Aklimatisasi Acute Mountain Sickness AMS

2.3. Aklimatisasi

2.3.1. Definisi Aklimatisasi Aklimatisasi merupakan proses membaiknya toleransi dan penampilan individu setelah beberapa jam sampai beberapa minggu yang berkaitan dengan faktor-faktor tertentu atau karakteristik dari suatu lingkungan. Faktor tersebut antara lain temperatur lingkungan, ketinggian, iklim, dan cuaca. Aklimatisasi bertujuan untuk mempertahankan homeostasis tubuh dan tidak jatuh terhadap kondisi patologis West, 2013. 2.3.2. Aklimatisasi pada Ketinggian Aklimatisasi terhadap ketinggian bertujuan untuk mengantarkan oksigen ke jaringan dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini, Palmer 2010 menyebutkan bahwa perubahan fisiologis yang terjadi sehubungan aklimatisasi di ketinggian adalah sebagai berikut : a. Peningkatan ventilasi secara involunter. b. Peningkatan konsentrasi hemoglobin. • Memengaruhi hemokonsentrasi sehubungan dengan volume plasma dalam beberapa hari. • Meningkatkan jumlah sel darah merah atau eritrosit 2-3 minggu. c. Peningkatan afinitas hemoglobin dengan oksigen • Pergeseran kurva disasosiasi oksigen ke kiri dari penurunan PCO 2 dan peningkatan pH. d. Penurunan cardiac output • Peningkatan waktu difusi O2 dari alveolus ke kapiler akibat aliran darah melambat. • Peningkatan tekanan arteri pulmoner dan tekanan kapiler Universitas Sumatera Utara

2.4. Acute Mountain Sickness AMS

2.4.1. Definisi AMS Menurut Rennie et al. 1976 dan Subramanyam et al. 1969 dikutip dalam kepustakaan Roach et al. 2000, Acute Mountain Sickness AMS adalah sindrom yang muncul pada para petualang ke ketinggian dengan melakukan pendakian ke tempat yang terlalu tinggi dan atau terlalu cepat. Definisi AMS berbeda lagi pada kepustakaan atau studi lainnya. Misalnya, kelompok Lake Louis Consensus mendefinisikan AMS dengan adanya sakit kepala pada individu yang tidak mampu aklimatisasi dan baru saja berada di ketinggian di atas 2500 m disertai dengan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut; masalah gastrointestinal anorexia, nausea, atau muntah, insomnia, oyong, kelelahan Hackett dan Roach, 2001. 2.4.2. Epidemiologi AMS Tingginya suatu tempat dan kecepatan pendakian merupakan variabel utama dalam terjadinya AMS. Semakian tinggi suatu tempat dan cepat waktu pendakian, angka insidensi terjadi AMS juga semakin besar. Sebuah studi yang disebutkan dalam situs web Altitude Research Center dari Universitas Colorado Anschutz Medical, 22 dari mereka yang mendaki hingga ketinggian 7000 – 9000 kaki akan mengalami AMS, dan 42 mengalami AMS jika berada di ketinggian lebih dari 10000 kaki. Dan diduga sekitar 30 juta jiwa memiliki risiko untuk mengalami AMS setiap tahunnya. Dalam studi lain, disebutkan bahwa sekitar 22-77 dari petualang, khususnya pendaki gunung, mengalami AMS di rentang ketinggian 1850-5895 meter di atas permukaan laut mdpl Luks, 2014. Jika berdasarkan jenis kelamin, antara laki-laki dan perempuan tidak memeliki perbedaan untuk mengalami AMS Palmer, 2010. Tetapi, hal tersebut berbeda dengan Hackett et al. 1976 dikutip dalam Sharma 2010 yang menyebutkan bahwa insidensi kejadian AMS sebesar 53 persen pada laki-laki dan 51 pada perempuan. Kejadian AMS berdasarkan pengelompokkan gender disebutkan juga berbeda dalam studi lain. Universitas Sumatera Utara Menurut Hanaoka 2000 dikutip dalam Febriyana, Wiyono, dan Yunus 2003, laki-laki dan perempuan dapat menderita AMS walaupun perempuan lebih cenderung terkena AMS Acute High Altitude Illness AHAI, termasuk di dalamnya AMS, mengenai pada kelompok orang yang tidak menetap di ketinggain tertentu atau dengan kata lain mereka melakukan pendakian. Berbeda dengan para penduduk atau orang- orang menetap tinggal di ketinggian, yang mana mereka lebih mudah mengalami chronic mountain sickness Monge disease. Sekitar 50-70 pendaki gunung umumnya mengalami AMS, meskipun insidensi bergantung pada kecepatan pendakian dan juga skala ketinggian. Insidensi AHAI juga dikelompokkan berdasarkan ketinggian dengan AMS umumnya terjadi pada ketinggian di atas 2500 mdpl Smedley dan Grocott, 2013. Studi lain menyebutkan bahwa AMS mungkin terjadi pada individu yang mendaki ke ketinggian di atas 2500 mdpl dan dilaporkan bahwa 53 di antaranya terjadi pada ketinggian di atas 4000 mdpl Lanfranchi et al., 2005. Ketinggian memengaruhi proses terjadinya AMS. Dalam hal ini, sekitar 6- 8 disebutkan sebagai persentase terjadinya peningkatan frekuensi nadi dan ventilasi pada ketinggian 2700 mdpl, meskipun pada ketinggian di atas 3000 mdpl. Saturasi O 2 pada orang yang belum terkena AMS masih dapat mencapai lebih dari 90 Küpper et al., 2010. Menurut Luks, Rodway et al. 2014, AMS dapat terjadi berdasarkan 3 kelompok kategori risiko, yaitu : d Rendah • Individu tanpa riwayat altitude illness dan tidak pernah mendaki gunung ≤ 2800 mdpl. • Individu memakan waktu ≥2 hari untuk mendaki gunung 2500- 3000 m. e Sedang • Individu tanpa riwayat AMS dan tidak pernah mendaki gunung 2500-2800 mdpl dalam 1 hari. Universitas Sumatera Utara • Individu tanpa riwayat AMS dan mendaki gunung 2800 mdpl dalam 1 hari. • Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian sekitar 3000-3500 mdpl dan dengan kecepatan 500 m per hari. f Tinggi • Individu dengan riwayat AMS dan mendaki gunung 2800 mdpl dalam 1 hari. • Semua individu dengan riwayat HAPE atau HACE. • Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian 3500 mdpl. • Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian 3500 mdpl dan dengan kecapatan 500 m per hari • Pendakian gunung yang sangat cepat. 2.4.3. Patofisiologi AMS Menurut Sharma 2010, Acute Mountain Sickness tidak terjadi dengan onset cepat dan begitu saja. AMS terjadi dalam beberapa jam di ketinggian, tetapi mekanismenya sehubungan dengan hipoksia akibat tekanan parsial O 2 lebih rendah belum dapat dijelaskan secara pasti. Pada respon tubuh normal terhadap ketinggian, tubuh akan mengalami diuresis. Sementara pada kejadian AMS, terjadi hal sebaliknya dimana terjadi antidiuresis. Mengenai patofisiologi terjadinya AMS, proses pasti terjadinya AMS tidak diketahui. Hipoksia yang menginduksi vasodilatasi serebral dan efeknya seperti Nitrit Oksida NO dianggap menjadi penyebab timbulnya nyeri kepala melalui aktivasi sistem trigeminovaskular. AMS mungkin berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengkompensasi edema otak. Individu yang mempunyai rasio cairan serebrospinal cranial lebih besar, akan lebih baik dalam mengkompensasi edema melalui pemindahan cairan serebrospinal sehingga lebih jarang menderita AMS. Faktor lain yang dianggap memengaruhi kejadian AMS adalah perubahan pernafasan saat sampai di ketinggian. Individu dengan PCO 2 Universitas Sumatera Utara tinggi saat sampai di ketinggian lebih mudah terkena AMS Febriana, Wiyono, dan Yunus 2003. Menurut Clarke 2006, ada beberapa faktor yang terlibat dalam patogenesis AMS. Faktor-faktor tersebut yaitu : 1. Faktor genetik Orang-orang tertentu memiliki kecenderungan untuk terkena AMS dan altitude oedema. Meskipun belum secara pasti dapat dijelaskan, namun hal itu diduga berkaitan dengan angiotensin-converting enzyme genes dan polimorfisme pulmonary surfactant protein A. 2. Respon seluler terhadap kondisi hipoksia. Misalnya, mitochondrial acclimatization dan penjalaran impuls di jalur axon yang melambat. 3. Perubahan yang terjadi di mikrovaskular. Berdasarkan hipotesis tersebut, perubahan mikrovaskular yang terjadi bersifat unik dimana kondisi hipoksia menyebabkan perfusi berlebihan pada pembuluh darah kecil mikrovaskular, khususnya di otak dan paru-paru. Hal ini dikarenakan oleh aktivasi vascular endothelial growth factor yang dipicu oleh mediator- mediator seperti hypoxia-inducible factor dan nitric oxide Clarke, 2006. 2.4.4. Gejala Klinis dan Diagnosis AMS Menurut Heo et al. 2014, gejala utama AMS berupa sakit kepala. Selain itu, manifestasi klinis AMS yaitu : 1. Masalah gastro-intestinal Misalnya : anorexia, nausea, dan muntah 2. Kelelahan fatigue 3. Oyong dizziness Universitas Sumatera Utara 4. Gangguan tidur 5. Retensi cairan 6. Oligouria Manifestasi klinis AMS jarang timbul pada ketinggian di bawah 2000 mdpl dan biasanya terjadi 6-10 jam setelah pendakian,namun terkadang dapat timbul 1 jam setelah pendakian Hackett dan Roach, 2001 Menurut Richard 2014 menyebutkan, diagnosis AMS dapat ditegakkan bila baru saja melakukan pendakian hingga ketinggian di atas 2500 mdpl dan diikuti sakit kepala diikuti satu atau lebih manifestasi klinis lainnya. Selain itu, retensi cairan merupakan tanda klasik AMS, dimana normalnya aklimatisasi tubuh akan mengalami dieresis. Retensi cairan ditandai dengan oliguria diserta edema, baik di wajah maupun perifer. Jika terjadi perburukkan, maka sakit kepala akan semakin parah dan gejala lain yang menyertai dapat semakin buruk. Bahkan, jika terus berlanjut, dapat terjadi penurunan atau gangguan status menta dan koordinasi pergerakkan. Hal itu dapat dipicu oleh karena edema serebral yang mana menyebabkan kompresi struktur otak diikuti peningkatan tekanan intrakranial sehingga dapat terjadi ataxia, stupor, dan kelemahan saraf kranial III dan IV. Koma dapat terjadi bila hal ini terus dibiarkan atau tidak ditangani segera Gomersall et al., 2012. 2.4.5. Tatalaksana dan Pencegahan AMS Menurut Richard 2014, prinsip penatalaksanaan AMS terdiri dari tiga hal, yakni : 1. Hindari atau jangan melakukan pendakian ke ketinggian lebih lanjut. 2. Jika pasien telah diberi tatalaksana awal, tidak menunjukkan perbaikan atau respon, segera evakuasi ke tempat yang lebih rendah. 3. Jika pasien menunjukkan gejala AMS berat dan bahkan sudah masuk ke tahap edema serebri High Altitude Cerebral Edema, maka segera evakuasi ke tempat yang lebih rendah. Universitas Sumatera Utara Umumnya sebelum melakukan berbagai intervensi, membawa pasien AMS ke tempat dengan ketinggian yang lebih rendah, merupakan opsi utama, khususnya pada kejadian AMS berat. Sebuah studi menjelaskan bahwa mengevakuasi pasien AMS ke tempat dengan ketinggian 500—1000 meter yang lebih rendah memberikan dampak positif atau pasien menunjukkan perbaikan yang bermakna. Selain itu, perlu juga diberikan terapi oksigen dan ada baiknya kedua hal tersebut dikombinasikan supaya penanganan dapat optimal Luks, 2014. Namun, jika tidak memungkinkan untuk mengevakuasi pasien atau memberikan terapi oksigen, tatalaksana secara farmakologi bersifat krusial. Secara farmakologi, Acetazolamide dan Dexamethasone merupakan obat yang sering diberikan pada pasien AMS. Bahkan, tak jarang kedua obat ini juga digunakan untuk pencegahan AMS Palmer, 2010. Sebuah studi menunjukkan bahwa jika Acetazolamide dibandingkan placebo, Acetazolamide memberikan respon perbaikan dengan persentase sekitar 74 dalam waktu 24 jam. Berbagai studi lain mengungkapkan bahwa Dexamethasone memberikan respon yang lebih baik dan efektif dibandingkan dengan pemberian Acetazolamide dan hanya dalam waktu 12 jam. Namun,, kombinasi Dexamethasone dan Acetazolamide belum diketahui lebih efektif dikarenakan kerja obat tersebut berbeda Hackket dan Roach, 2001 Antioksidan alpha lipoic, vitamin C dan vitamin E bekerja secara sinergi untuk proteksi tubuh dari kerusakan radikal bebas dan kerusakan vaskular yang diinduksi hipoksia Baillie et al., 2009 . Pereventif lebih baik daripada kuratif. Maka, pencegahan AMS merupakan hal utama yang sebaiknya dilakukan para pendaki gunung. Pencegahan tersebut mudah diterapkan oleh para pendaki gunung, sekalipun bukan paramedis ataupun mereka yang tidak paham bidang medis. Chawla dan Saxena 2014 menyebutkan bahwa anjuran bagi para pendaki adalah sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2. Anjuran bagi para pendaki gunung Chawla dan Saxena 2014, Physiology of High Altitude Acclimatization,hal. 547, tabel. 2 Sebaiknya dilakukan Sebaiknya tidak dilakukan Mendaki perlahan-lahan. Aktivitas berlebihan dan tidak perlu, serta berjalan terlalu cepat saat pendakian. Istirahat yang cukup, khususnya pada 72 jam pertama. Hindari mengonsumsi alcohol dan pil tidur. Minum yang cukup untuk menghindari dehidrasi dan makan makanan yang banyak serat dan rendah garam. Jangan melanjutkan pendakian jika terdapat tanda-tanda AMS. Gunakan kacamata pelindung dan pakaian yang berlapis. Jangan ragu untuk meminta bantuan medis atau turun ke ketinggian lebih rendah jika kesehatan fisik maupun psikis mulai menurun. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang