Pembahasan Karakteristik pendaki gunung mahasiswa USU

Tabel 5.7 Distribusi Proporsi Kejadian AMS Berdasarkan Gambaran Pengetahuan Pendaki Gunung pada Kelompok Mahasiswa USU tentang AMS Gambaran Pengetahuan Kejadian AMS AMS Tidak AMS n N Baik 17 32,7 35 67,3 Cukup 12 33,3 24 66,7 Kurang 4 50 4 50 Berdasarkan tabel di atas, responden dengan gambaran pengetahuan baik dan cukup umumnya tidak mengalami AMS. Pada kelompok berpengetahuan baik, jumlah yang tidak mengalami AMS sebanyak 35 orang 67,3, sementara yang mengalami AMS hanya 17 orang 32,7. Selanjutnya, pada kelompok berpengetahuan cukup, jumlah yang tidak mengalami AMS sebanyak 24 orang 66,7 dan yang mengalami AMS sebanyak 12 orang 33,3. Namun, hal berbeda didapati pada responden dengan pengetahuan kurang. Pada kelompok rsponden dengan pengetahuan yang kurang, baik yang mengalami AMS maupun tidak AMS, memiliki jumlah yang sama, yakni sebanyak 4 orang 50.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Karakteristik Responden Pendakian merupakan salah satu bentuk travelling atau perjalanan. Menurut Chen et al. 2010, secara umum pria lebih banyak melakukan perjalanan daripada perempuan; 53 dari lebih dari 30 juta populasi Amerika Serikat yang melakukan perjalanan adalah pria. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, penelitian ini juga melibatkan responden yang didominasi oleh pria. Berdasarkan Tabel 5.1, penelitian ini melibatkan 53 pria 55,2 dan sisanya yaitu 43 orang 44,8 merupakan wanita. Universitas Sumatera Utara Ketinggian gunug yang didaki oleh responden juga merupakan karakteristik responden yang ditentukan oleh peneliti. Ketinggian gunung yang didaki oleh responden dikelompokkan menjadi 3 bagian, yakni 2000 -2500 mdpl 65,6, 2500 – 3500 mdpl 27,1, dan 3500 – 4500 mdpl 7,3. Selain jenis kelamin dan ketinggian pendakian, penyakit penyerta yang berhubungan dengan sistem respirasi dan kardiovaskular juga menjadi karakterisktik responden dalam penelitian ini yang mana didapati terdapat penyakit asma 2,1 dan penyakit jantung bawaan 2,1. 5.2.2. Kejadian Acute Mountain Sickness AMS Ada beberapa cara, baik menggunakan kuesioner secara tertulis, wawancara, maupun pemeriksaan fisik dan penunjang, untuk menegakkan seseorang mengalami AMS atau tidak. Salah satunya yaitu dengan menggunakan kuesioner Acute Mountain Sickness-Lake Louis Scoring AMS-LLS. Dalam penelitian ini, kuesioner AMS-LLS yang digunakan hanya meliputi pertanyaan- pertanyaan seputar self-diagnosis dan tanpa pertanyaan clinical assessment yang membutuhkan pemeriksaan fisik. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi sakit kepala sebagai keluhan utama dan gejala-gejala lain, berupa gangguan pencernaan, kelelahan, oyong, dan gangguan tidur. Onset munculnya keluhan terjadi dalam 6 – 10 jam ketika pendakian. Kemudian, semakin tinggi dan cepat pendakian, maka keluhan yang muncul bisa memburuk Luks, 2014. Namun, studi lain menyebutkan bahwa keluhan AMS terjadi dalam 2 – 3 jam pertama ketika pendakian dan umumnya keluhan yang muncul dapat menghilang dengan sendirinya dalam 2 – 3 hari. Kembali ke ketinggian lebih rendah sesegara mungkin merupakan penanganan bagi yang mengalami AMS West, 2004. Setelah reponden mengisi kuesioner yang berisi gejala-gelaja AMS, diagnosis AMS ditegakkan dengan kriteria responden mengalami sakit kepala dan total skor kuesioner AMS-LLS ≥ 3 Roach et al., 1993, dalam Hall et al., 2014. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Tabel 5.9, AMS sebanyak 33 orang 34,4. Selanjutnya, derajat keparahan AMS dapat ditentukan berdasarkan total skor yang didapat. Dalam hal ini, skor 3 – 4 ditegakkan sebagai AMS ringan, dan skor 5 – 10 sebagai AMS sedang, dan skor 11 – 15 sebagai AMS berat Bartsch et al., 2004 dalam Liu et al., 2014. Berdasarkan ketentuan tersebut, didapatkan hasil bahwa AMS ringan terjadi pada 15 orang 45,5 dan AMS sedang pada 18 orang 54,5. AMS itu sendiri biasanya tidak mengancam jiwa seseorang, tetapi dapat memengaruhi kualitas kesehatan, menurunkan produktivitas, dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Pada kasus yang berat, AMS dapat memicu terjadinya oliguria, perdarahan retina, ataxia, dan koma Tao et al., 2013. Menurut West 2004, jika AMS dapat diketahui sesegera mungkin dan dilakukan , hal ini dapat mencegah kejadian High Altitude Pulmonary Edema HAPE dan High Altitude Cerebral Edema HACE. HAPE merupakan kondisi yang lebih serius daripada AMS dan mekanisme terjadinya yaitu ada kerusakan kapiler pulmoner oleh karena kondisi hipoksia. HACE juga kondisi fatal yang mekanisme terjadinya belum diketahui secara jelas. Sebuah studi analisis multivariat faktor risiko high-altitute illness yang parah menunjukkan Hypoxic Ventilator Response HVR dan faktor psikologis pada kondisi hipoksia dipengaruhi oleh karakteristik dan riwayat penderita AMS. Hal-hal tersebut yaitu jenis kelamin, bentuk dan tingkat aktivitas, kecepatan pendakian dan riwayat pernah mengalami high-altitude sickness dan migren Richalet et al., 2012 dalam Bartsch dan Swenson, 2013. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh prevalensi kejadian Acute Mountain Sickness AMS lebih banyak dialami oleh wanita 51,5 daripada pria 48,5. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Mahomed et al.2015 bahwa kejadian AMS pada wanita lebih besar, yakni sebesar 57 , dibandingkan laki-laki sebesar 43. Menurut penelitian Macinnis et al. 2013, jenis kelamin merupakan salah satu dari tiga faktor risiko lainnya yang secara signifikan dapat menimbulkan kejadian AMS. Selain itu, pada penelitian Venturino 2015, Universitas Sumatera Utara analisis hubungan jenis kelamin dengan insidensi AMS menunjukkan kejadian AMS lebih banyak terjadi pada wanita. Menurut Venturino 2015, tubuh melakukan berbagai respon pada kondisi lingkungan hipoksia dan respon tubuh yang terjadi dapat menjelaskan mengapa AMS lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria. Salah satu penjelasan yaitu adanya peningkatan Hypoxic Ventilator Response HVR oleh karena sistem hormonal wanita. Sistem hormonal wanita, yaitu esterogen, juga berhubungan dengan respon tubuh lain terhadap kondisi hipoksia. Esterogen diketahui menurunkan threshold atau batas ambang pelepasan ADH, sehingga memicu terjadi retensi cairan. Retensi cairan menyebabkan terjadi gangguan HVR hingga menyebabkan seseorang mengalami AMS Hackett et al., 1982, dalam Venturino, 2015. Mekanisme lainnya berhubungan dengan eritropoetin EPO, yang mana konsentrasi EPO meningkat saat pendakian dan diikuti peningkatan kadar hemoglobin sehingga oksigen yang dibawa oleh darah dapat didistribusikan secara maksimal pada kondisi hipoksemia. Ternyata, testosterone merupakan salah satu hormone eritropoetik. Hormon ini dimiliki secara dominan oleh pria. Maka, tidak heran jika pria lebih sedikit mengalami AMS daripada wanita Venturino, 2015. AMS jarang terjadi pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut mdpl. Insidensi dan derajat keparahan AMS bergantung pada kecepatan pendakian, ketinggian yang dicapai, durasi bermalam pada ketinggian tersebut, serta derajat aklmatisasi Aslam, Hussain, dan Khan, 2001. Menurut Hackett dan Roach 2001 dalam Malcnnis et al., 2013, terdapat korelasi kuat antara kejadian AMS dengan ketinggian yang dicapai. Sejalan dengan pernyataan tersebut, hasil penelitian ini memiliki gambaran yang sama berdasarkan distribusi proporsi kejadian AMS dan ketinggian yang didaki. Dalam hal ini, rentang ketinggian dibagi menjadi tiga kelompok, yakni 2000 – 2500 mdpl, 2500 – 3500 mdpl, dan 3500 – 4500 mdpl. Meskipun sebaran responden tidak merata pada setiap kelompok, yang mana responden umumnya mendaki pada ketinggian 2000 – 2500 mdpl, tetapi perbandingan jumlah AMS dan tidak AMS pada setiap rentang Universitas Sumatera Utara ketinggian semakin meningkat. Hasil studi ini menunjukkan bahwa perbandingan antara jumlah yang mengalami AMS dan tidak dapat diketahui dengan rincian sebagai berikut : pada ketinggian 2000 – 2500 mdpl sebesar 0,4, pada ketinggian 2500 – 3500 mdpl sebesar 0,73, dan pada ketinggian 3500 – 4500 mdpl sebesar 1,33. Dalam studi literatur Jacob et al. 2012, disebutkan bahwa terdapat enam literatur sebelumnya mengenai insidensi AMS berdasarkan rentang ketinggian. Insidensi AMS pada ketinggian 2000 mdpl sebesar 7 – 28 dan pada ketinggian 3000 – 3500 mdpl, insidensi AMS sebesar 10 – 28. Serupa dengan studi tersebut, pada studi Chen, Ke, Luo, dan Song 2013, disebutkan juga insidensi AMS pada ketinggian 1850 – 2750 mdpl sebesar 22, lalu 42 pada ketinggian 3000 mdpl, serta sebesar 75 pada pendakian Gunung Kilimanjaro 5984 mdpl. Maka, hasil penelitian ini pada Tabel 5.4 sejalan dengan berbagai literatur sebelumnya. Mengenai kejadian AMS pada subjek penelitian ini yang memiliki penyakit yang berhubungan dengan sistem repirasi dan kardiovaskular, didapati semua subjek dengan penyakit jantung bawaan mengalami AMS ketika melakukan pendakian. Menurut situs altitudemedicine.org, pada mereka yang memiliki penyakit jantung bawaan sejak lahir, akan terjadi right to left shunting oleh karena tekanan darah di paru-paru meninggi saat mendaki. Maka, hal tersebut memicu terjadinya keluhan altitude illness yang bahkan bisa memicu terjadinya pulmonary edema. Berbeda dengan penyakit kardiovaskular, kejadian AMS pada subjek yang menderita asma, hanya 1 dari 2 orang yang mengalami AMS. Menurut situs altitudemedicine.org, melakukan pendakian gunung tidak meningkatkan risiko mereka mengalami AMS atau keluhan altitude illness lainnya oleh karena eksaserbasi asma terjadi jika dipicu oleh allergen, sementara di ketinggian, umumnya allergen yang sering memicu asma, seperti polusi, debu, dan tungau, jarang ditemukan. Universitas Sumatera Utara 5.2.3. Gambaran Pengetahuan Pendaki Gunung pada Kelompok Mahasiswa USU dan Kejadian AMS Kuesioner untuk mendapatkan gambaran pengetahuan responden adalah kuesioner dengan 15 pertanyaan yang meliputi pengetahuan umum mengenai persiapan dan apa yang harus dilakukan pada pendakian, serta kondisi faal tubuh dan lingkungan pada ketinggian. pertanyaan-pertanyaan tersebut berjumlah 10 pertanyaan nomor 1 – 10, sementara 5 pertanyaan nomor 11 – 15 adalah pertanyaan mengenai AMS itu sendiri. Terdapat pertanyaan berisi pengetahuan umum seperti pada nomor 1 – 10 karena menurut berbagai literatur terkait, hal-hal dalam pertanyaan tersebut dapat dikaitkan dengan kejadian AMS. Pertanyaan nomor 1 yaitu mengenai hal untuk mengetahui ketinggian dari gunung yang didaki. Besar ketinggian merupakan hal penting diketahui oleh para pendaki, baik untuk melakukan persiapan sesuai ketinggian maupun ketinggian dari memulai pendakian hingga tujuan. Menurut Li et al. 2011, ketinggian ketika melakukan pendakian, baik titik awal maupun yang akan dicapai, merupakan 2 dari 13 faktor risiko terjadinya AMS. Suhu tubuh dan hal yang berkaitan juga ditanyakan kepada responden, seperti pada pertanyaan nomor 8 – 10. Selain itu, pertanyaan nomor 2 mengenai pakaian yang sebaiknya dikenakan ketika mendaki juga dapat memengaruhi suhu tubuh. Penelitian Bartsch, Maggiorini, dan Oelz 1997 menyebutkan bahwa ada korelasi yang kuat antara suhu tubuh, hipoksemia dan derajat keparahan AMS. Peningkatan suhu tubuh setelah melakukan pendakian yang cepat diduga sebagai tanda AMS dan etiologi dari peningkatan suhu tubuh tersebut memang belum diketahui secara pasti. Pertanyaan nomor 4 – 6 adanlah pertanyaan mengenai gambaran kondisi ketinggian dan respon tubuh yang terjadi pada saat seseorang melakukan pendakian. Responden umumnya mengetahui gambaran kondisi di ketinggian dan respon tubuh yang terjadi. Hal tersebut sesuai dengan sebaran distribusi jawaban nomor 4 dan 6 pada Tabel 5.6, yang mana pada kedua pertanyaan tersebut, jawaban benar responden lebih banyak daripada jawaban salah. Namun, ketika Universitas Sumatera Utara ditanya istilah apa yang digunakan pada respon tubuh yang terjadi pada ketinggian sebagaimana pertanyaan nomor 5, responden umumnya tidak mengetahui hal tersebut. Pertanyaan nomor 5 memiliki persentase jawaban benar sebesar 47,9 dan salah sebesar 52,1. Hal ini menunjukkan masih banyak responden belum memahami istilah medis terkait respon tubuh yang terjadi pada saat melakukan pendakian. Pertanyaan mengenai AMS yaitu pada nomor 11 – 15. Responden umumnya mengetahui definisi AMS sebagaimana jawaban benar pada pertanyaan nomor 11 sesuai Tabel 5.6 sebesar 65,6. Namun, berbeda dengan hal-hal yang memengaruhi kejadian AMS pada pertanyaan nomor 12, yang mana jawaban salah pada pertanyaan tersebut lebih besar 56,2. Tentang keluhan-keluhan AMS pada pertanyaan nomor 13 dan 14, masing-masing dari kedua pertanyaan tersebut memiliki jawaban benar dengan persentase 49 dan 69,8. Pertanyaan terakhir nomor 15 mengenai penanganan yang sebaiknya dilakukan pada seseorang yang mengalami AMS. Terkait pertanyaan nomor 15, responden umumnya dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan benar 81,5. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden umumnya memiliki pengetahuan yang baik 54,5. Hanya 8 orang 8,3 yang memiliki pengetahuan kurang dan sisanya dikategorikan dalam kelompok pengetahuan cukup. Penelitian ini juga mendapatkan sebaran distribusi kejadian AMS berdasarkan gambaran pengetahuan responden. Pada Tabel 5.7, besar kejadian AMS dan tidak AMS pada kelompok berpengetahuan baik berturut-turut, yaitu 32,7 dan 62,3. Hal serupa juga terjadi pada kelompok berpengetahuan cukup. Sementara itu, pada kelompok responden dengan pengetahuan yang kurang, tidak ada perbedaan pada besar kejadian AMS dan tidak AMS, yaitu sebesar 50. Penelitian Judge, Vardy, dan Vardy 2005 mengenai pengetahuan pendaki gunung dan kejadian AMS, yang mana penelitian tersebut menentukan besar insidensi AMS pada subjek yang memenuhi kriteria dan menanyakan apakah yang akan dilakukan ketika mengalami AMS. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada kelompok yang mengalami AMS, 54 di antaranya akan kembali ke Universitas Sumatera Utara ketinggian lebih rendah jika mengalami AMS, sementara sisanya 46 tetap berada di ketinggian yang sama atau bahkan melanjutkan pendakian. Pada kelompok yang tidak mengalami AMS, 76 di antaranya kembali ke ketinggian lebih rendah jika menngalami AMS dan sisanya 24 tetap berada di ketinggian yang sama atau bahkan melanjutkan pendakian. Judge, Vardy, dan Vardy menyimpulkan berdasarkan pertanyaan tersebut bahwa dengan subjek penelitian yang akan kembali ke ketinggian lebih rendah jika mengalami AMS, memiliki pengetahuan yang baik tentang AMS. Hal tersebut berkebalikan pada subjek yang tetap berada di ketinggian yang sama atau bahkan melanjutkan pendakian ketika mengalami AMS. Pendaki dapat mencari informasi secara mandiri atau dari orang lain. berbagai informasi yang baik begitu banyak sekarang beredar, baik dalam bentuk buku penuntun ataupun pada internet Pencegahan AMS yang esensial adalah dengan mengetahui gejala, penanganan yang baik, dan membatasi kecepatan pendakian sesuai dengan guideline untuk mengurangi kemungkinan para pendaki mengalami AMS Judge, Vardy, dan Vardy, 2005. Universitas Sumatera Utara BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan