitan dengan
kebakaran lahan gambut dan perspektif masyrakat.
4. Seperangkat komputer dengan program
Microsoft Office. 5.
Informasi-informasi maupun bahan sekunder dari lembaga pemerintahan
maupun non pemerintahan yang berkaitan dengan gambut dan
kebakaran.
3.3 Metode Penelitian
Studi literatur mengenai kerawanan kebakaran lahan gambut di Sumatera akan
menggunakan metode dengan mensintesis informasi-informasi dari beberapa jurnal dan
buku yang berkaitan dengan kajian literatur. Metode yang digunakan dimulai dengan
menentukan tema dari setiap bagian-bagian yang berhubungan dengan kerawanan kebakaran
lahan gambut di Sumatera. Membuat garis besar untuk menentukan subtema dari tema utama
merupakan fokus dalam kajian ini.
Tema kerawanan kebakaran lahan gambut di Sumatera dibagi menjadi beberapa
subtema yaitu : i.
Pemahaman mengenai gambut dan lahan gambut
ii. Hal-hal yang berkaitan dengan lahan
gambut dan kebakaran lahan gambut seperti hidrologi gambut, unsur-unsur
cuaca yang mempengaruhi kebakaran pada lahan gambut, seperti anomali iklim El
Nino kemarau panjang maupun kekeringan.
iii. Penyebab kebakaran lahan gambut, analisa
penyebab utama aktivitas manusia atau faktor iklim yang lebih mendominasi
kejadian kebakaran pada lahan gambut. Di tiga wilayah utama Pulau Sumatera, yaitu :
Propinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Propinsi Jambi.
Aktivitas Manusia
Hidrologi NDVI
Lahan Gambut
Sumatera Cuaca
-SOI -DMI
Terbakarnya Bahan Bakar
Vegetasi -Penutupan lahan
-Kedalaman Gambut Resiko
Kebakaran
Gambar 6 Hubungan unsur cuaca, NDVI dan aktivitas manusia terhadap Risiko kebakaran
pada lahan gambut Penilaian Risiko kebakaran lahan gambut
dapat dinilai dari intensitas aktivitas manusia pada lahan gambut tersebut. Aktivitas
masyarakat yang terbagi di Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Riau, dan Propinsi Jambi.
Yang terbagi di Kabupaten Ogan Kemiring Ilir, Bengkalis, dan Taman Nasional Berbak. Tinggi
dan rendahnya risiko kebakaran pada lahan gambut di Sumatera. Berikut penggolongan
tingkat risiko kebakaran lahan gambut di Sumatera :