Definisi Ketinggian Fisiologi Tubuh terhadap Kondisi di Ketinggian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Ketinggian

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ketinggian merupakan tinggi suatu titik di atas bidang acuan dimana acuan yang biasanya digunakan adalah tinggi rata-rata dari permukaan laut. Dalam sebuah studi, definisi ketinggian berdasarkan rentang tinggi suatu tempat dari permukaan laut. Ketinggian terdiri dari tiga skala, yaitu tinggi 2438 – 2658 meter, sangat tinggi 3658 – 5487 meter, dan ekstrim 5500 meter Febriana, Yunus, dan Wiyono, 2003.

2.2. Fisiologi Tubuh terhadap Kondisi di Ketinggian

Berbagai aktivitas manusia bisa dilakukan di ketinggian, misalnya terkait olahraga, bercocok tanam, tujuan pariwisata, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Namun, ketinggian tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk bertahan hidup. Temperatur yang begitu rendah, kecepatan angin yang tinggi, kelembapan yang rendah, peningkatan intensitas radiasi matahari, dan penurunan tekanan atmosfer merupakan berbagai tantangan yang harus dihadapi bagi mereka di ketinggian, khususnya para pendaki gunung Chawla dan Saxena, 2014 Jika seseorang menjalani suatu perubahan, maka tubuhnya, baik secara langsung maupun tidak, akan membentuk kompensasi terhadap perubahan tersebut. Hal itu bertujuan agar tubuh mampu menjaga homeostasis. Termasuk pada orang di ketinggian tertentu, khususnya mereka yang tidak menetap dan telah beradaptasi terhadap ketinggian tersebut, fisiologis tubuh mereka akan mengalami perubahan sesuai situasi dan kondisi. Terkait dengan fisiologi tubuh Universitas Sumatera Utara terhadap kondisi ketinggian, ada dua aspek yang berada di dalamnya, yakni hypobaric hypoxia dan aklimatisasi. 2.2.1. Hypobaric hypoxia Hypobaric hypoxia adalah tekanan parsial oksigen yang menurun yang berbading lurus dengan penurunan tekanan atmosfer di tempat dengan ketinggian tertentu Chawla dan Saxena, 2014. Menurut Chawla dan Saxena 2014, berdasarkan Hukum “Ideal Gas”, tekanan parsial suatu gas dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut P = Fi x B Keterangan : • P : Tekanan parsial suatu gas mmHg • Fi : Fraksi molekul suatu gas pada komposisi total gas di bumi • B : Tekanan di lingkungan sekitar mmHg Besar tekanan atmosfer di permukaan laut yaitu 1 atm atau sebesar 760mmHg. Oksigen O 2 merupakan salah satu komponen dalam udara di atmosfer yang membentuk 20,84 total komponen gas di bumi atau dapat dikatakan besar fraksi molekul O 2 sebesar 20,84. Dengan begitu, besar tekanan parsial di permukaan laut, PaO 2 = 20,84 × 760 mmHg = 159mmHg Guyton dan Hall, 2006 Menurut Peacock 1998 dalam Febriana, Wiyono, dan Yunus 2003, tekanan atmosfer dan tekanan oksigen inspirasi akan menurun secara linear, menjadi 50 dari nilai permukaan laut pada ketinggian 5000 meter dan hanya 30 dari nilai permukaan laut pada ketinggian 8900 meter Puncak Everest. Universitas Sumatera Utara 2.2.2. Kompensasi Tubuh Terhadap Ketinggian Tubuh memiliki berbagai sistem dengan fungsi dan kerja kompartemen yang berbeda-beda, namun saling berkaitan dan membentuk sebuah kesatuan. Begitu pula jika terjadi perubahan, baik perubahan dari dalam tubuh faktor internal maupun dari lingkungan sekitar faktor eksternal. Termasuk dalam bahasan mengenai ketinggian, tubuh juga akan melakukan respon atau kompensasi berupa perubahan berbagai aspek, termasuk perubahan sistem respiratori atau pernafasan, sistem kardiovaskular yang berkaitan erat dengan sistem hematologi, sistem urinary atau perkemihan, dan sistem hormonal Chawla dan Saxena, 2014. Gambar 2.1. Perubahan fisiologis terkait kondisi hypobaric hypoxia. Chawla dan Saxena 2014. Physiology of High-Altitude Acclimatization, hal. 540, figure 1 a Perubahan kondisi sistem respiratori Semakin tinggi ketinggian suatu tempat, tekanan parsial O 2 disana akan menurun dan berbanding lurus dengan penurunan tekanan parsial O 2 di alveoli. Penilaian tekanan parsial oksigen PaO 2 alveolar yang Universitas Sumatera Utara pertama kali dilakukan oleh Halden dan Priestley 1905, diikuti Boycott dan Halden 1908 serta Rahn dan Otis 1946 menyebutkan bahwa bila tekanan barometer menurun, ventilasi meningkat untuk meminimalkan penurunan PaO 2 . Peningkatan ventilasi terjadi bila tekanan oksigen inspirasi menurun sampai kira-kira 13,3 kPa kilopascal atau pada ketinggian 3000 meter dan tekanan oksigen alveolar kira-kira 8 kPa tabel 1 Febriana, Wiyono, dan Yunus, 2003. Akibat tekanan parsial O 2 menurun, maka terjadi peningkatan deoksigenasi darah yang memicu difusi oksigen ke arteri di pulmonary system menurun diikuti perfusi oksigen ke jaringan menurun. Mekanisme terjadinya hal tersebut dapat berbeda dan bergantung juga pada karakteristik tiap individu. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Tekanan barometer sesuai ketinggian Ketinggian Tekanan barometer PaO 2 pada saat nspirasi Persenta se oksigen pada permuka an laut Persenta se oksigen yang dibutuh kan Kaki Meter KPa MmHg KPa MmHg 101 760 19,9 149 20,9 20,9 2000 4000 6000 8000 10000 610 1220 1830 2440 3050 94,3 87,8 81,2 75,3 69,7 707 659 609 564 523 18,4 16,9 15,7 14,4 13,3 138 127 118 108 100 19,4 17,8 16,6 15,1 14,0 22,6 24,5 26,5 28,8 31,3 12000 14000 16000 18000 20000 3660 4270 4880 5490 6100 64,4 59,5 54,9 50,5 46,5 483 446 412 379 349 12,1 11,1 10,1 9,2 8,4 91 83 76 69 63 12,8 11,6 10,7 9,7 8,8 34,2 37,3 40,8 44,8 49,3 22000 24000 26000 28000 30000 6710 7320 7930 8540 9250 42,8 39,2 36,0 32,9 30,1 321 294 270 247 226 7,6 6,9 6,3 5,6 4,9 57 52 47 42 37 8,0 7,3 6,6 5,9 5,2 54,3 60,3 66,8 74,5 83,2 35000 40000 45000 50000 63000 10700 12200 13700 15300 19200 23,7 18,8 14,8 11,6 6,3 178 141 111 87 47 3,7 2,7 1,8 1,1 27 20 13 8 3,8 2,8 1,9 1,1 - - - - - Febriana, Wiyono, dan Yunus.2003. Kelainan Paru pada Ketinggian. hal.6,tabel. 1 Universitas Sumatera Utara Pada kondisi hipoksia, terjadi peningkatan kecepatan respirasi dan berhubungan dengan berbagai kejadian lainnya, seperti pulmonary hyperventilation, gangguan keseimbangan asam-basa, dan gangguan metabolic kompleks lainnya. Hiperventilasi di tempat tinggi diatur oleh kemoreseptor perifer yang terletak di aorta dan sinus karotis. Kemoreseptor tersebut peka terhadap perubahan tekanan parsial O 2 arteri dan peningkatan tekanan parsial CO 2 , sehingga memberikan sinyal terhadap pusat pernafasan tertinggi di otak untuk membentuk Hypoxic Ventilator Response HVR Chawla dan Saxena, 2014. HVR atau respon terhadap kondisi hipoksia berupa peningkatan kecepatan respirasi dan kedalaman ventilasi. HVR melibatkan pons dan medulla oblongata sebagai pusat pernafasan tertinggi untuk member sinyal kepada diafragma, otot-otot interkostalis, dan stretch receptor di paru-paru. Respon ventilasi pada kondisi hipoksia bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan paru dalam difusi gas dengan meningkatkan ventilasi alveoli. Jika hal itu tercapai, tekanan parsial O 2 di rongga alveoli dapat meningkat hingga 25-30 Chawla dan Saxena, 2014. Seperti telah disebutkan sebelumnya, respon ventilasi memiliki proses yang bervariasi antar individu. Selain itu, waktu atau onset terjadinya juga dapat berbeda-beda. Awal respon ventilasi dapat ditutupi dengan terjadinya alkalosis respiratorik yang bersamaan sebelum ventilasi semakin meningkat sehubungan dengan status asam- basa. b Perubahan kondisi sistem kardiovaskular dan hematologi Adaptasi tubuh terhadap kondisi hipoksia di ketinggian utamanya ditandai dengan peningkatan saraf simpatis. Begitu pula dengan kompensasi sistem kardiovaskular tubuh. Sistem saraf autonom Universitas Sumatera Utara berperan penting dalam modulasi kardiovaskular bila berada di tempat yang lebih tinggi Lanfranchi et al., 2005. Segala kondisi pada sistem kardiovaskular berhubungan erat dengan pernafasan sistem respirasi. Jantung adalah organ utama yang bekerja sebagai pompa untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Secara tidak langsung, jantung juga berperan penting dalam transportasi O 2 ke seluruh tubuh. Transportasi O 2 atau Oxygen Delivery DO 2 dapat dirumuskan dengan DO 2 = Q × AO 2 Keterangan : • DO 2 : Oxygen Delivery • Q : Volume jantung sekuncup dalam satu menit Cardiac Output • AO 2 : Arterial Oxygen Menurut Richard et al. 2014, untuk menjaga oksigenasi darah arteri tetap adekuat, tubuh melakukan hiperventilasi pada kondisi hipoksia supaya hal tersebut dapat terwujud. Hal tersebut terkazit hiperventilasi karena ketinggian akan diikuti peningkatan curah jantung, frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik Levitzky MG 1999, Levine et al. 1999, dan Schoene et al. 2000, dikutip dalam Febriana, Wiyono, dan Yunus, 2003 Terkait respirasi dan aliran darah, khususnya aliran darah pulmoner, respon hiperventilasi akan diikuti perubahan sistem kardiovaskular. Penjelasan mengenai ini berhubungan dengan perangsangan simpatis sistem kardiovaskular yang menyebabkan perangsangan kemoreseptor arteri dan peningkatan inflasi paru. Selain itu, mungkin juga akibat langsung efek hipoksia miokardium yang Universitas Sumatera Utara menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner. Peningkatan curah jantung, vasokonstriksi hipoksik pulmoner dan rangsang saraf simpatis pembuluh darah menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmoner rata-rata yang selanjutnya dapat mengakibatkan hipertensi pulmoner serta peningkatan kerja ventrikel kanan Febriana, Wiyono, dan Yunus, 2003. Darah—sebagai komponen di dalam sistem kardiovaskular— beperan dalam proses-proses yang telah dijabarkan. Penelitian tahun 2007 oleh Windsdor dan Rodway yang mengatakan bahwa oksigenasi arteri darah dapat optimal dengan cara meningkatkan hematokrit, hemoglobin, dan eritrosit. Dalam kondisi 2-3 jam hipoksia, tubuh akan melakukan kompensasi terkait peningkatan kadar eritropetin tersebut. Selanjutnya, eritropoetin akan menstimulus sumsum tulang untuk mensintesis sel darah merah eritrosit. Dengan peningkatan kadar eritropoetin, maka sintesis eritrosit akan meningkat dan diikuti dengan peningkatan kadar hematokrit dan hemoglobin Chawla dan Saxena, 2012. Selain itu, Wagner et al. 2007 dalam Chawla dan Saxena 2012 menjelaskan bahwa tahap-tahap tersebut dapat dicapai dengan meningkatkan kadar 2,3-diphosphoglycerate 2,3-DPG supaya mengoptimalkan kompensasi tubuh dalam trasportasi dan perfusi O 2 . 2,3-DPG merupakan substansi di eritrosit dan berperan sebagai allosteric regulator dalam afinitas O 2 dan hemoglobin HbO 2 . Afinitas O 2 dan hemoglobin akan menurun oleh karena peran 2,3-DPG sehingga terjadi pelepasan O2 dari darah dan perfusi O 2 ke jaringan. Menurut Lundby dan Olsen 2011 dikutip dalam Heo et al. 2014, eritropoetin EPO meningkatkan O 2 di arteri tidak hanya dengan meningkatkan volume eritrosit, tetapi juga dengan menurunkan volume plasma. EPO juga dapat meningkatkan kualitas fungsional dari seseorang. Universitas Sumatera Utara c Perubahan Keseimbangan Cairan dan Asam Basa Respon ventilasi pada kondisi hipoksia diawali dengan alkalosis respiratorik tak terkompensasi. Ini dapat mengaburkan respon ventilasi inisal dimana kondisi alkalosis respiratorik akan meningkatkan pH arteri yang diikuti menurunkan output kemoreseptor perifer. Selanjutnya , terjadi penurunan difusi karbon dioksida melewati blood brain barrier sehingga terjadinya penurunan kemoreseptor sentral oleh karena penurunan konsentrasi ion hidrogen pada cairan serebrospinal. Dalam beberapa hari, timbul asidosis metabolic yang melibatkan pembuangan bikarbonat oleh ekskresi renal. Kondisi asidosis metabolik berkontribusi meningkatkan ventilasi. Luks, 2014 d Perubahan siklus tidur Menurut Weil 2004 dikutip dalam Luks 2014, siklus tidur biasanya mengalami gangguan dimana semakin tinggi suatu tempat yang didaki akan meningkatkan insidensi kualitas tidur yang buruk, kesadaran, dan perubahan pola tidur. Manifestasi klinis yang signifkan pada gangguan tidur ini, yaitu central sleep apnea, oleh karena ventilasi yang meningkat di ketinggian yang bersamaan dengan tidak adanya peran kortikal saat tidur sebagai feedback-control system Luks, 2014. Selama periode apnea, orang sering menjadi lelah dan terbangun karena perasaan seperti tercekik. Pernapasan periodic dapat berkurang pada aklimatisasi, akan hilang bila turun dari ketinggian. pernapasan periodic bervariasi pada tiap individu, mungkin berhubungan dengan fungsi kemosesitivitas terhadap keadaan hipoksia. Individu dengan respon tinggi terhadap hipoksia mempunyai ketidakstabilan interaksi antara oksigen dan karbondioksida di daerah sentral dan perifer Febriyana, Wiyono, dan Yunus, 2003. Universitas Sumatera Utara

2.3. Aklimatisasi