1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 2.
Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui peraturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang
sama bagi pelaku usaha besar; pelaku usaha menengah; dan pelaku usaha kecil. 3.
Mencegah praktik monopoli danatau persaingan usaha yang tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha.
4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
B. Perjanjian dan Kegiatan yang dilarang menurut UU Nomor 51999
1. Perjanjian yang dilarang dalam UU Nomor 51999
Pengertian Perjanjian dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 51999 yaitu suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan
diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis, maupun tidak tertulis. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan unsur-
unsur perjanjian menurut konsepsi UU Nomor 51999 meliputi:
47
1. perjanjian terjadi karena suatu perbuatan;
2. perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam
perjanjian; 3.
perjanjiannya dapat dibuat secara tertulis ataupun tidak tertulis; 4.
tidak menyebutkan tujuan perjanjian.
47
Rachmadi Usman I, op.cit.,hlm.37.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian Perjanjian juga ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu di Pasal 1313 “Suatu perjanjian merupakan suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
48
1. oligopoli;
Jika dikaitkan ke Undang-Undang anti monopoli, maka dapat disimpulkan bahwa inti dari sebuah perjanjian adalah adanya ikatan.Pihak yang
terikat tidak harus melibatkan semua pihak.Artinya jika hanya ada satu pihak saja yang terikat, maka itu juga sudah cukup.
Adapun perjanjian yang dilarang dalam UU Nomor 51999 diatur dalam bab III, pasal 4-16. Perjanjian tersebut berkaitan dengan :
2. penetapan harga;
3. diskriminasi harga;
4. penetapan harga di bawah harga pasar;
5. penjualan kembali dengan harga terendah;
6. pembagian wilayah;
7. pemboikotan;
8. kartel;
9. trust;
10. oligopsoni;
11. integrasi vertikal
12. perjanjian tertutup exclusive dealing;
13. perjanjian dengan luar negeri.
48
Pasal 1313 KUHPerdata.
Universitas Sumatera Utara
Bagian pertama, yaitu pasal 4 mengenai oligopoli menyatakan bahwa:
49
1. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat; 2.
pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana
dimaksud ayat 1, apabila 2 dua atau 3 tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 tujuh puluh lima persen pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Pengertian oligopoli menurut Blacks Law Dictionary, yaitu “Economic
climate existing where a few sellers sell only a standardized product.”
50
49
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
50
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Abridged fourth edition, St. Paul, Minn: West Publishing Co, 1968, hlm. 1237.
Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa yang termasuk ke dalam perjanjian
oligopoli adalah hanya jika ada sedikit a few pelaku usaha yang menjual produk yang sama. Ciri khas dari pasar oligopolis adalah memperdagangkan barang yang
sejenis atau homogen, seperti segala jenis barang pecah belah yang terbuat dari plastik, peralatan tulis kantor, dan sebagainya. Dan juga para pelaku usaha di
pasar tersebut memiliki ketergantungan satu sama lain, dimana ketika salah satu penjual menaikkan harga dagangannya, maka penjual lainnya juga akan
menaikkan harga dagangannya. Dan sebaliknya jika harga diturunkan, maka semua penjual akan beramai-ramai menurunkan harga dagangannya. Inilah yang
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan hilangnya kondisi persaingan di antara pelaku usaha, karena semua menjual barang yang sama, dan dengan harga yang sama pula.
Dari penjelasan di atas, maka dapat dilihat alasan apa yang mengakibatkan perjanjian oligopolis ini dilarang, yakni:
51
1. Merugikan Konsumen
Praktik perjanjian oligopoli akan menghasilkan kinerja pasar market performance di bawah optimal yang sama pada perjanjian monopoli. Pelaku
usaha akan mendapatkan keuntungan di atas normal, tetapi di pihak lain konsumen akan membayar harga yang lebih mahal terhadap barang dan jasa.
Hal ini dimungkinkan, karena konsumen akan menanggung semua biaya tambahan produksi barang dan jasa yang dibelinya, serta harga yang lebih
mahal yang disebabkan pelaku usaha melakukan praktik inefisiensi dalam produksi barang dan atau jasa high cost economy.
2. Meniadakan persaingan dan menimbulkan praktik usaha yang tidak sehat.
Perjanjian oligopoli akan menimbulkan serangkaian perbuatan yang saling berkaitan satu sama lainnya, yaitu meniadakan persaingan harga antar pelaku
usaha dengan cara membentuk kartel sebagai mediawadah bersama untuk menetapkan harga price fixing pada tingkat tertentu. Meskipun demikian,
perjanjian oligopoli ini juga dapat menimbulkan serangkaian perbuatan yang dilarang, seperti monopoli, kartel, price fixing, serta menurunkan bahkan
meniadakan persaingan sehat.
51
Rachmadi Usman I,op.cit.,hlm. 198.
Universitas Sumatera Utara
Bagian kedua, yaitu pada pasal 5-8 diatur tentang perjanjian penetapan
harga price fixing agreement, diskriminasi harga price
discrimination,penetapan harga di bawah harga pasar predatory pricing, dan perjanjian dengan persyaratan tertentu resale price maintenanceantar pelaku
usaha. 1.
Penetapan harga price fixing Penetapan harga price fixing diatur dalam pasal 5 yang menyatakan bahwa:
a. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan
yang sama; b.
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak berlaku bagi : 1 suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
2 suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Dalam Black’s Law Dictionary, price fixing ini dikatakan sebagai “A
combination formed for the purpose of and with the effect of raising, depressing, fixing, pegging, and stabilizing the price of comodity.” Sedangkan dalam Kamus
Lengkap Ekonomi edisi ke-2 yang disusun oleh Christoper Pass dan Bryan Lowes, penetapan harga diartikan sebagai penentuan suatu harga price umum
untuk suatu barang ata jasa oleh suatu kelompok pemasok secara bersama-sama, sebagai kebalikan tas pemasok yang menetapkan harganya secara bebas.
Universitas Sumatera Utara
Penentuan harga sering menjadi pencerminan dari suatu pasar oligopoli yang tidak teratur.
52
Dapat disimpulkan bahwa price fixing adalah salah satu upaya beberapa pelaku usaha untuk meraup keuntungan pribadi, dengan cara menetapkan harga
sesuai dengan yang telah disepakati bersama antar pelaku usaha, dimana hal ini dapat mengakibatkan hilangnya persaingan dan menumbuhkan keadaan
persaingan yang tidak sehat.Price fixing dapat dibedakan atas 2 jenis, yaitu :
53
a. Price fixing horizontal Horizontal Price fixing
Price fixing horizontaladalah penetapan harga atas penjualan suatu barang danatau jasa antara 2 pelaku usaha atau lebih yang memiliki tahaptingkat
produksi barang danatau jasa yang sama. Yang dimana kedua pelaku usaha atau lebih tersebut sebenarnya adalah saingan.namun oleh karena
itulah, maka mereka membuat perjanjian untuk menetapkan harga yang sama, yang dipertunjukkan kepada publik. Padahal sebenarnya sudah ada
bentuk persekongkolan di balik itu semua. Hal ini membuat konsumen menjadi terkecoh, karena harga yang sama dengan produk barang dan
atau jasa yang sama, padahal dijual atau diperdagangkan oleh pelaku usaha yang berbeda.
b. Price fixing vertikal vertikal price fixing
Price fixing vertikaladalah penetapan harga atas penjualan barang dan atau jasa antara 2 pelaku usaha atau lebih yang berada pada tahap produksi
52
Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008, hlm.26.
53
Romli Atmasasmita, Persaingan Usaha dan Hukum yang mengaturnya di Indonesia, Jakarta: ELIPS Departemen Kehakiman Republik Indonesia,2000, hlm. 79.
Universitas Sumatera Utara
yang berbeda.Dimana salah satu pelaku usaha berada pada tahap produksi lebih di atas, dan pelaku usaha lainnya berada pada tahap produksi yang
lebih rendah. Praktiknya adalah pelaku usaha yang berada pada tahap produksi lebih tinggi akan menetapkan harga yang boleh dijual atau
diperdagangkan oleh pelaku usaha lainnya berada pada tahap produksi yang lebih rendah.
Berikut adalah beberapa praktik yang merupakan variasi dari tindakan penentuan harga price fixing :
54
a. Resale Price Maintenance RPM Arrangements
Resale Price Maintenance merupakan praktik pemasaran dalam mana seorang atau suatu perusahaan pengecer atas dasar perjanjian dengan
distributor atau produsen setuju untuk menjual barang danatau jasa dengan harga tertentu atau harga minimum tertentu
b. Vertikal Maximum Price Fixing
Mirip dengan RPM Arrangements, Vertikal Maximum Price Fixing terjadi dalam hal produsen atau distributor suatu produk membuat
kesepakatan dengan pengecer yang isinya mewajibkan pengecer itu untuk menjual produk di bawah harga maksimum yang ditetapkan oleh produsen
atau distributornya. c.
Consignments Praktik penjualan berikutnya yang memancing perdebatan pro dan kontra
adalah Consignments.Praktik Consignments penitipan, konsinyasi dalam
54
Arie Siswanto, op.cit.,hlm. 40.
Universitas Sumatera Utara
konteks usaha terjadi apabila suatu perusahaan pengecer menjual barang yang secara legal masih menjadi milik produsen dan sebagai imbalannya,
ia memperoleh komisi penjualan. Yang menimbulkan persoalan bagi produsen ialah menentukan harga produk yang dititipkannya. Memang
salah satu prinsip hukum persaingan yang sudah diakui, setidaknya di Amerika Serikat, adalah bahwa sekali produsen atau distributor telah
menjual produknya kepada pengecer, maka ia tidak bisa lagi menentukan berapa harga jual yang harus dipasang oleh pengecer itu terhadap
konsumen. 2.
Diskriminasi Harga price discrimination Perjanjian diskriminasi Harga price discrimination agreement diatur
dalam Pasal 6, yaitu berisi : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
Dalam Black’s Law Dictionary, price discrimination dikatakan “Exists when a buyer pays a price that is different from the price paid by another buyer
for an identical product or service. Price discrimination is probihited if the effect of the discrimination may be to lessen substantially or injure competition, execpt
where it wasimplemented to disposepf prishableor obsolete goods, was the result of the deferencesin costs incurred, or was given in god faith to meet an equally
low price of a competitor. Sedangkan menurut Kamus Lengkap Ekonomi edisi yang kedua yang disusun oleh Christoper Pass dan Bryan Lowes.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan price discrimination adalah kemampuan seorang pemasok untuk menjual produk yang sama pada sejumlah pasar yang terpisah
dengan harga-harga yang berbeda. Pasar-pasar dapat dipisahkan melalui berbagai cara, yang meliputi lokasi geografisyang berbeda, sifat produk itu sendiri, dan
keperluan para pengguna.
55
Walaupun hal ini telah dilarang dalam ketentuan Undang-Undang, namun tetap saja ada alasan pembenaran bagi pelaku usaha yang melakukannnya, yaitu
dikarenakan adanya perbedaan biaya seperti ongkos promosi, ongkos transport, dan yang lainnya. Misalanya saja tentu akan berbeda harga suatu barang yang
diambil dari tempat yang jauh, karena memakan ongkos yang tidak sedikit. Karenanya, dalam teori ilmu hukum persaingan usaha, dikenal beberapa macam
diskriminasi harga, antara lain :
56
1. Diskriminasi harga primer.
2. Diskriminasi harga sekunder.
3. Diskriminasi harga umum.
4. Diskriminasi harga geografis.
5. Diksriminasi harga tingkat pertama.
6. Diksriminasi harga tingkat kedua.
7. Diksriminasi harga secara langsung.
8. Diksriminasi harga secara tidak langsung.
Berikut adalah beberapa syarat untuk terjadinya diskriminasi harga :
57
55
Hermansyah, op.cit.,hlm. 28.
56
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha, Jakarta Utara: Rajawali Pers, 2010, hlm. 104.
57
Ibid. hlm. 105.
Universitas Sumatera Utara
a. para pihak haruslah melakukan kegiatan bisnis, sehingga diskriminasi
harga akan merugikan apa yang disebut dengan “primary line injury”, yakni diskriminasi harga yang dilakukan produsen atau grosir terhadap
pesaingnya. Demikian pula diskriminasi harga dapat merugikan “secondary line” jika diskriminasi harga dilakukan oleh suatu produsen
terhadap suatu grosir, atau retail yang satu dan yang lain mendapatkan perlakuan khusus. Hal ini akan menyebabkan grosir atau retail yang tidak
disenangi tidak dapat berkompetisi secara sehat dengan grosir atau retail yang disenangi;
b. terdapat perbedaan harga, baik secara langsung maupun tidak langsung,
misalnya melalui diskon atau pembayaran secara kredit, namun pada pelaku usaha lain harus cash dan tidak ada diskon;
c. dilakukan terhadap pembeli yang berbeda. Jadi dalam hal ini paling sedikit
harus ada dua pembeli; d.
terhadap barang yang sama tingkat kualitasnya; e.
perbuatan tersebut secara substansial akan merugikan, merusak, atau mencegah terjadinya persaingan yang sehat atau dapat menyebabkan
monopoli pada suatu aktivitas perdagangan. 3.
Penetapan harga di bawah harga pasar predatory pricing Penetapan harga di bawah harga pasar predatory pricing diatur dalam
pasal 7, yang berisi:
Universitas Sumatera Utara
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat. Dalam Black’s Law Dictionary, Predatory Pricing dikatakan sebagai “As
antitrust violation, consist of pricing below appropriate measure of cost for purpose of eliminating competitors in short run and reducing competition in long
run.” Sedangkan dalam Kamus Lengkap Ekonomi edisi kedua yang disusun
oleh Christoper Pass dan Bryan Lowes, yang dimaksud dengan predatory pricing adalah suatu kebijakan penetapan harga yang dilakukan oleh sebuah atau banyak
perusahaan dengan tujuan untuk merugikan para pemasok pesaing atau untuk memeras konsumen. Contoh: penekanan harga price squeezing dan pemotongan
harga selektif untuk menggusur para pesaing keluar dari pasar, sementara pemerasan terhadap konsumen.
4. Perjanjian dengan persyaratan tertentu resale price maintenance
Perjanjian dengan persyaratan tertentu resale price maintenancediatur dalam pasal 8, yaitu berisi: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang danatau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang danatau jasa yang diterimanya,
dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
58
58
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Black’s Law Dictionary, Predatory Pricing dikatakan sebagai “An agreement between a manufacturer and retailer that the letter should not ressel
below a specified minimum price. Such schemes operate to prevent price competition between the various dealers handling a given manufacturer’s
product with the manufacturer generally suggesting an appropriate resale price and enforcing dealer acquiescence through some form of coercive sanction.”
Bagian ketiga, yaitu pada pasal 9, diatur tentang Perjanjian Pembagian
Wilayah Pemasaran atau Alokasi Pasar, menyatakan bahwa: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokoasi pasar terhadap barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat. Pembagian wilayah pemasaran adalah cara untuk menghindari atau
mengurangi persaingan yang bisa diambil oleh pelaku usaha yang saling bersaing dalam satu bidang usaha sehingga suatu pasar dapat dikuasai secara eksklusif oleh
masing-masing pelaku usaha. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah sebagai berikut :
1. Membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang dan atau jasa.
2. Menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang dan atau
jasa.
Bagian keempat, yaitu pada pasal 10 mengatur tentang perjanjian boikot,
menyatakan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
1. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya,
yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri;
2. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya,
untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain;
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang
dan atau jasa dari pasar bersangkutan Boikot adalah tindakan mengorganisasi suatu kelompok untuk menolak
hubungan usaha dengan pihak tertentu atau tidak berhubungan dengan pesaing- pesaing yang lain seperti kepada para supplierataupun konsumen-konsumen
tertentu. Dengan kata lain, boikot adalah suatu tindakan bersama concerted action yang dilakukan oleh sekelompok pengecer yang menolak memberi produk
pelaku usaha tertentu karena alasan yang tidak mereka sukai.
59
Sehubungan dengan perjanjian pemboikotan tersebut, ada 2 macam perjanjian yang dilarang dalam pasal 10, yaitu:
60
1. perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain pihak ketiga untuk
melakukan usaha yang sama; dan 2.
perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain pihak ketiga, jika :
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain tersebut;
59
Arie Siswanto, op.cit.,hlm. 45.
60
Susanti Adi Nugroho, Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: PuslitbangDiklat MA,2001, hlm. 40.
Universitas Sumatera Utara
b. membatasi pelaku ushaa lin dalam menjual atau membeli setiap barang
dan atau jasa dari pasar yang bersangkutan. Boikot dapat pula diartikan, dimana pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam
negeri maupun luar negeri. Atau pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau
jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut akan merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau membatasi pelaku usaha lain
dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan. Hal ini dapat juga disebut dengangroup boykot.
61
Terjadinya praktik kartel dilatarbelakangi oleh persaingan usaha yang cukup sengit di pasar.Untuk menghindari persaingan fatal ini, anggota kartel
setuju menentukan harga bersama, mengatur produksi, bahkan menentukan secara bersama-sama potongan harga, promosi dan syarat-syarat penjualan.Biasanya
harga yang dipasang kartel lebih tinggi dari harga yang terjadi di pasar kalau tidak Bagian kelima, yaitu tentang perjanjian kartel Cartel, diatur dalam pasal
11, mengatakan bahwa : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya,
yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
61
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,selanjutnya disebut Ningrum Natasya Sirait II, Medan:Pustaka Bangsa Press, 2004, hlm. 91.
Universitas Sumatera Utara
ada kartel.Kartel juga bisa melindungi perusahaan yang tidak eisien, yang bisa hancur bila tidak masuk kartel. Dengan kata lain, kartel menjadi pelindung bagi
pelaku usaha yang lemah.
62
Antara monopoli dengan kartel terdapat hubungan yang serat, seperti yang dikatakan Kwik Kian Gie, bahwa pembentukan kartel selalu mengarah
kepada monopoli atau keadaan monopolistik. Mereka yang memperoleh hak monopoli dari pemerintah tidak perlu membentuk kartel, karena tujuan kartel
adalah untuk mengarah ke monopoli atau situasi monopolistik.Bentuk kartel bermacam-macam, ada kartel harga kualitas, kartel bagian laba, dan
sebagainya.Semua bentuk kartel tujuannya adalah untuk mengurangi bahkan meniadakan persaingan, sehingga para produsen cepat meraih laba sebesar-
besarnya.
63
62
Suhasril dan Muahmmad Taufik, op.cit.,hlm. 57.
63
Kwik Kian Gie, Bermimpi menjadi konglomerat-konglomerat Indonesia , Permasalahan dan sepak terjangnya, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998, hlm. 50.
Bagian keenam, yaitu mengatur tentang Trust diatur dalam Pasal 12, yang
menyatakan bahwa : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
masing-masing perusahaan atau perseorangan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Universitas Sumatera Utara
Trust adalah suatu keadaan dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan
membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan
atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Bentuk perjanjian ini sebenarnya merupakan inspirator lahirnya Undang-Undang Anti Monopoli
Amerika Serikat Antitrust Law, dimana gabungan perusahaan-perusahaan raksasa membentuk suatu perusahaan yang besar yang bertujuan untuk
mengontrol produksi atau pemasaran, dan menguasai pasar.
64
1. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga barang dan atau jasa dalam pasar
bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
Bagian ketujuh, yaitu tentang perjanjian oligopsoni, diatur dalam pasal 13,
yang mengatakan bahwa :
2. pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 apabila 2 dua atau 3tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
64
Ningrum Natasya Sirait I, op.cit.,hlm. 92.
Universitas Sumatera Utara
menguasai lebih dari 75 tujuh puluh lima persen pangsa pasar satu jenis barang tertentu.
Oligopsoni adalah suatu bentuk perjanjian yang dilarang, dimana pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain bertujuan untuk secara bersama-sama
menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
65
Integrasi vertikal adalah penguasaan atas sejumlah produk, yang termasuk dalam rangkaian proses produksi barang tertentu mulai dari hulu sampai dengan
hilir atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktik integrasi vertikal ini meskipun dapat menghasilkan barang dan
atau jasa dengan harga murah, tetapi hal itu dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan dapat merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Oleh
Bagian kedelapan, yaitu tentang integrasi vertikal, yang diatur dalam pasal
14, yaitu : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainyang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
65
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
karena itu, praktik integrasi vertikal dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat oleh UU Nomor 51999.
66
a. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu; Bagian kesembilan, yaitu tentang perjanjian tertutup exclusive dealing,
diatur dalam pasal 15, yang berbunyi:
b. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;
c. pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan
harga tertentu atas barang danatau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang danatau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok; atau b.
tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Perjanjian tertutup pada prinsipnya merupakan bagian penting dari hambatan vertikal vertikal restraint, maka perjanjian tertutup memiliki dua
kategori hambatan yaitu hambatan untuk persaingan yang sifatnya intrabrand dan hambatan untuk persaingan yang sifatnya interbrand.Persaingan
66
Rachmadi Usman I, op.cit.,hlm. 315.
Universitas Sumatera Utara
intrabrandadalah persaingan antara distributor atau pengecer untuk suatu produk yang berasal dari manufaktur atau produsen yang sama. Oleh karena itu,
hambatan yang bersifat intrabrand terjadi ketika akses penjualan distributor atau pengecer dibatasi oleh produsen. Sedangkan hambatan yang bersifat interbrand
adalah persaingan antar manufaktur atau produsen untuk suatu jenis atau kategori barang di pasar bersangkutan yang sama. Hambatan interbrand terjadi bila
produsen menciptakan pembatasan persaingan terhadap produk pesaingnya.
67
Selain dari adanya berbagai bentuk perjanjian yang mengakibatkan terjadinya persaingan curang, terdapat juga berbagai kegiatan yang juga dapat
mengakibatkan terjadinya suatu persaingan curang, sehingga hal tersebut pun harus dilarang.
Bagian kesepuluh, yaitu tentang perjanjian dengan pihak luar negeri,
diatur dalam pasal 16, yang berbunyi
:
Pelaku usaha dilarang membuat suatu perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dengan kata lain, perjanjian yag dimaksud disini adalah perjanjian antara satu
pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, serta mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan yang dilarang menurut UU Nomor 51999
68
67
Ibid, hlm. 337.
68
Munir Fuady,Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 75.
Definisi dari istilah “kegiatan” tidak ada ditemukan dalam UU Nomor 51999, namun jika ditafsirkan secara a contrario terhadap definisi
Universitas Sumatera Utara
perjanjian yang diberikan dalam UU Nomor 51999, maka pada dasarnya yang dimaksud dengan kegiatan adalah tindakan atau perbuatan hukum sepihak yang
dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa adanya keterkaitan hubungan hukum secara langsung dengan pelaku usaha lainnya.
69
Kegiatan yang dilarang diatur dalam bab tersendiri sebagaimana termuat dalam Pasal 17-24 UU Nomor 51999. Dari pasal-pasal tersebut diketahui bentuk-
bentuk kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha dalam konteks hukum persaingan usaha berdasarkan UU Nomor 51999, yaitu:
70
Pengaturan larangan terhadap kegiatan yang bersifat monopoli ini terdapat dalam Pasal 17 UU Nomor 51999, yang berbunyi:
a. kegiatan yang bersifat monopoli
71
persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; 1 Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2 Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 apabila: a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya;
atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
69
Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Anti Monopoli, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1999, hlm. 31.
70
Rachmadi Usman, op.cit.,hlm.369.
71
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Universitas Sumatera Utara
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 lima puluh persen pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu. Melihat substansi pada Pasal 17 UU Nomor 51999 di atas, memberi
gambaran jelas bahwa perbuatan monopoli dapat dikategorikan melanggar hukum persaingan.Tetapi patut dicermati bila kedudukan monopoli ini didapatkan
melalui persaingan yang sehat, maka sesuai dengan pendekatan pasal yang bersifat rule of reason, monopoli tidak dengan sendirinya menjadi kegiatan yang
dilarang secara mutlak.
72
Kegiatan yang bersifat monopsoni ditentukan dalam Pasal 18 UU Nomor 51999, yaitu:
b. Kegiatan Monopsoni
73
72
Ningrum Natasya Sirait, op.cit.,hlm. 96.
73
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
1 Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2 Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 lima puluh persen pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Monopsoni dalam UU Nomor 51999 dilarang secara rule of reason , ang artinya bahwa monopsoni tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu
sehingga berakibat terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Praktik monopsoni yang dilarang oleh hukum persaingan usaha adalah
monopsoni yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
74
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: c. Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar sendiri diatur dalam pasal 19 UU Nomor 51999, yaitu :
75
1. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau 2.
menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya itu; atau 3.
membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
4. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
74
L. Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha: Berdasarkan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999, Surabaya: Srikandi, 2008, hlm. 187.
75
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Universitas Sumatera Utara
d. Kegiatan menjual rugimenjual murahharga pemangsa predatory pricingdumping
Pasal 20 UU Nomor 51999 mengatur mengenai menjual rugi dimana pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara
melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
76
Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang merupakan komponen harga produk, sehingga
hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya suatu persaingan curang. e. Kegiatan penetapan biaya produksi secara curang manipulasi biaya
77
Larangan kegiatan yang dilarang ini diatur dalam ketentuan Pasal 21 UU Nomor 51999,
yaitu:
78
Pengertian persekongkolan atau konspirasi usaha tersebut dikemukakan dalam Pasal 1 angka 8 UU Nomor 51999, yaitu
Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnyayang menjadi bagian dari komponen harga barang dan
atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. f. Kegiatan yang bersifat Persekongkolan
79
76
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
77
Munir Fuady, op.cit.,hlm. 81
78
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
79
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku
Universitas Sumatera Utara
usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Bentuk kegiatan persekongkolan ini tidak harus
dibuktikan dengan adanya perjanjian, akan tetapi bisa dalam bentuk kegiatan lainnya yang tidak mungkin diwujudkan dalam suatu perjanjian.
80
C. Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU