Alur Cerita Plot Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

hidupnya di atas dasar prinsip kebenaran yang bersifat mutlak. Dia sangat menjunjung nilai nilai kesucian dan tidak pernah merasa malu untuk menunjukkan prinsipnya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan kepada orang yang pada dasarnya tidak suka dengan prinsip kebenarannya. Sifat beraninya muncul ketika dia menolak tawaran Nyonya Xing. Dia tidak mau dijadikan selir meskipun yang akan menikah dengannya adalah anak majikannya sendiri, yang mana pada masa itu jika ada perempuan budak yang akan dijadikan selir merupakan suatu kebanggan bagi dirnya dan keluarganya. Terlebih lagi jika bisa melahirkan anak laki-laki yang sesuai dengan sistem Patriarki pada masa itu. Dia berani untuk menolak demi mempertahankan harga dirinya sebagai seorang perempuan dan juga tidak bersedia mengalah demi kepentingan orang banyak terhadap sistem feodal pada masa itu.

4.1.3 Alur Cerita Plot

Alur yang dipakai dalam penulisan novel Impian di Bilik Merah adalah alur bolak-balikflash backbalikan, yaitu alur yang menceritakan suatu peristiwa dengan cara menceritakan suatu kejadian yang telah terlewati untuk menjelaskan peristiwa yang berhubungan dengan alur berikutnya. Hal itu dilakukan Cao Xue Qin sebagai penulis novel Impian di Bilik Merah karena ia ingin menyampaikan pemikiran bahwa tidak hanya alur linier saja yang digunakan untuk mengungkapkan perubahan emosi tokoh-tokohnya. Alur dalam novel Impian di Bilik Merah tersebut terlihat dari uraian di bawah ini: Universitas Sumatera Utara 1. Tahap Pertama Pada tahap ini pembaca akan diajak menyaksikan awal mula riwayat „Si Batu‟ yang tertarik pada dunia manusia dan minta dibawa ke dunia manusia. Cerita dimulai dengan memperkenalkan tokoh Shi Yin sang penjaga Kuil Labu.dan Jia Yu Cun, seorang pelajar dari kalangan miskin, yang bertetangga dengan Shi Yin karena tinggal di Kuil Labu. Dengan kesaktiannya, Dewi Nuwa mencurahkan sinar kehidupan pada batu itu, dan memberkatinya dengan daya kekuatan sakti. Dengan demikian, batu itu dapat muncul ataupun lenyap secara mendadak. Pada suatu hari, ketika si Batu sedang meratapi nasibnya, ia melihat seorang biksu Buddha dan pendeta Tao berjalan mendekatinya. Keduanya sedang berbicara tentang keindahan di Debu Merah. Mendengar hal itu, timbul godaan duniawi pada si Batu. Ia tergugah ingin merasakan kenikmatan kehidupan fana. Karena itu, disapanya biksu dan pendeta itu. Impian di Bilik Merah, 2014:1- 2. Lalu cerita akan berlanjut ke masa lalu Yu Cun yang lulus ujian negara sehingga memperoleh gelar Jin Shi. Kemudian diceritakan kisah Lin Ruhai yang merupakan ayah dari Lin Daiyu. Yu Cun adalah guru Lin Daiyu semasa kecil. Setelah ibunya meninggal, Lin Daiyu pun berhenti belajar. Yu Cun bepergian ke luar kota dan bertemu dengan teman lama yang bernama Leng Zixing. Zixing menceritakan kepada Yu Cun kisah dua keluarga besar bernama Griya Ning Guo dan Griya Rong Guo. Setelah mereka bercerita tentang dua keluarga besar tersebut, mereka pun pulang ke tempat masing-masing. Esok harinya, Ruhai minta tolong kepada Yu Cun agar mengantarkan anaknya Lin Daiyu ke tempat neneknya di ibu kota. Universitas Sumatera Utara “Aku akan senang sekali kalau kau bisa membantuku. Kebetulan, ibu mertuaku ingin agar anak perempuanku, Lin Daiyu alias „Batu Giok Hitam‟, tinggal bersamanya untuk merawat neneknya. “Karena kau ingin pergi ke ibu kota, maukah kau ikut berlayar bersama anakku?” Yu Cun menyetujui saran itu. Impian di Bilik Merah, 2014:48. 2. Tahap Kedua Pada tahap ini akan terlihat Lin Daiyu telah tiba di kediaman neneknya, yaitu di Griya Rong Guo. Dia disambut dengan hangat oleh neneknya. Kemudian diceritakan pertemuan pertama antara Lin Daiyu dengan Jia Baoyu. Cerita berlanjut ke flash back masa lalu Xue Pan dan cerita mengenai keluarganya. Xue Pan merupakan kakak laki-laki Xue Baochai yang suka congkak, pemarah, boros dan mata keranjang. Pada novel ini, semua kisah tokoh-tokohnya akan diceritakan dengan alur flash back. Selanjutnya cerita akan bergulir pada perayaan Pesta Bunga Prem di Griya Ning Guo. Kerabat di Griya Rong Guo semuanya diundang. Karena seringnya Lin Daiyu dan Baoyu bertemu, benih-benih cinta pun muncul. Tapi karena takdir, Baoyu harus menikah dengan Baochai yang memiliki permata seperti dirinya, sedangkan Lin Daiyu tidak memiliki permata sedikit pun. Selanjutnya akan diceritakan betapa seringnya Lin Daiyu bertengkar dengan Baoyu karena perasaan sensitif yang dimiliki Daiyu. Jika Daiyu bertengkar dengan Baoyu, dia sering mengekspresikan perasaannya dengan menangis dan menulis syair-syair puisi. Universitas Sumatera Utara Dalam novel ini banyak menceritakan perayaan-perayaan atau perkumpulan, seperti Perayaan Pesta Bunga, Perayaan Lentera Perayaan Ulang Tahun, Perkumpulan Para Penyair, bahkan Upacara Pemakaman pun diceritakan pada novel ini. Di dalam novel ini juga diceritakan bagaimana peran wanita dalam mengurus keuangan istana yang biasanya hanya diurus oleh kaum laki-laki. Peran Wang Xifeng sangat berpengaruh dalam Griya Rong Guo. Dia sering diangkat jadi ketua pengawas, pengatur keuangan, bahkan akan diangkat menjadi Perdana Mentri. 3. Tahap Ketiga Pada tahap inilah peran feminisme akan muncul. Seorang pelayan kesayangan Nyonya Besar, Yuanyang, diminta untuk menjadi selir Jia She yang memang suka dengan wanita-wanita muda dan cantik. Yuanyang menolak dengan tegas, bahkan berani bertindak kasar kepada atasannya, Nyonya Xing, istri Jia She, untuk mempertahankan pendiriannya. Dia lebih memilih mati atau menjadi biarawati, daripada harus menikah dengan “Si Tua Mata Keranjang” itu. Sampai pada akhirnya Nyonya Besar pun memarahi Jia She yang merupakan anaknya sendiri. Dia lebih membela pelayannya karena dia tahu anaknya itu hanya ingin wanita yang muda dan cantik, setelah bosan akan mencari yang lain lagi. Nyonya Besar pun mencari solusi dengan menyuruh istri anaknya membeli gadis yang disukainya dengan harga berapapun asalkan tidak menjadikan Yuanyang selirnya. Jia She yang telah Universitas Sumatera Utara dihina oleh orang tuanya pun menjadi malu. Dia pura-pura sakit, tapi tetap membeli seorang gadis sebagai pengganti Yuanyang. Cerita berakhir dengan Xue Pan, kakak laki-laki Xue Baochai, yang ingin merayu Liu Xiang Lian, pemuda yang gemar main sandiwara yang merupakan teman Baoyu dan Qin Zhong. Sepanjang Pesta Pengangkatan Lai Shang Rong menjadi pegawai kehakiman, Xue Pan terus memandangi Liu Xiang Lian dan diam-diam mengajaknya berduaan saja. Xiang Lian pun mengusulkan pergi ke tempat yang sepi untuk bicara berdua saja. Sampai di suatu rawa yang sepi, jauh dari desa dan kuil, mereka pun bertemu. Xiang Lian ingin mereka melakukan sumpah. Belum lagi Xue Pan selesai mengucapkan sumpah, tiba-tiba dari belakang Xiang Lian memukulnya. Kemudian Xue Pan ditendang, dipukul habis-habisan sampai disuruh minum air rawa yang kotor.Setelah puas, Xiang Lian pun pergi. Tak lama, Jia Rong menemukannya, lalu membawanya pulang ke rumah menggunakan tandu. Setelah sembuh, Xue Pan terpaksa meninggalkan ibu kota agar teman-temannya melupakan tingkah lakunya yang hina. Alur yang terdapat dalam novel Impian di Bilik Merah tersebut dapat dikaitkan dengan feminisme Marxis yang pengarang angkat dalam novel ini, yaitu tentang kehidupan masayarakat China yang feodal yang mana wanita selalu direndahkan dan dijadikan pemuas nafsu belaka. Para feminisme Marxis menentang paham feodalisme tersebut karena telah memanfaatkan kaum perempuan sebagai daya tarik untuk kebutuhan Universitas Sumatera Utara pribadinya, berdasarkan budaya Patriarki yang selalu menganggap bahwa perempuan itu lebih rendah.

4.2 Analisis Kandungan Feminisme pada Novel Impian di Bilik Merah

Karya Cao Xueqin Dalam teori-teori sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan harus sama dengan kaum laki-laki. Melalui penjelasan ini dapat dikatakan bahwa kaum perempuan merasa tidak disejajarkan dengan laki-laki sehingga melahirkan keinginan kesetaraan gender. Analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap aspek ketertindasan wanita atas diri pria. Hal barusan mengisyaratkan pentingnya kesetaraan dalam hak. Aspek ini juga berlaku bagi dunia kesastraan. Perempuan punya tempat tersendiri dalam karya sastra. Penempatan perempuan pada nilai-nilai kultural yang mempunyai kedudukan tak hanya sebagai masyarakat kelas dua tapi juga berperan sama pentingnya dengan kaum pria. Sebuah karya sastra tidak hanya menyajikan kekerasan maupun berusaha menjadikan perempuan sebagai objek, tapi juga ingin menghapus perbedaan yang ada selama ini sehingga tercapai persamaan gender yang diinginkan. 4.2.1 Figur Tokoh Perempuan dalam Mewujudkan Feminisme pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin Cao Xueqin mengangkat figur perempuan China tradisional yang hidup dalam masa feodalisme. Di tengah-tengah indahnya istana Ning Guo dan Rong Universitas Sumatera Utara Guo, terselip berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan China. Dalam novel ini ada dua perempuan dimunculkan sebagai sosok-sosok yang berambisi, terampil dan patuh terhadap majikan. Dua tokoh paling penting yang sangat berpengaruh dalam penceritaan novel ini adalah Wang Xifeng dan Yuanyang. Figur tokoh perempuan China yang sangat berambisi adalah Wang Xifeng, seorang perempuan dari kelas bangsawan yang berambisi besar untuk dapat menguasai griya Rong Guo. Padahal pada masa itu, perempuan hanya bisa berdiam diri di rumah dan dilarang untuk memimpin suatu kedudukan. Terlihat pada kutipan berikut ini: Namun ternyata, Xifeng ingin sekali menerima tugas itu sehingga ia agak mendesak, “Kuharap Bibi menyetujuinya karena kakak tertua benar- benar membutuhkan bantuan kita.” “Apakah kau yakin bisa menunaikan tugas itu?”tanya Nyonya Wang. “Saya rasa tugas itu tidak terlalu sulit,” jawab Xifeng. “Bukankah kakak tertua sudah mengaturnya? Saya hanya bertugas mengawasi pekerjaan dalam rumah saja. Jika ada yang tidak saya ketahui, bukankah saya bisa bertanya pada Bibi?” Impian di Bilik Merah, 2014:217-218. Semangat Wang Xifeng menjadi kenyataan ketika dia dipilih untuk memimpin upacara kematian Qin Shi. Selain itu, dia juga dipilih sebagai orang yang mengatur keuangan istana. Sifatnya yang pandai berbicara di hadapan orang lain, membuat mereka menaruh kepercayaan kepada Xifeng untuk mengatur segala urusan di istana. Dia sangat mendambakan panggung politik yang lebih besar untuk mengembangkan kepandaiannya. Dalam mengurus suatu hal, dia sangat tajam dan tidak mau kalah. Dia juga suka Universitas Sumatera Utara memamerkan kepandaiannya di hadapan keluarganya, terdapat dalam kutipan berikut: “Kurasa kurang bijaksana kalau kita menempatkan para biksuni dan pendeta wanita itu di beberapa kuil. Jika sewaktu-waktu Yang Mulia Yuan Chun diizinkan mengunjungi kita lagi, kita tentu harus mengumpulkan mereka kembali secara terburu-buru. Menurut pendapatku, lebih baik kita menempatkan mereka di Biara Bulan Air. Selain biayanya tidak besar, mereka juga mudah dipanggil bila diperlukan.” Impian di Bilik Merah, 2014:349-350. Kutipan di atas merupakan pendapat Xifeng dalam hal mencarikan tempat tinggal bagi para biksuni muda Buddha dan pendeta wanita Tao. Dia berpendapat bahwa lebih baik para biksuni dan pendeta wanita tinggal di tempat mereka daripada harus tinggal di beberapa kuil. Pendapatnya yang lain juga terlihat pada kutipan berikut ini: “Jika saya jadi Ibu Mertua,” kata Xifeng, “Saya akan berpikir seribu kali, sebab Nyonya Besar selain tidak mau ditinggalkan oleh Yuanyang, beliau juga sering mengatakan bahwa dia tidak senang terhadap ayah mertua yang suka mencari selir. Menurut pendapat saya, lebih baik Ibu Mertua mencegahnya. Memang siapa saja bisa berbuat begitu selagi masih muda, tapi lain halnya jika sudah punya anak, keponakan, dan cucu. Jika sampai memalukan, tentu Nyonya Besar akan mengecamnya secara terbuka.” Impian di Bilik Merah, 2014:503-504. Dari kutipan-kutipan di atas dapat dilihat bahwa Wang Xifeng memiliki kepandaian yang luar biasa dalam memberikan pendapat. Dia dianggap dapat memberi solusi terbaik jika ada terjadi suatu masalah. Seperti Nyonya Xing, Ibu Mertuanya, yang bingung harus melakukan apa karena suaminya menyuruh Yuanyang untuk menjadi selir. Sebelum hal itu terjadi dia khawatir kalau Nyonya Besar, majikan dari Yuanyang, akan menolak keputusan suaminya tersebut. Oleh Universitas Sumatera Utara sebab itu dia mencari Wang Xifeng untuk mencari solusi dan pendapat Wang Xifeng pun diterimanya. Kemudian ada figur perempuan China yang memiliki keterampilan khas seorang perempuan kelas bawah yaitu Yuanyang, seorang pelayan kesayangan Nyonya Besar. Perempuan China yang berkelas bawah harus bekerja sebagai pelayan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedudukan budak muda atau Ya Tou sangat rendah pada masa itu. Mereka harus melayani semua kebutuhan majikannya, seperti melayani berganti pakaian, membersihkan semua ruangan majikannya, serta membawakan makanan dan minuman. Majikan dapat memaksakan kehendak kepada pelayannya. Seperti tokoh Yuanyang yang dipaksa menikah dengan suaminya Nyonya Xing, Jia She. Keluarga Yuanyang pun tidak dapat berbuat apa-apa selain menerimanya, terdapat pada kutipan berikut: “Kenapa kau tidak mau menjadi majikan atau nyonya? Masa kau ingin terus jadi pelayan? Coba kalau beberapa tahun lagi kau menikah dengan salah seorang pesuruh di sini, bukankah kau akan tetap menjadi budak? Ayo, pergi bersamaku. Kalau sekarang aku bersikap baik terhadapmu, sampai kelak pun aku akan tetap bersikap baik kepadamu.” Impian di Bilik Merah, 2014:509. Mendengar ancaman Jia She, Jin Wen Xiang tak bisa berbuat lain kecuali mengucapkan kata “ya, ya, ya” dan berjanji akan memaksa adiknya. Impian di Bilik Merah, 2014:515. Dalam masyarakat China tradisional, lelaki dijadikan puncak segalanya, termasuk kekuasaan sehingga lelaki memainkan peran yang sangat dominan dalam kehidupan bermasyarakat. Dunia perempuan kelas bawah dapat berubah jika menikah dengan majikannya. Perempuan itu akan menjadi selir yang kedudukannya menjadi lebih tinggi dari orang tua dan neneknya. Seorang perempuan yang dijadikan selir akan dibangun rumah baru sebagai pengganti Universitas Sumatera Utara rumah lama yang tidak memasang nama seorang selir, seperti terlihat pada kutipan berikut: Selain itu, Kaisar juga memberi izin kepada keluarga selir dari Kerajaan Zhou dan Wu serta Griya Rong Guo untuk membangun istana atas biaya kaisar. Da Guan Yuan, nama istana yang diberikan kepada Yuan Chun, didirikan di halaman Griya Ning Guo di bagian timur halaman Griya Rong Guo. Impian di Bilik Merah, 2014:249. Perempuan China pada masa feodal masih sangat taat pada adat yang sebagian besar merugikannya, bahkan mereka sering merasa tertindas oleh perbuatan majikannya. Dari sinilah Yuanyang ingin agar perempuan China dapat sedikit lebih dihargai agar mereka bisa merasakan kebahagiaan. Selain itu, untuk dapat menguasai suatu kekuasaan, perempuan China harus pandai bicara agar dapat memimpin suatu kekuasaan, seperti yang dilakukan Wang Xifeng. Perempuan China digambarkan sebagai perempuan yang ulet, pekerja keras dan patuh maka sudah sewajarnya perempuan mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki. 4.2.2 Perjuangan Tokoh Perempuan dalam Mewujudkan Feminisme pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin Perempuan seringkali dihadapkan pada persoalan yang cukup rumit yang diakibatkan dari situasi hubungan laki-laki dengan perempuan yang tidak sejajar. Pola relasi ini mengakibatkan perempuan mendapatkan banyak ketidakadilan. Perempuan menanggapinya dengan berbagai cara dan sikap. Ada yang menyadari dan menumbuhkan kesadaran kritis yang berlanjut pada keberanian sikap menentang segala bentuk ketidakadilan tersebut, tetapi ada juga yang tidak Universitas Sumatera Utara menyadari. Hal ini diakibatkan dari sosialisasi masyarakat dan keluarga sehingga perempuan sendiri menganggapnya sebagai sebuah kodrat. Dalam novel Impian di Bilik Merah terdapat tokoh-tokoh perempuan yang berani memperjuangkan hak-haknya dan melawan sistem budaya masyarakat Patriarkis. Tokoh-tokoh tersebut adalah Wang Xifeng dan Yuanyang. Wang Xifeng adalah potret perempuan China yang ingin mendapat kesetaraan dengan laki-laki untuk memimpin suatu kekuasaan. Melalui novelnya, Cao Xueqin menguraikan tokoh perjuangan perempuan tersebut dengan melihat sisi lain perempuan, yaitu dari sisi kekuasaan perempuan dalam meminpin kekuasaan. Tokoh Wang Xifeng juga digambarkan Xueqin sebagai seorang perempuan yang berani bertindak kejam agar mendapat posisi kekuasaan tersebut. Xifeng dipercaya oleh keluarga Jia karena kepandaiannya dalam berbicara dan mengambil hati orang lain. Sebelum keinginannya terwujud, dia selalu bersikap manis di depan orang lain, terutama Ibu Mertua dan Nenek Mertuanya. Terdapat dalam kutipan berikut: “Yang penting,” kata Xifeng untuk mengambil hati, “Ibu Mertua tentu tahu apa yang terbaik, bukan? Siapa sih yang tidak mau mendaki sampai ke puncak?....... Impian di Bilik Merah, 2014:506. “Dan kau Xifeng, kuharap kau jangan marah terhadapku,” kata Nyonya Besar sambil memegang Xifeng. “Ah, padahal saya juga bersedia menerima amarah Nenek Mertua, tapi kenapa Nenek Mertua merasa telah berbuat salah pada saya,” kata Xifeng. Impian di Bilik Merah, 2014:521. Dalam kehidupan masyarakat China, terutama sebelum RRC berdiri, pranata sosial yang paling penting adalah keluarga. Memahami keluarga membantu memahami kehidupan orang China dan sikap kaum pria dan wanita Universitas Sumatera Utara yang membentuk keluarga tersebut. Dahulu keluargalah yang merupakan unit sosial yang paling kecil dan bukan individu. Keluarga Chia dalam masyarakat China tradisional adalah keluarga kekerabatan yang diatur menurut sistem patrilineal. Istilah ini berarti bahwa keturunan dihitung menurut garis laki-laki. Posisi perempuan di masyarakat China tradisional sangat rendah dan harus patuh terhadap peraturan-peraturan. Diantara berbagai peraturan yang harus dipatuhi oleh perempuan China adalah aturan Tiga Kepatuhan, yaitu patuh pada orang tua selama ia belum menikah, pada suami setelah ia menikah dan pada anak laki-laki setelah suaminya meninggal dunia. Aturan tersebut kemudian menjadi dasar bahwa seorang perempuan menjadi milik suami dan keluarga suaminya setelah ia menikah. Sebab, seorang perempuan secara langsung pindah dari rumah atau keluarga kandungnya, tempat dia lahir niang jia dan menjadi anggota keluarga suaminya po jia. Dalam kehidupan berumah tangga, posisinya sebagai seorang istri dalam keluarga suaminya secara teoritis sangat tidak aman. Ketika menikah, maka ia berada di bawah kekuasaan keluarga suaminya, termasuk Ibu Mertuanya. Sama halnya dengan Wang Xifeng, dia sangat patuh terhadap Ibu Mertua dan Nenek Mertuanya. Dia tidak berani melawan perintah mereka, terdapat pada kutipan berikut: Ketika melihat Nyonya Besar marah, Nyonya Wang hanya bisa tegak dan mendengarkan dengan diam, karena seorang menantu tidak pantas mempertahankan diri jika dituduh sesuatu oleh mertuanya. Begitu pula dengan Bibi Xue yang tak mungkin bisa membela kakaknya, serta Baochai yang tak dapat membela bibinya. Li Wan, Xifeng, dan Baoyu juga tidak pantas jika ingin membelanya. Universitas Sumatera Utara Orang yang berhak membantah Nyonya Besar hanya anak- anak kandungnya. Ying Chun juga tidak berani, sedangkan Xi Chun masih terlalu muda. Impian di Bilik Merah, 2014:518, 520. Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa seorang menantu tidak boleh membantah perkataan Ibu Mertuanya, yang boleh membantah hanyalah anak-anak kandungnya. Hal ini dikarenakan adanya aturan Tiga Kepatuhan yang dialami perempuan China seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Meskipun Wang Xifeng patuh terhadap Ibu Mertua dan Nenek Mertuanya, tetapi sikapnya tidak demikian terhadap suaminya. Xifeng sering meremehkan suaminya di hadapan orang lain karena sikap suaminya yang tidak pandai berbicara dan tidak bersikap sebagai seorang pemimpin. Terdapat pada kutipan berikut: “Apakah kau yakin tugas itu dapat kau tangani?” tanya Jia Lian, sambil menatap Jia Qiang dari bawah ke atas,..... Xifeng lalu berkata kepada suaminya, “Rupanya kau kira dirimu saja yang mampu melakukan itu. Apa kau meragukan pertimbangan Jia Qiang? Seharusnya kita puas boleh belajar dari yang lain........... “Aku tidak meragukan pertimbangan Jia Qiang,” kata Jia Lian. “Tapi, aku hanya merasa heran.” Impian di Bilik Merah, 2014:252, 254. Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Wang Xifeng berani menegur suaminya karena telah meragukan kemampuan orang lain dalam membangun istana baru. Hal ini seharusnya tidak dilakukan oleh perempuan China yang telah menikah, yang mana seorang istri harus berkata lembut di hadapan suaminya, apalagi kejadian itu dilihat oleh orang lain. Tokoh Wang Xifeng yang pandai bicara membuatnya lebih terpandang daripada suaminya. Banyak orang yang sudah mengakui kepandaiannya. Universitas Sumatera Utara Terutama Jia Zhen, putra Jia Jing yang berasal dari Griya Ning Guo. Jia Zhen seorang yang tidak suka ilmu pengetahuan, segenap tenaganya dihamburkan untuk hal sepele sehingga menggoyahkan kedudukan Griya Ning Guo. Oleh karena itu, dia mengajak Xifeng untuk bersama-sama mengurus Griya Ning Guo. Hal ini tidak disia-siakan oleh Xifeng, dengan penuh harap dia ingin berkuasa di Griya Ning Guo. Untuk itu dia menunjukkan semua kepandaiannya agar keinginannya dapat terwujud. Dalam memimpin suatu kekuasaan, tokoh Wang Xifeng digambarkan sebagai sosok yang kejam dan berambisi. Sifat ambisi yang dimiliki Xifeng cenderung ke arah negatif. Dalam mewujudkan ambisinya, dia terlalu berambisi, sehingga ambisinya berlebihan dan tak jarang sampai menghalalkan segala cara. Saking berambisinya untuk memimpin suatu hal, dia jadi memaksa orang lain atau pelayannya terus menerus mengerjakan suatu tugas. Karena terlalu memaksa, pelayannya menjadi takut dan dia tidak segan menghukum jika ada yang melakukan kesalahan, meskipun kesalahan tersebut sedikit. Hal itu terlihat pada kutipan berikut: “........ Kerjakan apa yang kuperintahkan sebab bagi mereka yang berani mengabaikan kewajiban akan menerima hukuman yang setimpal, tak peduli betapa bagus pekerjaannya di bawah majikan dulu. Aku tidak mau membedakan siapa yang disayangi dan siapa yang tidak.” Impian di Bilik Merah, 2014:220. “Ping-Er, coba kau panggil dua orang pembantu, suruh mereka membawa cemeti untuk mencambuki si kurang ajar ini sampai kulitnya terlepas dari punggungnya,” katanya. Impian di Bilik Merah, 2014:480. “Aku tahu pasti ada orang yang mengeluh tentang pemotongan gaji,” kata Xifeng. “Meskipun dia mengeluh di depan Bibi, aku tidak takut. Pelacur tak tau malu. Dia pantas mati konyol. Universitas Sumatera Utara Bodoh Gila Bisa-bisanya dia mengeluh karena gaji pelayannya dipotong. Sedikit pun dia tidak sadar bahwa sekarang setiap orang harus bisa membatasi kebutuhannya. Memangnya dia yang menggaji pelayan?” Impian di Bilik Merah, 2014:453. Kutipan di atas menandakan bahwa Wang Xifeng merupakan perempuan yang sangat tidak menyukai apabila perintahnya diabaikan. Dia juga suka bicara ketus, tak hanya kepada pelayan, tapi juga berprilaku sama bila melihat tingkah orang yang membuat dirinya kesal. Sikap ketus yang dimiliki Xifeng merupakan suatu bentuk pertahanan diri dalam mewujudkan feminisme. Selain itu sifat ambisinya yang besar dalam mencapai kekuasaan juga sebagai bentuk wujud feminisme. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam hidup seorang perempuan layak mempertahankan diri dalam sistem feodal. Seperti pada teori politik Marxis yang menawarkan suatu analisis kelas yang memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang menindasnya. Marxisme berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki dapat bersama-sama membangun struktur sosial dan peran sosial yang memungkinkan kedua gender untuk merealisasikan potensi kemanusiaannya secara penuh. Masyarakat akan percaya terhadap kemampuan dan kepemilikan perempuan jika perempuan itu sendiri mengungkapkan dan menunjukkannya dengan berani dan lugas. Untuk menjadi berani dan lugas, perempuan membutuhkan kesadaran dalam dirinya sendiri. Kesadaran dan kesiapan itu dibutuhkan untuk perubahan yang diperjuangkannya. Feodalisme sering dianggap berjalan beriringan dengan Patriarki. Akan tetapi, penghapusan feodalisme tentu saja tidak memakan waktu yang sebentar. Universitas Sumatera Utara Bahkan, sebagian orang beranggap itu adalah suatu hal yang mustahil. Dalam hal ini, feminisme membutuhkan optimistis untuk mendapat keadaan seperti yang didambakan yaitu terjadi keadilan dan kesetaraan gender. Selain tokoh perempuan yang bertindak kejam dalam mewujudkan feminisme, terdapat pula tokoh perempuan yang dianggap melakukan pemberontakan terhadap sistem feodal, yaitu Yuanyang. Dia memperjuangkan haknya dalam mencapai kebahagiaan dan kebebasan memilih pasangan. Wujud feminisme yang dimiliki Yuanyang terlihat pada kutipan berikut: Sekarang saya ingin katakan di depan Tuan muda Baoyu maupun di depan siapa saja, bahwa saya telah memutuskan untuk tidak kawin seumur hidup. Jika Nyonya Besar akan memaksa saya untuk kawin dengannya, lebih baik saya mati saja Kelak jika Nyonya Besar wafat, saya pun tak akan kembali kepada orang tua atau abang saya. Lebih baik saya mati atau menjadi biarawati. Jika saya bersumpah palsu, semoga Langit, Bumi, Matahari, dan Bulan, bahkan semua setan atau iblis yang menjadi saksi akan mengutuk saya menderita sakit tenggorokan selama- lamanya.” Impian di Bilik Merah, 2014:516. Kutipan di atas menandakan bahwa Yuanyang sudah mempunyai jiwa seorang feminisme Marxis dengan keinginannya tidak menikahi anak majikannya yang dianggap akan merubah hidupnya menjadi lebih baik. Yuanyang berusaha keras untuk mewujudkan keinginannya itu. Dia rela mati bahkan memutuskan untuk tidak kawin seumur hidupnya. Yuanyang tidak mau dijadikan selir karena hanya akan menjadi pemuas nafsu laki-laki saja. Seperti yang diketahui, Jia She adalah seorang laki-laki hidung belang yang suka membeli gadis muda apabila ada yang diinginkannya. Yuanyang tidak ingin nasibnya seperti perempuan-perempuan yang dibeli Jia She. Universitas Sumatera Utara Meskipun dia akan dijadikan selir, tapi dia tahu bahwa Jia She akan mencampakkannya bila sudah muak dengan dirinya. Perempuan China seperti Yuanyang ini merupakan perempuan yang berasal dari kelas bawah dan tidak mempunyai hak istimewa dalam sistem feodal. Yang mana pada sistem feodal tersebut, perempuan selalu diremehkan keberadaannya. Perempuan yang bekerja sebagai budak sangat patuh bahkan mengabdi kepada majikannya, seperti yang dilakukan oleh Yuanyang. Sejak dia diambil dari orang tuanya untuk dijadikan budak, sedikitpun dia tidak pernah melawan majikannya, si Nyonya Besar. Jika Nyonya Besar sedang jalan-jalan di taman, dia akan selalu mendampingi dan terkadang mengeluarkan pendapat tentang apa yang terjadi di sekelilingnya. Jika Nyonya Besar kedatangan tamu, dia akan langsung mengambil tempat duduk dan membuatkan minuman. Selama majikannya masih hidup, dia akan selalu mengikuti kemanapun majikannya pergi. Terdapat pada kutipan berikut: “Selama Nyonya Besar masih hidup, aku tak akan meninggalkannya,” kata Yuanyang dengan suara mantap. Impian di Bilik Merah, 2014:512. Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa perempuan yang dijadikan budak sangat taat dengan sistem yang ada dan tidak berani untuk melawannya. Hal ini disebabkan karena pada masa feodal apabila ada anak perempuan atau anak laki- laki yang lahir dari keluarga miskin, maka harus dijadikan budak. Sama halnya dengan ayah dan ibu Yuanyang yang dari kecil juga sudah menjadi budak di keluarga Jia. Universitas Sumatera Utara Sejatinya pelaku utama dalam suatu kehidupan masyarakat adalah kelas- kelas sosial, yaitu kelas atas yang terdiri dari kaum Borjuis dan kelas bawah yang terdiri dari kaum Proletar. Pada pembagian kelas ini, Karl Marx memberi perhatian lebih terhadap ketidakadilan yang terjadi diantara kedua kelas tersebut. Kaum Borjuis lebih melaksanakan kegiatan yang terlalu berlebihan terhadap kaum Proletar. Kaum Borjuis membeli tenaga yang dimiliki kaum Proletar dengan harga yang tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat. Padahal sejatinya yang menjual jasa adalah kaum Proletar, namun yang mendapat keuntungan justru kaum Borjuis. Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham feodalisme, yang mana paham tersebut selalu merendahkan kaum Proletar, terlebih lagi kaum perempuan. Bila kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx kaum Proletar terutama perempuan akan memberontak dan menuntut keadilan. Seperti yang dilakukan Yuanyang, berani mengatakan “tidak” demi mempertahankan harga dirinya sebagai seorang perempuan. Dia sangat menjunjung nilai-nilai kesucian dan selalu memegang teguh apa yang menjadi pendapatnya. Menurutnya, apabila ingin bebas maka kita harus melawannya walaupun akan menanggung resiko tinggi. Sebagai seorang budak, kalau ada kesempatan tidak menjadi budak lagi dapat dikatakan sebagai hal yang baik. Penolakan yang dilakukan Yuanyang mencerminkan dia tidak rela hati menjadi mainan kaum laki-laki. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam hidup seorang perempuan memang sepantasnya untuk memberontak sistem feodal, sehingga perempuan pun bisa mendapatkan kebebasan. Menjadi seorang Universitas Sumatera Utara feminisme Marxis seperti di dalam novel Impian di Bilik Merah, salah satu caranya. Menentang sistem feodal sehingga keadilan pun dapat ditegakkan kembali. Menurut pendapat penulis, perempuan miskin akan selalu menjadi pekerja dan perempuan borjuis pasti sebagai majikan. Karena ada kesamaan rasa tertindas dari dalam rumah, maka perempuan borjuis harusnya dapat merasakan penderitaan perempuan pekerja. Oleh karena itu, perempuan sebagai kekuatan tersendiri dalam hubungan persaudaraan yang kuat untuk merebut kembali kondisi yang membahagiakan bagi semua perempuan. Cita-cita Marxis untuk menciptakan dunia yang nyaman bagi perempuan, agar perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia yang utuh. Dengan adanya cita-cita ini dapat menginspirasi perempuan dari berbagai kelas untuk menyatukan kekuatan atas dasar penindasan yang sama sebagai kesadaran penuh untuk merebut kebahagiaan bersama. Universitas Sumatera Utara

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap analisis feminisme dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin maka dapat disimpulkan bahwa : a. Unsur-unsur struktural dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin 1 Tema Mengangkat cerita mengenai kedudukan perempuan China pada masa feodal. 2 Penokohan dan Perwatakan Penulis membahas 4 tokoh perempuan yang berbeda-beda wataknya, yaitu: 1. Lin Daiyu : Penyakitan dan mudah tersinggung 2. Xue Baochai : Patuh terhadap nilai-nilai tradisional 3. Wang Xifeng : Kejam dan punya seribu mata hati 4. Yuanyang : Terampil dan berani 3 Alur Alur yang terdapat dalam novel ini adalah alur flash back. Awal cerita dimulai dengan kisah „Si Batu‟, kemudian tampaklah tokoh Yu Cun dan Shi Yin, Semua kisah tokoh pada novel ini diceritakan secara flash back, Yu Cun dan temannya, Zi Xing bercerita tentang dua keluarga besar yang bernama Griya Ning Guo dan Griya Rong Guo, lalu muncullah sosok Lin Daiyu yang harus tinggal di Universitas Sumatera Utara tempat neneknya setelah kematian ibunya, diceritakan pula pertemuan pertama antara Lin Daiyu dan Baoyu yang akan menimbulkan benih-benih cinta. Pada novel banyak diceritakan tentang perayaan-perayaan dan upacara kematian. Diceritakan pula betapa seringnya Daiyu dan Baoyu bertengkar, Baoyu yang dijodohkan dengan Baochai padahal dia sangat mencintai Daiyu, cerita diakhiri dengan penolakan Yuanyang untuk dijadikan selir dan tingkah Xue Pan yang dianggap hina pada masa itu. b. Kandungan feminisme yang terkandung pada novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin 1 Figur tokoh perempuan dalam mewujudkan feminisme Figur perempuan China digambarkan sebagai perempuan yang memiliki kecantikan dan keterampilan serta hidup dalam sistem feodalisme. Mereka adalah perempuan yang menjunjung tinggi ambisi, terlihat pada sosok Wang Xifeng, dan menjunjung tinggi kepatuhan, terlihat pada sosok Yuanyang. 2 Perjuangan tokoh perempuan dalam mewujudkan feminisme Perjuangan Wang Xifeng dalam mewujudkan feminisme dilakukan dengan berprilaku kejam dan ketus untuk mempertahankan diri pada sistem feodal yang akan membatasi keahliannya. Perjuangan Yuanyang dalam mewujudkan feminisme dilakukan dengan cara memberontak, yang merupakan bentuk perlawanan pada sistem feodal. Universitas Sumatera Utara

5.2 Saran

Adapun saran yang ingin disampaikan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan ajar, khususnya pada pembelajaran unsur-unsur intrinsik novel. 2. Dapat menambah pengetahuan mengenai kajian feminisme yang terkandung dalam karya sastra. 3. Dapat dilanjutkan dan disempurnakan oleh peneliti berikutnya yang berkenaan dengan feminisme, khususnya feminisme Marxis. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, melihat-lihat, memeriksa, mengamati, dan sebagainya KBBI, 2005:574. Sedangkan pustaka adalah buku, kitab, kumpulan buku bacaan, dan sebagainya KBBI, 2005:397. Tinjauan pustaka berfungsi untuk mengetahui keaslian karya ilmiah. Oleh karena itu, ada beberapa tinjauan pustaka yang menginspirasi penulis dari beberapa skripsi terdahulu di antaranya: Tety Warliani 2005 dari Universitas Sumatera Utara dengan judul skripsinya “Novel Memburu Matahari Karya Wadjib Kartapati: Analisis Feminisme”. Penelitian ini mengenai peranan tokoh utama dalam keluarga dan peranan tokoh utama dalam lingkungan masyarakat. Ade Sri Handayani 2010 dari Universitas Sumatera Utara dengan judul skripsinya “Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy: Ketidakadilan Gender”. Penelitian ini mengenai perjuangan tokoh utama dalam novel Peremupan Berkalung Sorban yang menggambarkan tentang semangat feminisme, yaitu keinginan perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Rany Mandrastuty 2010 dari Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul skripsinya “Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini: Kajian Feminisme”. Penelitian ini mengenai perjuangan tokoh perempuan dalam mewujudkan feminisme. Universitas Sumatera Utara Tri Ayu Nutrisia Syam 2013 dari Universitas Hasanuddin Makassar dengan judul skripsinya “Representasi Nilai Feminisme Tokoh Nyai Ontosoroh d alam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer”. Penelitian ini mengenai ketidakadilan yang dialami orang-orang tertentu dalam novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Tety, Ade, Rany, dan Tri memiliki objek penelitian yang berbeda dengan penelitian ini. Penelitian- penelitian tersebut juga membahas masalah feminisme, sama dengan masalah yang dibahas pada penelitian ini. Namun penelitian ini mencoba untuk menggambarkan tentang kedudukan perempuan pada masyarakat Cina tradisional pada masa pemerintahan Dinasti Qing.

2.2 Konsep

Konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti, karena menentukan penetapan variabel. Di dalam konsep ini akan dipaparkan variabel-variabel yang terdapat dalam judul penelitian.

2.2.1 Novel dan Unsur-Unsur Novel

Dokumen yang terkait

Analisis Tokoh Jia Baoyu Pada Novelhónglóumèng Karya Cao Xueqin

0 89 113

Analisis Tokoh Utama Pada Novel Putri Huan Zhu 1 Karya Chiung Yao Berdasarkan Pendekatan Struktural (小说《还珠格格》中小燕子和 夏紫薇的性恪研究) (Xiǎoshuō “huán zhū gégé” zhōngxiǎo yànzi hé xià zǐwēi dì xìng kè yánjiū)

1 101 83

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

0 1 9

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

0 0 2

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

0 0 9

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

0 0 15

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī Chapter III V

1 2 40

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

0 0 3

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī

0 0 35

Lampiran I Sinopsis Novel Hongloumeng Karya Cao Xueqin

1 1 30