6. Model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi
pidana.
D. Kedudukan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana
Selama ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan
keterangan yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam mengungkap sebuah tindak pidana. Hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak
hukum yang menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap dalam mengungkap suatu tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak
banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, padahal untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak
pidana, tentunya
keterangan yang
disampaikan tersebut
dapat memberatkan atau meringankan seorang terdakwa.
Tentunya bagi terdakwa apabila keterangan seorang saksi dan korban
tersebut memberatkan
tersangkaterdakwa, maka
ada kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai
pihak yang dapat memberatkannya dalam proses penanganan perkara, hal ini tentunya dapat mengancam keberadaan saksi dan korban. Berdasarkan
hal tersebut, maka tentunya seorang saksi dan korban perlu mendapatkan perlakuan dan hak-hak khusus, karena mengingat keterangan yang
disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya sebagai seorang saksi.
64
Pasal 1 angka 27 KUHAP menjelaskan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya
itu. Dari penjelasan pasal tersebut jelas keberadaan saksi sangat penting bahkan dapat menjadi salah satu alat bukti. Namun sayangnya
perlindungan maupun pemenuhan terhadap hak-hak saksi belum diatur dengan baik dalam KUHAP.
Begitupun tentang korban, sistem peradilan pidana sekarang ini berlaku terlalu difokuskan pada pelaku dan kurang memperhatikan korban.
Hal yang sering terjadi adalah terlibatnya korban dalam sistem peradilan pidana hanya menambah trauma dan meningkatkan rasa ketidak
berdayaannya serta frustasi karena tidak diberikan perlindungan dan upaya hukum yang cukup. Sehingga mengharuskan kita untuk memperbaiki
posisi korban dalam sistem ini agar apa yang diperolehnya tidak hanya kepuasan
simbolik.
65
64
Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Thamrin,Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, h.182.
65
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994,
h. 81.
41
BAB III TINJAUAN UMUM LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
LPSK A.
Sejarah Lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK
Gagasan untuk menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan korban dimulai pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai
mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi. Hal ini kemudian disusul dengan adanya naskah akademis
66
tentang undang-undang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini
kemudian menghasilkan RUU perlindungan saksi.
67
Kemudian undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan TAP MPR No. VIII Tahun 2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah
undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi. Berdasarkan amanat TAP MPR tersebut, maka Badan Legislasi DPR RI kemudian
mengajukan sebuah RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada
66
Setelah dibentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Prundang-Undangan dalam proses pembentukan Undang-
Undang harus ada naskah akademis.
67
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban: LPSK http:www.lpsk.go.id diakses pada Rabu 18 Mei 2016, Pukul 19:05 WIB.