Hubungan Kerja Sama Lembaga Perindungan Saksi dan Korban LPSK

Proses pengajuan permohonan hingga disetujuinya permohonan tersebut sering kali membingungkan para saksi dan korban, karena mereka harus melewati proses yang tidak pendek untuk mendapat perlindungan dari LPSK ini. Hal inilah yang sering menjadi penyebab saksi dan atau korban merasa enggan untuk meminta perlindungan dari LPSK dan memilih untuk diam. Para saksi dan korban merasa kurang mengerti akan prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh LPSK. Apalagi bagi para saksi dan korban yang tidak begitu mengerti akan hukum. Karena itulah pemdampingan akan seorang advokat akan sangatlah membantu para saksi dan korban ini. Dengan berada dibawah perlindungan LPSK, saksi danatau korban ini tidaklah secara sepenuhnya merasa aman, karena banyaknya persoalan yang kian datang sesuai dengan berjalannya suatu persidangan. Dalam realita sosial penegak hukum tidak mau mendengar, melihat, atau merasakan bahwa saksi yang dipanggil oleh penegak hukum, apakah dirinya merasa aman atau nyaman, termasuk anggota keluarganya. Apalagi dalam setiap tahap pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan yang bertele-tele memakan waktu cukup lama. Kadang-kadang perkara yang telah berlangsung cukup lama, sehingga secara manusiawi saksi atau korban lupa akan peristiwa itu, tetapi di depan sidang pengadilan harus dituntut kebenaran kesaksiannya. 85

F. Hubungan Kerja Sama Lembaga Perindungan Saksi dan Korban LPSK

Dengan Lembaga Lain 85 Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, 2012, h. 305.

a. Kerjasama dengan Lembaga atau Instansi Lainnya

Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang. Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan maka instansi terkait, sesuai dengan kewenangannya, wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. 86 Dari paparan tersebut terlihat bahwa LPSK dalam menjalankan tugasnya akan dibantu oleh berbagai instansi terkait terutama instansi pemerintah. Hal ini memang sudah seharusnya diberikan. Karena sudah menjadi platform umum, bahwa masalah yang terkait dengan perlindungan saksi hanya bisa ditangani secara efektif melalui pendekatan multi lembaga. 87 Terkait dengan kerjasama antar lembagainstansi lainnya dapat dilihat peran masing-masing lembaga tersebut adalah sebagai berikut: 88 a. Kepolisian, berperan: 1. Memberi dukungan keamanan dan penjagaan dalam program perlindungan; 2. Penerima benefit sebagai penyelidik yang saksinya dilindungi. b. Kejaksaan, berperan: 86 Lihat Pasal 36 UU No 13 Tahun 2006. 87 Lihat Nicholas R. Fyfe, Perindungan Saksi Terintimidasi, ELSAM, 2006 88 Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, cet1 Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007. h. 30. 1. Memberi dukungan administrasi pihak perpanjangan tangan bagi saksi yang melaporkan intiidasi; 2. Penerima benefit sebagai penuntut umum yang saksinya dilindungi; 3. Memberi dukungan untuk informasi hasil pengadilan, putusan atau pembebasan pelaku. c. Pengandilan, berperan: 1. Memberi dukungan untuk perlindungan dalam sidang pengadilan, misalnya: merubah format ruang sidang, mempersiapkan siding tertutup, teleconference, dan sebagainya; 2. Memberi dukungan untuk informasi hasil pengadilan. d. Departemen Dalam Negeri, berperan memberi dukungan untuk perubahan status administrasi kependudukan dan lain-lain. e. Departemen Kesehatan, berperan: 1. Memberi dukungan untuk pengobatan medis maupun psikososial; 2. Memberi dukungan untuk perubahan catatan medis, face off dan lain-lain. f. Departemen Hukum dan HAM, berperan memberi dukungan perlindungan bagi saksi dalam status narapidana: pemindahan tahanan, penjagaan khusus dalam LP dan lain-lain. g. Departemen Pendidikan, berperan: 1. Memberi dukungan perubahan akte, ijazah dan administrasi pendidikan; 2. Memberi dukungan untuk menyediakan sekoah bagi saksi atau keuarga saksi yang mendapat relokasi. h. Komisi Khusus: KPK, Komnas HAM, PPATK, BNN, dan lain-lain, berperan: 1. Memberi dukungan administrasi pihak perpanjangan tangan bagi saksi yang melaporkan intimidasi; 2. Penerima benefit yang saksinya dilindungi; 3. Memberi dukungan perlindungan yang mungkin ada berdasarkan kewenangannya. i. Kepala Pemerintahan Daerah, berperan: 1. Memberi dukungan untuk akses relokasi di wilayahnya; 2. Memberi dukungan untuk kemudahan administrasi. j. Departemen Tenaga Kerja, berperan: 1. Memberi dukungan pemindahan tenaga kerja; 2. Memberi dukungan pemberian pekerjaan bagi saksi. b. Kerjasama dengan Lembaga Swasta dan Organisasi Masyarakat lainnya Disamping itu LPSK sangat perlu bekerjasama dengan masyarakat baik pihak swasta maupun organisasi masyarakat, dalam rangka memberikan dukungan. Perlu dikemukakan bahwa saat ini sudah banyak masyarakat secara swadaya membentuk task force perlindungan saksi bagi kasus-kasus tertentu, seperti: pemberian rumah aman atau rumah singgah safe house sementara bagi kasus-kasus kekerasan seksual dan KDRT baik bagi korban perempuan maupun anak. 89 Untuk mensinergikan perlindungan maka UU PSK harus pula membuka kerjasama dengan masyarakat, disamping itu hal ini berguna pula bagi LPSK baik secara logistik maupun dukungan sumberdaya perlindungan. Dalam prakteknya LPSK juga akan melakukan kordinasi dengan lembaga seperti. 90 a. Organisasi Masyarakat, NGO, berperan: 1. Memberi dukungan keamanan dan penjagaan dalam program perindungan; 2. Memberi dukungan akomodasi dan “safe house”. b. Asosiasi Perumahan Lokal berperan: 1. Memberi dukungan tempat tinggal sementara atau permanen bagi saksi; 2. Memberi dukungan untuk mepermudah akses akan relokasi dan administrasinya. 89 https:dianascyber.wordpress.com20120612lembaga-perlindungan- saksi-dan-korban-di-indonesia, diakses pada Rabu 25 Mei 2016 Pukul 20:51 WIB. 90 Sebagai contoh UU Perlindungan Saksi di Afsel yang memberikan kewenangan bagi Lembaga Perlindungan untuk mengkoordinasikan lembaga-lembaga masyarakat lainnya yang lebih awal telah memberikan perlindungan terhadap saksi sebelum adanya UU perlindungan Saksi. 59

BAB IV EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

LPSK A. Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Penguatan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Perlindungan Saksi dan Korban di dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dengan dibahasnya masalah perlindungan korban kejahatan dalam Kongres PBB VII tahun 1985 tentang “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders ” di Milan, Italia. Disebutkan “Victims right should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system .” Hak-hak Korban seharusnya menjadi bagian yang integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana. 91 Pasca Reformasi, Indonesia meratifikasi berbagai Instrumen HAM Internasional, yang berkonsekuensi pada pengakuan atas hak-hak yang dijamin dan kewajiban untuk menyesuaikan hukum nasionalnya. Termasuk penguatan jaminan hak-hak korban kejahatanpelanggaran. Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, membawa konsekuensi bahwa para korban penyiksaan harus mendapatkan keadilan dan pemulihan atas penderitaan yang mereka alami. Sejak itu serangkaian regulasi dibentuk, yang memasukan berbagai klausul hak-hak korban kejahatan. 91 De y I draya a, akalah Diskusi Ter atas Me er ati Pro le atika Lembaga negara, yang dilaksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 7 Maret 2007