Perbandingan Nilai Ureum Dan Kreatinin Sebelum Dan Sesudah Kemoterapi Fase Konsolidasi Pada Pasien Leukemia Limfoblastik Akut Anak Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2013
LAMPIRAN 1
CURRICULUM VITAE
Nama : Khansa Salsabila
NIM : 120100041
Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 11 Desember 1996
Agama : Islam
Alamat : Jalan Eka Rasmi Komp. Bumi Johor Sentosa No.A-12 A Kel.Gedung johor Kec.Medan Johor Sumatera Utara
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat Email : [email protected] Riwayat Pendidikan :
1. TK Anugrah Kutacane 2000 – 2001
2. SD An-Nizam Medan 2002 – 2008
3. SMP Akselerasi Al-Azhar Medan 2008 – 2010 4. SMA Plus/Akselerasi Al-Azhar Medan 2010 – 2012 5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2012 – sekarang
Riwayat Organisasi :
(2)
LAMPIRAN 2
DATA INDUK
No. No. RM Nama JK Usia FR Tipe
Fungsi Ginjal Sebelum
Fungsi Ginjal
Sesudah Keterangan
Ureum Kreatinin Ureum Kreatinin 1 56.76.08 Fairuz Athaillah Kamal L 6 HR ALL FAB L1 26.7 0.33 24.5 0.69 2 55.11.24 Syifa Anastasia Salsabila P 2 SR ALL FAB L1 19.9 0.16 27.9 0.34
3 52.59.30 Reza Olando L 12 HR ALL FAB L2 EXIT/11.11.2012
4 50.50.67 April P 12 HR ALL FAB L1 30.0 0.31 15.0 0.22
5 53.62.90 Alfian Simangunsong L 11 HR ALL FAB L1 9.0 0.35 11.5 0.35 6 55.69.99 M. Affan Siyar L 2 SR ALL FAB L1 7.6 0.20 22.1 0.40 7 47.50.16 M. Aziz Siregar L 10 SR ALL FAB L1 11.3 0.45 22.8 0.52
8 Doni Syahputra L 7 SR ALL FAB L1 22.8 0.34 33.7 0.56
9 Doni Elusua Hutapea L 8 HR ALL FAB L1 17.8 0.23 23.8 0.39
10 Khairunisa P 3 SR ALL FAB L1 26.9 0.33 37.6 0.47
11 52.80.21 Sonia P 6 SR ALL FAB L1 24.8 0.20 34.8 0.54
12 47.18.17 Rizki Dwi Andika L 3 SR ALL FAB L1 22.0 0.50 17.3 0.36 13 52.19.29 Jihan Azani P 5 SR ALL FAB L1 36.4 0.18 47.3 0.27
14 49.67.01 Muhadi L 7 SR ALL FAB L1 13.4 0.15 21.4 0.29
15 55.01.42 Sahzarina P 5 SR ALL FAB L1 11.0 0.27 25.2 0.35 16 51.79.14 Arya Nugraha L 7 SR ALL FAB L1 38.8 0.40 39.2 0.70
17 54.15.87 Mahira P 4 SR ALL FAB L1 Rekam medis tidak ada
18 53.14.89 Manda Safitri P 9 HR ALL FAB L2 15.3 0.29 18.2 0.36 19 54.29.51 Timotius Sembring L 12 HR ALL FAB L1 22.6 0.38 39.2 0.52
20 Febryansyah L 3 HR ALL FAB L1 14.7 0.22 18.9 0.41
21 M. Fiqri Ramadhan L 2 SR ALL FAB L1 16.6 0.31 21.9 0.45 22 50.67.33 Sewi Juwita P 0,3 HR ALL FAB L1 23.1 0.26 33.3 0.30
(3)
24 Bunga Sabila P 5 SR ALL FAB L1 15.7 0.35 21.3 0.53 25 53.14.89 Nanda Sapitri P 6 SR ALL FAB L1 18.3 0.29 29.1 0.46 26 50.55.91 Anggi Ridha P 10 HR ALL FAB L1 10.0 0.34 15.3 0.67 27 51.38.80 Dwi Ananta P 0,8 HR ALL FAB L2 13.0 0.2 28.2 0.33 28 48.57.00 Nur Fadhillah P 5 HR ALL FAB L1 22.7 0.29 37.1 0.32 29 55.49.52 Rickson Maruba L 17 HR ALL FAB L1 37.6 0.37 42.2 0.53
(4)
LAMPIRAN 3
Output Data Hasil Penelitian
a.Frekuensi Data Penelitian
JenisKelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Laki-Laki 15 50,0 50,0 50,0
Perempuan 15 50,0 50,0 100,0
Total 30 100,0 100,0
Usia Kategori
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid <2 2 6,7 6,7 6,7
2-5 11 36,7 36,7 43,3
6-10 11 36,7 36,7 80,0
>10 6 20,0 20,0 100,0
Total 30 100,0 100,0
Tipe
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid ALL FAB L1 27 90,0 90,0 90,0
ALL FAB L2 3 10,0 10,0 100,0
Total 30 100,0 100,0
FaktorResiko
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid SR 15 50,0 50,0 50,0
HR 15 50,0 50,0 100,0
(5)
b.Uji T Test Dependent
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Pair 1 UreumSebelum 20,278 27 8,5335 1,6423 UreumSesudah 27,704 27 9,5116 1,8305 Pair 2 KreatininSebelum ,2974 27 ,08667 ,01668 KreatininSesudah ,4359 27 ,12819 ,02467
Paired Samples Test Paired Differences
t df
Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper Pair
1
UreumSebelum -
UreumSesudah
-7,4259 7,3043 1,4057
-10,3154 -4,5364
-5,283 26 ,000
Pair 2 KreatininSebelum - KreatininSesudah
-,13852 ,11723 ,02256 -,18489 -,09214
-6,140 26 ,000
(6)
(7)
(8)
37
DAFTAR PUSTAKA
Adam, K.W., Umboh, A. & Gunawan, S., 2015. Gambaran Fungsi Ginjal Pada
Anak Dengan Terapi Leukemia Limfoblastik Akut di Pusat Kanker Anak Estella RSUP Prof DR RD Kandou, Manado : FK UNSRAT.
Ahmed, Y.A.A.R.., Hasan, Y., 2013. Prevention and Management of High Dose Methotrexate Toxicity. J Cancer Science Theraphy . Volume 5, pp.
106-112.
American Cancer Society,2014 dalam Special Section : Cancer in Children and Adolescent. Cancer Facts and Figures,2014
Bakta, I.M., 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC. pp 120-135.
Emadi, A., Jones, R.J., & Brodsky, R.A., 2009. Cyclophosphamide and Cancer : Golden Anniversary. Nature Reeviews Clinical Oncology. Volume 6, pp 638-647.
Fianza, P.I., 2009. Leukemia Limfoblastik Akut dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 1st ed. Jakarta : Interna Publishing. pp 1268.
Hoffbrand, A.V., Moss, P.A.H., 2013. Kapita Selekta Hematologi. 6th ed. Jakarta : EGC. pp 210-218.
IDAI, 2006. Indonesia Protocol A. L. L. 2006
Kanwar, V. S., 2014. Pediatric Acute Lymphoblastic Leukemia Treatment &
Management.[Online]
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/990113-treatment [Accessed 31 march 2015].
Katzung, B. G., 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. 10th ed. Jakarta : EGC. pp 917-920.
Kosasih, A. S. et al., 2011. Immunophenotyping in the Diagnosis and Classification of Acute Leukemia: "Dharmais" Cancer Hospital Experience. Indonesian Journal of Cancer, Volume 5, pp. 3-8.
Lanzkowsky, P., 2008. Manual Pediatric Hematology & Oncology. London : Elsevier Inc.. pp 415-416; 426.
Mukhtar, Z., 2011. Desain Penelitian Klinis dan Statistika Kedokteran. 1st ed. Medan : USU Press, 2011.
(9)
38
Noer, M.S., 2006. Evaluasi Fungsi Ginjal Secara Laboratorik. RSU Dr. Soetomo Surabaya. FK UNAIR.
Orkin, S. H. et al., 2009. Oncology of Infancy and Childhood. 1st ed. Philadelphia: Elsevier Inc.
Perazella, d. M. A., 2012. Onco-Nephrology: Renal Toxicities of Chemotherapeutic Agents. Clinical Journal of the American Society of
Nephrology, Volume 7, pp. 1713-1721.
Permono, B. U. I., 2005. Buku Ajar Hematologi - Onkologi Anak. cetakan keempat ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Pertiwi, N. M. I., Niruri, R. & Ariawati, K., 2013. Gangguan Hematologi Akibat
Kemoterapi pada Anak Dengan Leukemia Limfoblastik Akut di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Bali: s.n.
Pinontoan, E., Mantik, M. & Rampengan, N., 2013. Pengaruh Kemoterapi
Terhadap Profil Hematologi pada Penderita Leukemia Limfoblastik Akut,
Manado: FK UNSRAT.
Pui, C., 2006. Treatment of Acute Limphoblastic Leukemia. The New England
Journal, pp. 111-118.
Robinson, L.L., 2011. Late Effects of Acute Lymphoblastic Leukemia Therapy in Patients Diagnosed at 0-20 Years of Age. American Society of
Hematology. pp 238-242.
Roganovic, J., 2013. Acute Lymphoblastic Leukemia in Children, Leukemia. [Online]
Available at: http://www.intechopen.com/books/leukemia/acute lymphoblastic-leukemia-in-children
[Accessed 25 April 2015].
Sastroasmoro, S., 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. 4th ed. Jakarta: Sagung Seto.
Sumantri, A., 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. 1st ed. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Tamsil, F., Mantik, M. & Umboh, A., 2014. Analisis Kadar Kreatinin pada Anak
dengan Leukemia Limfoblastik Akut di Pusat Kanker Anak Estella Blu RSUP Prof Dr Rd Kandou, Manado : FK UNSRAT.
Vagace, J.M., Gervasini, G., 2011. Chemotherapy Toxicity in Patients with Acute
(10)
39
Widiaskara, I.M., Permono, B., Ugrasena I.D.G., Ratwita, M., 2010. Luaran Pengobatan Fase Induksi Pasien Leukemia Limfoblastik Akut pada Anak di Rumah Sakit Umum Dr. Sutomo Surabaya. Sari Pediatri. Vol. 12. pp 128-134.
Yetgin, Sevgi., Olgar, Seref., 2004. Evaluation of Kidney Damage in Patients With Acute Lymphoblastic Leukemia in Long-Term Follow-Up: Value of Renal Scan. American Journal of Hematology 77:132–139.
(11)
24
BAB 3
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Teori
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka, maka kerangka teorinya adalah sebagai berikut:
Leukemia Limfoblastik Akut
Kemoterapi
Risiko Standar Risiko Tinggi
Induksi
Konsolidasi
Pemeliharaan
Induksi
Konsolidasi
Reinduksi
Pemeliharaan
Nilai Ureum & Kreatinin
Nilai Ureum & kreatinin
Analisis Perbandingan Sebelum dan Sesudah
(12)
25
Pada leukemia limfoblastik akut terdapat faktor risiko yang membagi penderita kedalam dua kelompok, yaitu risiko standar dan risiko tinggi. Kedua kelompok ini memiliki standar penatalaksanaan kemoterapi dengan fase yang berbeda-beda sesuai dengan protokol Indonesia tahun 2006. Kemoterapi tersebut dapat menimbulkan efek samping pada fungsi ginjal pasien sehingga dilakukan pemeriksaan nilai fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) selama menjalani kemoterapi. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan antara fungsi ginjal sebelum fase konsolidasi dan setelah fase konsolidasi. Pemeriksaan dilakukan pada fase konsolidasi yaitu selama 5 minggu pada pasien risiko standar dan 6 minggu pada pasien risiko tinggi.
3.2. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori diatas, maka penulis membuat kerangka konsep sebagai berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen
1. Variabel independen (variable bebas) merupakan karakteristik suatu subyek yang apabila berubah akan mengakibatkan perubahan variabel lain. 2. Variabel dependen (variabel tergantung) merupakan karakteristik suatu subyek yang berubah akibat perubahan pada variabel bebas (Sastroasmoro, 2011).
3.3. Definisi Operasional 1. LLA
Definisi: Pasien baru yang terdiagnosis LLA dengan faktor risiko standar atau faktor risiko tinggi yang berusia kurang dari 18 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2011-2013.
Kemoterapi Fase Konsolidasi LLA
Nilai Ureum & Kreatinin
(13)
26
2. Ureum dan Kreatinin
Definisi : Nilai ureum dan kreatinin selama fase konsolidasi kemoterapi, yaitu selama 5-6 minggu yang dinilai setiap minggu dan diperoleh dari pemeriksaan darah penderita LLA di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2011-2013.
Cara Pengukuran : Diukur dengan menggunakan analisis data rekam medis.
Alat Ukur : Hasil pemeriksaan laboratorium yang terlampir pada data rekam medis
Hasil Pengukuran : 1. Ureum
Normal : 14-40 mg/dL 2. Kreatinin
Normal : 0,6-1,3 mg/dL Skala Pengukuran : Numerik
3. Tipe LLA
Definisi : Merupakan tipe LLA yang berdasarkan klasifikasi menurut FAB (French, British and America) yang dibagi menjadi tiga tipe:
a.L1 : LLA dengan sel limfoblas kecil-kecil.
b.L2 : Sel lebih besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli prominen dan sitoplasma agak banyak.
c.L3 : LLA mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sitoplasma basofil dengan banyak vakuola.
4. Faktor risiko LLA
Definisi : Pembagian pasien bedasarkan faktor risiko. Kriteria pasien risiko tinggi (High Risk):
a.Jumlah leukosit darah tepi >50.000/ml. b.Ditemukan sel blast pada susunan saraf pusat.
c.Jumlah total blast setelah 1 minggu diterapi lebih dari 1000/mm. d.Ada masa di mediastinum.
(14)
27
3.4. Hipotesis
1. Ada perbedaan rerata nilai fungsi ginjal sebelum dan sesudah kemoterapi fase konsolidasi pada pasien LLA.
(15)
28
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat analitik, dengan desain penelitian retrospektif dimana dilakukan dengan cara identifikasi penyakit terlebih dahulu selanjutnya identifikasi fungsi ginjal dari masa lampau (Sumantri, 2011).
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Waktu Penelitian
Pengambilan data dilakukan selama dua bulan, yaitu dari bulan Agustus sampai bulan September 2015.
4.2.2. Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Pemilihan tempat penelitian ini dikarenakan RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan salah satu Rumah Sakit Rujukan di Kota Medan yang memiliki berbagai sarana pelayanan kesehatan sehingga cukup mendukung untuk dijadikan acuan sumber data khususnya di provinsi Sumatera Utara. RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, sehingga diharapkan dapat mendapatkan izin penelitian dengan mudah.
4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi
Populasi adalah seluruh subyek pada suatu kelompok dengan karakteristik tertentu yang menjadi fokus peneliti untuk menarik kesimpulan (Mukhtar, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien LLA di RSUP Haji Adam Malik Medan.
(16)
29
4.3.2. Sampel
Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap dapat mewakili seluruh populasi (Notoadmodjo, 2010). Sampel dalam penelitian ini menggunakan total
sampling sehingga sampel yang diambil mencakup seluruh pasien LLA di RSUP
Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2011 - 31 Desember 2013 yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi a. Usia 0-18 tahun
b. Pasien LLA yang mendapatkan penatalaksanaan kemoterapi fase konsolidasi dengan faktor risiko standar
c. Pasien LLA yang mendapatkan penatalaksanaan kemoterapi fase konsolidasi dengan faktor risiko tinggi
2. Kriteria eksklusi
a. Pasien berhenti ditengah penatalaksanaan kemoterapi fase konsolidasi b. Data rekam medik pasien tidak lengkap
4.4. Pengumpulan Data dan Analisis Data 4.4.1. Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang didapat dari data rekam medik yang dilihat oleh peneliti sendiri di Divisi Hematologi - Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Agustus - September 2015. Pengambilan data rekam medik dilakukan setiap minggu selama kemoterapi fase konsolidasi berlangsung.
4.4.2. Analisis Data
Pengolahan data dari rekam medik pasien yang terkumpul akan dianalisis secara analitik. Dengan proses data-data ini akan dikumpulkan, dicatat, dikelompokkan, kemudian diolah dan dianalisis menggunakan uji beda mean dependent (uji t dependen/t test) dengan program Statistical Package for Social
Sciences (SPSS). Selanjutnya data tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel,
(17)
30
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskriptif Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. RSUP Haji Adam Malik merupakan Rumah Sakit Umum kelas A di Medan sesuai dengan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 775/MENKES/SK/IX/1992. Selain itu berdasarkan keputusan Menteri No. 502/Menkes/SK/IX/1991, RSUP Haji Adam Malik juga merupakan Pusat Rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Riau.
RSUP Haji Adam Malik Medan ini memiliki fasilitas yang terdiri dari pelayanan medis, pelayanan non medis, pelayanan penunjang medis, dan pelayanan penunjang non medis. Penelitian ini dilakukan di bagian rekam medis dan di Divisi Hematologi - Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU RSUP Haji Adam Malik Medan.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data rekam medik sebanyak 30 sampel yang merupakan data dari pasien rawat inap dan rawat jalan leukemia limfoblastik akut anak selama periode 1 Januari 2011 - 31 Desember 2013 di Divisi Hematologi - Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU RSUP Haji Adam Malik Medan. Dari jumlah tersebut, sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 27 sampel.
(18)
31
Gambar 5.1. Luaran Pasien LLA Anak yang Menyelesaikan Kemoterapi Fase Konsolidasi
Populasi Penelitian 68 sampel
Mengikuti Kemoterapi Fase Induksi
64 sampel
Menyelesaikan Kemoterapi Fase Induksi
30 sampel
- Lost to follow up: 28 sampel - Exitus: 6 sampel
- Lost to follow up: 2 sampel - Exitus: 2 sampel
Subjek Penelitian 30
sampel
Mengikuti Kemoterapi Fase Konsolidasi
28 sampel
Menyelesaikan Kemoterapi Fase Konsolidasi
27 sampel
Lost to follow up: 1 sampel
- Lost to follow up: 1 sampel - Exitus: 1 sampel
(19)
32
Berdasarkan gambar 5.1. diatas terlihat bahwa dari 68 sampel penelitian, 2 sampel mengalami lost to follow up, yang dapat disebabkan sampel tidak datang kontrol, pindah rumah sakit, atau menolak melakukan pengobatan, dan 2 sampel lainnya mengalami exitus sebelum dilakukan kemoterapi sehingga sampel yang melakukan kemoterapi sebanyak 64 sampel. 28 dari sampel tersebut mengalami
lost to follow up dan 6 sampel mengalami exitus sebelum menyelesaikan
kemoterapi fase induksi sehingga yang menyelesaikan fase induksi sebanyak 30 sampel. Lalu, dari 30 sampel penelitian, 1 sampel mengalami lost to follow up dan1 sampel lainnya mengalami exitus sebelum dilakukan kemoterapi sehingga sampel yang melakukan kemoterapi fase konsolidasi sebanyak 28 sampel. Namun, hanya 27 sampel yang menyelesaikan kemoterapi fase konsolidasi karena 1 sampel lainnya mengalami lost to follow up.
Dari keseluruhan sampel yang tercatat diperoleh gambaran karakteristik awal pasien, yaitu meliputi : jenis kelamin, usia, tipe LLA, faktor risiko, kadar Ureum dan kadar Kreatinin. Data lengkap yang mencakup karakteristik sampel tersebut dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.
5.1.2.1 Distribusi Karakteristik Pasien LLA
Tabel 5.1. Karakteristik Pasien LLA
Karakteristik Jumlah (n) Persentase (%)
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 15 15 50.0 50.0 Usia (tahun) <2 2-5 6-10 >10 2 11 11 6 6.7 36.7 36.7 20.0 Tipe LLA L1 L2 27 3 90.0 10.0 Faktor Risiko
HR 15 50.0
(20)
33
Berdasarkan data pada Tabel 5.1. terlihat bahwa pasien LLA berjenis kelamin laki-laki dan perempuan jumlahnya sama.
Berdasarkan usia pasien terlihat bahwa pasien paling banyak berusia 2-5 tahun yaitu 11 orang (36.7%) dan 6-10 tahun (36.7%), sedangkan paling sedikit pada kelompok usia <2 tahun yaitu sebanyak 2 orang (6.7 %).
Berdasarkan tipe LLA terlihat bahwa tipe FAB L1 lebih banyak dibandingkan FAB L2. FAB L1 sebanyak 27 orang (90.0 %), FAB L2 sebanyak 3 orang (10.0%), sedangkan tipe FAB L3 tidak ditemukan.
Berdasarkan faktor risiko pasien LLA dengan risiko standar sebanyak 15 orang (50%) dan risiko tinggi sebanyak 15 orang (50%).
5.1.3. Analisis Perbedaan Nilai Fungsi Ginjal Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Fase Konsolidasi
Analisis perbedaan fungsi ginjal sebelum dan sesudah kemoterapi fase induksi menggunakan uji t test dependent.
Tabel 5.2. Pengaruh Kemoterapi Fase Konsolidasi pada Kadar Ureum dan Kreatinin Pasien LLA
Fungsi Ginjal Sebelum Konsolidasi Rerata (mg/dL) Sesudah Konsolidasi Rerata (mg/dL)
P 95% Interval
Kepercayaan Batas bawah Batas
atas
Ureum 20.278 27.704 0.001* 10.315 4.536
Kreatinin 0.297 0.435 0.001* 0.184 0.092
*terdapat perbedaan bermakna (p<0.05)
Berdasarkan Tabel 5.2. terlihat bahwa rerata kadar ureum sebelum kemoterapi fase konsolidasi adalah 20.27 mg/dL dan setelahnya menjadi 27.70 mg/dL. Untuk rerata kadar kreatinin sebelum kemoterapi fase konsolidasi memiliki nilai 0.29 mg/dL dan setelahnya menjadi 0.43 mg/dL. Interval kepercayaan ureum memiliki batas atas 4.536 dan batas bawah 10.315 sedangkan kreatinin memiliki batas atas 0.092 dan batas bawah 0.184.
Berdasarkan hasil uji pada tabel 5.4. terlihat adanya perbedaan yang bermakna pada kadar ureum (p=0.001) maupun kadar kreatinin (p=0.001) pasien LLA sebelum dan setelah menjalani kemoterapi fase konsolidasi.
(21)
34
5.2. Pembahasan
5.2.1. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien LLA
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 30 pasien LLA di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2011 – 31 Desember 2013, 15 orang berjenis kelamin perempuan (50%) dan 15 orang berjenis kelamin laki-laki (50%). Hal ini sesuai dengan penelitian Adam (2015) yang menunjukkan jumlah pasien laki-laki sama dengan jumlah pasien perempuan (21/21).
Berdasarkan kelompok usia terdiagnosisnya LLA, kelompok terbanyak adalah usia 2-5 tahun sebanyak 11 orang (36.7%) dan 6-10 tahun dengan persentase yang sama yaitu 11 orang (36.7%). Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi, et al (2013) dimana didapatkan pasien LLA terdiagnosis paling banyak pada kelompok usia 1-10 tahun dengan persentase sebesar 88.2% (15/17).
Berdasarkan Immunophenotyping kriteria subtipe terbanyak adalah FAB L1, yaitu sebanyak 27 orang (90%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kosasih, et al (2011), yaitu FAB L1 sebanyak 72% (52/72).
Berdasarkan faktor risiko ditemukan bahwa pasien dengan risiko standar dan resiko tinggi jumlahnya sama. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Tamsil dkk (2014), di Pusat Kanker Anak RSUP Prof. DR. RD Kandou Manado, pasien LLA risiko standar dan risiko tinggi memiliki persentase yang sama (50%).
5.2.2. Analisis Perbedaan Rerata Fungsi Ginjal Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Fase Konsolidasi pada pasien LLA
Pada penelitian untuk menilai perbedaan fungsi ginjal, kadar ureum dan kadar kreatinin, sebelum kemoterapi dan setelah kemoterapi fase konsolidasi, ditemukan adanya perbedaan pada kadar ureum (p=0.001) dan kadar kreatinin (p=0.001). Sebelum menjalani kemoterapi rerata kadar ureum adalah 20.278 mg/dL dan rerata kadar kreatinin adalah 0.297 mg/dL. Namun nilai rerata tersebut meningkat setelah diberikan kemoterapi, dimana kadar ureum menjadi 27,704 mg/dL dan kadar kreatinin menjadi 0.435 mg/dL. Hal ini tidak sesuai dengan
(22)
35
penelitian yang dilakukan oleh (Rybak, 2012) dimana kadar ureum sebelum dan sesudah menjalani kemoterapi mengalami penurunan.
Namun, pada penelitian yang dilakukan oleh (Yetgin, et al., 2004) ditemukan peningkatan kadar ureum dan ditemukan juga penurunan LFG. Dimana korelasi antara kreatinin serum dan LFG tidaklah linear, kenaikan kadar kreatinin serum menunjukkan menurunnya klirens kreatinin dan penurunan LFG (Noer, 2006).
Dari beberapa obat yang digunakan selama kemoterapi fase konsolidasi, methotrexate merupakan obat yang dapat menginduksi terjadinya nefrotoksik (Vagace, 2011). Hal ini didukung juga oleh penelitian yang dilakukan (Ahmed, 2013) dimana penggunaan methotrexate dosis tinggi dapat menyebabkan terjadinya disfungsi ginjal dengan angka berkisar antara 2-12%. Peningkatan kadar kreatinin dan ureum pada sebelum dan sesudah fase konsolidasi ini kemungkinan dipengaruhi oleh obat-obatan yang diberikan selama kemoterapi terutama methotrexate.
(23)
36
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pasien leukemia limfoblastik akut anak periode 1 Januari 2011 - 31 Desember 2013 di RSUP Haji Adam Malik Medan, dapat diambil kesimpulan antara lain:
1. Ada perbedaan yang bermakna antara kadar ureum sebelum dilakukan kemoterapi fase konsolidasi dengan sesudah dilakukan kemoterapi fase konsolidasi (p=0.001) dengan interval kepercayaan 95%.
2. Ada perbedaan yang bermakna antara kadar kreatinin sebelum dilakukan kemoterapi fase konsolidasi dengan sesudah dilakukan kemoterapi fase konsolidasi (p=0.001) dengan interval kepercayaan 95%.
3. Pada sampel penelitian jumlah pasien laki-laki dan perempuan sama,yaitu 15 orang. Berdasarkan usia, kelompok usia terbanyak adalah usia 2-5 tahun yaitu 11 orang dan usia 6-10 tahun sebanyak 11 orang. Berdasarkan tipe LLA, Tipe terbanyak adalah tipe L1 yaitu sebanyak 27 orang. Untuk faktor resiko, pasien risiko standar (SR) dan risiko tinggi (HR) jumlahnya sama yaitu sebanyak 15 orang.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil yang didapat pada penelitian ini, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Untuk institusi rumah sakit, disarankan agar lebih meningkatkan pemantauan fungsi ginjal, pengobatan yang diberikan, dan keadaan umum pasien LLA yang sedang menjalani kemoterapi untuk mencegah terjadinya kelainan pada ginjal pasien tersebut.
2. Untuk peneliti lainnya, sebaiknya dapat melakukan penelitian lain dengan jangka waktu yang lebih panjang dan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga data yang diperoleh lebih akurat.
(24)
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Leukemia Limfoblastik Akut Pada Anak 2.1.1. Definisi
Leukemia limfoblastik akut merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, ditandai dengan proliferasi maligna sel leukosit immatur, dan pada darah tepi terlihat adanya pertumbuhan sel-sel yang abnormal. Sel leukosit dalam darah penderita leukemia berproliferasi secara tidak teratur dan menyebabkan perubahan fungsi menjadi tidak normal sehingga mengganggu fungsi sel normal lain (Permono, 2005).
2.1.2. Epidemiologi
Setiap tahun di Amerika Serikat ada sekitar 14.382 kasus kanker baru yang didiagnosis pada penduduk di bawah usia 20 tahun. Sekitar 2.970 (21%) dari kasus-kasus ini merupakan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA). Tingkat kejadian tahunan AS untuk LLA dibawah usia 20 tahun adalah 35,0 per satu juta penduduk, dengan laki-laki memiliki insiden yang lebih tinggi daripada perempuan. Terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian LLA antara ras kulit hitam dan kulit putih, dimana anak-anak kulit putih memiliki insiden hampir 2 kali lipat lebih besar. Puncak insidens LLA paling tinggi terjadi pada usia 2-5 tahun. Secara internasional, terdapat variasi antara kejadian LLA pada masa kanak-kanak dan remaja, dengan rata-rata kejadian pertahun berkisar 9-47 per juta untuk laki-laki dan 7-43 per juta untuk wanita (Robinson, 2011).
Menurut penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya, leukemia akut menduduki peringkat pertama pasien keganasan pada anak dalam kurun waktu 10 tahun (1991-2000) yaitu 524 kasus atau 59% dari seluruh keganasan pada anak. Dari jumlah tersebut 430 anak (82%) didiagnosis sebagai leukemia limfoblastik akut, 52 (10%) kasus sebagai leukemia nonlimfoblastik akut dan sisanya 42 kasus (8%) sebagai leukemia mieoloblastik
(25)
5
kronis. Insiden dari LLA pada tahun 2005 terdapat 85 kasus baru (Widiaskara, et
al, 2010).
2.1.3. Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi leukemia akut belum diketahui, akan tetapi faktor-faktor berikut ini penting dalam patogenesis leukemia:
1. Radiasi ionisasi.
2. Bahan-bahan kimia (misalnya, benzena pada Leukemia Myeloid Akut (LMA)).
3. Obat-obatan (misalnya, penggunaan alkylating agen baik sendiri atau dalam kombinasi dengan terapi radiasi meningkatkan risiko LMA).
4. Pertimbangan Genetik:
Kembar identik: Jika salah satu kembar mengalami leukemia pada usia dibawah 5 tahun, risiko kembar kedua mengalami leukemia adalah 20%. Kejadian leukemia pada saudara kandung dari pasien leukemia adalah empat kali lebih besar dibandingkan dengan populasi umum.
Kelainan kromosom:
Grup Interval Risiko Waktu
Trisomi 21 (sindrom Down) 1 di 95 <10 tahun
Sindrom Bloom 1 di 8 <30 tahun
Anemia Fanconi 1 di 12 <16 tahun
Peningkatan kejadian dengan kondisi genetik sebagai berikut: (1) Agammaglobulinemia kongenital
(2) Sindrom Polandia
(3) Sindrom Shwachman Diamond (4) Ataksia telangiectasia
(5) Sindrom Li-Fraumeni (mutasi gen p-53) (6) Neurofibromatosis
(7) Diamond-Blackfan anemia (8) Penyakit Kostmann.
Sebagian besar kasus leukemia tidak berasal dari kecenderungan genetik yang diwariskan, tetapi dari perubahan genetik somatik (Lanzkowsky,2008).
(26)
6
2.1.4. Klasifikasi
Leukemia limfoblastik akut, sel B atau sel T, dibagi lagi oleh WHO (2008) berdasarkan defek genetik yang mendasarinya. Pada kelompok B-LLA (LLA sel B) terdapat beberapa subtipe genetik spesifik misalnya subtipe dengan translokasi t (9; 22) atau t (12; 21), tata ulang gen (gene rearrangement) atau perubahan jumlah kromosom (diploidi). Subtipe merupakan petunjuk penting untuk protokol pengobatan optimal dan prognosis. Pada T-LLA (LLA sel T) kariotipe abnormal ditemukan pada 50% - 70% kasus (Hoffbrand, 2013).
Sedangkan secara morfologik, menurut FAB (French, British and America), LLA dibagi menjadi tiga yaitu:
1. L1 : LLA dengan sel limfoblas kecil-kecil dan merupakan 84% dari LLA. 2. L2 : Sel lebih besar, inti ireguler, kromatin bergumpal, nukleoli prominen
dan sitoplasma agak banyak, merupakan 14% dari LLA.
3. L3 : LLA mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sitoplasma basofil dengan banyak vakuola, hanya merupakan 1% dari LLA (Bakta,2006)
(27)
7
Gambar 2.2. Leukemia Limfoblastik Akut Tipe L-2 (Roganovic, 2013)
Gambar 2.3. Leukemia Limfoblastik Akut Tipe L-3 (Roganovic, 2013) Menurut imunofenotipenya, LLA diklasifikasikan menjadi:
1. Sel pra-B awal : 60%-70% dari pasien LLA dengan precursor sel B, biasanya terdapat antigen CD10, dan tidak ditemukan sitoplasmik immunoglobulin (cIg), sehingga disebut dengan “LLA umum”, Juga terdapat human leukocyte antigen (HLA)-DR.
2. Sel pra-B : 20%-30% dari pasien LLA dengan precursor sel B, terdapat cIg, merupakan pertengahan dari tipe sel B, lebih matur dari sel pra-B awal,
(28)
8
namun kurang matur dari sel B. ditemukan antigen CD10 dan HLA-DR, memiliki prognosis lebih buruk dari penderita dengan sel pra-B awal.
3. Sel pra-B transisional : Terdapat pada anak kurang dari 12 bulan, CD10 negatif, dan terdapat beberapa ketidaknormalan pada kromosom, prognosis paling buruk.
4. Sel T : 10%-15% LLA, biasanya pada anak yang lebih tua, hitung leukosit lebih tinggi dan prognosisnya lebih jelek dibandingkan prekursor sel B.
5. Sel B mature : 1%-2% LLA, immunoglobulin permukaan IgM positif, terdapat antigen CD19, CD20, dan HLA-DR (Orkin, et al., 2009).
2.1.5. Gambaran Klinis
Gambaran klinis terjadi karena hal-hal berikut: Kegagalan Sumsum Tulang
1. Anemia (pucat, letargi, dan dispnea);
2. Neutropenia (demam, malaise, gambaran infeksi mulut, tenggorokan, kulit, saluran napas, perianus, atau bagian lain);
3. Trombositopenia (memar spontan, purpura, gusi berdarah, dan menoragia) (Hoffbrand, 2013).
Infiltrasi Organ
Gejala infiltrasi organ antara lain nyeri tulang, limfadenopati, splenomegali moderat, hepatomegali, dan sindrom meningen (nyeri kepala, mual dan muntah, pengelihatan kabur, dan diplopia). Pemeriksaaan fundus mungkin menunjukkan papil edema dan kadang perdarahan. Banyak pasien mengalami demam yang biasanya mereda setelah pemberian kemoterapi. Manifestasi yang
(29)
9
lebih jarang adalah pembengkakan testis atau tanda-tanda penekanan mediastinum pada LLA sel T (Hoffbrand, 2013).
Jika yang menonjol adalah kelenjar limfe dan massa ekstranodus dengan
blast <20% di sumsum tulang, penyakitnya disebut limfoma limfoblastik, tetapi
diterapi juga seperti LLA (Hoffbrand,2013).
2.1.6 Gambaran Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik LLA, klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu :
1. Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count) dan Apus Darah Tepi Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm³) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm³. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blast pada hitung leukosit bervariasi dari 0 sampai 100%. Kira-kira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari 25.000mm³ (Fianza, 2009).
2. Aspirasi dan Biopsi Sumsum Tulang
Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klasifikasi, sehingga semua pasien LLA harus menjalani prosedur ini. Apus sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsi penting untuk evaluasi gambaran sitologi (Fianza, 2009).
3. Sitokimia
Gambaran morfologi sel blast pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA dari leukemia mieloblastik akut (LMA). Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blast LMA. Sitokimia juga
(30)
10
berguna untuk membedakan precursor B dan B-LLA dari T-LLA. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan
periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat
dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytomerty (Fianza, 2009).
4. Imunofenotip (dengan sitometri arus/Flow cytometry)
Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtipe imunologi adalah antibodi terhadap :
a. Untuk sel prekursor B : CD10 (common ALL antigen), CD19, CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT.
b. Untuk sel T : CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7, CD8 dan TdT. c. Untuk sel B : kappa atau lambda, CD19, CD20, dan CD22.
Pada sekitar 15%-54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen mieloid yang biasa dideteksi adalah CD13, CD15, dan CD33. Ekspresi yang bersamaan dari antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut. Kasus ini jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk (Fianza, 2009).
5. Pemeriksaan lainnya
Pungsi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) tidak secara umum dilakukan karena dapat mendorong penyebaran sel tumor ke SSP. Tes biokimia mungkin memperlihatkan peningkatan asam urat serum, laktat dehidrogenase serum, atau, yang lebih jarang, hiperkalsemia. Tes fungsi hati dan ginjal dilakukan untuk mengetahui data dasar sebelum pengobatan dimulai. Radiografi mungkin memperlihatkan lesi-lesi litik di tulang dan massa di mediastinum yang khas untuk T-LLA (Hoffbrand, 2013).
(31)
11
2.1.7. Faktor Prognostik
Pasien dimasukkan kategori risiko tinggi (HR) bila jumlah leukosit darah tepi >50.000/ml, ditemukan sel blast pada susunan saraf pusat, jumlah total blast setelah 1 minggu diterapi lebih dari 1000/mm, ada masa di mediastinum, dan umur <1 tahun atau >10 tahun (Widiaskara, et al, 2010). Pasien yang berusia antara 1 dan 9 dengan awal WBC (White Blood Count) <50.000 / mm³ (Risiko Standar), yang mencakup dua pertiga dari pasien pre-B LLA, memiliki angka ketahanan hidup 4 tahun sebanyak 80%. Para pasien yang tersisa (risiko tinggi) memiliki angka ketahanan hidup 4 tahun sebanyak 65%. Faktor-faktor yang harus dimasukkan dalam klasifikasi risiko adalah:
1. Umur: Pasien di bawah usia 1 tahun dan lebih dari 10 tahun memiliki prognosis yang lebih buruk dari anak-anak dengan usia > 1 tahun dan <10 tahun. Bayi di bawah usia 1 tahun memiliki prognosis terburuk.
2. Jumlah sel darah putih: Anak-anak dengan WBC yang tinggi cenderung memiliki prognosis yang buruk.
3. Imunofenotipe: pre-B LLA memiliki prognosis terbaik. Mature T-sel LLA memiliki kelangsungan hidup yang lebih buruk karena hubungannya dengan usia yang lebih tua dan lebih tingginya angka WBC pada saat diagnosis. Mature B-sel LLA sebelumnya memiliki prognosis buruk dengan risiko kekambuhan yang cepat dan keterlibatan SSP tetapi terapi agresif baru-baru ini telah meningkatkan prognosis.
4. Indeks DNA > 1,16 hyperdiploid LLA dengan jumlah kromosom lebih dari 50 dikaitkan dengan hasil yang baik karena peningkatan apoptosis dan meningkatnya kepekaan terhadap agen kemoterapi.
5. Sitogenetik: Kombinasi trisomi kromosom 4, 10, dan 17 dikaitkan dengan risiko kegagalan pengobatan yang sangat rendah dan hasil yang baik. Translokasi melibatkan penataan ulang MLL pada 11q23 telah dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk. Philadelphia kromosom t (9; 22) (Q34; Q11) LLA adalah translokasi paling sulit untuk diobati dan memiliki prognosis buruk. Hypodiploid LLA juga berhubungan dengan prognosis yang buruk.
(32)
12
6. Penyakit SSP: Kehadiran penyakit SSP pada saat diagnosis merupakan faktor prognostik yang merugikan meskipun intensifikasi terapi dengan iradasi SSP dan tambahan terapi intratekal. Adanya blast pada cytospin tanpa peningkatan WBC (status CNS2) juga dikaitkan dengan hasil yang buruk.
7. Respon awal terhadap terapi induksi: Pasien yang tidak mengalami remisi pada akhir terapi induksi memiliki prognosis yang sangat buruk. Hasil sumsum tulang pada hari ke 7 dan hari ke 14 terapi induksi juga telah digunakan untuk memperkirakan respon terhadap terapi (Lanzkowsky, 2008).
2.1.8. Pengobatan
Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua,yaitu terapi spesifik dalam bentuk kemoterapi, dan terapi suportif untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang, baik karena proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi (Bakta, 2006).
1. Terapi Spesifik (Kemoterapi)
Menurut Protokol Indonesia tahun 2006 terapi LLA dibagi menjadi 2 klasifikasi berdasarkan faktor risikonya, yaitu risiko tinggi (High Risk/HR) dan risiko normal (Standard Risk/SR). Pada pasien dengan risiko tinggi, terdapat 4 fase terapi, yaitu fase induksi, konsolidasi, reinduksi, dan rumatan (maintenance). Sedangkan pada pasien dengan risiko standar, terdapat 3 fase terapi, yaitu fase induksi, konsolidasi, dan rumatan (maintenance) (Pertiwi, et al., 2013)
a. Fase induksi
Tujuan terapi remisi-induksi adalah untuk membasmi lebih dari 99 persen dari beban awal sel-sel leukemia dan untuk mengembalikan hematopoiesis normal dan status kinerja normal. Fase pengobatan ini hampir selalu meliputi administrasi glukokortikoid (prednisone, prednisolon, atau deksametason), vincristine, dan setidaknya satu agen lainnya (biasanya asparaginase, anthracycline, atau keduanya).
(33)
Anak-13
anak dengan risiko tinggi atau LLA dengan risiko sangat tinggi dan hampir semua dewasa muda dengan LLA menerima empat atau lebih obat selama terapi remisi-induksi. Perbaikan dalam kemoterapi dan perawatan suportif telah meningkatkan tingkat remisi lengkap sekitar 98 persen untuk anak-anak dan sekitar 85 persen untuk orang dewasa. Telah terbukti jika upaya pengobatan dilakukan lebih cepat dan terjadi pengurangan lengkap beban sel-leukemia dapat mencegah resistensi obat dan meningkatkan tingkat kesembuhan.(Pui,et al 2006).
Terapi induksi yang terlalu agresif mungkin, pada kenyataannya, menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Selain itu siklofosfamid, sitarabin dosis tinggi, atau dosis tinggi anthracycline menunjukkan hasil yang tidak terlalu menguntungkan pada orang dewasa, sebagian karena terapi tersebut buruk toleransinya oleh pasien yang lebih tua. Mungkin karena penetrasi yang lebih banyak ke dalam sistem saraf pusat dan waktu paruh yang lebih panjang, penggunaan deksametason di induksi dan terapi post remisi tampaknya memberikan kontrol yang lebih baik dalam sistem saraf pusat dan sistemik dibandingkan baik prednisone atau prednisolon. Namun, satu studi kecil menyatakan bahwa dosis prednisolon yang ditingkatkan dalam konteks perawatan intensif lainnya dapat menghasilkan hasil yang serupa dengan yang dicapai dengan deksametason (Pui, et al., 2006).
Namun, perlu diingat bahwa remisi tidak sama dengan kesembuhan. Dalam remisi, pasien mungkin masih mengandung sejumlah besar sel tumor dan tanpa kemoterapi lebih lanjut maka hampir semua pasien akan kambuh. Bagaimanapun, tercapainya remisi merupakan langkah pertama yang penting dalam pengobatan keseluruhan. Pasien yang gagal mencapai remisi perlu menjalani protokol yang lebih intensif (Hoffbrand, 2013).
(34)
14
b. Fase Konsolidasi (intensifikasi)
Terapi ini menggunakan dosis tinggi beragam obat kemoterapi untuk mengeliminasi penyakit atau mengurangi beban tumor ke tingkat yang sangat rendah. Dosis kemoterapi mendekati batas toleransi pasien dan selama intensifikasi pasien mungkin memerlukan bantuan yang cukup banyak (Hoffbrand, 2013).
Pada protokol tipikal berisi vinkristin, siklofosfamid, sitosin arabinosid, etoposid, atau merkaptopurin yang diberikan sebagai blok dalam berbagai kombinasi. Biasanya diberikan tiga blok intensifikasi untuk anak, dengan jumlah yang lebih banyak kadang digunakan untuk dewasa (Hoffbrand, 2013).
c. Fase reinduksi
Fase reinduksi - pada dasarnya merupakan pengulangan terapi induksi awal yang diberikan selama beberapa bulan pertama remisi –merupakan salah satu komponen dari suksesnya protokol LLA. Penting untuk dicatat bahwa vincristine tambahan dan prednisone setelah satu pengobatan reinduksi tidak menguntungkan, diperkirakan bahwa perbaikan yang terjadi adalah karena peningkatan intensitas dosis agen lain, seperti asparaginase. Karena sering terjadinya osteonekrosis setelah pengobatan reinduksi, terapi glukokortikoid sedang diselidiki sebagai strategi untuk mengurangi komplikasi (Pui, et al., 2006).
d. Fase rumatan (maintenance)
Obat yang pada umumnya dipakai adalah 6 mercaptopurin (6 MP) per oral dan metrotreksat tiap minggu. Diberikan selama 2-3 tahun dengan diselingi terapi konsolidasi atau intensifikasi (Bakta, 2006).
2. Terapi Suportif
Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan terapi spesifik karena akan menentukan angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula, jika tidak maka penderita dapat meninggal karena efek samping obat. Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan
(35)
15
oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping obat. Terapi suportif yang diberikan adalah :
a. Terapi untuk mengatasi anemia: transfusi PRC (Packed Red Cells) untuk mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10g/dl. Untuk calon transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya dihindari. b. Terapi untuk mengatasi infeksi, terdiri atas :
1) Antibiotika adekuat
2) Transfusi konsentrat granulosit 3) Perawatan khusus (isolasi) 4) Hemopoietic growth factor
c. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas :
Transfusi konsentrat trombosit untuk mempertahankan trombosit. d. Terapi untuk mengatasi hal-hal lain, yaitu :
1) Pengelolaan leukostasis: dilakukan dengan hidrasi intravenous dan leukapharesis. Segera lakukan induksi remisi untuk menurunkan jumlah leukosit.
2) Pengelolaan sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup, pemberian alopurinol dan alkalinisasi urine (Bakta,2006).
2.2. Efek Kemoterapi pada Ginjal
Kemoterapi merupakan pengobatan utama untuk pasien LLA, namun kemoterapi dapat mempengaruhi sel dan organ normal tubuh. Efek samping kemoterapi dibagi menjadi early side effect contohnya neutropenia dan stomatitis, serta delayed side effect misalnya acute kidney injury (Adam,2015).
Ginjal, menjadi jalur pengeluaran banyak obat antitumor dan metabolitnya, cukup rentan terhadap cedera oleh kemoterapi. Beberapa faktor diketahui memiliki kontribusi terhadap potensi nefrotoksik obat antineoplastik pada pasien dengan leukemia akut, yaitu penggunaan bersamaan obat nefrotoksik lain (misalnya, amphothericin), infeksi saluran kencing, penurunan volume intravaskular, sepsis dan komorbiditas lainnya seperti hipertensi, diabetes mellitus atau gagal jantung. Nefrotoksisitas yang diinduksi oleh kemoterapi dapat
(36)
16
mempengaruhi glomerulus, tubulus, pembuluh darah ginjal atau sistem ekskresi tergantung pada obat yang terlibat (Vagace,2011).
Komplikasi ginjal yang terjadi pada pasien LLA sering dihubungkan dengan beberapa faktor, yaitu infiltrasi sel leukemia ke dalam sel ginjal dan juga karena pengaruh dari pengobatan terhadap sel kanker itu sendiri. Komplikasi terhadap ginjal tersebut tidak jarang terjadi dan kebanyakan terjadi pada fase induksi, serta bisa bertahan sampai beberapa tahun atau bahkan mungkin bisa menjadi permanen. Komplikasi yang sering terjadi ialah pembesaran ginjal yang disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia ke dalam sel ginjal. Selain pembesaran ginjal, acute kidney injury (gagal ginjal akut) juga merupakan salah satu komplikasi ginjal yang berat akibat penyakit LLA, walaupun masih jarang terjadi (Adam,2015).
(37)
17
Tabel 2.1. Gangguan Ginjal yang Berhubungan dengan Obat Kemoterapi
Gangguan Vaskularisasi Ginjal
Hemodinamik AKI (capillary leak syndrome) IL-2, denileukin diftitox
Thrombotik mikroangiopati
Obat antiangiogenesis (bevacizumab dan inhibitor tirosin kinase) Gemcitabine dan cisplatin
Mitomycin C dan IFN Glomeruli
Minimal change disease IFN
Pamidronate
Glomerulosklerosis fokal segmental IFN
Pamidronate Zoledronate Tubulointerstitium Nekrosis tubular akut
Platinums, zoledronate, ifosfamide, dan mithramycin Pentostatin, imatinib, diaziquone, dan pemetrexed Tubulopathies
Sindrom Fanconi
Cisplatin, ifosfamide, dan azacitadine Diaziquone, imatinib, dan pemetrexed Salt wasting
Cisplatin dan azacitadine Magnesium wasting
Cisplatin, cetuximab, dan panitumumab Diabetes insipidus nephrogenik
cisplatin, ifosfamide, and pemetrexed Syndrome of inappropriate antidiuresis Cyclophosphamide dan vincristine Nephritis interstitial akut
sorafenib dan sunitinib crystal nephropathy methotrexate Sumber: (Perazella, 2012)
Menurut Protokol Indonesia tahun 2006, pada fase konsolidasi, obat-obatan yang digunakan adalah metotrexat (MTX), leucovorin, dan 6-mercaptopurine (6-MP) (IDAI,2006).
(38)
18
2.2.1 Metotrexat (MTX)
Metotreksat (MTX) adalah obat anti-metabolit yang banyak digunakan dalam kemoterapi, efek samping yang dapat timbul akibat obat ini terutama apabila digunakan dalam dosis yang tinggi yaitu kerusakan mukosa ginjal, depresi sumsum tulang, sampai dengan terjadinya acute kidney injury (Adam,2015).
Insiden penggunaan HDMTX (High Dose Methrotrexate) terkait cedera ginjal akut (AKI) adalah sekitar 1.8 % (berkisar antara 0 % sampai 12 %). Nefrotoksisitas muncul melalui dua mekanisme utama. Yang pertama adalah kristal nefropati, yang terjadi ketika MTX dan metabolitnya mengendap dalam tubulus ginjal. Pada tahap awal dari presipitasi kristal, uji mikroskop urin menunjukkan sel-sel epitel tubulus ginjal dan, jarang, kristal MTX. Kristal nefropati awalnya bermanifestasi dengan peningkatan asimtomatik dalam kreatinin serum dan kemudian berkembang menjadi nekrosis tubular dan yang lebih parah, cedera ginjal. Mekanisme kedua cedera ginjal terkait HDMTX adalah toksisitas tubular langsung ; MTX menginduksi pembentukan radikal oksigen di ginjal, dengan selanjutnya terjadi cedera selular (Ahmed, 2013).
2.2.2 Leucovorin
Selama lebih dari 30 tahun, leucovorin rescue telah menjadi dasar dari terapi HDMTX (High Dose Methotrexate). Protokol HDMTX awal didasarkan pada pengamatan bahwa toksisitas MTX dapat dicegah atau diperbaiki pada pasien dengan konsentrasi MTX plasma tinggi yang menerima dosis leucovorin secara terpadu. Leucovorin sangat efektif dalam mencegah myelosupresi, toksisitas GI (Gastro intestinal) dan neurotoksisitas selama pengobatan dengan HDMTX. Protokol standar kemoterapi pada saat ini memasukkan pemberian
leucovorin dalam 24 sampai 36 jam pemberian HDMTX untuk mencegah sel-sel
normal dari kerusakan(Ahmed, 2013).
Selain perannya dalam pencegahan toksisitas MTX, leucovorin dosis tinggi merupakan perawatan standar untuk pasien dengan clearance MTX yang tertunda dan cedera ginjal. Flombaum dan rekan telah mengevaluasi pentingnya dosis tinggi terapi leucovorin rescue pada pasien dengan acute kidney injury
(39)
19
terkait HDMTX. Penelitian retrospektif dilakukan terhadap 13 pasien dengan konsentrasi MTX median 164 pM setelah 24 jam pemberian HDMTX, 16,3 pM pada 48 jam, dan 6,2 pM pada 72 jam. Selain perawatan suportif standar dengan hidrasi dan pemberian natrium bikarbonat, semua pasien diobati dengan
leucovorin dengan dosis mulai 0,24-8g/hari. Pengobatan leucovorin rescue
dimulai dalam waktu 24 jam (n = 9), 48 jam (n = 3), dan 72 jam (n = 1) dari awal terapi HDMTX. Efek samping termasuk neutropenia signifikan (n = 8) dan trombositopenia (n = 7), serta mucositis (n = 6) dan diare (n = 4). Namun, semua pasien sembuh dari efek samping. Pengobatan agresif awal dengan dosis yang sangat tinggi dari leucovorin memungkinkan seluruh (13 orang) pasien untuk menghindari extracorporeal removal meskipun dosis MTX sangat tinggi (Ahmed,2013).
2.2.3. 6-Mercaptopurine (6-MP)
6-MP merupakan analog tiopurin pertama yang terbukti efektif dalam terapi kanker. Seperti tiopurin lainnya, 6-MP tidak aktif dalam bentuk induknya dan harus dimetabolisme terlebih dahulu oleh hipoxantin-guanin fosforibosil
transferase (HPGRT) menjadi asam 6-tioinosinat, suatu nukleotida monofosfat,
yang selanjutnya menghambat beberapa enzim dalam sintesis de novo nukleotida purin. 6-MP terutama digunakan dalam terapi leukemia akut pada anak, dan analog yang terkait dengannya, yakni azatioprin, digunakan sebagai agen imunosupresif (Katzung, 2010).
2.2.4. Cyclophosphamide (Siklofosfamid)
Siklofosfamid adalah salah satu agen anti-kanker paling sukses yang pernah disintesis. Bahkan saat ini, 50 tahun setelah disintesis, siklofosfamid masih banyak digunakan sebagai agen kemoterapi dan regimen untuk transplantasi sumsum tulang. Siklofosfamid dapat diberikan secara aman tanpa dosis penyesuaian pada pasien dengan gagal ginjal atau hati. Kadar siklofosfamid tidak terdeteksi 12-24 jam setelah pemberian, bahkan pada pasien dengan gagal ginjal berat. Dengan demikian, menunda dialisis untuk setidaknya satu hari setelah
(40)
20
pemberian siklofosfamid akan mencegah eliminasi obat pada pasien dengan gagal ginjal (Emadi, et al., 2009).
2.3. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Fungsi ginjal dapat dievaluasi dengan berbagai uji laboratorium secara mudah. Langkah awal dimulai dengan pemeriksaan urinalisis lengkap, termasuk pemeriksaan sedimen kemih. Berbagai informasi penting mengenai status fungsi ginjal dapat diperoleh dari urinalisis. Pengukuran kadar nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum berguna untuk evaluasi gambaran fungsi ginjal secara umum. Dalam keterbatasannya kedua uji tersebut mampu membuat estimasi Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang akurat. Untuk menetapkan LFG yang lebih tepat dapat dilakukan pengukuran dengan klirens kreatinin atau klirens inulin atau penetapan LFG secara kedokteran nuklir. Evaluasi fungsi tubulus diukur melalui pengukuran metabolisme air dan mineral serta keseimbangan asam basa (Noer,2006). Pemeriksaan yang biasanya dilakukan adalah :
1. Kreatinin serum
Kreatinin merupakan hasil metabolisme kreatin dan phosphocreatine, disintesis terutama dalam otot bergaris, juga disintesis dalam hepar, pankreas dan ginjal. Kreatinin secara eksklusif diekskresi melalui ginjal, terutama melalui proses filtrasi glomerulus dan sedikit sekali melalui sekresi tubulus (Noer, 2006).
Umumnya kecepatan sintesis kreatinin tetap konstan dan kadar dalam serum mencerminkan kecepatan eliminasi ginjal. Oleh karena itu kenaikan kadar kreatinin serum menunjukkan menurunnya klirens kreatinin dan penurunan LFG (Laju filtrasi glomerulus). Bahkan pada fungsi ginjal normal, kadang-kadang terlihat kenaikan kadar kreatinin serum, apabila terjadi pelepasan kreatinin dari muskulus dalam jumlah banyak, seperti misalnya crush injury atau rhabdomyolysis. Intake daging matang (well-cooked) dalam jumlah banyak akan meningkatkan kadar kreatinin serum karena terjadi penambahan kreatinin eksogen.
(41)
21
Setiap 1gr daging yang dimakan akan menghasilkan 3.5 sampai 5.0 mg kreatin. Proses pemasakan merubah sekitar 65% kreatin menjadi kreatinin, yang akan diabsorbsi dari saluran cerna. Sebailknya kadar kreatinin serum akan turun pada pasien yang masa ototnya berkurang, akibat malnutrisi atau panyakit otot lanjut. Obat-obat tertentu seperti misalnya cimetidine, trimethoprim, dan probenecid, dapat meningkatkan kadar kreatinin serum melalui proses kompetitif dalam transport kreatinine tubular ginjal (Noer, 2006).
2. Nitrogen Urea Darah/Blood Urea Nitrogen (BUN)
Kadar BUN normal pada seorang anak dengan gizi dan hidrasi yang baik dianggap mencerminkan LFG yang normal. Dibandingkan dengan kreatinin serum, BUN agak kurang akurat dalam menilai LFG, oleh karena beberapa faktor ekstra renal yang mempengaruhi kadarnya dalam serum. Meskipun bebas filtrasi dalam glomerulus, urea mengalami reabsorbsi yang bermakna dalam tubulus renal. Sejumlah urea yang telah difiltrasi direabsorbsi dalam tubulus proksimal, loop of Henle, dan dalam ductus collegentes medulla (Noer, 2006).
Reabsorbsi urea disepanjang tubulus proksimal dan loop of Henle terjadi secara pasif, reabsorbsi dalam duktus collegentes sangat bergantung pada vasopressin. Dalam keadaan antidiuresis atau apabila aliran kemih berkurang, absorbsi urea dalam nefron distal meningkat; menurun bila telah terjadi diuresis. Adanya proses reabsorbsi urea dalam tubulus ginjal menurunkan kegunaan BUN sebagai indikator LFG (Noer,2006).
Hal-hal yang dapat menyebabkan peningkatan kadar ureum, yaitu : a. Perdarahan gastrointestinal
b. Dehidrasi
c. Peningkatan asupan protein d. Peningkatan katabolisme protein e. Infeksi sistemik
(42)
22
g. Terapi Glucocorticoid
Hal-hal yang dapat menyebabkan penurunan kadar ureum,yaitu : a. Penurunan asupan protein
b. Malnutrisi c. Penyakit Liver
(Noer, 2006).
3. Laju filtrasi glomerulus
Laju filtrasi glomerulus menunjukkan fungsi filtrasi ginjal. Cara yang paling sering dipakai untuk menghitung LFG dalam klinik adalah dengan menggunakan prinsip klirens. Klirens suatu zat adalah volume plasma yang dibutuhkan untuk membersihkan suatu zat dari glomerulus dalam suatu periode waktu. Marker yang digunakan untuk mengukur LFG dengan prinsip ini haruslah bebas filtrasi dalam glomerulus dan tidak direabsorbsi maupun disekresi oleh tubulus renal. Bila marker dengan karakteristik seperti tersebut diatas diberikan, jumlah marker yang difiltrasi oleh glomerulus dalam 1 menit (LFG x P) harus sama dengan jumlah marker yang diekskresi dalam kemih dalam 1 menit (U x V).
LFG = laju filtrasi glomerulus P = kadar marker dalam plasma U = kadar marker dalam kemih
V = volume kemih yang dikeluarkan selama masa uji (Noer, 2006).
Marker yang ideal untuk pengukuran LFG adalah marker yang nontoksik, dapat mencapai kadar plasma yang stabil dalam keadaan keseimbangan, tidak terikat pada protein plasma, difiltrasi bebas oleh glomerulus, tidak disekresi dan direabsorbsi oleh tubulus ginjal (Noer, 2006).
1. Klirens inulin
Inulin merupakan marker yang ideal karena memenuhi semua persyaratan tersebut, sehingga klirens inulin dipakai sebagai baku emas dalam penghitungan LFG baik pada dewasa maupun pada
(43)
anak-23
anak. Pengukuran LFG dengan klirens inulin hanya dipakai dalam riset, karena klirens inulin sulit dilakukan dalam praktek sehari-hari. Prosedur pemeriksaan adalah dengan cara infus inulin selama 3 jam agar diperoleh kadar yang stabil dalam cairan ekstraseluler. Dibutuhkan intake cairan yang banyak (Noer, 2006).
2. Klirens kreatinin
Kreatinin endogen paling sering dipakai untuk menentukan LFG. Meskipun kreatinin bebas filtrasi dalam glomerulus, terdapat sejumlah kecil kreatinin disekresi dalam tubulus. Perlu pengumpulan kemih 24 jam. LFG berhubungan terbalik dengan kadar kreatinin plasma (Noer, 2006).
(44)
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Leukemia ialah keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi (maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel induk hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok (clone) sel ganas tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik. Leukemia akut merupakan leukemia dengan perjalanan klinis cepat, dan dibagi menjadi Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dan Leukemia Mieloblastik Akut (LMA) (Bakta, 2006).
Leukemia terjadi pada semua umur, insidens terbesar terjadi pada usia 2-5 tahun dengan rata-rata 4-4,5 kasus/tahun/100.000 anak di bawah umur 15 tahun (Adam, 2015). Di Amerika, LLA merupakan kanker yang paling banyak terjadi (26%) pada anak usia 0-14 tahun (American Cancer Society, 2014).
Selama 4 dekade terakhir terjadi peningkatan signifikan pada ketahanan hidup pasien kanker anak dalam 5 tahun. Pada penelitian yang dilakukan di St. Jude Children Hospital, ketahanan jangka panjang pasien meningkat dari yang sebelumnya sekitar 10% pada tahun 1960-an menjadi lebih dari 90% pada saat ini (Robinson, 2011). Peningkatan ini dipengaruhi oleh kemajuan penatalaksanaan LLA yang meliputi terapi suportif dan spesifik. Terapi suportif dilakukan untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang, baik karena proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi. Sedangkan terapi spesifik berupa kemoterapi (Bakta, 2006).
Kemoterapi merupakan pengobatan utama kanker sampai ke tahap remisi pada pasien leukemia. Angka kesembuhan leukemia dengan menggunakan kemoterapi mencapai 80%. Kemoterapi mempunyai tiga fase berdasarkan kelompok risiko (High risk-standard risk) yaitu fase induksi, fase konsolidasi, dan fase pemeliharaan (Adam, 2015).
Kemoterapi merupakan jenis pengobatan yang menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel neoplasma, tetapi dilain pihak obat-obatan tersebut
(45)
2
tidak hanya membunuh sel-sel leukemia tetapi dapat juga menyerang sel-sel normal (Pinontoan, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh The Renal
Insufficiency and Anticancer Medication Study menunjukkan insufisiensi ginjal
sering ditemukan pada pasien terapi kanker (Adam, 2015).
Ginjal berfungsi mengeluarkan metabolit obat kemoterapi dari dalam tubuh, metabolit obat kemoterapi tersebut dapat merusak sel-sel ginjal, ureter, dan kandung kemih. Tingkat kerusakan ginjal yang terjadi dapat ringan sampai berat tergantung jenis obat kemoterapi yang digunakan. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan fungsi ginjal sebelum dan selama proses kemoterapi untuk memastikan tidak adanya penyakit ginjal dan melihat pengaruh obat kemoterapi terhadap ginjal (Adam,2015).
Kemoterapi fase konsolidasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah remisi komplit untuk proliferasi kimia pada susunan saraf pusat. Terapi ini diberikan segera setelah keadaan remisi tercapai dengan tujuan untuk memperpanjang waktu penurunan sel leukemia sebelum terjadinya resistensi obat dan relaps pada tempat tertentu, seperti di testis atau sistem saraf pusat. Obat yang diberikan pada fase ini antara lain cyclophosphamide, cytarabine, dan/atau 6-mercaptopurine (6-MP). Terapi ini meningkatkan angka ketahanan hidup jangka panjang pasien dengan risiko standar (Kanwar, 2014).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui perbandingan nilai ureum dan kreatinin sebelum dan sesudah kemoterapi fase konsolidasi pada pasien Leukemia Limfoblastik Akut anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan tahun 2011 – 2013.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang akan menjadi permasalahan pada penelitian ini adalah: bagaimanakah perbandingan nilai ureum dan kreatinin sebelum dan sesudah kemoterapi fase konsolidasi pada pasien Leukemia Limfoblastik Akut anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan tahun 2011-2013?
(46)
3
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Agar peneliti mengetahui perbandingan nilai ureum dan kreatinin sebelum dan sesudah kemoterapi fase konsolidasi pada pasien Leukemia Limfoblastik Akut anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan tahun 2011-2013.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Peneliti dapat mengetahui insidensi pasien LLA anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan.
2. Peneliti dapat mengetahui ada atau tidaknya gangguan pada fungsi ginjal pasien LLA anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharap dapat memberikan manfaat:
1. Bagi institusi rumah sakit, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi mengenai fungsi ginjal pada pasien LLA selama kemoterapi sehingga dapat mengantisipasi efek samping yang akan muncul.
2. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai salah satu sumber informasi atau data ilmiah mengenai perbandingan nilai ureum dan kreatinin sebelum dan sesudah kemoterapi fase konsolidasi pada pasien Leukemia Limfoblastik Akut anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan.
3. Bagi peneliti, penelitian ini dapat bermanfaat untuk:
a. Menambah wawasan mengenai leukemia limfoblastik akut b. Memenuhi tugas penulisan karya tulis ilmiah
(47)
ii
ABSTRAK
Latar belakang : Leukemia ialah keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk hematopoetik. Kemoterapi merupakan pengobatan utama kanker sampai pada pasien leukemia. akan tetapi, metabolit obat kemoterapi tersebut dapat merusak sel-sel ginjal, ureter, dan kandung kemih. Untuk menilai efek kemoterapi terhadap ginjal maka dilakukan penilaian terhadap nilai ureum dan kreatinin sebelum dan sesudah menjalani kemoterapi.
Metode: Telah dilakukan penelitian retrospektif analitik dengan cara mengumpulkan data rekam medis di RSUP Haji Adam Malik Medan untuk mengetahui perbedaan nilai Ureum dan Kreatinin sebelum dan setelah kemoterapi fase konsolidasi pada pasien Leukemia Limfoblastik Akut tahun 2011-2013. Ada 68 sampel yang mengikuti kemoterapi fase induksi, namun hanya 30 sampel yang mengikuti kemoterapi fase konsolidasi. Analisis data dilakukan dengan uji T-berpasangan.
Hasil: Rerata kadar Ureum sebelum kemoterapi fase konsolidasi adalah 20.27 mg/dL dan setelahnya menjadi 27.70 mg/dL (nilai p=0.001). Untuk rerata kadar Kreatinin sebelum kemoterapi fase konsolidasi memiliki nilai 0.29 mg/dL dan setelahnya menjadi 0.43 mg/dL (nilai p=0.001). Interval kepercayaan Ureum memiliki batas atas 4.536 dan batas bawah 10.315 sedangkan Kreatinin memiliki batas atas 0.092 dan batas bawah 0.184.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna kadar Ureum (p=0.001) maupun kadar Kreatinin (p=0.001) pasien LLA sebelum dan setelah menjalani kemoterapi fase konsolidasi.
Kata kunci: Leukemia Limfoblastik Akut, Fungsi Ginjal, Kemoterapi Fase Konsolidasi
(48)
iii
ABSTRACT
Background : Leukemia is hematologic malignancies caused by neoplastic
process including differentiation abnormalities in different stage of hematopoietic cells. Chemotherapy is one of the main therapy for cancer in patient with leukemia. But,metabolites of chemotherapy may damage the kidney cells, ureter, and bladder. To evaluate the effect of chemotherapy for kidney, urea and creatinine assesment should be done before and after chemotherapy.
Methods: An analytic retrospective study by collecting the medical records had
been done in RSUP Haji Adam Malik Medan to determine the difference of Urea and Creatinine level before and after intensification chemoteraphy. There were 68 samples who followed induction chemoteraphy, but only 30 samples who followed intensification chemoteraphy. Data analyzed by t-paired test.
Result: Mean of Urea level before intensification chemoteraphy was 20.27mg/dL
and after intensification chemoteraphy was 27.70 mg/dL (p-value=0.001). Mean of Creatinine level before intensification chemoteraphy was 0.29 mg/dL and after intensification chemoteraphy was 0.43 mg/dL (p-value=0.001). Confidence interval 95%, lower limit of Urea was 4.536 and upper limit of Creatinine was 10.351 whereas lower limit of Creatinine was 0.092 and upper limit of creatinine was 0.184.
Conclusion: There was significant difference of Urea level (p=0.001) and
Creatinine level (p=0.001) among LLA patients before and after intensification chemoteraphy.
Keywords: Acute Limphoblastic Leukemia, Kidney Function, Intensification
(49)
KARYA TULIS ILMIAH
PERBANDINGAN NILAI UREUM DAN KREATININ SEBELUM DAN SESUDAH KEMOTERAPI FASE KONSOLIDASI PADA
PASIEN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT ANAK DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TAHUN 2011-2013
Oleh :
KHANSA SALSABILA 120100041
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2015
(50)
PERBANDINGAN NILAI UREUM DAN KREATININ SEBELUM DAN SESUDAH KEMOTERAPI FASE KONSOLIDASI PADA
PASIEN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT ANAK DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
TAHUN 2011-2013
KARYA TULIS ILMIAH
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh :
KHANSA SALSABILA 120100041
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2015
(51)
(52)
ii
ABSTRAK
Latar belakang : Leukemia ialah keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk hematopoetik. Kemoterapi merupakan pengobatan utama kanker sampai pada pasien leukemia. akan tetapi, metabolit obat kemoterapi tersebut dapat merusak sel-sel ginjal, ureter, dan kandung kemih. Untuk menilai efek kemoterapi terhadap ginjal maka dilakukan penilaian terhadap nilai ureum dan kreatinin sebelum dan sesudah menjalani kemoterapi.
Metode: Telah dilakukan penelitian retrospektif analitik dengan cara mengumpulkan data rekam medis di RSUP Haji Adam Malik Medan untuk mengetahui perbedaan nilai Ureum dan Kreatinin sebelum dan setelah kemoterapi fase konsolidasi pada pasien Leukemia Limfoblastik Akut tahun 2011-2013. Ada 68 sampel yang mengikuti kemoterapi fase induksi, namun hanya 30 sampel yang mengikuti kemoterapi fase konsolidasi. Analisis data dilakukan dengan uji T-berpasangan.
Hasil: Rerata kadar Ureum sebelum kemoterapi fase konsolidasi adalah 20.27 mg/dL dan setelahnya menjadi 27.70 mg/dL (nilai p=0.001). Untuk rerata kadar Kreatinin sebelum kemoterapi fase konsolidasi memiliki nilai 0.29 mg/dL dan setelahnya menjadi 0.43 mg/dL (nilai p=0.001). Interval kepercayaan Ureum memiliki batas atas 4.536 dan batas bawah 10.315 sedangkan Kreatinin memiliki batas atas 0.092 dan batas bawah 0.184.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna kadar Ureum (p=0.001) maupun kadar Kreatinin (p=0.001) pasien LLA sebelum dan setelah menjalani kemoterapi fase konsolidasi.
Kata kunci: Leukemia Limfoblastik Akut, Fungsi Ginjal, Kemoterapi Fase Konsolidasi
(53)
iii
ABSTRACT
Background : Leukemia is hematologic malignancies caused by neoplastic
process including differentiation abnormalities in different stage of hematopoietic cells. Chemotherapy is one of the main therapy for cancer in patient with leukemia. But,metabolites of chemotherapy may damage the kidney cells, ureter, and bladder. To evaluate the effect of chemotherapy for kidney, urea and creatinine assesment should be done before and after chemotherapy.
Methods: An analytic retrospective study by collecting the medical records had
been done in RSUP Haji Adam Malik Medan to determine the difference of Urea and Creatinine level before and after intensification chemoteraphy. There were 68 samples who followed induction chemoteraphy, but only 30 samples who followed intensification chemoteraphy. Data analyzed by t-paired test.
Result: Mean of Urea level before intensification chemoteraphy was 20.27mg/dL
and after intensification chemoteraphy was 27.70 mg/dL (p-value=0.001). Mean of Creatinine level before intensification chemoteraphy was 0.29 mg/dL and after intensification chemoteraphy was 0.43 mg/dL (p-value=0.001). Confidence interval 95%, lower limit of Urea was 4.536 and upper limit of Creatinine was 10.351 whereas lower limit of Creatinine was 0.092 and upper limit of creatinine was 0.184.
Conclusion: There was significant difference of Urea level (p=0.001) and
Creatinine level (p=0.001) among LLA patients before and after intensification chemoteraphy.
Keywords: Acute Limphoblastic Leukemia, Kidney Function, Intensification
(54)
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari sangatlah sulit untuk dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini tanpa bimbingan dari berbagai pihak .
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada:
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp. PD. KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar, meningkatkan ilmu pengetahuan dan keahlian. 2. dr. Olga Rasiyanti Siregar MKed (Ped), Sp.A, dosen pembimbing karya
tulis ilmiah, yang sangat membantu dan membimbing penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
3. TIM Karya Tulis Ilmiah untuk program pendidikan S1, tergabung di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan mengenai penulisan karya tulis ilmiah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan baik.
4. Keluarga yaitu Ayah, Samsul Alam, S.Sos, Ibu, drg.Rosliani, serta Kakak penulis, Dinna Rosa Qisthina dan adik penulis Threesna Sharfina dan Miftah Fauzan, atas doa dan motivasi untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
5. Sahabat-sahabat penulis, Suchroni Panjaitan, Anita Rahayu Lubis, dan Fatya Almahdaly, atas semangat dan motivasi untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
(55)
v
6. Teman-teman Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2012 terutama Astry Amelia, Dessy Ratnasari, Nur Harini, Sri Mutia, Syaida Maysarah, Wendy isman, Leo Marthin, M. Rizky Priyanka, Mahindika, dan teman-teman yang lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata, semoga Allah membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dan semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 7 Desember 2015 Penulis
(Khansa Salsabila) 120100041
(56)
vi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.3.1. Ttujuan Umum ... 3
1.3.2. Tujuan Khusus... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1. Leukemia Limfoblastik Akut Pada Anak ... 4
2.1.1. Definisi ... 4
2.1.2 Epidemiologi ... 4
2.1.3. Etiologi dan Faktor Resiko ... 5
2.1.4. Klasifikasi... 6
2.1.5. Gambaran Klinis ... 8
2.1.6. Gambaran Laboratorium ... 9
2.1.7. Faktor Prognostik ... 11
2.1.8 Pengobatan ... 12
(57)
vii
2.2.1. Metotrexat (MTX) ... 18
2.2.2. Leucovorin ... 18
2.2.3. 6-Mercaptopurine (6-MP) ... 19
2.2.4.Cyclophosphamide (Siklofosfamid) ... 19
2.3. Pemeriksaan Fungsi Ginjal ... 20
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ... 24
3.1. Kerangka Teori... 24
3.2. Kerangka Konsep ... 25
3.3. Definisi Operasional... 25
3.4. Hipotesis ... 27
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 28
4.1. Jenis Penelitian ... 28
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 28
4.2.1. Waktu Penelitian ... 28
4.2.2. Tempat Penelitian ... 28
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 28
4.3.1. Populasi ... 28
4.3.2. Sampel ... 29
4.4. Pengumpulan Data dan Analisis Data ... 29
4.4.1. Pengumpulan Data ... 29
4.4.2. Analisis Data ... 29
BAB 5 PEMBAHASAN ... 30
5.1. Hasil Penelitian... 30
5.1.1. Deskriptif Lokasi Penelitian ... 30
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Penelitian... 30
5.1.2.1. Distribusi Karakteristik Pasien LLA. ... 32
5.1.3. Analisis Perbedaan Nilai Fungsi Ginjal Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Fase Konsolidasi. ... 33
(58)
viii
5.2. Pembahasan ... 34
5.2.1. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien LLA ... 34
5.2.2. Analisis Perbedaan Rerata Fungsi Ginjal Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Fase Konsolidasi pada pasien LLA ... 34
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 36
6.1. Kesimpulan ... 36
6.2. Saran ... 36
DAFTAR PUSTAKA ... 37 LAMPIRAN
(59)
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1. Gangguan Ginjal yang Berhubungan dengan Obat
Kemoterapi ... 17 Tabel 5.1. Karakteristik Pasien LLA ... 32 Tabel 5.2. Pengaruh Kemoterapi Fase Konsolidasi pada Kadar
(60)
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1 Leukemia Limfoblastik Akut tipe L-1 ... 6
Gambar 2.2 Leukemia Limfoblastik Akut tipe L-2 ... 7
Gambar 2.3 Leukemia Limfoblastik Akut tipe L-3 ... 7
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Teori ... 24
Gambr 5.1 Luaran Pasien LLA Anak yang Menyelesaikan Kemoterapi Fase konsolidasi ... 31
(61)
xi
DAFTAR SINGKATAN
LLA : Leukemia Limfoblastik Akut LMA : Lekemia Mieloblastik Akut BUN : Blood Urea Nitrogen 6-MP : 6 -Mercaptopurine
B-LLA : Leukemia Limfoblastik Akut Sel B T-LLA : Leukemia Limfoblastik Akut Sel T LFG : Laju Filtrasi Glomerulus
HLA : Human leukocyte antigen CSS : Cairan serebrospinal SSP : Sistem Saraf Pusat WBC : White Blood Count HR : High Risk
SR : Standard Risk PRC : Packed Red Cells AKI : Acute Kidney Injury MTX : Methotrexate
HDMTX : High Dose Methotrexate
HPGRT : Hipoxantin-Guanin Fosforibosil Transferase SPSS : Statistical Package for Social Sciences
(62)
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Data Induk
Lampiran 3 Output SPSS Lampiran 4 Ethical Clearance Lampiran 5 Surat izin penelitian
(1)
vii
2.2.1. Metotrexat (MTX) ... 18
2.2.2. Leucovorin ... 18
2.2.3. 6-Mercaptopurine (6-MP) ... 19
2.2.4.Cyclophosphamide (Siklofosfamid) ... 19
2.3. Pemeriksaan Fungsi Ginjal ... 20
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ... 24
3.1. Kerangka Teori... 24
3.2. Kerangka Konsep ... 25
3.3. Definisi Operasional... 25
3.4. Hipotesis ... 27
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 28
4.1. Jenis Penelitian ... 28
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 28
4.2.1. Waktu Penelitian ... 28
4.2.2. Tempat Penelitian ... 28
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 28
4.3.1. Populasi ... 28
4.3.2. Sampel ... 29
4.4. Pengumpulan Data dan Analisis Data ... 29
4.4.1. Pengumpulan Data ... 29
4.4.2. Analisis Data ... 29
BAB 5 PEMBAHASAN ... 30
5.1. Hasil Penelitian... 30
5.1.1. Deskriptif Lokasi Penelitian ... 30
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Penelitian... 30
5.1.2.1. Distribusi Karakteristik Pasien LLA. ... 32
5.1.3. Analisis Perbedaan Nilai Fungsi Ginjal Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Fase Konsolidasi. ... 33
(2)
viii
5.2. Pembahasan ... 34
5.2.1. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien LLA ... 34
5.2.2. Analisis Perbedaan Rerata Fungsi Ginjal Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Fase Konsolidasi pada pasien LLA ... 34
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 36
6.1. Kesimpulan ... 36
6.2. Saran ... 36
DAFTAR PUSTAKA ... 37 LAMPIRAN
(3)
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1. Gangguan Ginjal yang Berhubungan dengan Obat
Kemoterapi ... 17 Tabel 5.1. Karakteristik Pasien LLA ... 32 Tabel 5.2. Pengaruh Kemoterapi Fase Konsolidasi pada Kadar
(4)
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1 Leukemia Limfoblastik Akut tipe L-1 ... 6
Gambar 2.2 Leukemia Limfoblastik Akut tipe L-2 ... 7
Gambar 2.3 Leukemia Limfoblastik Akut tipe L-3 ... 7
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Teori ... 24
Gambr 5.1 Luaran Pasien LLA Anak yang Menyelesaikan Kemoterapi Fase konsolidasi ... 31
(5)
xi
DAFTAR SINGKATAN
LLA : Leukemia Limfoblastik Akut LMA : Lekemia Mieloblastik Akut BUN : Blood Urea Nitrogen 6-MP : 6 -Mercaptopurine
B-LLA : Leukemia Limfoblastik Akut Sel B T-LLA : Leukemia Limfoblastik Akut Sel T LFG : Laju Filtrasi Glomerulus
HLA : Human leukocyte antigen CSS : Cairan serebrospinal SSP : Sistem Saraf Pusat WBC : White Blood Count
HR : High Risk
SR : Standard Risk
PRC : Packed Red Cells AKI : Acute Kidney Injury MTX : Methotrexate
HDMTX : High Dose Methotrexate
HPGRT : Hipoxantin-Guanin Fosforibosil Transferase SPSS : Statistical Package for Social Sciences
(6)
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Data Induk
Lampiran 3 Output SPSS
Lampiran 4 Ethical Clearance