Pengasuh Baoyu bernama Li Ma. Pelayannya yang bernama Xiren, alias “Semerbak Harum”, juga merupakan pelayan
kesayangan Nyonya Besar. Impian di Bilik Merah, 2014:68.
Mula-mula Xiren menolaknya, tetapi setelah didesak, akhirnya ia menyetujui. Apalagi, ia pun tahu bahwa akhirnya ia akan
menjadi selir Baoyu. Sejak itu, Baoyu menjadi lebih menyayanginya. Xiren pun melayani tuan mudanya dengan lebih patuh lagi. Impian
di Bilik Merah, 2014:108-109.
4.1.2 Penokohan dan Perwatakan
Dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin banyak sekali tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya. Hampir semua tokoh yang muncul telah
mampu menunjukkan karakteristik pribadi yang unik, sanggup memberikan penginderaan yang jelas dan terasa begitu nyata, lengkap dengan segala pelukisan
gambaran, penempatan, dan perwatakannya masing-masing tokoh. Tokoh yang paling dominan dalam novel ini adalah Jia Baoyu, Lin Daiyu dan Xue Baochai.
Mereka digambarkan sebagai nyawa dari Griya Rong Guo, kediaman keluarga besar Jia Fa dan segala keturunannya. Tokoh dan watak perempuan yang terdapat
pada novel ini yang sesuai dengan judul penulis akan dijelaskan dalam uraian berikut:
a Lin Daiyu
Lin Daiyu adalah tokoh utama perempuan dalam novel ini. Dari segi fisiologis, Lin Daiyu digambarkan sebagai seorang perempuan yang cantik dan
mempunyai sopan santun. Namun kenyataannya Lin Daiyu adalah sosok perempuan yang mempunyai penyakit yang tak kunjung sembuh. Seperti yang
terdapat dalam kutipan berikut: Sosok tubuh Lin Daiyu memang anggun, tetapi ia terlihat
lem ah. Melihat keadaan si “Batu Giok Hitam” alias Lin Daiyu,
Universitas Sumatera Utara
neneknya lalu bertanya, “Kulihat kau beigtu lemah, apakah kau telah memeriksakan diri ke tabib secara teliti? Obat apa saja yang telah
diberikan kepadamu?” Lin Daiyu lalu melanjutkan, “Aku ingat ketika aku berumur 3
tahun, seorang biksu Buddha berambut kusut masai datang menemui ayah, meminta untuk membawaku pergi untuk dijadikan tumbal
pengorbanan kepada Buddha. Jika biksu Buddha itu boleh membawaku, aku akan baik; kalau tidak, aku akan sakit-sakitan. Aku
tidak boleh menangis terisak-isak, juga tidak boleh menemui sanak saudara dari pihak ibu. Tentu saja, tidak ada yang mengacuhkan
nasihat itu karena menggelikan dan tidak masuk akal.” Impian di Bilik Merah, 2014:56.
Dilihat dari segi sosiologis, Lin Daiyu adalah perempuan keturunan bangsawan yang terlahir dari keluarga Jia, yaitu Jia Min dan Lin Ruhai yang
tinggal di kota Yang Zhou. Dia terlahir ketika ayahnya sudah berumur 40 tahun. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut:
Lin Ruhai orang kelahiran Su Zhou, dari keluarga terpandang. Kakek buyutnya dulu bangsawan kepala daerah. Walau Lin Ruhai
sudah mengambil beberapa orang selir, takdir tetap menentukan lain dan ia pun tak punya pewaris lelaki.
Pada usia 40 tahun sekarang, ia hanya mempunyai seorang anak perempuan dari istrinya, Nyonya Jia. Anak itu diberi nama Lin
Daiyu, yang sekarang berumur 5 tahun. Impian di Bilik Merah, 2014:34 dan 36.
Lin Daiyu juga seorang anak yang cerdas dan memiliki semangat dalam belajar. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut:
Yu Cun amat senang dengan pekerjaannya, apalagi Daiyu yang menjadi murid tunggalnya adalah anak yang cakap dan sangat
bersemangat belajar. Impian di Bilik Merah, 2014:36.
Dari kutipan-kutipan di atas dapat diketahui bahwa Lin Daiyu adalah seorang perempuan keturunan bangsawan yang cantik dan mempunyai sopan
santun. Lin Daiyu juga seseorang yang sejak lahir sudah mendapat penyakit yang aneh yang tidak tahu nama dan sebabnya. Dia tidak boleh mendengar suara
Universitas Sumatera Utara
tangisan, juga tidak boleh mengeluarkan air mata. Penyakitnya akan sembuh jika dia menjadi seorang biksuni seperti yang dikatakan biksu Buddha kepada orang
tuanya. Lin Daiyu berasal dari keluarga keturunan bangsawan yang mana pada
masa itu jika ada keluarga keturunan bangsawan boleh mendapat pendidikan. Pada masa itu, hanya keluarga kaya yang mampu menggaji guru untuk mengajar
wanita di rumahnya. Ayah Daiyu, Lin Ruhai sangat menyayangi anak perempuan tunggalnya. Dia memberikan pendidikan kepada anaknya meskipun pendidikan
hanya diperuntukkan untuk anak laki-laki saja. Untuk itu dia mencari guru untuk mengajar anaknya. Dan akhirnya seseorang bernama Yu Cun yang disetujui untuk
dijadikan guru bagi Lin Daiyu dan menurutnya Lin Daiyu adalah seorang anak yang cerdas.
Ketika berumur 6 tahun, ibunya meninggal karena penyakit menahun. Nenek Lin Daiyu, Nyonya Besar, memintanya untuk tinggal bersama. Tak berapa
lama setelah dia tinggal bersama neneknya di Griya Rong Guo, ayahnya pun meninggal dunia akibat sakit yang dialaminya.
Dilihat dari segi psikologis, Lin Daiyu adalah seorang perempuan yang sangat sensitif perasaannya. Seperti yang terlihat pada kutipan-kutipan berikut:
“Oh, dia mirip sekali dengan Lin Meimei.” Mendengar terkaan Xiang Yun, semua tertawa sambil
mengiyakan bahwa pemain itu mirip sekali dengan Lin Daiyu. Tiba-tiba, Lin Daiyu cemberut sehingga suasana menjadi
tidak nyaman. Lin Daiyu pun pergi ke kamarnya. Baoyu masuk ke kamar Lin Daiyu dan berkata, “Kenapa kau
harus tersinggung?”
“Ucapannya terlalu menghinaku” seru Lin Daiyu. “Masa aku disamakan dengan pemain panggung?” Impian di Bilik Merah,
2014:324 dan 327.
Universitas Sumatera Utara
Namun tak lama kemudian, ia melihat sekelompok orang menuju ke kediaman Baoyu. Xifeng dan Nyonya Besar tampak di
antara mereka. Oh, alangkah bahagianya Bao Yu karena setiap orang selalu
memperhatikannya, pikirnya. Sungguh berbeda dengan diriku. Apakah hal ini karena kedudukan orangtuanya? Tiba-tiba saja hati
Lin Daiyu jadi sedih. Impian di Bilik Merah, 2014:447.
Dari kutipan-kutipan di atas dapat dilihat bahwa Lin Daiyu perasaannya sangat mudah tersinggung, apabila orang lain membicarakan hal yang tidak baik
kepadanya, dia akan marah bahkan sampai menangis. Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan dirinya yang telah kehilangan kedua orang tua ketika usianya masih
sangat muda. Bagi anak, orang tua adalah guru dalam melakukan hal apapun. Hubungan yang baik dengan kedua orang tua berdampak untuk membentuk
karakter anak. Di dalam batin seorang anak, apabila kehilangan kedua orang tua pasti akan memendam sebuah perasaan murung “di dunia ini hanya tinggal diri
sendiri sangat tidak beruntung”. Sehingga anak tersebut akan selalu merasa rendah diri di hadapan orang lain.
b Xue Baochai
Xue Baochai adalah anak dari adik perempuan ibu Baoyu, dikenal oleh keluarga Jia sebagai Bibi Xue. Dilihat dari segi fisiologis, ia adalah seorang
perempuan yang cantik dan rendah hati. Ditinjau dari segi sosiologis, Xue Baochai adalah sosok yang disenangi keluarga dan patuh terhadap tradisi serta
nilai-nilai tradisional. Seperti yang tertulis pada kutipan berikut: Selain Xue Pan, Bibi Xue juga dikaruniai anak perempuan
bernama Baochai atau “Kebajikan Mulia”. Usia Baochai beberapa tahun lebih muda dari Xue Pan. Gadis ini cantik dan rendah hati,
karena itu ayahnya amat menyayanginya. Selain itu, ia diberi kesempatan untuk belajar di bawah bimbingan guru pribadi.
Universitas Sumatera Utara
Kecerdasannya ternyata 10 kali lipat dari kakaknya. Namun setelah ayahnya meninggal, ia kurang tertarik pada buku. Apalagi, ia
menyadari betapa nakal kakaknya. Karena itu, ia memutuskan untuk ikut merasakan tanggung jawab ibunya. Impian di Bilik Merah,
2014:90.
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa di dalam keluarganya, hanya Xue Baochai lah yang dapat dibanggakan. Kakak laki-lakinya sangat dibenci oleh
keluarganya karena sifatnya yang tidak baik. Karena ayahnya yang meninggal ketika masih kecil, ibunya menggantungkan masa depan keluarganya kepada
dirinya. Selain itu, Xue Baochai juga selalu menghibur hati orang lain ketika
sedang bersedih. Seperti tertulis pada kutipan berikut: “Kau orang sabar,” kata Baochai. “Karena itu, aku tak perlu
lagi mengatakan soal sikap majikanmu terhadapmu. Tapi karena hari ini dia tidak dapat mengendalikan diri, dia lupa apa yang telah
dilakukannya terhadapmu. Padahal ia merasa dekat sekali denganmu. Apalagi, tak ada orang lain yang bisa menenangkannya jika ia marah.
Sekarang, jika kau menangis terus, semua orang akan mendengarnya dan
akan menertawakan
majikanmu. Bukankah
kau tak
menginginkan hal sepe rti itu terjadi?” Impian di Bilik Merah,
2014:486-487. Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Xue Baochai tidak ingin hati
orang lain selalu bersedih. Tidak peduli meskipun seorang pelayan yang sedang bersedih, ia selalu berusaha menghiburnya. Dia adalah perempuan yang selalu
berusaha melihat segala sesuatu secara positif. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, dan lebih suka mencari solusi daripada
membuat orang frustasi. Dari segi psikologis, Xue Baochai memiliki sifat yang perhatian terhadap
sesama, terutama kepada Lin Daiyu. Seperti tertulis pada kutipan berikut:
Universitas Sumatera Utara
“Kemarin, kulihat resep obatmu banyak menggunakan ginseng dan kayu manis. Kurasa ramuan itu hanya untuk
memperkuat saraf dan merangsang semangat saja. Jadi, tidak baik jika kau meminum terlalu banyak obat yang mengandung panas.
Seharusnya, kau memperkuat hatimu dulu, karena itu dapat mempengaruhi unsur bumi sehingga kau bisa mencerna makanan
lebih baik. Sebaiknya kau makan saja sup yang dibuat dari satu ons sarang burung dan setengah ons gula batu. Ini lebih baik dari obat,
dan sarang walet lebih bermanfaat bagimu daripada yang lain,” kata Baochai. Impian di Bilik Merah, 2014:450.
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa seorang perempuan bernama Xue Baochai sangat memperhatikan kesehatan saudaranya. Meskipun terkadang Lin
Daiyu merasa iri dan cemburu dengan kedekatan Xue Baochai bersama Baoyu, tapi Xue Baochai tidak membalas kecemburuan Lin Daiyu dengan kecemburuan
juga. Dia lebih suka memperhatikan kesehatan orang lain karena kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi semua manusia.
c Wang Xifeng
Wang Xifeng merupakan tokoh antagonis dalam novel ini. Dia adalah keponakan Nyonya Wang, ibu Baoyu, yang menikah dengan Jia Lian. Jia Lian
adalah anak laki-laki Jia She, yang merupakan putra pertama Nyonya Besar. Dari segi fisiologis, Wang Xifeng memiliki wajah yang cantik, matanya
seperti mata burung phoenix, bertubuh semampai, dan bergaya glamour atau mewah. Hal itu tertulis seperti kutipan berikut:
Kira-kira dua tahun yang lalu, Lian telah kawin dengan keponakan Nyonya Wang bernama Xifeng, si „Burung Cantik‟.
Meski tak suka membaca, tapi tutur katanya halus di tengah-tengah keluarganya. Impian di Bilik Merah, 2014:47.
Tiba-tiba seorang wanita muda yang manis masuk. Perawakannya semampai dan sikapnya mandiri. Ia mengenakan
pakaian yang berwarna lebih cerah daripada yang dipakai oleh para
Universitas Sumatera Utara
cucu di situ. Selain itu, ia pun mengenakan perhiasan yang serba gemerlap. Impian di Bilik Merah, 2014:58.
Wang Xifeng disebut sebagai „Burung Cantik‟ karena matanya besar dan
tajam seperti burung phoenix. Phoenix dalam mitologi China merupakan burung yang lemah lembut, ia turun dengan sangat hati-hati sehingga tidak merusak apa
pun yang dipijak atau disentuhnya. Phoenix dianggap kekuatan yang dikirim dari surga yang ditujukan untuk kaisar. Phoenix, dalam bahasa Mandarin disebut feng
huang, mengindikasikan bahwa feng adalah kata „angin‟ sehingga pada masa
legenda phoenix dikenal sebagai dewanya angin. Dalam sejarah China, phoenix menjadi simbol sanjungan bagi penguasa yang berhasil dalam memimpin negara
dengan damai. Berdasarkan penjelasan tentang burung phoenix tersebut, maka pantaslah Wang Xifeng disebut sebagai „Burung Cantik‟ yang sesuai dengan
fisiknya. Dari segi sosiologis, Wang Xifeng sedikit dermawan. Dia pernah
menolong kerabatnya yang miskin. Seperti pada kutipan berikut: Xifeng kemudian mengambilnya, lalu memberikannya
kepada nenek Liu. “Terimalah perak ini dan buatlah pakaian untuk anak-anak,”
kata Xifeng. “Sering-seringlah datang kemari jika tidak ada kesibukan. Bukankah kita ini masih saudara? Tapi aku juga tidak
berusaha untuk menahan kalian karena aku tahu hari sudah siang, sedangkan perjalanan pulangmu masih jauh. Hanya saja, kumohon
agar kalian mau menyampaikan salamku kepada siapa saja yang
masih ingat kepada kami.” Impian di Bilik Merah, 2014:124. Meskipun dalam novel ini Wang Xifeng digambarkan sebagai sosok yang
antagonis, tetapi dia juga memiliki sifat yang baik. Kedermawanannya dalam menolong kerabatnya memiliki hubungan keluarga dengan kakek Wang Xifeng
ikhlas, tidak meminta pamrih.
Universitas Sumatera Utara
Dari segi psikologis, Wang Xifeng memiliki watak yang kejam, terutama kepada pelayan yang membantah perintahnya. Dia juga suka merendahkan para
pelayan. Seperti pada kutipan-kutipan berikut: Kemudian, ia memberi perintah dengan nada keras, “Bawa
dia keluar, dan cambuk dia 20 kali.” Mendengar keputusan itu, tak seorang pun pembantu yang berani memohon pengampunan padanya
karena raut muka Xifeng sangat menakutkan hingga menggetarkan hati semua orang. Karena itu, mereka langsung menarik keluar
pembantu yang lalai itu, dan mencambuknya sebanyak perintah yang diberikan. Sebagai lanjutan hukuman itu, ia tidak diberi gaji selama
sebulan. Impian di Bilik Merah, 2014:222-223.
Sesudah berkata begitu, Xifeng menampar pipi kiri dan pipi kanan pelayan itu. Seketika itu juga, muka pelayan itu menjadi
sembab. “Coba kau tampar dia,” perintah Xifeng. “Tanyakan padanya,
kenapa dia lari. Jika tidak mengaku, robek saja mulutnya” Impian di Bilik Merah, 2014:480-481.
Mendengar kata-kata Jia Lian, akhirnya Xifeng naik pitam. Karena mengira Ping-Er secara diam-diam suka mengadu kepada Jia
Lian, Xifeng lalu menghampiri Ping-Er dan langsung menampar mukanya. Sesudah itu, ia segera masuk ke kamar, lalu menjambak
istri Bao-Er dan memukulnya bertubi-tubi. Impian di Bilik Merah, 2014:483.
Dari kutipan-kutipan di atas jelas sekali terlihat bahwa Xifeng sosok perempuan yang berani dan bertindak kejam terhadap siapapun yang melawannya.
Dalam mengambil keputusan, dia mengambil cara menyerang dan bahkan tak segan akan membunuh seseorang. Keberanian seperti itu hanya dilakukan untuk
kejahatan. Setelah melakukan suatu kejadian atau peristiwa, dia selalu tidak menyesal, dan akan membasmi sampai ke akar-akarnya. Kekerasan membuat
orang tunduk kepadanya.
Universitas Sumatera Utara
Wang Xifeng juga sangat pandai memeriksa hati seseorang dari air muka dan ucapannya. Hal ini membuat banyak orang yang was-was jika bertemu
dengannya. Tertulis dalam kutipan berikut: Saat itu, datanglah para gadis muda dari Da Guan Yuan.
Mula-mula mereka tampak ragu-ragu, tapi setelah mereka bertukar pandang, Xifeng akhirnya dapat menduga apa yang hendak mereka
kemukakan.
Karena Xifeng dapat menerka tugas apa yang sebenarnya akan diberikan kepad
anya, Xifeng segera berkata, “Kalian jangan mempermainkanku, sebab aku sudah tahu maksud kalian. Bukankah
perkumpulan itu hanya untuk hiburan di antara kalian saja? Karena itu, kurasa kalian tidak memerlukan pengawasan. Tapi yang kalian
butuhkan sebenarnya hanya orang yang dapat membiayai pertemuan
itu. Betul, kan?” Mendengar perkataan Xifeng yang tepat, akhirnya mereka
tertawa. Impian di Bilik Merah, 2014:491-492. Pada kutipan di atas dapat dilihat bahwa kehebatan Wang Xifeng yang lain
ternyata bisa membaca maksud seseorang hanya dari ekspresi muka dan ucapannya. Pada saat pihak pembicara tidak ada berbicara, dia sudah bisa
menebaknya. Pihak pembicara baru saja akan bicara, dia sudah bisa menanganinya. Oleh karena itu, banyak orang-orang berkata kalau Wang Xifeng
“punya seribu mata hati”. Wang Xifeng juga memiliki sifat yang dengki. Seperti yang tertulis pada
kutipan berikut: Tabib kemudian memberinya resep ginseng dengan mutu
paling tinggi, yang hanya terdapat di Tai Yuan. Ketika Nyonya Wang diminta untuk memberi ginseng itu, ia menyuruh Xifeng
untuk memberikan ginseng itu. Namun, Xifeng malah mengirimkan ginseng yang bermutu rendah. Impian di Bilik Merah, 2014:195.
Kutipan di atas terjadi ketika Jia Rui jatuh sakit akibat perbuatan Xifeng kepadanya. Dalam novel diceritakan kalau Jia Rui jatuh cinta kepada Wang
Universitas Sumatera Utara
Xifeng dan ingin selalu berada di dekatnya. Untuk itu dia mengatur rencana menipu Jia Rui sehingga dia menjadi sakit. Karena mengetahui yang sakit adalah
Jia Rui, maka Wang Xifeng tidak ingin melihatnya sembuh. Untuk itu dikirimkannya ginseng yang bermutu rendah.
d Yuanyang
Yuanyang adalah pelayan kesayangan Nyonya Besar. Dari segi fisiologis, dia adalah sosok perempuan yang cantik dan baik hati. Yuanyang juga seorang
pelayan yang pintar dan terampil. Seperti yang tertulis dalam kutipan berikut: Ketika Yuanyang berkunjung ke tempat Jia She, si tua ini
terpesona oleh kecantikan Yuan Yang. Ia terus mengawasi gadis itu. Impian di Bilik Merah, 2014:505.
Setelah menunggu beberapa saat di kediaman Nyonya Besar, Nyonya Xing segera masuk ke kamar Yuanyang. Di sana, ia
mendekati Yuanyang yang sedang merenda dan memuji kepandaiannya. Impian di Bilik Merah, 2014:508.
Dilihat dari segi psikologis, Yuanyang mempunyai sifat berpendirian teguh dan berani. Hal ini terjadi ketika Nyonya Xing mengatakan kepada
Yuanyang tentang suaminya, Jia She, yang ingin menjadikannya selir. Terlihat pada kutipan berikut:
“Suamiku sedang membutuhkan seseorang yang dapat dipercaya. Ternyata, dia memilihmu, Yuanyang. Dari sekian banyak
calon yang ingin sekali terpilih, kaulah yang diambilnya. Jika pada suatu hari kau melahirkan bayi lelaki dari Jia She, kau akan
mendapat tempat yang sederajat dengan yang lainnya. Mari kita
menghadap Nyonya Besar.” Yuanyang tidak menjawab, tetapi malah menarik tangannya
secara kasar. Impian di Bilik Merah, 2014:508-509. Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Yuanyang mempunyai sifat
memegang teguh apa yang menjadi pendapatnya. Dia selalu membangun
Universitas Sumatera Utara
hidupnya di atas dasar prinsip kebenaran yang bersifat mutlak. Dia sangat menjunjung nilai nilai kesucian dan tidak pernah merasa malu untuk menunjukkan
prinsipnya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan kepada orang yang pada dasarnya tidak suka dengan prinsip kebenarannya.
Sifat beraninya muncul ketika dia menolak tawaran Nyonya Xing. Dia tidak mau dijadikan selir meskipun yang akan menikah dengannya adalah anak
majikannya sendiri, yang mana pada masa itu jika ada perempuan budak yang akan dijadikan selir merupakan suatu kebanggan bagi dirnya dan keluarganya.
Terlebih lagi jika bisa melahirkan anak laki-laki yang sesuai dengan sistem Patriarki pada masa itu. Dia berani untuk menolak demi mempertahankan harga
dirinya sebagai seorang perempuan dan juga tidak bersedia mengalah demi kepentingan orang banyak terhadap sistem feodal pada masa itu.
4.1.3 Alur Cerita Plot