Prevalensi Telur Cacing Parasit Pada Rumah Potong Hewan Medan dan Rumah Potong Hewan Siantar

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU 22

4.4. Prevalensi Telur Cacing Parasit Pada Rumah Potong Hewan Medan dan Rumah Potong Hewan Siantar

Prevalensi cacing parasit yang ditemukan pada RPH Medan dan Siantar dapat dilihat pada Tabel 4.3., dihitung berdasarkan rumus perhitungan prevalensi parasit. Tabel 4.3. Prevalensi Cacing Parasit Pada Rumah Potong Hewan Siantar dan Medan Jenis Cacing Parasit Prevalensi RPH-M RPH-S Ascaris sp. 8 Bunostomum sp. 4 Fasciola sp. 24 64 Haemonchus sp. 12 Paramphistomum sp. 36 88 Trychostrongylus sp. 4 Tabel 4.3 dapat dilihat prevalensi parasit pada Rumah Potong Hewan Medan yaitu, Paramphistomum sp. 36, Fasciola sp. 24 dan Ascaris sp. 8, selanjutnya prevalensi pada Rumah Potong Hewan Siantar yaitu pada telur cacing Paramphistomum sp. 88, Fasciola sp. 64, Haemonchus sp. 12, Bunostomum sp. 4 dan Trychostrongylus sp. 4. Prevalensi cacing parasit pada ternak sapi di setiap wilayah berbeda-beda. Perbedaan tingkat prevalensi dapat disebabkan oleh perbedaan geografis yang mempengaruhi keberadaan siput sebagai hospes antara dan daya tahan metaserkaria di lingkungan Mage, 2000. Selain geografis, prevalensi cacing parasit pada ternak juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain manajemen pemeliharaan ternak, umur ternak, jenis kelamin, penggunaan anthelmintik, pendidikan dan status ekonomi peternak Raza dkk., 2009. Ditinjau dari letak geografis Kota Pematangsiantar terletak pada garis 2˚53.20-3˚01.00 Lintang Utara dan 99˚1.00-99˚6.35 Bujur Timur. Luas daratan Kota Pematangsiantar adalah 79,971 Km 2 terletak 400-500 meter diatas permukaan laut. Karena terletak dekat garis khatulistiwa, Kota Pematangsiantar tergolong ke dalam daerah tropis dan daerah datar, beriklim sedang dengan suhu maksimum rata- rata 30,3˚C dan suhu minimum rata-rata 21,1˚C. Curah hujan rata-rata Kota Pematangsiantar 229 mm dan kelembaban udara 84 BPS, 2007. Universitas Sumatera Utara DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU 23 Kota Medan secara geografis terletak pada 3˚30-3˚43 Lintang Utara dan 98˚35-98˚44 Bujur Timur. Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar 265,10 Km 2 atau 3,6 dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Suhu rata-rata Kota Medan berkisar antara 26˚C-35˚C, kelembaban 80 dan terletak 2,5-37,5 meter diatas permukaan laut Badan Pusat Stastistik Provinsi Sumatera Utara, 2014. Dari tabel 4.3 prevalensi paling tinggi pada Rumah Potong Hewan Siantar adalah oleh cacing parasit Paramphistomum sp. yaitu 88 dan pada Rumah Potong Hewan Medan prevalensi Paramphistomum sp yaitu, 36. Prevalensi tertinggi kedua yaitu oleh cacing Fasciola sp. sebesar 64 pada Rumah Potong Siantar dan 24 pada Rumah Potong Medan. Paramphistomum merupakan cacing dari kelas Trematoda dan Famili Paramphistomidae. Penyebaran Paramphistomum sp. adalah daerah yang memiliki suhu udara 25- 30˚C dengan kelembaban kira-kira 85. Berdasarkan karakteristik cacing parasit Paramphistomum diatas kemungkinan menyebabkan tingginya prevalensi dari cacing Paramphistomum sp. pada kedua Rumah Potong Hewan, dimana Kota Pematangsiantar yang beriklim tropis dengan suhu rata-rata 21˚C-30˚C dan kelembaban udara 84 sangat cocok untuk pertumbuhan cacing parasit Paramphistomum sp. Dalam penelitian Tanjung 2014, pada Rumah Potong Hewan Medan ditemukan beberapa jenis parasit seperti Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp., Haemonchus sp. dan Paramphistomum sp. Prevalensi hewan ternak sapi pada Rumah Potong Hewan yaitu, Paramphistomum sp. 4, Haemonchus sp. 20 dan Bunostomum sp. 16, sementara telur cacing Fasciola sp. tidak ditemukan pada Rumah Potong. Perbedaan prevalensi dari Rumah Potong Hewan tersebut kemungkinan disebabkan oleh waktu dilakukannya penelitian, suhu perbedaan umur, jenis kelamin, pemeliharaan dan penggunaan anthelmintik. Pada Rumah Potong Hewan Medan juga ditemukan jenis telur Ascaris sp. dengan prevalensi 8, cacing Ascaris dewasa, hidup di bagian usus halus dan sanggup membebaskan telur dalam jumlah banyak. Telur yang dikeluarkan bersama dengan feses sangat tahan terhadap udara dingin, panas, kekeringan dan mampu bertahan hingga berbulan-bulan, keadaan yang demikian dikarenakan jenis parasit seperti Ascaris memiliki dinding telur yang tebal hingga parasit Universitas Sumatera Utara DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU 24 tersebut dapat bertahan lebih lama meskipun mengalami goncangan-goncangan suhu dan kelembaban, telur Ascaris sp. dapat hidup di luar sampai dengan 5 tahun Purwanta dkk,. 2009. Tingkat prevalensi cacing hati pada ternak masih menunjukkan angka- angka yang tinggi, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Menurut FAO 2007, mencapai 14-28. Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit cacing hati ini selain banyaknya kematian ternak juga terjadinya penurunan mutu dan efisensi daging, penurunan produksi susu dan yang paling utama adalah kerusakan hati bila terdapat satu atau lebih cacing hati Nezar, 2014. Menurut Nezar 2014, berdasarkan penelitian di Zimbabwe menemukan bahwa genus yang memiliki prevalensi tinggi paling umum ditemukan dari Nematoda gastrointestinal sapi adalah Cooperia sp. Haemonchus sp. dan Trychostrongylus sp. ditemukan hanya pada anak sapi, sedangkan Haemonchus sp. secara signifikan lebih banyak menginfeksi selama musim hujan dibandingkan musim kemarau. Untuk mengurangi perkembangan populasi cacing, perlu dilakukan pemantauan rutin setiap 2 atau 3 bulan sekali, kemudian dilakukan pemeriksaan feses. Sehingga dapat diketahui langkah pengobatan dan antisipasi yang harus dilakukan. Tingginya angka infeksi pada sapi anakan dapat diantisipasi dengan pemberian anthelmintik secara berkala 3 bulan sekali. Untuk menekan angka perkembangan populasi cacing adalah sanitasi kandang juga lingkungan dan membersihkan tanaman atau rumput liar di sekitar kandang Didy, 2009. Universitas Sumatera Utara DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU 25

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN