36
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pasien leukemia limfoblastik akut anak periode 1 Januari 2011 - 31 Desember 2013 di RSUP Haji
Adam Malik Medan, dapat diambil kesimpulan antara lain: 1.
Ada perbedaan yang bermakna antara kadar ureum sebelum dilakukan kemoterapi fase konsolidasi dengan sesudah dilakukan kemoterapi fase
konsolidasi p=0.001 dengan interval kepercayaan 95. 2.
Ada perbedaan yang bermakna antara kadar kreatinin sebelum dilakukan kemoterapi fase konsolidasi dengan sesudah dilakukan kemoterapi fase
konsolidasi p=0.001 dengan interval kepercayaan 95. 3.
Pada sampel penelitian jumlah pasien laki-laki dan perempuan sama,yaitu 15 orang. Berdasarkan usia, kelompok usia terbanyak adalah usia 2-5
tahun yaitu 11 orang dan usia 6-10 tahun sebanyak 11 orang. Berdasarkan tipe LLA, Tipe terbanyak adalah tipe L1 yaitu sebanyak 27 orang. Untuk
faktor resiko, pasien risiko standar SR dan risiko tinggi HR jumlahnya sama yaitu sebanyak 15 orang.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil yang didapat pada penelitian ini, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Untuk institusi rumah sakit, disarankan agar lebih meningkatkan
pemantauan fungsi ginjal, pengobatan yang diberikan, dan keadaan umum pasien LLA yang sedang menjalani kemoterapi untuk mencegah terjadinya
kelainan pada ginjal pasien tersebut. 2.
Untuk peneliti lainnya, sebaiknya dapat melakukan penelitian lain dengan jangka waktu yang lebih panjang dan jumlah sampel yang lebih banyak
sehingga data yang diperoleh lebih akurat.
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Leukemia Limfoblastik Akut Pada Anak 2.1.1. Definisi
Leukemia limfoblastik akut merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, ditandai dengan proliferasi maligna sel leukosit
immatur, dan pada darah tepi terlihat adanya pertumbuhan sel-sel yang abnormal. Sel leukosit dalam darah penderita leukemia berproliferasi secara tidak teratur dan
menyebabkan perubahan fungsi menjadi tidak normal sehingga mengganggu fungsi sel normal lain Permono, 2005.
2.1.2. Epidemiologi
Setiap tahun di Amerika Serikat ada sekitar 14.382 kasus kanker baru yang didiagnosis pada penduduk di bawah usia 20 tahun. Sekitar 2.970 21 dari
kasus-kasus ini merupakan Leukemia Limfoblastik Akut LLA. Tingkat kejadian tahunan AS untuk LLA dibawah usia 20 tahun adalah 35,0 per satu juta
penduduk, dengan laki-laki memiliki insiden yang lebih tinggi daripada perempuan. Terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian LLA antara ras
kulit hitam dan kulit putih, dimana anak-anak kulit putih memiliki insiden hampir 2 kali lipat lebih besar. Puncak insidens LLA paling tinggi terjadi pada usia 2-5
tahun. Secara internasional, terdapat variasi antara kejadian LLA pada masa kanak-kanak dan remaja, dengan rata-rata kejadian pertahun berkisar 9-47 per
juta untuk laki-laki dan 7-43 per juta untuk wanita Robinson, 2011. Menurut penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo
Surabaya, leukemia akut menduduki peringkat pertama pasien keganasan pada anak dalam kurun waktu 10 tahun 1991-2000 yaitu 524 kasus atau 59 dari
seluruh keganasan pada anak. Dari jumlah tersebut 430 anak 82 didiagnosis sebagai leukemia limfoblastik akut, 52 10 kasus sebagai leukemia
nonlimfoblastik akut dan sisanya 42 kasus 8 sebagai leukemia mieoloblastik
5
kronis. Insiden dari LLA pada tahun 2005 terdapat 85 kasus baru Widiaskara, et al, 2010.
2.1.3. Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi leukemia akut belum diketahui, akan tetapi faktor-faktor berikut ini penting dalam patogenesis leukemia:
1. Radiasi ionisasi.
2. Bahan-bahan kimia misalnya, benzena pada Leukemia Myeloid Akut
LMA. 3.
Obat-obatan misalnya, penggunaan alkylating agen baik sendiri atau dalam kombinasi dengan terapi radiasi meningkatkan risiko LMA.
4. Pertimbangan Genetik:
Kembar identik: Jika salah satu kembar mengalami leukemia pada usia
dibawah 5 tahun, risiko kembar kedua mengalami leukemia adalah 20. Kejadian leukemia pada saudara kandung dari pasien leukemia adalah
empat kali lebih besar dibandingkan dengan populasi umum.
Kelainan kromosom: Grup
Interval Risiko Waktu
Trisomi 21 sindrom Down 1 di 95
10 tahun Sindrom Bloom
1 di 8 30 tahun
Anemia Fanconi 1 di 12
16 tahun Peningkatan kejadian dengan kondisi genetik sebagai berikut:
1 Agammaglobulinemia kongenital 2 Sindrom Polandia
3 Sindrom Shwachman Diamond 4 Ataksia telangiectasia
5 Sindrom Li-Fraumeni mutasi gen p-53 6 Neurofibromatosis
7 Diamond-Blackfan anemia 8 Penyakit Kostmann.
Sebagian besar kasus leukemia tidak berasal dari kecenderungan genetik yang diwariskan, tetapi dari perubahan genetik somatik Lanzkowsky,2008.
6
2.1.4. Klasifikasi
Leukemia limfoblastik akut, sel B atau sel T, dibagi lagi oleh WHO 2008 berdasarkan defek genetik yang mendasarinya. Pada kelompok B-LLA LLA sel
B terdapat beberapa subtipe genetik spesifik misalnya subtipe dengan translokasi t 9; 22 atau t 12; 21, tata ulang gen gene rearrangement atau perubahan
jumlah kromosom diploidi. Subtipe merupakan petunjuk penting untuk protokol pengobatan optimal dan prognosis. Pada T-LLA LLA sel T kariotipe abnormal
ditemukan pada 50 - 70 kasus Hoffbrand, 2013. Sedangkan secara morfologik, menurut FAB French, British and
America, LLA dibagi menjadi tiga yaitu: 1.
L1 : LLA dengan sel limfoblas kecil-kecil dan merupakan 84 dari LLA. 2.
L2 : Sel lebih besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli prominen dan sitoplasma agak banyak, merupakan 14 dari LLA.
3. L3 : LLA mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sitoplasma basofil dengan
banyak vakuola, hanya merupakan 1 dari LLA Bakta,2006
Gambar 2.1. Leukemia Limfoblastik Akut tipe L-1Roganovic, 2013
7
Gambar 2.2. Leukemia Limfoblastik Akut Tipe L-2 Roganovic, 2013
Gambar 2.3. Leukemia Limfoblastik Akut Tipe L-3 Roganovic, 2013
Menurut imunofenotipenya, LLA diklasifikasikan menjadi:
1. Sel pra-B awal :
60-70 dari pasien LLA dengan precursor sel B, biasanya terdapat antigen CD10, dan
tidak ditemukan sitoplasmik immunoglobulin cIg, sehingga disebut dengan “LLA umum”,
Juga terdapat human leukocyte antigen HLA- DR.
2. Sel pra-B :
20-30 dari pasien LLA dengan precursor sel B, terdapat cIg, merupakan pertengahan
dari tipe sel B, lebih matur dari sel pra-B awal,
8
namun kurang matur dari sel B. ditemukan antigen CD10 dan HLA-DR,
memiliki prognosis lebih buruk dari penderita dengan sel
pra-B awal. 3. Sel pra-B transisional
: Terdapat pada anak kurang dari 12 bulan,
CD10 negatif,
dan terdapat
beberapa ketidaknormalan pada kromosom, prognosis
paling buruk. 4. Sel T
: 10-15 LLA, biasanya pada anak yang lebih
tua, hitung
leukosit lebih
tinggi dan
prognosisnya lebih
jelek dibandingkan
prekursor sel B. 5. Sel B mature
: 1-2 LLA, immunoglobulin permukaan IgM
positif, terdapat antigen CD19, CD20, dan HLA-DR Orkin, et al., 2009.
2.1.5. Gambaran Klinis
Gambaran klinis terjadi karena hal-hal berikut:
Kegagalan Sumsum Tulang
1. Anemia pucat, letargi, dan dispnea;
2. Neutropenia demam, malaise, gambaran infeksi mulut, tenggorokan,
kulit, saluran napas, perianus, atau bagian lain;
3.
Trombositopenia memar spontan, purpura, gusi berdarah, dan menoragia Hoffbrand, 2013.
Infiltrasi Organ
Gejala infiltrasi organ antara lain nyeri tulang, limfadenopati, splenomegali moderat, hepatomegali, dan sindrom meningen nyeri kepala, mual
dan muntah, pengelihatan kabur, dan diplopia. Pemeriksaaan fundus mungkin menunjukkan papil edema dan kadang perdarahan. Banyak pasien mengalami
demam yang biasanya mereda setelah pemberian kemoterapi. Manifestasi yang
9
lebih jarang adalah pembengkakan testis atau tanda-tanda penekanan mediastinum pada LLA sel T Hoffbrand, 2013.
Jika yang menonjol adalah kelenjar limfe dan massa ekstranodus dengan blast 20 di sumsum tulang, penyakitnya disebut limfoma limfoblastik, tetapi
diterapi juga seperti LLA Hoffbrand,2013.
2.1.6 Gambaran Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu :
1. Hitung Darah Lengkap Complete Blood Count dan Apus Darah Tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis 100.000mm³ terjadi pada kira-kira 15 pasien dan
dapat melebihi 200.000mm³. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blast pada hitung leukosit bervariasi dari 0
sampai 100. Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit
kurang dari 25.000mm³ Fianza, 2009. 2.
Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi, sehingga semua pasien LLA harus menjalani prosedur ini. Apus sumsum
tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90 sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya
digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsi penting untuk
evaluasi gambaran sitologi Fianza, 2009. 3.
Sitokimia
Gambaran morfologi sel blast pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemia mieloblastik
akut LMA. Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim
sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blast LMA. Sitokimia juga
10
berguna untuk membedakan precursor B dan B-LLA dari T-LLA. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas,
sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid Schiff PAS. TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat
dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytomerty
Fianza, 2009. 4.
Imunofenotip dengan sitometri arusFlow cytometry
Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah
antibodi terhadap : a.
Untuk sel prekursor B : CD10 common ALL antigen, CD19, CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT.
b. Untuk sel T : CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7, CD8 dan TdT.
c. Untuk sel B : kappa atau lambda, CD19, CD20, dan CD22.
Pada sekitar 15-54 LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15, dan CD33.
Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan
penyakitnya buruk Fianza, 2009.
5. Pemeriksaan lainnya
Pungsi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal CSS tidak secara umum dilakukan karena dapat mendorong penyebaran sel tumor ke SSP.
Tes biokimia mungkin memperlihatkan peningkatan asam urat serum, laktat dehidrogenase serum, atau, yang lebih jarang, hiperkalsemia. Tes
fungsi hati dan ginjal dilakukan untuk mengetahui data dasar sebelum pengobatan dimulai. Radiografi mungkin memperlihatkan lesi-lesi litik di
tulang dan massa di mediastinum yang khas untuk T-LLA Hoffbrand,
2013.
11
2.1.7. Faktor Prognostik
Pasien dimasukkan kategori risiko tinggi HR bila jumlah leukosit darah tepi 50.000ml, ditemukan sel blast pada susunan saraf pusat, jumlah total blast
setelah 1 minggu diterapi lebih dari 1000mm, ada masa di mediastinum, dan umur 1 tahun atau 10 tahun Widiaskara, et al, 2010. Pasien yang berusia
antara 1 dan 9 dengan awal WBC White Blood Count 50.000 mm³ Risiko Standar, yang mencakup dua pertiga dari pasien pre-B LLA, memiliki angka
ketahanan hidup 4 tahun sebanyak 80. Para pasien yang tersisa risiko tinggi memiliki angka ketahanan hidup 4 tahun sebanyak 65. Faktor-faktor yang harus
dimasukkan dalam klasifikasi risiko adalah: 1.
Umur: Pasien di bawah usia 1 tahun dan lebih dari 10 tahun memiliki prognosis yang lebih buruk dari anak-anak dengan usia 1 tahun dan 10
tahun. Bayi di bawah usia 1 tahun memiliki prognosis terburuk. 2.
Jumlah sel darah putih: Anak-anak dengan WBC yang tinggi cenderung memiliki prognosis yang buruk.
3. Imunofenotipe: pre-B LLA memiliki prognosis terbaik. Mature T-sel LLA
memiliki kelangsungan hidup yang lebih buruk karena hubungannya dengan usia yang lebih tua dan lebih tingginya angka WBC pada saat
diagnosis. Mature B-sel LLA sebelumnya memiliki prognosis buruk dengan risiko kekambuhan yang cepat dan keterlibatan SSP tetapi terapi
agresif baru-baru ini telah meningkatkan prognosis. 4.
Indeks DNA 1,16 hyperdiploid LLA dengan jumlah kromosom lebih dari 50 dikaitkan dengan hasil yang baik karena peningkatan apoptosis dan
meningkatnya kepekaan terhadap agen kemoterapi. 5.
Sitogenetik: Kombinasi trisomi kromosom 4, 10, dan 17 dikaitkan dengan risiko kegagalan pengobatan yang sangat rendah dan hasil yang baik.
Translokasi melibatkan penataan ulang MLL pada 11q23 telah dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk. Philadelphia kromosom t 9; 22
Q34; Q11 LLA adalah translokasi paling sulit untuk diobati dan memiliki prognosis buruk. Hypodiploid LLA juga berhubungan dengan
prognosis yang buruk.
12
6. Penyakit SSP: Kehadiran penyakit SSP pada saat diagnosis merupakan
faktor prognostik yang merugikan meskipun intensifikasi terapi dengan iradasi SSP dan tambahan terapi intratekal. Adanya blast pada cytospin
tanpa peningkatan WBC status CNS2 juga dikaitkan dengan hasil yang buruk.
7. Respon awal terhadap terapi induksi: Pasien yang tidak mengalami remisi
pada akhir terapi induksi memiliki prognosis yang sangat buruk. Hasil sumsum tulang pada hari ke 7 dan hari ke 14 terapi induksi juga telah
digunakan untuk memperkirakan respon terhadap terapi Lanzkowsky, 2008.
2.1.8. Pengobatan
Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua,yaitu terapi spesifik dalam bentuk kemoterapi, dan terapi suportif untuk mengatasi kegagalan
sumsum tulang, baik karena proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi Bakta, 2006.
1. Terapi Spesifik Kemoterapi
Menurut Protokol Indonesia tahun 2006 terapi LLA dibagi menjadi 2 klasifikasi berdasarkan faktor risikonya, yaitu risiko tinggi High RiskHR
dan risiko normal Standard RiskSR. Pada pasien dengan risiko tinggi, terdapat 4 fase terapi, yaitu fase induksi, konsolidasi, reinduksi, dan
rumatan maintenance. Sedangkan pada pasien dengan risiko standar, terdapat 3 fase terapi, yaitu fase induksi, konsolidasi, dan rumatan
maintenance Pertiwi, et al., 2013
a. Fase induksi
Tujuan terapi remisi-induksi adalah untuk membasmi lebih dari 99 persen dari beban awal sel-sel leukemia dan untuk mengembalikan
hematopoiesis normal dan status kinerja normal. Fase pengobatan ini hampir selalu meliputi administrasi glukokortikoid prednisone,
prednisolon, atau deksametason, vincristine, dan setidaknya satu agen lainnya biasanya asparaginase, anthracycline, atau keduanya. Anak-
13
anak dengan risiko tinggi atau LLA dengan risiko sangat tinggi dan hampir semua dewasa muda dengan LLA menerima empat atau lebih
obat selama terapi remisi-induksi. Perbaikan dalam kemoterapi dan perawatan suportif telah meningkatkan tingkat remisi lengkap sekitar
98 persen untuk anak-anak dan sekitar 85 persen untuk orang dewasa. Telah terbukti jika upaya pengobatan dilakukan lebih cepat dan terjadi
pengurangan lengkap beban sel-leukemia dapat mencegah resistensi obat dan meningkatkan tingkat kesembuhan.Pui,et al 2006.
Terapi induksi yang terlalu agresif mungkin, pada kenyataannya, menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Selain itu
siklofosfamid, sitarabin dosis tinggi, atau dosis tinggi anthracycline menunjukkan hasil yang tidak terlalu menguntungkan pada orang
dewasa, sebagian karena terapi tersebut buruk toleransinya oleh pasien yang lebih tua. Mungkin karena penetrasi yang lebih banyak ke dalam
sistem saraf pusat dan waktu paruh yang lebih panjang, penggunaan deksametason di induksi dan terapi post remisi tampaknya
memberikan kontrol yang lebih baik dalam sistem saraf pusat dan sistemik dibandingkan baik prednisone atau prednisolon. Namun, satu
studi kecil menyatakan bahwa dosis prednisolon yang ditingkatkan dalam konteks perawatan intensif lainnya dapat menghasilkan hasil
yang serupa dengan yang dicapai dengan deksametason Pui, et al., 2006.
Namun, perlu diingat bahwa remisi tidak sama dengan kesembuhan. Dalam remisi, pasien mungkin masih mengandung sejumlah besar sel
tumor dan tanpa kemoterapi lebih lanjut maka hampir semua pasien akan kambuh. Bagaimanapun, tercapainya remisi merupakan langkah
pertama yang penting dalam pengobatan keseluruhan. Pasien yang gagal mencapai remisi perlu menjalani protokol yang lebih intensif
Hoffbrand, 2013.
14
b. Fase Konsolidasi intensifikasi
Terapi ini menggunakan dosis tinggi beragam obat kemoterapi untuk mengeliminasi penyakit atau mengurangi beban tumor ke tingkat yang
sangat rendah. Dosis kemoterapi mendekati batas toleransi pasien dan selama intensifikasi pasien mungkin memerlukan bantuan yang cukup
banyak Hoffbrand, 2013. Pada protokol tipikal berisi vinkristin, siklofosfamid, sitosin arabinosid,
etoposid, atau merkaptopurin yang diberikan sebagai blok dalam berbagai kombinasi. Biasanya diberikan tiga blok intensifikasi untuk
anak, dengan jumlah yang lebih banyak kadang digunakan untuk dewasa Hoffbrand, 2013.
c. Fase reinduksi
Fase reinduksi - pada dasarnya merupakan pengulangan terapi induksi awal yang diberikan selama beberapa bulan pertama remisi
–merupakan salah satu komponen dari suksesnya protokol LLA. Penting untuk
dicatat bahwa vincristine tambahan dan prednisone setelah satu pengobatan reinduksi tidak menguntungkan, diperkirakan bahwa
perbaikan yang terjadi adalah karena peningkatan intensitas dosis agen lain, seperti asparaginase. Karena sering terjadinya osteonekrosis
setelah pengobatan reinduksi, terapi glukokortikoid sedang diselidiki sebagai strategi untuk mengurangi komplikasi Pui, et al., 2006.
d. Fase rumatan maintenance
Obat yang pada umumnya dipakai adalah 6 mercaptopurin 6 MP per oral dan metrotreksat tiap minggu. Diberikan selama 2-3 tahun dengan
diselingi terapi konsolidasi atau intensifikasi Bakta, 2006.
2. Terapi Suportif
Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan terapi spesifik karena akan menentukan angka keberhasilan terapi.
Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula, jika tidak maka penderita dapat meninggal karena efek samping obat.
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan
15
oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping
obat. Terapi suportif yang diberikan adalah :
a. Terapi untuk mengatasi anemia: transfusi PRC Packed Red Cells
untuk mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10gdl. Untuk calon transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya dihindari.
b. Terapi untuk mengatasi infeksi, terdiri atas :
1 Antibiotika adekuat
2 Transfusi konsentrat granulosit
3 Perawatan khusus isolasi
4 Hemopoietic growth factor
c. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas :
Transfusi konsentrat trombosit untuk mempertahankan trombosit. d.
Terapi untuk mengatasi hal-hal lain, yaitu : 1
Pengelolaan leukostasis: dilakukan dengan hidrasi intravenous dan leukapharesis. Segera lakukan induksi remisi untuk menurunkan
jumlah leukosit. 2
Pengelolaan sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup, pemberian alopurinol dan alkalinisasi urine Bakta,2006.
2.2. Efek Kemoterapi pada Ginjal
Kemoterapi merupakan pengobatan utama untuk pasien LLA, namun kemoterapi dapat mempengaruhi sel dan organ normal tubuh. Efek samping
kemoterapi dibagi menjadi early side effect contohnya neutropenia dan stomatitis, serta delayed side effect misalnya acute kidney injury Adam,2015.
Ginjal, menjadi jalur pengeluaran banyak obat antitumor dan metabolitnya, cukup rentan terhadap cedera oleh kemoterapi. Beberapa faktor
diketahui memiliki kontribusi terhadap potensi nefrotoksik obat antineoplastik pada pasien dengan leukemia akut, yaitu penggunaan bersamaan obat nefrotoksik
lain misalnya, amphothericin, infeksi saluran kencing, penurunan volume intravaskular, sepsis dan komorbiditas lainnya seperti hipertensi, diabetes mellitus
atau gagal jantung. Nefrotoksisitas yang diinduksi oleh kemoterapi dapat
16
mempengaruhi glomerulus, tubulus, pembuluh darah ginjal atau sistem ekskresi tergantung pada obat yang terlibat Vagace,2011.
Komplikasi ginjal yang terjadi pada pasien LLA sering dihubungkan dengan beberapa faktor, yaitu infiltrasi sel leukemia ke dalam sel ginjal dan juga
karena pengaruh dari pengobatan terhadap sel kanker itu sendiri. Komplikasi terhadap ginjal tersebut tidak jarang terjadi dan kebanyakan terjadi pada fase
induksi, serta bisa bertahan sampai beberapa tahun atau bahkan mungkin bisa menjadi permanen. Komplikasi yang sering terjadi ialah pembesaran ginjal yang
disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia ke dalam sel ginjal. Selain pembesaran ginjal, acute kidney injury gagal ginjal akut juga merupakan salah satu
komplikasi ginjal yang berat akibat penyakit LLA, walaupun masih jarang terjadi Adam,2015.
17
Tabel 2.1. Gangguan Ginjal yang Berhubungan dengan Obat Kemoterapi
Gangguan Vaskularisasi Ginjal Hemodinamik AKI capillary leak syndrome
IL-2, denileukin diftitox Thrombotik mikroangiopati
Obat antiangiogenesis bevacizumab dan inhibitor tirosin kinase Gemcitabine dan cisplatin
Mitomycin C dan IFN Glomeruli
Minimal change disease IFN
Pamidronate Glomerulosklerosis fokal segmental
IFN Pamidronate
Zoledronate Tubulointerstitium
Nekrosis tubular akut Platinums, zoledronate, ifosfamide, dan mithramycin
Pentostatin, imatinib, diaziquone, dan pemetrexed Tubulopathies
Sindrom Fanconi Cisplatin, ifosfamide, dan azacitadine
Diaziquone, imatinib, dan pemetrexed Salt wasting
Cisplatin dan azacitadine Magnesium wasting
Cisplatin, cetuximab, dan panitumumab Diabetes insipidus nephrogenik
cisplatin, ifosfamide, and pemetrexed Syndrome of inappropriate antidiuresis
Cyclophosphamide dan vincristine Nephritis interstitial akut
sorafenib dan sunitinib crystal nephropathy
methotrexate
Sumber: Perazella, 2012 Menurut Protokol Indonesia tahun 2006, pada fase konsolidasi, obat-
obatan yang digunakan adalah metotrexat MTX, leucovorin, dan 6- mercaptopurine 6-MP IDAI,2006.
18
2.2.1 Metotrexat MTX
Metotreksat MTX adalah obat anti-metabolit yang banyak digunakan dalam kemoterapi, efek samping yang dapat timbul akibat obat ini terutama
apabila digunakan dalam dosis yang tinggi yaitu kerusakan mukosa ginjal, depresi sumsum tulang, sampai dengan terjadinya acute kidney injury Adam,2015.
Insiden penggunaan HDMTX High Dose Methrotrexate terkait cedera ginjal akut AKI adalah sekitar 1.8 berkisar antara 0 sampai 12 .
Nefrotoksisitas muncul melalui dua mekanisme utama. Yang pertama adalah kristal nefropati, yang terjadi ketika MTX dan metabolitnya mengendap dalam
tubulus ginjal. Pada tahap awal dari presipitasi kristal, uji mikroskop urin menunjukkan sel-sel epitel tubulus ginjal dan, jarang, kristal MTX. Kristal
nefropati awalnya bermanifestasi dengan peningkatan asimtomatik dalam kreatinin serum dan kemudian berkembang menjadi nekrosis tubular dan yang
lebih parah, cedera ginjal. Mekanisme kedua cedera ginjal terkait HDMTX adalah toksisitas tubular langsung ; MTX menginduksi pembentukan radikal oksigen di
ginjal, dengan selanjutnya terjadi cedera selular Ahmed, 2013.
2.2.2 Leucovorin
Selama lebih dari 30 tahun, leucovorin rescue telah menjadi dasar dari terapi HDMTX High Dose Methotrexate. Protokol HDMTX awal didasarkan
pada pengamatan bahwa toksisitas MTX dapat dicegah atau diperbaiki pada pasien dengan konsentrasi MTX plasma tinggi yang menerima dosis leucovorin
secara terpadu. Leucovorin sangat efektif dalam mencegah myelosupresi, toksisitas GI Gastro intestinal dan neurotoksisitas selama pengobatan dengan
HDMTX. Protokol standar kemoterapi pada saat ini memasukkan pemberian leucovorin dalam 24 sampai 36 jam pemberian HDMTX untuk mencegah sel-sel
normal dari kerusakan Ahmed, 2013.
Selain perannya dalam pencegahan toksisitas MTX, leucovorin dosis tinggi merupakan perawatan standar untuk pasien dengan clearance MTX yang
tertunda dan cedera ginjal. Flombaum dan rekan telah mengevaluasi pentingnya dosis tinggi terapi leucovorin rescue pada pasien dengan acute kidney injury
19
terkait HDMTX. Penelitian retrospektif dilakukan terhadap 13 pasien dengan konsentrasi MTX median 164 pM setelah 24 jam pemberian HDMTX, 16,3 pM
pada 48 jam, dan 6,2 pM pada 72 jam. Selain perawatan suportif standar dengan hidrasi dan pemberian natrium bikarbonat, semua pasien diobati dengan
leucovorin dengan dosis mulai 0,24-8ghari. Pengobatan leucovorin rescue dimulai dalam waktu 24 jam n = 9, 48 jam n = 3, dan 72 jam n = 1 dari awal
terapi HDMTX. Efek samping termasuk neutropenia signifikan n = 8 dan trombositopenia n = 7, serta mucositis n = 6 dan diare n = 4. Namun, semua
pasien sembuh dari efek samping. Pengobatan agresif awal dengan dosis yang sangat tinggi dari leucovorin memungkinkan seluruh 13 orang pasien untuk
menghindari extracorporeal removal meskipun dosis MTX sangat tinggi Ahmed,2013.
2.2.3. 6-Mercaptopurine 6-MP
6-MP merupakan analog tiopurin pertama yang terbukti efektif dalam terapi kanker. Seperti tiopurin lainnya, 6-MP tidak aktif dalam bentuk induknya
dan harus dimetabolisme terlebih dahulu oleh hipoxantin-guanin fosforibosil transferase HPGRT menjadi asam 6-tioinosinat, suatu nukleotida monofosfat,
yang selanjutnya menghambat beberapa enzim dalam sintesis de novo nukleotida purin. 6-MP terutama digunakan dalam terapi leukemia akut pada anak, dan
analog yang terkait dengannya, yakni azatioprin, digunakan sebagai agen imunosupresif Katzung, 2010.
2.2.4. Cyclophosphamide Siklofosfamid
Siklofosfamid adalah salah satu agen anti-kanker paling sukses yang pernah disintesis. Bahkan saat ini, 50 tahun setelah disintesis, siklofosfamid masih
banyak digunakan sebagai agen kemoterapi dan regimen untuk transplantasi sumsum tulang. Siklofosfamid dapat diberikan secara aman tanpa dosis
penyesuaian pada pasien dengan gagal ginjal atau hati. Kadar siklofosfamid tidak terdeteksi 12-24 jam setelah pemberian, bahkan pada pasien dengan gagal ginjal
berat. Dengan demikian, menunda dialisis untuk setidaknya satu hari setelah
20
pemberian siklofosfamid akan mencegah eliminasi obat pada pasien dengan gagal ginjal Emadi, et al., 2009.
2.3. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Fungsi ginjal dapat dievaluasi dengan berbagai uji laboratorium secara mudah. Langkah awal dimulai dengan pemeriksaan urinalisis lengkap,
termasuk pemeriksaan sedimen kemih. Berbagai informasi penting mengenai status fungsi ginjal dapat diperoleh dari urinalisis. Pengukuran kadar nitrogen
urea darah BUN dan kreatinin serum berguna untuk evaluasi gambaran fungsi ginjal secara umum. Dalam keterbatasannya kedua uji tersebut mampu
membuat estimasi Laju Filtrasi Glomerulus LFG yang akurat. Untuk menetapkan LFG yang lebih tepat dapat dilakukan pengukuran dengan klirens
kreatinin atau klirens inulin atau penetapan LFG secara kedokteran nuklir. Evaluasi fungsi tubulus diukur melalui pengukuran metabolisme air dan
mineral serta keseimbangan asam basa Noer,2006. Pemeriksaan yang biasanya dilakukan adalah :
1. Kreatinin serum
Kreatinin merupakan hasil metabolisme kreatin dan phosphocreatine, disintesis terutama dalam otot bergaris, juga disintesis dalam hepar,
pankreas dan ginjal. Kreatinin secara eksklusif diekskresi melalui ginjal, terutama melalui proses filtrasi glomerulus dan sedikit sekali
melalui sekresi tubulus Noer, 2006. Umumnya kecepatan sintesis kreatinin tetap konstan dan kadar dalam
serum mencerminkan kecepatan eliminasi ginjal. Oleh karena itu kenaikan kadar kreatinin serum menunjukkan menurunnya klirens
kreatinin dan penurunan LFG Laju filtrasi glomerulus. Bahkan pada fungsi ginjal normal, kadang-kadang terlihat kenaikan kadar kreatinin
serum, apabila terjadi pelepasan kreatinin dari muskulus dalam jumlah banyak, seperti misalnya crush injury atau rhabdomyolysis. Intake
daging matang well-cooked dalam jumlah banyak akan meningkatkan kadar kreatinin serum karena terjadi penambahan kreatinin eksogen.
21
Setiap 1gr daging yang dimakan akan menghasilkan 3.5 sampai 5.0 mg kreatin. Proses pemasakan merubah sekitar 65 kreatin menjadi
kreatinin, yang akan diabsorbsi dari saluran cerna. Sebailknya kadar kreatinin serum akan turun pada pasien yang masa ototnya
berkurang, akibat malnutrisi atau panyakit otot lanjut. Obat-obat tertentu seperti misalnya cimetidine, trimethoprim, dan probenecid,
dapat meningkatkan kadar kreatinin serum melalui proses kompetitif dalam transport kreatinine tubular ginjal Noer, 2006.
2. Nitrogen Urea DarahBlood Urea Nitrogen BUN
Kadar BUN normal pada seorang anak dengan gizi dan hidrasi yang baik dianggap mencerminkan LFG yang normal. Dibandingkan dengan
kreatinin serum, BUN agak kurang akurat dalam menilai LFG, oleh karena beberapa faktor ekstra renal yang mempengaruhi kadarnya
dalam serum. Meskipun bebas filtrasi dalam glomerulus, urea mengalami reabsorbsi yang bermakna dalam tubulus renal. Sejumlah
urea yang telah difiltrasi direabsorbsi dalam tubulus proksimal, loop of Henle, dan dalam ductus collegentes medulla Noer, 2006.
Reabsorbsi urea disepanjang tubulus proksimal dan loop of Henle terjadi secara pasif, reabsorbsi dalam duktus collegentes sangat
bergantung pada vasopressin. Dalam keadaan antidiuresis atau apabila aliran kemih berkurang, absorbsi urea dalam nefron distal meningkat;
menurun bila telah terjadi diuresis. Adanya proses reabsorbsi urea dalam tubulus ginjal menurunkan kegunaan BUN sebagai indikator LFG
Noer,2006. Hal-hal yang dapat menyebabkan peningkatan kadar ureum, yaitu :
a. Perdarahan gastrointestinal
b. Dehidrasi
c. Peningkatan asupan protein
d. Peningkatan katabolisme protein
e. Infeksi sistemik
f. Luka bakar
22
g. Terapi Glucocorticoid
Hal-hal yang dapat menyebabkan penurunan kadar ureum,yaitu : a.
Penurunan asupan protein b.
Malnutrisi c.
Penyakit Liver Noer, 2006.
3. Laju filtrasi glomerulus Laju filtrasi glomerulus menunjukkan fungsi filtrasi ginjal. Cara yang
paling sering dipakai untuk menghitung LFG dalam klinik adalah dengan menggunakan prinsip klirens. Klirens suatu zat adalah volume
plasma yang dibutuhkan untuk membersihkan suatu zat dari glomerulus dalam suatu periode waktu. Marker yang digunakan untuk
mengukur LFG dengan prinsip ini haruslah bebas filtrasi dalam glomerulus dan tidak direabsorbsi maupun disekresi oleh tubulus
renal. Bila marker dengan karakteristik seperti tersebut diatas diberikan, jumlah marker yang difiltrasi oleh glomerulus dalam 1
menit LFG x P harus sama dengan jumlah marker yang diekskresi dalam kemih dalam 1 menit U x V.
LFG = laju filtrasi glomerulus P = kadar marker dalam plasma
U = kadar marker dalam kemih V = volume kemih yang dikeluarkan selama masa uji
Noer, 2006. Marker yang ideal untuk pengukuran LFG adalah marker yang
nontoksik, dapat mencapai kadar plasma yang stabil dalam keadaan keseimbangan, tidak terikat pada protein plasma, difiltrasi bebas oleh
glomerulus, tidak disekresi dan direabsorbsi oleh tubulus ginjal Noer, 2006. 1.
Klirens inulin Inulin merupakan marker yang ideal karena memenuhi semua
persyaratan tersebut, sehingga klirens inulin dipakai sebagai baku emas dalam penghitungan LFG baik pada dewasa maupun pada anak-
23
anak. Pengukuran LFG dengan klirens inulin hanya dipakai dalam
riset, karena klirens inulin sulit dilakukan dalam praktek sehari-hari.
Prosedur pemeriksaan adalah dengan cara infus inulin selama 3 jam agar diperoleh kadar yang stabil dalam cairan ekstraseluler. Dibutuhkan
intake cairan yang banyak Noer, 2006. 2.
Klirens kreatinin Kreatinin endogen paling sering dipakai untuk menentukan LFG.
Meskipun kreatinin bebas filtrasi dalam glomerulus, terdapat sejumlah kecil kreatinin disekresi dalam tubulus. Perlu pengumpulan kemih 24 jam.
LFG berhubungan terbalik dengan kadar kreatinin plasma Noer, 2006.
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang