BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Peternakan Ayam Broiler di Indonesia
Sistem agribisnis ayam ras dalam perkembangannya merupakan salah satu  sistem  agribisnis  yang  mengalami  pertumbuhan  sangat  cepat
dibandingkan  sistem  agribisnis  lainnya.  Agribisnis  ayam  ras  memiliki struktur  agribisnis  yang  relatif  lengkap  dan  modern,  baik  dalam  subsistem
agribisnis  hulu  maupun  hilirnya.  Pada  subsistem  budidaya  on  farm  juga berkembang  pesat,  mulai  dari  pengusahaan  skala  keluarga  backyard
farming  pada  tahun  1950-an  menjadi  suatu  pengelolaan  peternakan  yang modern pada tahun 1990-an Saragih, 2001.
Agribisnis diartikan sebagai usaha dibidang pertanian yang mengarah pada  bisnis  atau  tingkah  laku  bisnis  dalam  sektor  pertanian.  Secara  prinsip,
agribisnis  mencakup  usaha-usaha  pada  pengelolaan  sarana  produksi, pengelolaan  budidaya,  prosesing,  dan  pemasaran.  Dalam  usaha  peternakan,
agribisnis  peternakan  diartikan  sebagai  tingkah  laku  bisnis  dalam  subsektor peternakan  yang  mencakup  penyediaan  sarana  produksi  peternakan,
budidaya  peternakan,  penanganan  pascapanen,  dan  pemasaran.  Agribisnis mengedepankan  suatu  budaya,  organisasi,  dan  manajemen  yang  amat
rasional.  Dirancang  untuk  memperoleh  nilai  tambah  komersial  dapat disebar  dan  dinikmati  oleh  seluruh  pelaku  ekonomi  secara  adil,  dari
produsen,  pedagang,  konsumen  bahkan  sampai  segenap  lapisan  masyarakat Suharno, 2001.
Perkembangan  ayam  broiler  di  Indonesia  dimulai  pada  pertengahan dasawarsa  1970-an  dan  terkenal  pada  awal  1980-an.  Laju  perkembangan
usaha  ayam  broiler  sejalan  dengan  pertumbuhan  populasi  penduduk, pergeseran  gaya  hidup,  tingkat  pendapatan,  perkembangan  situasi  ekonomi
dan politik, serta kondisi keamanan Fadilah, 2006. Daerah penyebaran ayam broiler komersial di Indonesia bagian barat
adalah  Pulau  Jawa  dan  sebagian  Sumatera.  Indonesia  bagian  tengah  adalah Kalimantan  Barat,  Kalimantan  Selatan,  dan  Kalimantan  Timur,  serta
Indonesia  bagian  timur  adalah  Pulau  Sulawesi.  Dari  ketiga  bagian  daerah tersebut,  Indonesia  bagian  barat  merupakan  penyebaran  ayam  broiler
komersial.  Hal  ini  disebabkan  hampir  semua  perusahaan  pembibitan  ayam broiler  komersial  serta  pangsa  pasar  terbesar  masih  didominasi  oleh
Indonesia bagian barat, khususnya Pulau Jawa Fadilah, 2006. Menurut  Dinas  Pertanian  dan  Kehutanan  2005,  komoditas  unggas
mempunyai  prospek  pasar  yang  baik  karena  didukung  oleh  karakteristik unggas  yang dapat  diterima oleh masyarakat  Indonesia  yang sebagian besar
muslim,  harga  relatif  murah  dengan  akses  yang  mudah  diperoleh  karena sudah  merupakan  barang  publik.  Peternakan  broiler  merupakan  salah  satu
agroindustri  yang  berkembang  pesat  di  Indonesia.  Agroindustri  umumnya mempunyai  kontribusi  yang  signifikan  bagi  negara  berkembang  karena  tiga
alasan, yaitu sebagai sarana transformasi produksi pertanian menjadi produk siap  konsumsi,  sebagai  faktor  manufaktur  andalan  komoditi  ekspor  dan
sebagai  penyedia  bahan  makanan  sumber  nutrisi  bagi  peningkatan kesejahteraan rakyat.
9
Periode  1970-1980  merupakan  awal  kebangkitan  peternakan- peternakan  ayam  ras,  dimulai  tahun  1972-1975  dengan  berdirinya  pabrik
makanan  unggas  dan  pembibitan  ayam  ras.  Bibit  ayam  ras  kemudian  mulai menyebar di pelosok Pulau Jawa, terutama di kota besar. Tahun 1978 mulai
digalakkan ayam broiler sebagai substitusi daging sapi dan kerbau yang pada waktu itu tidak dapat memenuhi permintaan konsumen.
Peternakan  ayam  broiler  mulai  marak  pada  tahun  1980,  bersamaan dengan semakin diterimanya daging ayam oleh  konsumen. Pada tahun 1981
usaha  peternakan  ayam  broiler  banyak  dikuasai  oleh  pengusaha  besar, keadaan  ini  membuat  peternak  kecil  semakin  sulit  dalam  melakukan  usaha
ternak ayam. Untuk melindungi peternak kecil, pada tahun 1981 dikeluarkan Kepres No 51 yang intinya membatasi jumlah ayam petelur konsumsi hanya
5.000 ekor dan ayam broiler sebanyak 750 ekor per minggu. Dengan adanya Kepres  tersebut  peternakan-peternakan  ayam  komersial  banyak  mengalami
penurunan.  Setelah  sembilan  tahun  berjalan,  kebijakan  tersebut  telah membuat  sektor  peternakan  tidak  berkembang,  sampai  akhirnya  Kepres  No
51  tersebut  dicabut  dan  diganti  dengan  kebijakan  28  Mei  1990.  Kebijakan tersebut  merangsang  berdirinya  peternakan-peternakan  besar  untuk  tujuan
ekspor dan menjadi industri peternakan  yang handal dan menjadi penggerak perekonomian Suharno, 2001.
Periode  sebelum  krisis  berdasarkan  data  statistik  dinyatakan  bahwa produksi daging ayam broiler pada tahun 1993-1997 mengalami peningkatan
sebesar 5,86 persen per tahun Ditjen Peternakan 2005. Disini pertumbuhan sektor  peternakan  mengalami  pertumbuhan  yang  tinggi  karena  peningkatan
efisiensi  dalam  keseluruhan  sistem  agribisnis  berbasis  peternakan.  Pada
waktu  ini,  subsistem  makanan  ternak  dan  pemasaran  produksi  hasil peternakan  juga  tumbuh  pesat  karena  perekonomian  Indonesia  juga
mengalami pertumbuhan yang tinggi. Krisis  moneter  pada  tahun  1997  telah  menyebabkan  seluruh  industri
perunggasan  mengalami  perubahan  yang  drastis.  Harga  bahan  baku  dari impor mengalami kenaikan yang tinggi, sementara itu harga telur dan harga
ayam  di  pasaran  terus  menurun  akibat  menurunnya  daya  beli  masyarakat. Akibatnya  permintaan  pakan  dan  DOC  juga  menurun  dan  berdampak  pada
penurunan populasi ternak. Pada tahun 1998 populasi ayam broiler berkurang hingga  80  persen  dari  tahun  sebelumnya.  Saragih  2001  mengungkapkan
bahwa  penyusutan  yang  sangat  besar  ini  mengindikasikan  bahwa  agribisnis ayam  ras  belum  memiliki  ketangguhan  endurance  dan  kemampuan
penyesuaian  diri  adaptability  menghadapi  perubahan  besar  lingkungan ekonomi  eksternal.  Penyusutan  ini  disebabkan  oleh  faktor  ketergantungan
pada impor bahan baku pakan utama dan bibit. Walaupun  agribisnis  ayam  ras  mengalami  penyusutan  selama  masa
krisis ekonomi, agribisnis ayam ras menghadapi prospek yang cerah di masa yang akan datang. Hal ini didorong oleh faktor jumlah penduduk yang besar,
konsumsi  daging  broiler  yang  masih  rendah,  dan  dugaan  pertumbuhan ekonomi  nasional  yang  positif.  Belajar  dari  pengalaman  selama  krisis
ekonomi, yaitu bagaimana membangun daya saing sistem agribisnis ayam ras nasional yang berbasis domestik Saragih, 2001.
Akhir tahun 1998 usaha peternakan unggas mulai berkembang, harga daging  ayam  dan  telur  mulai  dapat  dikendalikan  dan  menguntungkan  bagi
para  peternak,  walaupun  pada  saat  ini  mayoritas  peternak  sudah  tidak
berusaha secara mandiri lagi melainkan bergabung menjadi mitra perusahaan terpadu Suharno, 2001.
Setelah  krisis  moneter  sejak  2001  sampai  dengan  sekarang berdasarkan  data  statistik,  produksi  daging  ayam  broiler  mengambil  41,80
persen  dari  total  produksi  daging  Ditjen  Peternakan,  2005.  Dari  data tersebut  diketahui  bahwa  usaha  ayam  broiler  mampu  memberikan  peluang
pasar dan menimbulkan persaingan yang semakin kompetitif. Sementara  di  Provinsi  Bali    peternakan  ayam  broiler  berkembang
pesat  diawal  tahun  1990  dan  menjadi  salah  satu  komoditas  unggulan. Berdasarkan  catatan  dari  BPS  Provinsi  Bali  2014,  produksi  daging    ayam
pedaging  dari  tahun  2007 –2012  terus  mengalami  peningkatan.  Hingga  saat
ini  terdapat beberapa perusahaan yang melakukan hubungan pola kemitraan dengan  peternak  dalam  pemeliharaan  ayam  ras  pedaging  di  Provinsi  Bali
diantaranya PT. Mitra Sinar Jaya MSJ, PT. Ciomas Adisatwa, PT Ciomas Adisatwa.ex  PKP,  Janu  Putra  Bali  JPB,  Surya  Inti  Pratama  SIP,  Sentra
Unggas  Bali  SUB,  Patriot,  Malindo,  Chandra  Farm,  Jaya  Raya,  dan  lain- lain.  Masing
–masing  perusahaan  memproduksi  ayam  pedaging  dengan jumlah yang berbeda sesuai dengan kemampuan dan skala usaha perusahaan,
mulai  375.000  hingga  24.658.779  ekortahun  dan  jumlah  ini  terus berkembang setiap tahunnya. Pada tahun 2013 total produksi ayam pedaging
di  Provinsi  Bali  yang  berasal  dari  perusahaan  kemitraan  mencapai 54.562.500  ekortahun  sementara  yang  berasal  dari  perusahaan  mandiri
hanya  2.935.000  ekortahun.    Pada  tahun  2014  produksi  ayam  pedaging broiler  dari  peusahaan  kemitraan  di  Bali  meningkat  drastis  hingga
menyentuh  angka  80.045.645  ekortahun  dan  yang  berasal  dari  usaha
peternakan mandiri
sebesar 6.159.590
ekortahun. Data
tersebut menggambarkan  bahwa  usaha  kemitraan  ayam  broiler  di  Provinsi  Bali
mengalami  perkembangan  yang  sangat Tabel 2.1. Populasi Ayam Beberapa Perusahaan Kemitraan di Provinsi Bali
No Perusahaan
Inti 2013
2014 Produksi
EkorTahun Produksi
Ekortahun 1
PT.  X1 15.215.000
26,46 24.658.779
28,8 2
PT.  X2 14.498.500
25,22 19.066.272
22 3
PT. X3 12.684.000
22,06 18.632.788
21,7 4
PT. X4 1.420.000
2,47 2.202.919
2,6 5
PT. X5 1.480.000
2,57 2.320.503
2,8 6
PT. X6 1.305.000
2,27 1.836.419
2,1 7
PT. X7 1.200.000
2,09 2.344.086
2,8 8
PT. X8 1.335.000
2,32 3.180.420
3,7 9
PT. X9 145.000
0,25 -
- 10
PT. X10 1.080.000
1,88 995.418
1,2 11
PT. X11 375.000
0,65 354.286
0,4 12
PT. X12 425.000
0,74 1.743.752
2 13
PT. X13 1.200.000
2,09 460.000
0,5 14
PT. X14 525.000
0,91 1.140.835
1,3 15
PT. X15 715.000
1,24 213.334
0,2 16
PT. X16 280.000
0,49 -
- 17
PT. X17 680.000
1,18 735.834
0,8 18
PT. X18 -
- 160.000
0,2 19
MANDIRI 2.935.000
5,1 6.159.590
6,9 Total
57.497.500 86.205.235
Sumber : PT. X, 2014 pesat  dan  hampir  menguasai  95  pangsa  pasar  ayam  broiler.  Sementara  di
Kabupaten  Tabanan,  produksi  ayam  broiler  yang  berasal  dari  perusahaan kemitraan  mencapai  lebih  dari  25  dari  total  produksi  ayam  broiler  di
Provinsi Bali pada tahun 2013-2014. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Tabanan memiliki potensi besar dalam usaha kemitraan ayam broiler PT. X,
2014.
2.2 Konsep Kemitraan Usaha