Analisis peranan perkebunan kelapa sawit di provinsi riau dalam era otonomi daerah

(1)

Oleh: DONY HIDAYAT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

ABSTRAK

DONY HIDAYAT. Analisis Peranan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Riau dalam Era Otonomi Daerah (ARIEF DARYANTO selaku Ketua dan D.S. PRIYARSONO selaku Anggota Komisi Pembimbing)

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya kemampuan fiskal Pemerintah Daerah Riau yang sangat besar pada era otonomi daerah. Peningkatan kemampuan fiskal tersebut berdampak pada peningkatan anggaran untuk pembangunan daerah yang salah satunya untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit yang menjadi primadona di Provinsi Riau. Pembangunan perkebunan kelapa sawit itu diharapkan dapat mensukseskan program K2I dalam pengentasan kemiskinan dan kebodohan melalui peningkatan pendapatan petani.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) struktur perekonomian Riau dan peranan perkebunan kelapa sawit dalam perekonomian Riau pada pembentukan output, permintaan antara dan permintaan akhir, (2) keterkaitan perkebunan kelapa sawit dengan sektor lain pada perekonomian Riau, dan (3) dampak otonomi daerah terhadap kinerja perkebunan kelapa sawit dalam penciptaan output, pendapatan rumah tangga, penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan di Provinsi Riau

Metode yang digunakan adalah Metode Analisis Input Output dengan menggunakan Tabel Input Output Model Leontief dan Tabel Input Output Model Miyazawa untuk menganalisis peranan perkebunan kelapa sawit dalam era otonomi daerah. Data dianalisis dengan bantuan Grimp 7.1 untuk mengetahui keterkaitan, penyebaran, pengganda dan elastisitas sektor perkebunan kelapa sawit. Selain itu, penelitian ini melakukan analisis deskriptif untuk mengetahui potensi dan permasalahan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif menunjukkan perkebunan kelapa sawit mempunyai potensi sangat besar terlihat dari luas dan produksi yang dihasilkan. Walaupun demikian pengembangan perkebunan kelapa sawit masih dihadapkan pada berbagai permasalahan antara lain luas kepemilikan dan status hak tanah, produktivitas kebun, rendemen dan mutu produk, pabrik pengolahan pemasaran hasil dan pada era otonomi daerah permasalahan itu ditambah dengan masalah konflik perusahaan dengan masyarakat.

Berdasarkan analisis struktur permintaan dan penawaran menunjukkan output perkebunan kelapa sawit sebagian besar dialokasikan untuk permintaan akhir dan hanya sebagian kecil dialokasikan untuk permintaan antara. Hal ini menunjukkan kecil nilai tambah perkebunan kelapa sawit. Hasil analisis keterkaitan dan efek penyebaran menunjukkan sektor perkebunan kelapa sawit mempunyai peran yang kecil dalam menstimulus pertumbuhan ekonomi. Analisis pengganda sektor perkebunan menunjukkan besarnya peran perkebunan kelapa sawit dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga dan penyerapan tenaga kerja sehingga sektor ini bisa diprioritaskan dalam investasi pembangunan ekonomi dalam era otonomi daerah walaupun mempunyai elastisitas yang rendah. Berdasarkan analisis simulasi kebijakan menunjukkan pengembangan perkebunan dalam era otonomi daerah mempunyai efek yang lebih besar dalam meningkatkan kinerja sektor selain perkebunan kelapa sawit dalam perekonomian Riau. Hal ini menunjukkan kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit berdampak pada sebahagian besar sektor dalam perekonomian Riau.


(3)

berjudul:

ANALISIS PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU DALAM ERA OTONOMI DAERAH

Merupakam gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya, Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2006

Dony Hidayat Nrp. A 151010471


(4)

Oleh: DONY HIDAYAT

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Nomor Pokok : A151020471

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc


(6)

Penulis dilahirkan di Bangkinang pada tanggal 1 Desember 1978 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, anak dari pasangan Nasrun dan Nurhayati.

Tahun 1998 penulis lulus dari SMU dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Riau melalui seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negri (UMPTN). Di Universitas Riau penulis memilih jurusan Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis) Fakultas Pertanian dan lulus tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa sekolah sekolah pascasarjana (jenjang magister) pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB dengan mengambil bidang konsentrasi Pembangunan dan Kebijakan Pertanian.


(7)

Puji dan syukur kepada kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah peran perkebunan kelapa sawit, dengan judul Analisis Peranan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Riau dalam Era Otonomi Daerah.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc dan Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS selaku Komisi Pembimbing yang telah berkenan memberikan bimbingan penulisan dan mendorong penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih diberikan juga kepada Dr. Eka Intan K. Putri, MS selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat di dalam merampungkan penulisan tesis ini. Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Pemerintahan Daerah Provinsi Riau dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kampar atas Beasiswa yang diberikan pada penulis untuk melanjutkan kuliah Pascasarjana. Disamping itu, ucapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada Ibunda Hj. Nurhayati dan adik saya atas doa restunya selama ini, serta teman-teman mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan program studi Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor .

Bogor, Februari 2006


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 6

1.4. Ruang Lingkup Penelitian... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Ekonomi ... 8

2.2. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan... 9

2.3. Otonomi Daerah dan Transfer Keuangan Pusat ke Daerah ... 12

2.3.1. Otonomi Daerah... 12

2.3.2. Transfer Keuangan Pusat ke Daerah ... 15

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 18

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Operasional... 21

3.2. Kerangka Teori... 23

3.2.1. Tabel Input Output ... 23

3.2.2. Analisis Input Output ... 28

3.2.3. Model Input Ouput Miyazawa ... 33

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 36

4.2. Jenis dan Sumber Data... 36

4.3. Pengolahan Data ... 36

4.4. Metode Analisis... 39


(9)

4.4.2. Analisis Pengganda ... 42

4.4.4. Analisis Elastisitas ... 43

4.4.5 Analisis Simulasi... 44

4.5. Definisi Operasional ... 44

V. DESKRIPSI PROVINSI RIAU 5.1. Gambaran Umum ... 49

5.2. Penduduk, Pendidikan dan Ketenagakerjaan ... 49

5.3. Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan ... 50

5.4. Deskripsi Perekonomian Riau ... 52

5.4.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau... 52

5.4.2. Struktur Perekonomian Riau... 55

5.4.3. Produk Domestik Regional Bruto Perkapita... 57

5.4.4 Ekspor Impor Provinsi Riau ... 58

5.4.5 Investasi di Provinsi Riau ... 58

VI. OTONOMI DAERAH DAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT 6.1. Otonomi Daerah ... 60

6.1.1. Kegiatan dan Program Pembangunan Daerah ... 60

6.1.2. Keuangan Pemerintah... 65

6.2. Pembangunan Sektor Perkebunan ... 71

6.3. Perkebunan Kelapa Sawit ... 72

6.3.1. Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit ... 72

6.3.2. Potensi Perkebunan Kelapa sawit ... 73

6.3.3 Tantangan dan Permasalahan Perkebunan Kelapa Sawit ... 75

6.2.4. Peran Pemerintah dalam Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit ... 78

VII. HASIL DAN PEMBAHASAN 7.1. Perekonomian Provinsi Riau ... 80

7.1.1. Struktur Permintaan dan Penawaran ... 80

7.1.2. Struktur Konsumsi ... 83


(10)

7.1.4. Struktur Ekspor dan Impor ... 86

7.1.5. Struktur Nilai Tambah... 89

7.1.6. Struktur Output Sektoral... 92

7.2. Peran Perkebunan Kelapa Sawit dalam Perekonomian Riau .. 94

7.2.1. Keterkaitan dan Penyebaran Perkebunan Kelapa Sawit ... 94

7.2.2. Pengganda Perkebunan Kelapa Sawit ... 100

7.2.3. Elastisitas Perkebunan Kelapa Sawit ... 105

7.3 Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Era Otonomi Daerah ... 108

7.3.1. Dampak Simulasi Kebijakan pada Output, Pendapatan Rumah Tangga, Penyerapan Tenaga Kerja ... 109

7.3.2. Dampak Simulasi Kebijakan pada Distribusi Pendapatan Rumah Tangga ... 112

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 115

6.2. Saran Kebijakan... 116

6.4. Saran Penelitian Lanjutan ... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 117


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kontribusi Migas terhadap PDRB Riau Atas Dasar Harga Berlaku ... 3

2. Proporsi Bagi Hasil Beberapa Komponen Penerimaan Pemerintahan Daerah Sebelum dan Sesudah UU No . 25 Tahun 1999 14 3. Simplikasi Tabel Input Output ... 25

4. Simplikasi Tabel Input Output Model Miyazawa ... 34

5. Rumus Pengganda Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja ... 42

6. Perkembangan Penduduk Riau Tahun 1990, 1998-2002... 49

7. Penduduk Usia Kerja Menurut Kegiatan Utama Tahun 1998-2002.... 50

8. Distribusi Pendapatan dan Gini Rasio Riau Tahun 1998-2002... 52

9. Pertumbuhan Ekonomi Riau Tanpa Migas Tahun 1998-2002... 54

10. Pertumbuhan Ekonomi Riau Termasuk Migas Tahun 1998-2002 ... 55

11. Struktur Ekonomi Riau Tanpa Migas Tahun 1998-2002... 56

12. Struktur Perekonomian Riau Termasuk Migas Tahun 1998-2002 ... 56

13. Ekspor Impor Riau Tahun 1998-2002 ... 58

14. Nilai Investasi PMDN dan PMA di Provinsi Riau Tahun 1998-2002. 59 15. Penerimaan Fiskal Provinsi Riau Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ... 66

16. Pengeluaran Pembangunan Setiap Sektor Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ... 70

17. Struktur Permintaan Antara, Permintaan Akhir dan Permintaan Total Provinsi Riau ... 81

18. Konsumsi Rumah Tangga dan Konsumsi Pemerintah Provinsi Riau 84 19. Pembentukan Modal Tetap, Perubahan Stok dan Investasi Provinsi Riau ... 85

20. Ekspor, Impor dan Neraca Perdagangan Provinsi Riau ... 88

21. Kontribusi Nilai Tambah Bruto Provinsi Riau ... 91

22. Distribusi Output Provinsi Riau ... 93

23. Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Sektor -Sektor Ekonomi 96 24. Efek Penyebaran ke Belakang dan ke Depan Sektor –Sektor Ekonomi dalam Perekonomian Riau ... 99


(12)

25. Penggandaan Output, Pendapatan Rumah Tangga dan Tenaga Kerja Sektor-Sektor Perekonomain Riau... 102 26. Sepuluh Sektor yang Mempunyai Kinerja Terbesar Berdasarkan Total Rangking ... 104 27. Elastisitas Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja Sektor-Sektor Perekonomian Riau... 106 28. Dampak Simulasi Kebijakan Pembangunan Kebun Kelapa Sawit Terhadap Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja ... 110 29. Dampak Simulasi Kebijakan Rehabiltasi Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja... 111 30. Dampak Simulasi Kebijakan Terhadap Distribusi Pendapatan... 112


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 22 2. Persentase Penduduk Miskin di Riau Tahun 1999-2002 ... 51 3. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Provinsi Riau Tahun 1998-2002... 53 4. PDRB Perkapita dan Pendapatan Perkapita Termasuk Migas dan Tampa Migas tahun 1998-2002 ... 57 5. Sumbangan Jenis Penerimaan Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ... 68 6. Perkembangan Pengeluran Fiskal Provinsi Riau Tahun 2000-2001 ... 69 7. Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa Sawit di Riau Tahun 1998-2002... 74

8. Perkembangan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Riau Tahun 1998-2002... 74


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Rencana Strategis Dinas Perkebunan Riau Tahun 2004-2008... 123

2. Produk Domestik Regional Provinsi Riau Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 1998-2002 ... 131

3. Distribusi persentase PDRB Provinsi Riau Tampa Migas Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 1988-2002... 132

4. Distribusi Persentase PDRB Provinsi Riau Termasuk Migas Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 1988-2002.. 133

5. Uraian Klasifikasi Sektor-Sektor Tabel Input Output Riau Klasifikasi 42 Sektor... 134

6. Matrik Koefisien Langsung... 139

7. Matrik Kebalikan Leontif Model Terbuka ... 148

8. Matrik Kebalikan Leontif Model Tertutup... 156

9. Matrik Koefisien Langsung Model Miyazawa... 163


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Provinsi Riau mempunyai Visi Pembangunan Daerah Riau untuk jangka panjang hingga tahun 2020 yang merupakan kristalisasi komitmen seluruh lapisan masyarakat Riau, Visi Pembangunan Riau, yakni: “Terwujudnya Provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera lahir batin, di Asia Tenggara Tahun 2020”. Dengan dicanangkannya Visi Pembangunan Daerah Riau tahun 2020 diharapkan arah dan tujuan pembangunan Riau lebih jelas dan terarah

Untuk mewujudkan Visi Pembangunan tersebut, Provinsi Riau mengandalkan potensi dan keunggulan yang dimilikinya. Provinsi Riau memiliki potensi berupa sumber daya alam yang cukup besar, antara lain berupa minyak dan gas bumi, timah, bauksit, bahan baku semen dan pasir, Selain itu juga memiliki potensi pada sektor pertanian (perkebunan), industri, kelautan dan pariwisata. Provinsi Riau mempunyai keunggulan berupa terletak pada posisi geografis yang cukup strategis karena sebahagian wilayahnya berada di Selat Melaka dan laut Cina Selatan yang menjadi jalur utama lalu lintas perdagangan internasional. Dengan potensi dan keunggulan yang dimiliki diharapkan visi pembangunan daerah Riau yang telah ditetapkan bisa cepat terwujud.

Pada awalnya sebahagian potensi yang dimiliki tidak dinikmati oleh Provinsi Riau karena kebijakan yang sentralistik dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi yang ditempuh oleh pemerintahan pusat. Kebijakan yang sentralistik terlihat dari hak pemanfaatan sumberdaya alam selama orde baru diatur oleh pemerintah pusat dan hasil sumberdaya tersebut sepenuhnya dikelola pemerintah pusat. Penerimaan dari pemanfaatan sumberdaya tersebut kemudian dimasukan ke dalam penerimaan negara kemudian sebagian dialokasikan untuk pembiayaan pembangunan daerah. Pengalokasian biaya pembangunan daerah itu tidak sesuai dengan apa yang dihasilkan Provinsi Riau sehingga pembangunan daerah Riau menjadi terhambat, maka tidak heran Riau menginginkan lepas dari negara kesatuan RI pada saat awal masa reformasi.

Dengan diterapkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang mengatur desentralisasi politik dan administrasi (power


(16)

sharing) antara pemerintah pusat dan daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang mengatur financial sharing antara pusat dan daerah telah memberikan angin segar bagi Provinsi Riau. Provinsi Riau yang mempunyai sumber daya alam yang cukup besar sangat diuntungkan dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Dampak langsung dari kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki Riau, terutama minyak bumi dengan diterapkannya kebijakan otonomi daerah terlihat dari peningkatan kemampuan keuangan daerah di Provinsi dan Kabupaten/Kota di Riau. Sebagai gambaran dalam tahun 2002 total Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (RAPBD) gabungan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Riau tercatat sebesar Rp. 9264.8 miliar. Dari jumlah tersebut tercatat sebesar Rp. 6626.4 miliar (71.52%) merupakan dana perimbangan yang antara lain mencakup dana bagi hasil Rp 3847 miliar dan dana alokasi umum Rp.2142.9 miliar (Bank Indonesia, 2002).

Dengan meningkatnya kemampuan keuangan pada era otonomi daerah Provinsi Riau mencoba untuk mewujudkan Visi Riau 2020. Untuk mewujudkan visi itu, Pemerintah Riau dalam pembangunan daerah Riau memprioritaskan penanganan kemiskinan, kebodohan dan keterbatasan infrastruktur yang dikenal dengan Program Pengentasan Kemiskinan, Kebodohan dan Pemantapan Infrastruktur (K2I). Bentuk keseriusan Pemerintah Riau dalam Program K2I itu terlihat dari besarnya APBD tahun 2005 yang dianggarkan untuk untuk mensukseskan Program K2I. Dari APBD Riau tahun 2005 sebesar Rp. 1.737 Trilliun, sebesar Rp. 1.384 Trilliun (79 persen) dialokasikan untuk Program K2I.

Dalam mensukseskan Program K2I sektor perkebunan mempunyai peran yang besar dalam pengentasan kemiskinan yang hal ini terlihat dari visi pembangunan sektor perkebunan, ”Terwujudnya kebun untuk kesejahteraan masyarakat Riau tahun 2020” dengan tingkat pendapatan rata-rata sebesar US $ 2000/KK/tahun. Bentuk nyata yang dilakukan oleh Pemerintah Riau untuk mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan sektor perkebunan berupa pembangunan kebun kelapa sawit dengan membagi lahan kebun kelapa sawit dan bantuan modal bagi penduduk miskin di Provinsi Riau. Pembagian lahan perkebunan itu salah satunya dilakukan dengan membagikan lahan yang dulunya


(17)

dikuasai oleh perusahaan dan koperasi yang dicabut izin usahanya. Bantuan modal untuk membangun kebun dilakukan dengan sharing budget antara Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten/Kota di Riau. Pembangunan kebun dengan sharing budget itu direncanankan selama 5 tahun yang dimulai tahun 2005 hingga tahun 2009. Untuk tahun 2005 Pemerintah daerah melalui APBD Riau menganggarkan Rp. 83 milyar sebagai bantuan modal bagi pembangunan kebun kelapa sawit untuk rakyat miskin.

1.2. Perumusan Masalah

Salah satu potensi yang besar yang dimiliki Provinsi Riau adalah sumberdaya migas yang melimpah. Hal ini dapat dilihat besarnya deposit migas di kerak bumi Riau. Sumbangan sektor migas mencapai separuh dari PDRB Riau. Sumbangan sektor migas terhadap PDRB Riau dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kontribusi Migas terhadap PDRB Riau atas dasar harga Konstan

(Milyar Rp) Minyak dan Gas Bumi 1998 1999 2000 2001 2002

Migas Produksi Industri Migas Total Migas Riau

10162.23 1077.89 11240.12

10451.53 1103.2 11554.73

10855.66 1127.49 11983.15

11238.87 1166.84 12405.71

11631.1 1199.42 12830.52 Share thp PDRB Riau

(%) 57.22 56.89 55.39 55.00 54.49

Sumber : BPS 2002 (diolah)

Besarnya sumbangan sektor migas pada PDRB Riau dapat diketahui perekonomian Provinsi Riau masih sangat tergantung pada sektor ini. Akan tetapi ketergantungan pembangunan ekonomi Provinsi Riau pada sektor migas sebagai sumber pertumbuhan ekonomi tidak bisa dilakukan dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan sifat migas yang merupakan sumberdaya yang unreneble atau tidak dapat diperbaharui. Diperkirakan cadangan sumberdaya ini akan habis dalam waktu 15-20 tahun lagi. Oleh sebab itu Provinsi Riau harus mencari alternatif sektor lain untuk mendukung pertumbuhan perekonomiam Provinsi Riau.

Selain sifatnya sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, sektor migas lemah dalam hal distribusi pendapatan (income distribution). Migas memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Riau dan Nasional, namun kenyataan menunjukan bahwa kehidupan masyarakat Riau, terutama penduduk asli tidak


(18)

semakin membaik dengan perkembangan sektor migas bahkan justru terpinggirkan kemakmurannya. Sektor migas hanya dinikmati oleh segelintir orang diantaranya karyawan perusahaan migas.

Rendahnya tingkat distribusi pendapatan sektor migas di Riau mungkin disebabkan kecilnya keterkaitan sektor migas terhadap ekonomi kerakyatan. Hal ini nampak dari pola eksploitasi yang membentuk kontong-kontong pemukiman yang bersifat eksklusif terhadap pemukiman lokal, hal ini dapat dilihat di Rumbai, Minas, Duri dan Dumai. Pola seperti itu tidak mendatangkan dampak pengganda bagi penduduk sekitar karena bersifat eksklusif, mempekerjakan tenaga kerja dari luar Provinsi Riau, mendatangkan karyawan dari pusat atau luar negeri.

Ketergantungan Provinsi Riau pada sektor migas karena besarnya kontribusinya pada PDRB tidak benar-benar dinikmati oleh Riau sebagai penghasil sumber daya migas tersebut. Sebelum diberlakukannya otonomi daerah, Riau hanya memperoleh sebahagian kecil dari hasil sektor migas. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat Riau sehingga sempat menimbulkan gejolak dengan gerakan pemisahan dari Republik Indonesia.

Rendahnya dalam distribusi pendapatan dan real share yang sangat kecil sektor migas merupakan salah satu penyebabkan masih banyak rakyat miskin di Riau walaupun Provinsi Riau sangat kaya akan sumberdaya alam. Menurut laporan BKKBN pada tahun 2002 di Provinsi Riau terdapat 10.41 persen penduduk pra sejahtera dan 29.63 persen penduduk sejahtera 1 sehingga jumlahnya 40.05 persen. Sedangkan menurut data BPS Provinsi Riau persentase penduduk miskin di Provinsi Riau pada 2002 adalah 13.67 persen (Gubernur Riau, 2003).

Selain masalah kemiskinan, Provinsi Riau juga dihadapi oleh masih besarnya angka pengangguran. Menurut data BPS tahun 2002 angka pengangguran tercatat sebesar 11.3 persen. Besarnya tenaga kerja yang bekerja disektor informal sebesar 53.9 persen merupakan masalah tersendiri di Provinsi Riau. Permasalahan dalam ketenagakerjaan memperjelas walaupun Riau merupakan Provinsi yang kaya tetapi masih banyak terdapat permasalahan pembangunan yang perlu segera ditangani.


(19)

Melihat permasalahan yang ditimbulkan apabila mengantungkan pembangunan ekonomi pada sektor migas maka Pemerintah Daerah Riau mencoba untuk membangun sektor perkebunan terutama membangun perkebunan kelapa sawit. Pembangunan perkebunan kelapa sawit yang digalakkan Pemerintah Daerah Riau didasari oleh besarnya peranan sektor ini untuk meningkatkan pendapatan masyarakat Riau pada saat krisis moneter. Selain peranannya dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, perkebunan kelapa sawit juga mempunyai potensi yang besar dalam meningkatkan output dan penyerapan tenaga kerja di Riau yang perlu terus digali untuk mengatasi masalah pembangunan ekonomi Riau.

Pada era otonomi daerah Provinsi Riau mempunyai kemampuan yang cukup besar untuk membangun perkebunan kelapa sawit dengan meningkatnya penerimaan Riau yang berimplikasi pada meningkatnya anggaran untuk pembangunan. Peningkatan anggaran untuk membangun perkebunan kelapa sawit terlihat pada Program K2I yang diharapkan bisa meningkatkan kinerja perkebunan kelapa sawit untuk mengatasi masalah pembangunan ekonomi Riau terutama masalah kemiskinan dan kebodohan di sektor perkebunan dengan meningkatnya pendapatan petani. Dari hal tersebut perlu dilihat peranan perkebunan kelapa sawit dalam era otonomi daerah di Provinsi Riau

Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, suatu kajian mengenai Analisis Peranan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Era Otonomi Daerah di Provinsi Riau dapat menggambarkan keterkaitan antar kegiatan atau struktur produksi, distribusi nilai tambah, distribusi pendapatan rumah tangga, dampak peningkatan investasi pemerintah dalam era otonomi daerah secara terpadu dan komprehensif akan dilakukan. Penelitian yang dilaksanakankan berangkat dari pokok permasalahan:

1. Bagaimana struktur perekonomian Riau secara keseluruhan, terutama besarnya peranan perkebunan kelapa sawit dalam pembentukan output, permintaan antara dan permintaan akhir

2. Bagaimana keterkaitan (linkage) perkebunan kelapa sawit terhadap kegiatan perekonomian lainnya di Riau, baik keterkaitan kedepan (forward linkage) maupun keterkaitan kebelakang.


(20)

3. Bagaimana dampak otonomi daerah yang mengakibatkan perubahan permintaan akhir sektor perkebunan terhadap output, pendapatan, tenaga kerja dan distribusi pendapatan.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai Peran Perkebunan Kelapa Sawit dalam Era Otonomi Daerah di Provinsi Riau. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji:

1. Struktur perekonomian Riau dan peranan perkebunan kelapa sawit dalam perekonomian Riau pada pembentukan output, permintaan antara dan permintaan akhir.

2. Keterkaitan perkebunan kelapa sawit dengan sektor lain pada perekonomian Riau

3. Dampak otonomi daerah terhadap kinerja perkebunan kelapa sawit dalam penciptaan output, pendapatan rumah tangga, penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan di Provinsi Riau.

Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalan merumuskan strategi pembangunan di Provinsi Riau guna mencapai kesejahteraan masyarakat serta dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi bagi peneliti lain dalam mengembangan penelitian lebih lanjut.

1.3. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini untuk melihat peran perkebunan kelapa sawit dalam era otonomi daerah berupa meningkatnya investasi Pemerintah Daerah Riau pada perkebunan kelapa sawit. Dampak dari investasi Pemerintah Daerah Riau tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis input output untuk melihat kinerjanya dalam perekonomian berupa pembentukan output, pendapatan rumah tangga, penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan .

Batasan dalam penelitian ini berupa menganalisis dengan menggunakan agregasi provinsi dan menggunakan Tabel Input Output tahun 2001 dimana


(21)

sektor-sektor produksi yang ada di Provinsi Kepulauan Riau masih terdapat dalam tabel tersebut. Sedangkan keterbatasan Analisis Input Output yang sulit dihindari baik bersifat teknis, metodologis maupun asumsi yang digunakan, antara lain. 1. Analisis input output ini bersifat statis yaitu dalam kurun waktu tahun

pembuatan, sehingga analisis kebijakan lebih menjelaskan sesuai dengan kurun waktu pembuatan tersebut.

2. Kelemahan dalam penggunaan asumsi seperti homogenitas, proporsionalitas dan additivitas, dimana asumsi baik secara terpisah maupun menyatu sulit diwujudkan, seperti asumsi penjumlahan sangat sulit suatu sektor yang benar-benar terpisah dari satu sektor terhadap sektor yang lain.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Ekonomi

Pembangunan bermakna perubahan, yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan manusia. Peningkatan standar hidup, perbaikan pendidikan dan kesehatan serta keadilan dalam berbagai kesempatan adalah unsur-unsur yang esensial dalam pembangunan ekonomi. Pendapatan per kapita tanpa disertai dengan adanya transformasi sosial dan struktur ekonomi belum di pandang sebagai pembangunan. Mengukur pembangunan adalah sulit, karena menyangkut aspek-aspek bukan material, sehingga pengukuran pembangunan sering dipersempit dengan pembangunan ekonomi.

Todaro (2000), mendefinisikan pembangunan sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional sebagai akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Sedangkan Budiharso (1988) mendefinisikan pembangunan merupakan suatu usaha untuk menyediakan banyak alternatif yang sahih bagi setiap warga negara untuk mencapai aspirasi yang paling humanistic.

Todaro (2000) menyatakan ada tiga tujuan inti dari pembangunan yaitu: (1) Peningkatan ketersedian serta perluasan distribusi berbagai macam barang kehidupan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan, (2) Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang semuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan material melainkan juga menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa yang bersangkutan, dan (3) Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusia mereka.


(23)

Kuznet dalam Jhingan (1999) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai kenaikan jangka panjang dari kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang ekonomi kepada penduduk dan kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuai kelembagaan serta ideologis yang diperlukan. Adapun ciri yang menandai pertumbuhan ekonomi dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) laju pertumbuhan penduduk dan produk perkapita, (2) peningkatan produktivitas, (3) laju pertumbuhan struktural yang tinggi, (4) urbanisasi, (5) ekspansi negara maju, dan (6) arus modal dan orang antar bangsa atau wilayah. Ciri-ciri pertumbuhan ekonomi modern sebagaimana tersebut di atas adalah saling mengait, semuanya terjalin dalam urusan sebab akibat.

Sukirno (1994) menyebutkan bahwa tingkat kegiatan ekonomi suatu perekonomian sangat tergantung pada faktor-faktor produksi yang digunakan, yakni: (1) jumlah barang-barang modal yang tersedia dan digunakan dalam perekonomian, (2) jumlah dan kualitas tenaga kerja yang tersedia dalam perekonomian, (3) jumlah dan jenis kekayan alam yang digunakan, dan (4) tingkat ekonomi. Jhingan (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor, yaitu: (1) faktor ekonomi, yang meliputi sumberdaya alam, akumulasi modal, organisasi/kelembagaan, kemajuan teknologi, pembagian kerja serta skala produksi, dan (2) faktor non ekonomi, yang meliputi faktor sosial, faktor manusia, faktor politik dan administratif.

2.2. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan

Hampir sebahagian besar negara berkembang, pertanian (dalam arti luas meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan), merupakan sektor utama dalam pembangunan ekonomi sedangkan sektor lainnya hanya memberikan sumbangan yang relatif kecil terhadap peningkatan produksi, pendapatan dan kesempatan kerja. Hal ini disebabkan sektor pertanian sangat esensial kotribusinya kepada sektor lain dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi

Jhingan (1994), menjelaskan bahwa peranan sektor pertanian pada pembangunan ekonomi dalam hal: (1) meningkatkan ketersediaan pangan atau


(24)

surplus pangan bagi konsumsi domestik, (2) melepaskan kelebihan tenaga kerja kerjanya ke sektor industri, (3) merupakan pasar bagi produk industri, (4) meningkatkan tabungan dalam negeri, (5) meningkatkan perdagangan (sumber devisa), dan (6) memperbaiki kesejahteraan rakyat pedesaan.

Johnston dan Mellor dalam Daryanto (2002) juga mengindentifikasikan lima kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi. Pertama, sektor pertanian menghasilkan pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Jika peningkatan pangan dapat dipenuhi secara domestik, peningkatan suplai pangan ini dapat mendorong penurunan laju inflasi dan tingkat upah tenaga kerja, yang pada akhirnya diyakini dapat lebih memacu pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kebutuhan pangan yang berasal dari sumber-sumber domestik dapat menghemat devisa yang langka. Disamping itu, banyak sektor industri di negara berkembang yang kelangsungan hidupnya sangat tergantung kepada suplai bahan baku yang berasal dari sektor pertanian.

Kedua, sektor pertanian dapat menghasilkan atau menghemat devisa dari ekspor atau produk substitusi. Perolehan devisa dari ekspor pertanian dapat juga membantu negara berkembang untuk membayar kebutuhan impor barang-barang capital dan teknologi untuk memodernisasi dan memperluas sektor non-pertanian. Melalui kontribusi ini, pembangunan sektor pertanian dapat memfasilitasi proses struktural transformasi.

Ketiga, sektor pertanian merupakan pasar yang potensial bagi produk-produk sektor industri. Sektor pertanian yang tumbuh dan berkembang sehat dapat menstimulasi permintaan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri. Dalam hal ini, sektor pertanian menawarkan potensi konsumsi atau permintaan yang besar terhadap produk-produk sektor industri dan juga input-input pertanian yang dihasilkan oleh industri, seperti pupuk, pestisida dan peralatan pertanian.

Keempat, transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Perekonomian yang tumbuh dengan cepat dapat menstimulasi terjadinya perpindahan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar dan kontinyu dari sektor pertanian ke sektor industri yang umumya berlokasi di daerah perkotaan. Akhirnya, sektor pertanian


(25)

pertanian dapat menyediakan modal bagi sektor-sektor lain (a net outflow of capital for investment in other sector). Bagi negara-negara yang ingin mengindustrialisasikan perekonomiannya, sektor pertanian dapat berfungsi sebagai sumber utama modal investasi. Oleh karena itu industrialisasi yang berhasil memerlukan dukungan yang kuat dari surplus yang dihasilkan pertanian.

Dalam Daryanto (2002) menunjukkan banyak bukti empiris yang mendukung pentingnya keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian dan keseluruhan pertumbuhan ekonomi. Sebagai misal, World Bank (1982) memperlihatkan korelasi yang positif yang kuat antara pertumbuhan pertanian dan sektor industri. Buatista (1991) juga memperlihatkan adanya keterkaitan yang kuat antara pertumbuhan sektor pertanian dan sektor-sektor lainnya. Ia memperkirakan elastisitas keterkaitan pertumbuhan antara sektor pertanian dan sektor lainnya sebesar 1.3 untuk periode 1961-1984 dan 1.4 untuk periode 1973-1984. Hal ini berarti pertumbuhan 1 persen nilai tambah sektor pertanian akan menciptakan pertambahan nilai tambah di sektor non pertanian sebesar 1.3 dan 1.4 persen untuk masing-masing periode studi yang yang disebutkan. Data terakhir dari Internasional Food Policy Research Instute (IFPRI) yang diolah dari 42 negara menunjukan bahwa peningkatan produksi pertanian senilai US$ 1 menghasilkan peningkatan pertumbuhan kegiatan ekonomi senilai US$ 2.32 (Clement 1999). Studi ini juga menunjukan apabila sektor pertanian tidak produktif, pertumbuhan secara keseluruhan pada suatu negara akan menurun

Daryanto (1995) menemukan efek keterkaitan konsumsi yang diinduksi oleh sektor pertanian menunjukan pengaruh yang lebih besar dibandingkan efek keterkaitan produksi terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Selanjutnya Syafa’at dan Mardiato (2002) menemukan bahwa sesungguhnya sektor pertanian mempunyai kontribusi yang tinggi dalam pembentukan output nasional. Dilihat dari dua kenyataan tersebut diatas dapat diketahui sektor pertanian Indonesia mempunyai potensi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Yodhoyono (2004) menemukan pengeluaran pembangunan yang dicurahkan pemerintah terhadap sektor pertanian memiliki pengaruh terhadap output pertanian yang relatif tinggi. Berbeda dengan dampak pengeluaran


(26)

pembangunan terhadap output pertanian, pada sektor industri efek yang negatif pada output insdustri. Oleh sebab itu pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian perlu ditingkatkan.

2.3. Otonomi Daerah dan Trasfer Keuangan Pusat ke Daerah 2.3.1. Otonomi Daerah

Berdasarkan UU No.22 tahun 1999, otonomi daerah adalah penyerahan wewenang oleh pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang selanjutnya dijelaskan bahwa daerah tersebut disebut daerah dengan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengurus kepentingan masyarakat di daerahnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI. Pengertian ini dijelaskan lagi dengan UU No. 25 Tahun 1999 yang menjelaskan tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dengan demikian otonomi daerah sebagai suatu masyarakat lokal yang mempunyai peranan yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan arah dan tujuan pembangunan masyarakat lokal sendiri.

Ritonga (2001) menjelaskan bahwa pada hakekatnya pelaksanaan otonomi daerah merupakan penyerahan kewenangan pemerintahan pusat kepada daerah untuk mengelola potensi yang ada di daerahnya berkenaan yang diikuti dengan penyerahan personil, prasarana, pembiayaan, dan dokumen. Selain itu hubungan keuangan antara pusat daerah yang menyangkut masalah keadilan terwujud dengan alokasi dana bagi hasil dan pemerataan diimplementasikan dengan dana alokasi umum serta pembagian sumberdaya yang ada. Hubungan tersebut dengan kata lain menyangkut pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Hak untuk mengambil keputusan mengenai anggaran pemerintah merupakan unsur yang sangat penting dalam menjalankan kekuasaan.

Pada dasarnya ada 3 alasan pokok mengapa diperlukan otonomi daerah tersebut. Pertama, adalahpolitical equality, guna meningkatkan partisipasi politik masyarakat daerah. Hal ini penting artinya untuk meningkatkan demokratisasi dalam pengelolaan negara. Kedua, adalah local accountabilility, guna meningkatkan kemampuan dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam


(27)

mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah. Hal ini sangat penting artinya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial masing-masing daerah. Ketiga, adalah local responsiviness yaitu meningkatnya respon pemerintah daerah terhadap masalah-masalah sosial ekonomi yang terjadi di daerahnya. Unsur ini sangat penting bagi peningkatan upaya pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sosial di daerah.

Titik berat penerapan otonomi daerah tersebut dilaksanakan di daerah tingkat kabupaten dan daerah kota, dengan pelimpahan seluruh urusan pemerintah akan diletakkan di daerah, kecuali bidang pertahanan keamanan, hubungan luar negeri, agama, peradilan, dan keuangan/moneter dipegang oleh pemerintahan pusat (Djonas, 1999). Daerah Tingkat Provinsi UU No. 22 Tahun 1999 mendapat label baru sebagai daerah otonom sekaligus administratif. Konsekuensinya provinsi melaksanakan kewenangan pemerintah yang didelegasikan kepada gubernur. Provinsi bukan merupakan pemerintah atasan dari daerah kabupaten dan kota, tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerjasama, dan/atau kemitraan dengan daerah kabupaten dan kota dalam kedudukanya masing-masing sebagai daerah otonom. Sementara itu sebagai wilayah administratif, gubernur selaku wakil pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap daerah kabupaten dan kota.

Mengenai pelaksanaan otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 dapat dideskripsikan tentang kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom mencakup:

1. Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan daerah kota, seperti kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.

2. Kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu, meliputi:

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro. b. Pelatihan bidang tertentu, alokasi sumberdaya manusia potensial, dan

penelitian yang mencakup wilayah propinsi. c. Pengolahan pelabuhan regional.

d. Pengendalian lingkungan hidup


(28)

f. Penangan penyakit, menular dan hama tanaman. g. Perencanaan tata ruang propinsi

3. Kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten dan kota, dapat ditangani propinsi setelah ada penyertaan dari daerah kabupaten dan kota.

Berdasarkan UU No.25 Tahun 1999 yang ditetapkan bahwa penerimaan daerah terdiri atas sumber-sumber: (1) Pendapatan asli daerah, (2) Dana perimbangan yang diwujudkan dalam bentuk bagi hasil pajak dan bukan pajak, (3) Pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan sah. Proporsi penerimaan daerah otonom dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Proporsi Bagi Hasil Beberapa Komponen Penerimaan Pemerintah Daerah Sebelum dan Sesudah UU. 25 Tahun 1999

Sebelum UU No.25/1999

Sesudah UU No. 25/1999 No Jenis Penerimaan Pusat (%) Dati I (%) Dati II (%) Pusat (%) Dati I (%) Dati II (%) Pemera-Taan Kab/kota lainnya

1. PBB 10 16,2 64,6 - 16,2 64,8 +

2. BPHTB 20 16 64 - 16 64 +

3. IHH 55 30 15 20 16 64

-4. PSDH/IHPH 55 30 15 20 16 32 32

5. Land rent/

Iuran Tetap 20 16 64 20 16 64

-6. Royalti Pertam-bangan umum

20 16 64 20 16 64

-7. Perikanan 100 - - 20 - - 80

8. Minyak 100 - - 80 3 6 6

9. Gas Alam 100 - - 70 6 12 12

10. Dana

Reboisasi 100 - - 60 - 40

-11 PPh 100 - - 80 8 12

-Sumber: Dari Berbagai Publikasi, Diolah Keterangan:

PBB : Pajak Bumi dan Bangunan

BPHTB : Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan PSDH : Provisi Sumberdaya Hutan

IHH : Iuran Hasil Hutan

IHPH : Iuran Hasil Penguasaan Hutan PPh : Pajak Pengahasilan


(29)

Dalam perkembangannya UU 22 Tahun 1999 direvisi dengan ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan penyempurnaan dari UU Otonomi Daerah sebelumnya. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Provinsi melalui Gubernur diberikan tugas dan wewenang lebih besar dari UU sebelumnya. Tugas dan wewenang itu mencakup: (1) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota, (2) Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintahan di daerah provinsi dan kabupaten/kota, dan (3) Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan UU No 25 tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004 secara umum tidak jauh berbeda dengan UU sebelumnya dalam pengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah

2.3.2. Transfer Keuangan Pusat Ke Daerah

Sistem transfer di Indonesia yang dipakai saat ini adalah hasil evolusi sepanjang kurun waktu 50 tahun (dimulai tahun 1945). Sistem transfer ini mempunyai arti yang sangat penting karena pengeluaran Pemerintahan Daerah sebahagian besar sekitar dua pertiganya dibiayai dari transfer yang diberikan oleh pusat. Dalam perkembangannya, sistem alokasi di Indonesia menjadi komplek karena setiap jenis bantuan yang ada sebenarnya merupakan respon fiskal yang sifatnya pragmatis terhadap tekanan yang muncul.

Berbagai literatur ilmu ekonomi publik dan keuangan negara menyebutkan beberapa alasan perlunya dilakukan tranfer pusat ke daerah.

Pertama, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal. Di banyak negara pemerintah pusat menguasai sebahagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Jadi, pemerintahan daerah hanya menguasai sebahagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau hanya berwewenang untuk memungut pajak-pajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaan daerah relatif kurang signifikan. Kekurangan sumber penerimaan daerah relatif terhadap kewajibannya ini akan menyebabkan dibutuhkannya transfer dana dari pemerintahan pusat.


(30)

Kedua, untuk mengatasi persoalan ketimbangan fiskal horizontal. Pengalaman empirik di berbagai negara menunjukan bahwa kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung kepada kondisi daerah yang bersangkutan yang memiliki sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonominya yang tinggi atau rendah. Ini semua berimplikasi kepada besarnya basis pajak di daerah-daerah bersangkutan.

Di sisi lain, daerah-daerah juga sangat bervariasi dilihat dari kebutuhan belanja untuk berbagai fungsi dan pelayanan publik. Ada daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut usia, dan anak-anak serta remaja yang tinggi proporsinya. Ada pula daerah-daerah yang berbentuk kepulauan luas, di mana sarana-prasarana tranportasi dan infratruktur lainnya masih belum memadai. Sementara di lain pihak ada daerah-daerah dengan jumlah penduduk tidak terlalu besar namun sarana dan prasarananya sudah lengkap. Ini memcerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal need) dari daerah-daerah bersangkutan. Membandingkan kebutuhan fiskal ini dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) tersebut diatas, maka dapat dihitung kesenjangan atau celah fiskal (fiscal gap) dari masing-masing daerah, yang sejogyanya ditutupi oleh transfer dari pemerintahan pusat

Ketiga, terkait dengan butir kedua di atas, argumen lain yang menambahkan pentingnya transfer dari pusat dalam konteks ini adalah kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. (Simanjuntak, 2002)

Secara umum, terdapat tiga jenis transfer di Indonesia, yaitu subsidi bertujuan untuk mencukupi kebutuhan rutin terutama gaji, bantuan bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan DIP (Daftar Isian Proyek). Kedua jenis pertama dapat dikategorikan sebagai bantuan antar tingkat pemerintahan (intergovermental grants) sebab menjadi bagian dari anggaran pemerintahan daerah. Sementara DIP diklasifikasikan sebagai ’in-kind allocation’ sebab walaupun dana mengalir ke daerah, namun tidak termasuk ke dalam anggaran Pemerintahan Daerah (Mahi dan Adriansyah, 2002)


(31)

Pada era otonomi daerah transfer pusat ke daerah di indonesia berupa dana perimbangan yang terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Untuk menghitung berapa besar transfer pusat ke daerah dihitung dengan metode celah fiskal dengan melihat kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal. Sehingga besarnya transfer pusat di daerah dilihat dari perbandingan kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal.

Untuk melihat potensi daerah dilihat dari variabel-varaibel berikut ini: 1. PDRB sektor sumber daya alam (primer)

Sektor yang termasuk dalam sumber daya alam ini adalah sektor yang diatur dalam UU No. 25 tahun 1999 untuk dibagi hasilkan ke daerah, yaitu: Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Minyak dan Gas Bumi. Variabel ini dipergunakan untuk memperlihatkan perbedaan potensi daerah kaya dengan miskin sumber daya alam.

2. PDRB sektor industri dan jasa lainnya (non primer)

PDRB yang termasuk di dalamnya adalah sektor-sektor yang tidak termasuk ke sektor SDA. Variabel ini diperlukan untuk menunjukan potensi penerimaan suatu daerah dari sumber-sumber yang berasal bukan dari bagi hasil SDA, seperti PAD maupun bagi hasil PBB.

3. Besarnya angkatan kerja

Variabel ini untuk menunjukan perbedaan potensi daerah atas sumber manusianya. Suatu daerah yang memiliki sumberdaya manusia yang besar secara relatif akan mimiliki potensi penerimaan yang lebih baik, misalnya potensi penerimaan bagi hasil PPh perorangan dan juga PAD.

Sedangkan untuk melihat kebutuhan daerah dilihat dari variabel-variabel berikut : 1. Jumlah penduduk

Besarnya penduduk suatu daerah mencerminkan kebutuhan pelayanan yang diperlukan.

2. Luas wilayah

Daerah dengan penduduk yang tidak padat, tetapi dengan memiliki cakupan wilayah yang luas membutuhkan pembiayaan yang besar.


(32)

Indeks harga bangunan merupakan pencerminan dari kondisi geografis suatu daerah. Makin sulit kondisi geografis suatu negara, maka diperlukan pembiayaan yang lebih besar. Biaya konstruksi akan lebih mahal pada daerah pegunungan maupun daerah terpencil. Oleh karena itu, biaya pelayanan pada daerah dengan kondisi geografisnya yang sulit semacam ini cenderung lebih mahal.

4. Jumlah penduduk miskin

Target pelayanan adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dengan demikian, makin banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, makin besar kebutuhan pembiayaan suatu daerah (Brodjonegoro dan Pakpahan, 2002)

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Sutomo (1995) melakukan penelitian dengan menggunakan analisis sistem neraca sosial ekonomi menemukan salah satu penyebab kemiskinan (rumahtangga) yang spesifik di Provinsi Riau adalah karena adanya kegagalan kelembagaan yang tercermin oleh kebocoran regional. Hal ini menunjukkan bahwa output atau produksi yang dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi (produksi) di provinsi tersebut tidak dapat sepenuhnya dinikmati oleh penduduk disana. Hal tersebut terjadi karena adanya kegagalan kebijakan (policy failure) dalam mengalokasikan nilai tambah atau penduduk atau masyarakat di provinsi tersebut. Karena kegagalan ini, maka nilai tambah yang dihasilkan oleh Provinsi Riau tidak dapat dinikmati oleh penduduk setempat tetapiu justru mengalir ke luar negeri atau luar wilayah sehingga tingkat pendapatan yang sekaligus mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi lebih rendah dari pada seharusnya.

Yudhoyono (2004) melakukuan penelitian dengan menggunakan analisis ekonometrika menemukan tingkat pengangguran secara nyata dipengaruhi oleh kebijakan fiskal dan desentralisasi. Kebijakan fiskal yang berupa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur memberikan pengaruh positif bagi pengurangan pengangguran di Indonesia. Semakin besar alokasi dana untuk perbaikan infrastruktur, maka semakin besar penurunan angka pengangguran. Sedangkan


(33)

angka kemiskinan juga dipengaruhi oleh kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat upah. Pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh positif bagi upaya-upaya pengurangan angka kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur secara nyata menurunkan angka kemiskinan diperkotaan, dan untuk pedesaan, pengeluaran pemerintah untuk pertanian yang berpengaruh nyata.

Berdasarkan hasil simulasi dari model, diperoleh informasi berupa: (1) peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan yang terjadi lebih besar di sektor non-pertanian, (2) peningkatan pengeluran pemerintah untuk sektor pertanian berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja disektor pertanian maupun disektor non-pertanian, dan (3) peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan di sektor pertanian dan sektor non-pertanian.

Dradjat (2003) melakukan penelitian dengan menggunakan analisis ekonometrika menemukan apabila kebijakan pembangunan perkebunan diberlakukan kembali sejak tahun 1994-1998, maka nilai tambah subsektor perkebunan rata-rata naik 0.42 persen. Penerapan kebijakan pembangunan perkebunan tersebut juga berdampak pada kenaikan serapan tenaga kerja dan pangsa serapan tenaga kerja. Serapan tenaga kerja secara rata-rata naik 4.47 persen. Seiring dengan kenaikan serapan tenaga kerja, pangsa serapan tenaga kerja di subsektor perkebunan juga naik 4.22 persen. Serapan tenaga kerja ini dipengaruhi secara positif oleh kebijakan pembangunan perkebunan dan melalui mekanisme simultan oleh luas areal perkebunan.

Sedangkan untuk peramalan tahun 2003-2008 penerapan kebijakan pembangunan perkebunan berpengaruh langsung terhadap produktivitas dan serapan tenaga kerja. Penerapan kebijakan pembangunan perkebunan akan berdampak pada kenaikan nilai tambah subsektor perkebunan rata-rata 0.37 persen. Sedangkan untuk serapan tenaga kerja, kebijakan pembangunan perkebunan berdampak naiknya serapan tenaga kerja sebesar 5.37 persen. Pangsa


(34)

serapan tenaga kerja naik 4.99 persen dan indeks produktivitas tenaga kerja turun 4.38 persen

Yunus (1997) melakukan penelitian di Sulawesi Tenggara dan menemukan secara agregat pembentukan struktur output dan nilai tambah bruto di sultra tahun 1995 menunjukan kontribusi sektor pertanian dalam arti luas masih dominan dalam perekonomian wilayah, dimana sektor perkebunan mampu memberikan kontribusi dalam pembentukan output dan nilai tambah bruto terbesar setelah sektor tanaman pangan. Sedangkan kontribusi ekspor menunjukan bahwa sektor perkebunan sangat tinggi peranannya yaitu sekita 31.1 persen dari keseluruhan sektor perekonomian di Sulawesi Tenggara. Dilihat dari nilai multiplier tenaga kerja komoditas perkebunan dapat dikategorikan sebagai sektor pemimpin (leading sector) dalam menyediakan kesempatan kerja di wilayah propinsi Sulawesi Tenggara.

Anggraeni (2003) melakukan penelitian di Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau menemukan subsektor perkebunan mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pembangunan wilayah di kabupaten Indragiri Hilir bila dilihat sumbangannya terhadap PDRB (20.3 persen) dan penyerapan tenaga kerja (147 248 KK). Ketangguhan subsektor perkebunan juga ditunjukan oleh rata-rata pertumbuhan yang positif (16.3 persen) walaupun terjadi krisis ekonomi.


(35)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Operasional

Berdasarkan perumusan masalah, pembangunan daerah Provinsi Riau masih menghadapi beberapa masalah. Permasalahan itu berupa masih tingginya angka kemiskinan, kebodohan dan penganguran walaupun Provinsi ini memiliki sumberdaya yang cukup besar sebagai modal untuk mengatasi permasalahan itu. Sebelum Era Otonomi Daerah hanya sebahagian kecil hasil sumberdaya itu dikembalikan pada Provinsi Riau. Kecilnya bagian yang diperoleh Pemerintah Daerah Riau berdampak pada kurangnya kemampuan fiskal Pemerintah Daerah untuk menggerakan roda pembangunan sehingga proses pembangunan menjadi tersendat yang berdampak negatif pada pemecahan masalah pembangunan yang dihadapi Provinsi Riau. Pada Era Otonomi Daerah sebahagian dari hasil sumberdaya Provinsi Riau dikembalikan sehingga berdampak pada meningkatnya kemampuan fiskal daerah Riau. Peningkatan kemampuan fiskal itu berdampak positif pada pemecahan masalah pembangunan yang dihadapi

Pada Era Otonomi Daerah dengan meningkatnya kemampuan fiskal, Pemerintah Riau mencoba untuk mengatasi masalah pembangunan yang dihadapi melalui Program Pengentasan Kemiskinan, Kobodohan dan Pemantapam Inftrastruktur (Program K2I). Untuk mensukseskan Program K2I Pemerintah Daerah Riau membangun perkebunan kelapa sawit yang dilatarbelakangi oleh baiknya kinerja perkebunan kelapa sawit pada krisis moneter dan tingginya angka kemiskinan di sektor pertanian. Dengan dipilihnya perkebunan kelapa sawit untuk mensukseskan Program K21 perlu dilihat Peran Perkebunan Kelapa Sawit Pada Era Otonomi Daerah di Riau. Peran perkebunan kelapa sawit dilihat secara deskritif berupa potensi yang dimiliki sekaligus permasalahan yang dihadapi. Selain itu, peran perkebunan kelapa sawit dilihat dengan melakukan Analisis Input Output berupa: Analisis Struktur Perekonomian Riau, Analisis Keterkaitan dan Penyebaran, Analisis Penganda, Analisis Elastisitas dan Analisis Simulasi Kebijakan. Untuk lebih jelas lihat Gambar 1.


(36)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Pembangunan Provinsi Riau Permasalahan Pembangunan

• Kemiskinan • Kebodohan • Pengangguran

Sebelum Era Otonomi Daerah Kurang Kemampuan Fiskal

Pembangunan Tersendat

Setelah Era Otonomi Daerah Peningkatan Kemampuan Fiskal

Pembangunan Lancar

Negatif Positif

Tinggi Angka Kemiskinan di sektor pertanian Kinerja Perkebunan

Kelapa Sawit Pada Krisis Moneter

• Analisis Struktur Perekonomian Riau

• Analisis Keterkaitan dan Penyebaran • Analisis Penganda Output,

Pendapatan Rumah Tangga, dan Penyerapan Tenaga Kerja • Analisis Elastisitas Output,

Pendapatan Rumah Tangga, dan Penyerapan Tenaga Kerja • Analisis Simulasi Kebijakan • Potensi Perkebunan

kelapa sawit • Permasalahan

Perkebunan Kelapa Sawit

Analisis Deskriptif Analisis Input Output Peran Perkebunan Kelapa sawit dalam Era

Otonomi Daerah di Provinsi Riau Pembangunan Perkebunan

Kelapa sawit Program K21


(37)

3.2. Kerangka Teori 3.2.1. Tabel Input Output

Badan Pusat Statistik (2000) memberikan definisi Tabel Input Output sebagai suatu tabel transaksi yang menggambarkan hubungansupplydan demand antar berbagai sektor dalam suatu wilayah perekonomian. Mangiri (2000) mendefinisikan Tabel Input Output sebagai suatu perangkat data yang komprehensif, konsisten dan terinci yang menggambarkan perekonomian suatu negara (bila lingkup negara), atau wilayah, bahkan suatu daerah yang lingkup lebih kecil. Sedangkan Menurut Leontief (1985) Analisis Input-Output merupakan metode yang sistematis mengukur hubungan timbal balik antara berbagai sektor dalam sistem perekonomian yang komplek, dimana ekonomi yang dimaksud dapat diterapkan pada sistem suatu bangsa atau daerah atau juga perusahaan.

Leontief (1985) memaparkan kelebihan Tabel Input Output yang merupakan model General Equilibrium dimana sifat keseimbangan merupakan kelebihan tabel input output sebagai alat analisis ekonomi perencanaan dan pembangunan karena:

1. Dapat menjelaskan dengan baik keterkaitan antar berbagai macam sektor dalam perekonomian nasional atau wilayah, serta dapat ditentukan besarnya output dan kebutuhan faktor produksi lain dari satu sektor ke sektor lain pada permintaan akhir.

2. Akibat yang ditimbulkan oleh perubahan permintaan, baik oleh pemerintah maupun swasta terhadap perekonomian dapat diramalkan dengan rinci dan tepat.

3. Adanya perubahan teknologi dan harga relatif dapat diintegrasikan ke dalam model melalui penyesuaian koefisien.

4. Menggambarkan struktur perekonomian yang tersusun atas sektor-sektor ekonomi yang saling berinteraksi.

Berdasarkan kelebihan dari Analisis Tabel Input Output, Tabel Input Output juga mempunyai beberapa kelemahan yang juga merupakan asumsi pokok dari analisis ini, yaitu antara lain (Mangiri, 2000)


(38)

1. Homogenitas (Homogeneity), yaitu asumsi bahwa satu sektor hanya menghasilkan satu jenis output dengan struktur input yang tunggal dan tidak ada substitusi antar output dari sektor yang berbeda.

2. Proporsionalitas (Propotionality), yaitu asumsi bahwa kenaikan input oleh suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan output yang dihasilkan oleh sektor tersebut.

3. Additivitas (Additivity), yaitu asumsi bahwa jumlah pengaruh dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan hasil penjumlahan dari setiap pengaruh pada masing-masing sektor tersebut. Asumsi ini sekaligus menegaskan bahwa pengaruh yang timbul dari luar sistim input output diabaikan

4. Instantenius (Instanteneous), adalah asumsi yang menyatakan model input output memberikan hasil prediksi dalam skala sesaat sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan pada permintaan akhir.

Menimbang dari kelebihan dan kelemahan Tabel Input Output, Analisis Input Output mempunyai beberapa manfaat atau kegunaan yang dikemukan oleh Tarigan (2002) yaitu:

1. Menggambarkan kaitan-kaitan antar sektor, sehingga memperluas wawasan kita atas perekonomian wilayah. Kita bisa melihat perekonomian wilayah bukan lagi sebagai kumpulan dari sektor-sektor, melainkan perekonomian wilayah merupakan suatu sistem yang saling berhubungan. Perubahan pada suatu sektor akan langsung mempengaruhi keseluruhan sektor walaupun perubahan itu akan terjadi secara bertahap.

2. Dapat digunakan untuk mengetahui daya menarik (backward linkage) dan daya mendorong (forward lingkage) dari setiap sektor, sehingga mudah menetapkan sektor mana yang dijadikan sektor strategis dalam perencanaan pembangunan perekonomian wilayah.

3. Dapat meramalkan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan tingkat kemakmuran, seandainya permintaan akhir dari beberapa sektor diketahui akan meningkat. Hal ini dapat dianalisis melalui kenaikan input antara dan kenaikan input primer yang merupakan nilai tambah (kemakmuran)

4. Sebagai salah satu analisis yang penting dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah karena bisa melihat permasalahan secara komprehensif.


(39)

5. Dapat digunakan sebagai bahan untuk menghitung kebutuhan tenaga kerja dan modal perencanaan pembangunan ekonomi wilayah, seandainya inputnya dinyatakan dalam bentuk tenaga kerja atau modal.

Format dari Tabel Input Output terdiri dari suatu kerangka matriks berukuran “n x n” dimensi dibagi menjadi empat kuadran dan tiap kuadran mendiskripsikan hubungan tertentu . Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap format Tabel Input Output disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Simplikasi Tabel Input Output Sektor Produksi Alokasi ouput

Susunan Input

1 2 j… n KomsumsiAkhir (F)

Total Produksi (X) I N P U T A N T A R A Sektor Produksi 1 2 . . . n x11 x21 . . . xn1 x12 x22 . . . xn2 … … . . . … x1n x3n . . . xnn F1 F2 . . . Fn X1 X2 . . . Xn

Jumlah Input Primer V1 V2 … Vn

Total Masukan X1 X2 … Xn

Sumber: Badan Pusat Statistik, 1999

Tabel 3 menunjukan isian angka-angka sepanjang baris (bagian horizontal) memperlihatkan bagaimana output dibeli dari satu sektor ke sektor lain, sebahagian dibeli oleh permintaan antara (intermediate demand) sebahagian lagi dibeli oleh permintaan akhir (final demand). Sedangkan isian angka-angka sepanjang garis vertikal (kolom) menunjukan pembelian dari satu sektor ke sektor lain untuk kegiatan produksi sektor lain.

Apabila Tabel 3 tersebut dilihat secara baris (bagian horizontal) maka alokasi output secara keseluruhan dapat ditulis dalam bentuk persamaan aljabar berikut ini :


(40)

X1 = x11 + x12 + x13+ F1

X2 = x21 + x22 + x23 + F2

X3 = x31 + x32 + x33 + F3

Atau dapat disederhanakan menjadi :

j n

i

i

ij F X

x + =

=1

untuk i = 1,2,3, dst………...…….(1) Dimana xij adalah banyaknya output yang dibeli sebagai input oleh

sektor j dan Fi adalah permintaan akhir terhadap sektor I serta Xi adalah jumlah

output sektor i.

Sebaliknya jika Tabel 3 tersebut dibaca secara kolom (vertical), terutama disektor produksi, angka-angka itu menunjukan susunan input suatu sektor. Dengan mengikuti cara-cara membaca seperti secara baris di atas, maka persamaan secara aljabar menurut kolom dapat ditulis menjadi:

X1 = x11 + x21 + x13+ V1

X2 = x21+ x22 + x23 + V2

X3 = x31 + x32 + x33 + V3

Atau dapat disederhanakan menjadi:

j n

j

j

ij V X

x + +=

=1

untuk j = 1,2,3, dst ………....(2) Dimana xij adalah banyaknya output sektor i yang dijual sebagai input

sektor i, Vjadalah input primer dari sektor j dan mj impor sektor ke j

Aliran antar sektor dapat ditransformasikan menjadi koefisien-koefisien dengan mengasumsikan bahwa jumlah berbagai pembelianan tetap, koefisien itu antara lain :

Aij = xij/Xj………...……….. (3)

atau

xij = aij Xj………...………...(4)

Dengan memasukkan persamaan (4) ke dalam persamaan (1) didapatkan

= = + n i j j

ijX Fi X

a 1

untuk i = 1,2,3 dst ………...(5) Dalam notasi matrik persamaan (5) dapat ditulis, sebagai berikut:

AX + F = X ………....(6) Atau hubungan dasar dari tabel input output:


(41)

Matriks kebalikan Leontief (I – A)-1(matrik pengganda masukan), yaitu bagaimana kenaikan produksi dari suatu sektor akan menyebabkan berkembangnya sektor lain.

Dalam analisa input output sistem persamaan diatas memegang peranan penting yaitu sebagai dasar analisa ekonomi mengenai keadaan perekonomian suatu wilayah. Selanjutnya secara umum matrik dalam tabel input output dapat dibagi menjadi 4 kuadran I, II, III, dan IV. Isi dan pengertian masing-masing kuadran tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kuadran I (Intermediate Quadrant)

Setiap sel pada kuadran I merupakan transaksi antara, yaitu transaksi barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi. Kuadran ini memberikan informasi mengenai saling ketergantungan antar sektor produksi dalam suatu perekonomian. Dalam analisa input output kuadran ini memiliki peranan yang sangat penting karena kuadran inilah yang menunjukan keterkaiatan antar sektor ekonomi dalam melakukan proses produksi.

2. Kuadran II (Final Demand Quadrant)

Menunjukan penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor-sektor perekonomian untuk memenuhi permintaan akhir. Permintaan akhir adalah output suatu perekonomian yang langsung dipergunakan oleh rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok dan ekspor.

3. Kuadran III (Primary input Quadrant)

Menunjukan pembelian input yang dihasilkan diluar sistem produksi oleh sektor-sektor dalam kuadran antara. Kuadran ini terdiri dari pendapatan rumah tangga (upah/gaji), pajak langsung, surplus usaha dan penyusutan. Jumlah keseluruhan nilai tambah ini merupakan produk domestik bruto yang dihasilkan oleh wilayah tersebut.

4. Kuadran IV (Primary Input-Final Demand Quadrant)

Merupakan kuadran input primer permintaan akhir yang menunjukan transaksi langsung antara kuadran input primer dengan permintaan akhir tampa melalui sistem produksi atau kaudran antara. Kuadran ini biasanya jarang ditunjukan dalam Tabel Input Output.


(42)

3.2.2. Analisis Input Output a. Analisis Keterkaitan

Konsep keterkaitan biasa digunakan sebagai dasar perumusan strategi pembangunan ekonomi dengan melihat keterkaitan antar sektor dalam suatu perekonomian. Konsep keterkaitan yang biasa dirumuskan meliputi keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang menunjukan hubungan keterkaitan antar sektor dalam pembelian terhadap total pembelian input yang digunakan untuk proses produksi dan keterkaitan ke depan (forward linkage) yang menunjukkan hubungan keterkaitan antar sektor dalam penjualan terhadap total penjualan output yang dihasilkannya.

Berdasarkan konsep ini dapat diketahui besarnya pertumbuhan suatu sektor yang dapat menstimulir pertumbuhan sektor lainnya melalui mekanisme induksi. Keterkaitan langsung antar sektor perekonomian dalam pembelian dan penjualan input antara ditunjukan oleh koefisien langsung, sedangkan keterkaitan langsung dan tidak langsung ditunjukan dari matrik kebalikan leontief.

Matrik kebalikan leontief ( ) disebut sebagai matrik koefisien keterkaitan, karena matrik ini mengandung informasi penting tentang struktur perekonomian yang dipelajari dengan menentukan tingkat keterkaitan antar sektor perekonomian.

b. Analisis Pengganda

Salah satu jenis analisis yang umum dilakukan dalam kerangka Analisis Input Output adalah analisis Pengganda. Pada intinya, analisis Pengganda ini mencoba melihat apa yang terjadi terhadap variabel-variabel endogen tertentu apabila terjadi perubahan variabel-variabel eksogen seperti permintaan akhir di dalam perekonomian. Tiga variabel yang menjadi perhatian utama dalam analisis Pengganda ini adalah output sektor-sektor produksi, pendapatan rumah tangga (household income), dan lapangan pekerjaan (employment). Oleh karena itu dikenal adanya pengganda output, pengganda pendapatan pendapatan rumah yangga, dan pengganda tenaga kerja ( Nazara, 1997)

1. Pengganda Output

Secara sederhana dapat dirumuskan bahwa pengganda output suatu sektor adalah nilai total dari output atau produksi yang dihasilkan oleh


(43)

perekonomian untuk memenuhi (atau akibat) adanya perubahan satu unit moneter permintaan akhir suatu sektor tersebut. Peningkatan permintaan akhir disuatu sektor tidak hanya akan meningkatkan output pada sektor tersebut, tetapi juga mengakibatkan peningkatan output pada sektor lain di perekonomian. Peningkatan output sektor-sektor lain ini tercipta akibat efek langsung dan efek tidak langsung dari peningkatan permintaan akhir suatu sektor tersebut.

Pengganda output dihitung dalam per unit perubahan output sebagai efek awal (initial effect), yaitu kenaikan atau penurunan output sebesar satu unit satuan moneter. Setiap elemen dalam matrik kebalikan leontief (matrik invers) α menunjukan total pembelian input baik tidak langsung maupun langsung dari sektor i yang disebabkan karena adanya peningkatan penjualan dari sektor i sebesar satu unit satuan moneter permintaan akhir. Matrik invers dirumuskan dengan persamaan

α = (I – A)-1= (αij)………...………..(8)

Dengan demikian matrik α mengandung informasi penting tentang struktur perekonomian yang dipelajari dengan menentukan tingkat keterkaitan antar sektor dalam perekonomian suatu wilayah atau negara. Koefosien dari matrik invers ini (αij) menunjukan besarnya perubahan aktivitas dari suatu sektor

yang akan mempengaruhi tingkat output dari sektor-sektor lain. 2. Pengganda Pendapatan

Pengganda pendapatan (income multiplier) juga sering disebut dengan efek pendapatan (income efek) dari Model Input Output. nilai pengganda pendapatan suatu sektor menunjukan jumlah pendapatan total yang tercipta akibat adanya tambahan satu unit satuan moneter permintaan akhir disuatu sektor tersebut. Jadi kalau Pengganda output menghitung output total yang tercipta akibat adanya satu satuan moneter permintaan akhir, maka pengganda pendapatan rumah tangga ini mencoba menerjemahkan peningkatan permintaan akhir tersebut dalam bentuk pendapatan.

Jika terdapat perubahan permintaan akhir dalam Model Input-Output ini, terjadi pula perubahan output yang diproduksi oleh sektor-sektor produksi di perekonomian. Hal ini telah ditunjukkan oleh angka pengganda output. Perubahan jumlah output yang diproduksi tersebut tentunya akan pula mengubah


(44)

permintaan tenaga kerja yang dibutuhkan. Tentunya peningkatan output yang diproduksi akan meningkatkan permintaan tenaga kerja, dan penurunan output yang diproduksi akan menurunkan permintaan tenaga kerja. Karena balas jasa tenaga kerja tersebut merupakan sumber pendapatan rumah tangga, maka perubahan permintaan tenaga kerja tersebut akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga.

3. Pengganda Tenaga Kerja

Pengganda tenaga kerja menunjukkan perubahan tenaga kerja yang disebabkan oleh perubahan awal dari sisi output. Untuk pengganda tenaga kerja maka pada tabel input output harus ditambahkan baris yang menunjukkan jumlah dari tenaga kerja untuk masing-masing sektor dalam perekonomian suatu wilayah atau Negara. Koefisien tenaga kerja (ei) menunjukkan efek langsung

ketenagakerjaan dari setiap sektor akibat adanya perubahan output sektor ke-i. Efek tidak langsung ditunjukkan dengan ijei untuk setiap sektor, dan efek total

ditunjukkan dari dari ij*ei.

Respon atau efek pengganda output, pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Dampak awal (initial impact), merupakan stimulus perekonomian diasumsikan sebagai peningkatan atau penurunan penjualan dalam satu unit satuan moneter. Dari sisi output, sebagai peningkatan penjualan ke permintaan akhir sebesar satu unit satuan moneter. Peningkatan output memberikan efek peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja. Efek awal dari sisi pendapatan ditunjukkan oleh koefisien pendapatan rumah tangga (hi)

dan efek awal dari sisi tenaga kerja ditunjukkan oleh koefisien tenaga kerja (ei).

2. Efek putaran pertama (first round effect), menunjukkan efek langsung dari pembelian tiap sektor untuk setiap peningkatan output sebesar satu unit satuan moneter. Dari sisi output, ditunjukkan oleh koefisien langsung, sedang dari sisi permintaan ( aij hi) menunjukkan peningkatan pendapatan dari setiap

sektor akibat adanya adanya efek putaran pertama dari sisi output, dari sisi tenaga kerja ( aij ei) menunjukkan peningkatan penyerapan tenaga kerja akibat


(45)

3. Efek dukungan industri (industrial support effect), dari sisi output menunjukkan efek dari peningkatan output putaran kedua dan selanjutnya akibat adanya stimulus ekonomi. Dari sisi pendapatan dan tenaga kerja, menunjukkan efek peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja putaran kedua akibat dukungan industri menghasilkan output.

4. Efek induksi konsumsi (consumption induced effect), dari sisi output menunjukkan suatu pengaruh induksi akibat pendapatan rumah tangga. Dari sisi pendapatan dan tenaga kerja, diperoleh masing-masing dengan mengalikan efek induksi komsumsi output dengan koefisien pendapatan rumah tangga dan koefisien tenaga kerja.

5. Efek lanjutan (flow-on effect), merupakan efek dari output, pendapatan, dan tenaga kerja yang terjadi pada semua sektor perekonomian dalam suatu negara atau wilayah akibat adanya peningkatan penjumlahan dari suatu sektor. Efek lanjutan dapat diperoleh dari pengurangan efek total dengan efek awal.

c. Analisis Dampak

1. Dampak Output

Dalam Model Input Output, output memiliki hubungan timbal balik dengan permintaan akhir dan output tersebut. Artinya jumlah output yang diproduksi tergantung dari jumlah permintaan akhir. Namun demikian dalam keadaan tertentu, output justru yang menentukan permintaan akhir. Output terbentuk sebagai dampak permintaan akhir dalam model input output dapat dirumuskan sebagai berikut.

XFT = (I – A)-1 (F – M) ………..………...(9)

atau

XFD = (1 – Ad)-1 Fd ………..………...(10)

Rumus diatas sekaligus mencerminkan bahwa pembentukan output (X) dipengaruhi oleh permintaan akhir (F – M) atau Fd

Output yang terbentuk sebagai akibat dari dampak seluruh permintaan akhir (XFT) akan sama dengan output yang terbentuk sebagai akibat permintaan

akhir domestik (XFD). Penggunaan persamaan diatas antara lain adalah untuk


(46)

komponen permintaan akhir dan memperkirakan output yang terbentuk akibat dampak permintaan akhir yang diproyeksikan.

2. Dampak Nilai Tambah Bruto

Nilai Tambah Bruto (NTB) adalah input primer yang merupakan bagian dari input secara keseluruan. Sesuai dengan asumsi dasar yang digunakan dalam penyusunan Tabel Input Output, maka hubungan antara NBT dengan output adalah linier. Artinya kenaikan atau penurunan output akan diikuti secara proporsional oleh kenaikan atau penurunan NBT. Hubungan tersebut dapat dijabarkan dalam persamaan berikut:

V = V∧ X ...(11) dimana :

V = Matriks NTB

V = Matrik diagonal koefisien NTB X = (I – A)-1 (F – M) atau (1 – Ad)-1 Fd

Maka berdasarkan X dari hasil perhitungan pada persamaan 10, penciptaan NBT yang dipengaruhi oleh masing-masing komponen permintaan akhir.

3. Dampak Kebutuhan Impor

Sama halnya dengan perhitungan dampak yang lain, dasar perhitungan yang digunakan untuk melihat dampak permintaan akhir terhadap kebutuhan impor adalah (I-A)-1 dan (I-Ad)-1. Akan tetapi barang dan jasa impor ternyata dapat juga untuk memenuhi permintaan akhir secara langsung, maka penjabaran dengan pengaruh permintaan akhir terhadap kebutuhan impor terjadi sedikit lebih kompleks.

Andaikan yang digunakan dalam analisis adalah (I-Ad)-1, hubungan antara permintaan akhir terhadap kebutuhan impor dapat dijabarkan dalam bentuk dua persamaan.

MK = Am(I-Ad)-1FdK ………...(12)

ME = Am(1-Ad)-1FE ………....(13)

dimana :

MK = Matriks impor yang dipengaruhi oleh masing-masing

komponen permintaan akhir kecuali ekspor Am = Koefisien impor


(47)

FdK = Matrik komponen permintaan akhir domestik

FmK = Matrik komponen permintaan akhir yang berasal dari impor

ME = Matrik impor yang dipengaruhi oleh impor

FE = Ekspor barang dan jasa

4. Dampak Kebutuhan Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang balas jasa terhadapnya merupakan salah satu komponen input primer. Sehingga sesuai dengan asumsi dasar model input output, maka tenaga kerja memiliki hubungan linier dengan output. Hal ini berarti bahwa naik turunnya output di suatu sektor akan berpengaruh terhadap naik turunnya tenaga kerja disektor tersebut. Hubungan antara tenaga kerja dan output jika diuraikan untuk masing-masing sektor akan diperoleh

L1= i1 X1

;

Li = ii Xi

;

Ln = in Xn ...(14)

dimana :

Li = Jumlah tenaga kerja sektor i

ii = Koefisien tenaga kerja sektor i

Xi = Output sektor I

3.2.3. Model Input Output Miyasawa

Model ini dikenal oleh seorang ahli ekonomi Jepang K. Miyazawa, dalam analisisnya dia mengungkapkan secara eksplisit faktor pendapatan berdasarkan beberapa kelompok yaitu pendapatan desa (rural), kota (urban) dan yang tinggal di daerah perumahan (estate). Dalam pembagian pendapatan tersebut dapat dilihat apakah distribusi pendapatan dari tiga kelompok diatas terbagi dengan merata.

Model ini diperkenalkan sebagai pengembangan lebih lanjut dari kerangka kerja Input-Output dimana perbedaan terletak di blok input primer yang terdiri atas upah dan gaji, surplus usaha, pajak tak langsung dan penyusutan. Pada


(48)

model Miyazawa upah dan gaji dan sebagian surplus usaha yang diterima sebagai balas jasa dibagi lagi berdasarkan atas beberapa kelompok pendapatan dan dijadikan sebagai salah satu variabel endogen. Dan juga untuk kolom konsumsi rumah tangga pada blok permintaan akhir dibagi pula atas beberapa kelompok sesuai dengan kelompok pendapatan diatas. Bentu tabel input output Model Miyazawa dapat dilihat pada Tabel 4

Tabel 4. Simplikasi Tabel Input Output Model Miyazawa

Sektor Produksi Konsumsi Rumah

Tangga Alokasi ouput

Susunan Input 1 2 j n

tinggi sedang rendah

Komsumsi Akhir (F) Total Produksi (X) Sektor Produksi 1 2 . . . n x11 x21 . . . xn1 x12 x22 . . . xn2 … … . . . … x1n x3n . . . xnn p1t p2t . . . ptn p1s p2r . . . psn p1r p2s . . . prn F1 F2 . . . Fn X1 X2 . . . Xn I N P U T A N T A R A Kelompok pendapatan tinggi sedang rendah pt1 ps1 pr1 pt2 ps2 pr2 … … … ptn psn prn

Jumlah Input Primer V1 V2 … Vn

Total Masukan X1 X2 … Xn

Kelebihan dari model Miyazawa ini adalah untuk melihat distribusi pendapatan antar kelompok pendapatan dan sekaligus membelah pendapatan agar dapat dilihat tingkat distribusinya dalam perekonomian suatu daerah atau negara. Tapi model ini juga memiliki kelemahan dimana hanya berbicara tentang distribusi pendapatan saja. Karena kelemahannya itu maka kemudian diperkenalkan SAM (Social Accounting Matrix) dimana dalam konsep SAM ini dibicarakan tidak hanya dalam bentuk kelompok pendapatan tertentu saja tapi lebih mendalam yaitu distribusi pendapatan secara faktorial dan institusional.

Selanjutnya dalam melakukan analisis distribusi pendapatan, pendapatan pada masing-masing sektor rumah tangga (yang terdiri dari tiga


(49)

kelompok pengeluaran berdasarkan pendapatan) dimasukkan sebagai variabel endogen atau diangap bertingkah laku seperti produsen, dan sebagai penyimbang nilai tambah (value added) adalah hal ini upah dan gaji, sebahagian dari surplus usaha.

Bila digambarkan dalam matrik, maka bentuk model Miyasawa adalah: M =

     O C V A ...(15) dimana:

A : koefisien teknologi (nxn) V : koefisien nilai tambah (nx3)

C : koefisien konsumsi rumah tangga (nx3) n : jumlah sektor

Dalam Model Miyazawa juga memperhitungkan nilai dari matrik kebalikan leontief (leontief invers matrix) yang memcerminkan efek langsung dan tidak langsung dari perubahan permintaan akhir terhadap sektor-sektor didalam perekonomian. Bentuk matrik kebalikan leontief adalah sebagai berikut:

B (M) = (I – M)-1=

1 −     − − − VI C A I …...(16) jika terdapat perubahan permintaan akhir maka ada pula perubahan pola pendapatan. Dari kondisi tersebut dapat ditulis bahwa:

          − − − =       − 2 1 1 f f VI C A I Y X ...(17) dimana :

f : Permintaan akhir selain konsumsi rumah tangga I : Matrik identitas


(1)

Sector 19 20 21 22 23 24

1 0.0039 0.0051 0.0030 0.0025 0.0022 0.0022

2 0.0014 0.0020 0.0008 0.0009 0.0009 0.0009

3 0.0007 0.0011 0.0004 0.0005 0.0005 0.0005

4 0.0063 0.0094 0.0041 0.0044 0.0044 0.0049

5 0.0058 0.0030 0.0019 0.0012 0.0322 0.0006

6 0.0045 0.0061 0.0024 0.0029 0.0026 0.0025

7 0.0002 0.0002 0.0001 0.0001 0.0003 0.0001

8 0.0002 0.0002 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001

9 0.0040 0.0024 0.0004 0.0004 0.0013 0.0004

10 0.0008 0.0009 0.0004 0.0004 0.0004 0.0005

11 0.0055 0.0088 0.0040 0.0041 0.0043 0.0051

12 0.0014 0.1733 0.0105 0.0027 0.0010 0.0012

13 0.0004 0.0141 0.0003 0.0003 0.0003 0.0004

14 0.0032 0.0047 0.0020 0.0021 0.0021 0.0023

15 0.0032 0.0045 0.0019 0.0021 0.0020 0.0021

16 0.0726 0.0781 0.0486 0.0265 0.5481 0.5401

17 0.0001 0.0007 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000

18 0.0232 0.0297 0.0130 0.0126 0.0135 0.0150

19 1.1766 0.0221 0.0068 0.0072 0.0078 0.0085

20 0.0042 1.1225 0.0039 0.0030 0.0029 0.0035

21 0.0044 0.0069 1.1806 0.2219 0.0021 0.0022

22 0.0054 0.0091 0.0044 1.0049 0.0043 0.0054

23 0.0676 0.0807 0.0539 0.0324 1.0275 0.0111

24 0.0252 0.0623 0.0369 0.0166 0.0131 1.0121

25 0.0025 0.0034 0.0016 0.0013 0.0132 0.0013

26 0.0076 0.0157 0.0042 0.0034 0.0045 0.0038

27 0.0012 0.0034 0.0007 0.0005 0.0007 0.0006

28 0.0179 0.0471 0.0134 0.0120 0.0125 0.0151

29 0.0161 0.0338 0.0120 0.0118 0.0125 0.0149

30 0.0187 0.0521 0.0135 0.0115 0.0133 0.0143

31 0.0137 0.0244 0.0101 0.0103 0.0110 0.0134

32 0.0086 0.0162 0.0067 0.0065 0.0069 0.0082

33 0.0021 0.0030 0.0008 0.0007 0.0008 0.0008

34 0.0125 0.0197 0.0138 0.0075 0.0042 0.0041

35 0.0115 0.0329 0.0086 0.0057 0.0057 0.0069

36 0.0564 0.1481 0.0526 0.0360 0.0315 0.0287

37 0.0208 0.0390 0.0178 0.0162 0.0170 0.0215

38 0.0347 0.1064 0.0352 0.0257 0.0246 0.0248

39 0.0133 0.0330 0.0156 0.0074 0.0065 0.0066

40 0.0148 0.0339 0.0111 0.0092 0.0101 0.0105

41 0.0102 0.0170 0.0081 0.0083 0.0092 0.0119

42 0.0193 0.0456 0.0216 0.0169 0.0163 0.0190

43 0.0728 0.0637 0.0170 0.0306 0.0196 0.0123

44 0.0677 0.1186 0.0470 0.0516 0.0431 0.0216


(2)

Sector 25 26 27 28 29 30

1 0.0033 0.0015 0.0015 0.0042 0.0035 0.0037

2 0.0013 0.0006 0.0006 0.0016 0.0013 0.0015

3 0.0007 0.0003 0.0003 0.0009 0.0007 0.0008

4 0.0060 0.0030 0.0028 0.0080 0.0067 0.0073

5 0.1800 0.0046 0.0014 0.0050 0.0056 0.0043

6 0.0043 0.0018 0.0018 0.0049 0.0037 0.0044

7 0.0001 0.0001 0.0001 0.0002 0.0002 0.0002

8 0.0001 0.0001 0.0001 0.0002 0.0002 0.0002

9 0.0006 0.0004 0.0003 0.0008 0.0007 0.0007

10 0.0005 0.0003 0.0003 0.0008 0.0007 0.0007

11 0.0052 0.0029 0.0027 0.0077 0.0067 0.0071

12 0.0012 0.0007 0.0009 0.0029 0.0025 0.0022

13 0.0004 0.0002 0.0002 0.0006 0.0005 0.0005

14 0.0029 0.0014 0.0014 0.0040 0.0035 0.0035

15 0.0030 0.0014 0.0014 0.0037 0.0031 0.0034

16 0.0808 0.1871 0.0394 0.0843 0.1348 0.0769

17 0.0001 0.0001 0.0434 0.0005 0.0002 0.0003

18 0.0162 0.0090 0.0083 0.0251 0.0236 0.0222

19 0.0206 0.0057 0.0047 0.0140 0.0113 0.0130

20 0.0035 0.0020 0.0024 0.0103 0.0092 0.0076

21 0.0025 0.0021 0.0069 0.0080 0.0073 0.0085

22 0.0046 0.0029 0.0027 0.0092 0.0076 0.0078

23 0.1322 0.1395 0.0398 0.0817 0.1485 0.0995

24 0.0187 0.0089 0.0233 0.0636 0.0645 0.0379

25 1.0710 0.0029 0.0011 0.0158 0.0074 0.0080

26 0.0063 1.0031 0.0028 0.0432 0.0171 0.0250

27 0.0008 0.0004 1.0032 0.0072 0.0033 0.0052

28 0.0172 0.0099 0.0099 1.2345 0.3462 0.3998

29 0.0155 0.0085 0.0088 0.1586 1.1857 0.0801

30 0.0167 0.0100 0.0104 0.5662 0.1744 1.4510

31 0.0133 0.0076 0.0069 0.1743 0.0581 0.0697

32 0.0081 0.0048 0.0046 0.0686 0.0264 0.0294

33 0.0010 0.0005 0.0005 0.0227 0.0072 0.0086

34 0.0056 0.0036 0.0093 0.0175 0.0422 0.0131

35 0.0085 0.0038 0.0104 0.0234 0.0204 0.0159

36 0.0433 0.0226 0.0210 0.2201 0.1149 0.1426

37 0.0194 0.0120 0.0111 0.0350 0.0383 0.0305

38 0.0279 0.0188 0.0283 0.1722 0.1093 0.0980

39 0.0072 0.0042 0.0049 0.0386 0.0280 0.0226

40 0.0122 0.0066 0.0079 0.0470 0.0351 0.0282

41 0.0099 0.0063 0.0052 0.0157 0.0134 0.0147

42 0.0173 0.0114 0.0106 0.0466 0.0338 0.0349

43 0.0662 0.0233 0.0162 0.0455 0.0302 0.0395

44 0.0690 0.0141 0.0411 0.0796 0.0537 0.0702

45 0.0420 0.0636 0.0307 0.1307 0.1284 0.1283


(3)

Sector 31 32 33 34 35 36

1 0.0046 0.0044 0.0003 0.0060 0.0084 0.0073

2 0.0018 0.0017 0.0001 0.0024 0.0033 0.0028

3 0.0010 0.0009 0.0001 0.0013 0.0018 0.0015

4 0.0087 0.0087 0.0005 0.0119 0.0159 0.0134

5 0.0044 0.0055 0.0004 0.0031 0.0036 0.0016

6 0.0054 0.0050 0.0003 0.0073 0.0106 0.0089

7 0.0002 0.0002 0.0000 0.0003 0.0003 0.0003

8 0.0002 0.0002 0.0000 0.0003 0.0003 0.0003

9 0.0008 0.0008 0.0002 0.0010 0.0014 0.0012

10 0.0008 0.0008 0.0000 0.0011 0.0014 0.0012

11 0.0083 0.0087 0.0007 0.0115 0.0147 0.0121

12 0.0026 0.0028 0.0002 0.0059 0.0324 0.0041

13 0.0006 0.0007 0.0001 0.0009 0.0016 0.0009

14 0.0043 0.0042 0.0003 0.0057 0.0078 0.0068

15 0.0041 0.0040 0.0002 0.0055 0.0077 0.0066

16 0.0779 0.0627 0.0053 0.1747 0.1177 0.0540

17 0.0003 0.0002 0.0001 0.0004 0.0029 0.0002

18 0.0264 0.0272 0.0017 0.0348 0.0453 0.0407

19 0.0148 0.0155 0.0016 0.0208 0.0265 0.0214

20 0.0084 0.0101 0.0006 0.0135 0.0585 0.0124

21 0.0109 0.0052 0.0004 0.0083 0.0097 0.0097

22 0.0088 0.0090 0.0005 0.0148 0.0153 0.0155

23 0.0925 0.0734 0.0078 0.0785 0.0675 0.0328

24 0.0451 0.0376 0.0020 0.2477 0.1410 0.0635

25 0.0099 0.0201 0.0004 0.0045 0.0092 0.0035

26 0.0352 0.0237 0.0010 0.0129 0.0301 0.0204

27 0.0047 0.0032 0.0008 0.0089 0.0665 0.0039

28 0.3686 0.2421 0.0069 0.0723 0.1355 0.0390

29 0.0776 0.0808 0.0042 0.0564 0.2100 0.0386

30 0.2858 0.1460 0.0040 0.1462 0.1363 0.0381

31 1.2190 0.0504 0.0020 0.0348 0.0513 0.0296

32 0.0306 1.1248 0.0011 0.0203 0.0273 0.0195

33 0.0264 0.0086 1.0045 0.0030 0.0051 0.0028

34 0.0177 0.0148 0.0011 1.1837 0.0239 0.0362

35 0.0251 0.0173 0.0009 0.1277 1.0303 0.0516

36 0.1753 0.1015 0.0060 0.1711 0.2776 1.0860

37 0.0363 0.0395 0.0020 0.0466 0.0590 0.0577

38 0.1413 0.0850 0.0050 0.0722 0.1000 0.1044

39 0.0279 0.0242 0.0012 0.0228 0.0238 0.0169

40 0.0364 0.0340 0.0025 0.0879 0.0389 0.0283

41 0.0162 0.0182 0.0010 0.0242 0.0288 0.0225

42 0.0430 0.0374 0.0026 0.0565 0.0566 0.0634

43 0.0417 0.0326 0.0030 0.0648 0.1235 0.1247

44 0.1220 0.0892 0.0062 0.1218 0.1929 0.1398


(4)

Sector 37 38 39 40 41 42

1 0.0332 0.0047 0.0060 0.0051 0.0147 0.0027

2 0.0108 0.0017 0.0023 0.0019 0.0057 0.0011

3 0.0045 0.0009 0.0013 0.0011 0.0031 0.0006

4 0.0478 0.0084 0.0119 0.0098 0.0284 0.0060

5 0.0019 0.0040 0.0016 0.0019 0.0042 0.0024

6 0.0112 0.0051 0.0069 0.0059 0.0171 0.0029

7 0.0027 0.0002 0.0003 0.0002 0.0006 0.0001

8 0.0017 0.0002 0.0003 0.0002 0.0006 0.0001

9 0.0080 0.0009 0.0010 0.0009 0.0026 0.0011

10 0.0070 0.0009 0.0011 0.0016 0.0026 0.0005

11 0.0510 0.0081 0.0117 0.0096 0.0276 0.0045

12 0.0034 0.0027 0.0039 0.0038 0.0098 0.0012

13 0.0011 0.0006 0.0009 0.0007 0.0020 0.0003

14 0.0436 0.0044 0.0059 0.0048 0.0142 0.0024

15 0.0219 0.0039 0.0054 0.0045 0.0132 0.0023

16 0.0503 0.1156 0.0399 0.0475 0.1050 0.0234

17 0.0002 0.0002 0.0002 0.0002 0.0006 0.0001

18 0.3873 0.0310 0.0378 0.0304 0.0892 0.0174

19 0.0247 0.0162 0.0195 0.0173 0.0505 0.0094

20 0.0091 0.0069 0.0095 0.0091 0.0242 0.0033

21 0.0077 0.0070 0.0300 0.0130 0.0369 0.0095

22 0.0138 0.0096 0.0233 0.0118 0.0336 0.0089

23 0.0426 0.1084 0.0332 0.0436 0.0909 0.0290

24 0.0485 0.1078 0.0385 0.0425 0.0979 0.0135

25 0.0033 0.0046 0.0033 0.0037 0.0084 0.0094

26 0.0106 0.0082 0.0093 0.0102 0.0249 0.0047

27 0.0026 0.0031 0.0040 0.0048 0.0119 0.0012

28 0.0381 0.0687 0.0396 0.0723 0.1387 0.0306

29 0.0381 0.0326 0.0395 0.0410 0.1056 0.0159

30 0.0365 0.0458 0.0385 0.0799 0.1221 0.0225

31 0.0313 0.0259 0.0300 0.0304 0.0772 0.0160

32 0.0220 0.0462 0.0189 0.0176 0.0649 0.0159

33 0.0023 0.0028 0.0030 0.0038 0.0076 0.0033

34 0.0235 0.0116 0.0199 0.0160 0.0371 0.0067

35 0.0300 0.0401 0.0556 0.0648 0.1609 0.0127

36 0.0921 0.0658 0.0775 0.0789 0.1906 0.0327

37 1.0468 0.0378 0.0563 0.0414 0.1338 0.0162

38 0.0874 1.1236 0.0781 0.0679 0.1710 0.0254

39 0.0156 0.0119 1.0689 0.0371 0.0341 0.0056

40 0.0258 0.0185 0.0715 1.0343 0.0536 0.0088

41 0.0250 0.0158 0.0245 0.0201 1.0548 0.0083

42 0.0457 0.0808 0.0611 0.0538 0.1172 1.0161

43 0.1151 0.0484 0.0624 0.0487 0.1406 0.0285

44 0.1285 0.0857 0.0913 0.0953 0.3216 0.0537

45 0.1790 0.1262 0.2357 0.1800 0.4349 0.0577


(5)

SECTOR 43 44 45 TOTAL

1 0.0288 0.0229 0.0161 1.5066

2 0.0113 0.0093 0.0063 1.1638

3 0.0056 0.0050 0.0037 1.1440

4 0.0491 0.0430 0.0358 1.6777

5 0.0036 0.0038 0.0039 1.5403

6 0.0410 0.0294 0.0179 1.4208

7 0.0008 0.0008 0.0008 1.0258

8 0.0011 0.0009 0.0007 1.0363

9 0.0037 0.0033 0.0029 1.1145

10 0.0036 0.0037 0.0034 1.0926

11 0.0372 0.0407 0.0377 1.6235

12 0.0080 0.0081 0.0086 1.3783

13 0.0027 0.0026 0.0030 1.0550

14 0.0248 0.0205 0.0164 1.4527

15 0.0270 0.0210 0.0150 1.4587

16 0.0926 0.0925 0.0911 5.2966

17 0.0002 0.0002 0.0002 1.0546

18 0.1181 0.1148 0.1102 3.4825

19 0.0656 0.0713 0.0627 2.1753

20 0.0234 0.0254 0.0252 1.5988

21 0.0130 0.0145 0.0165 1.7582

22 0.0288 0.0344 0.0410 1.5580

23 0.0707 0.0741 0.0769 4.1379

24 0.0942 0.0896 0.0846 3.2978

25 0.0082 0.0088 0.0090 1.3059

26 0.0259 0.0276 0.0272 1.6058

27 0.0037 0.0038 0.0039 1.2082

28 0.0929 0.1007 0.1025 4.4593

29 0.0990 0.1078 0.1076 3.3930

30 0.0876 0.0947 0.0957 4.4664

31 0.0893 0.0980 0.0977 2.9178

32 0.0548 0.0597 0.0603 2.2200

33 0.0055 0.0060 0.0061 1.1838

34 0.0325 0.0310 0.0291 1.8625

35 0.0385 0.0381 0.0394 2.5793

36 0.2608 0.2351 0.2058 5.6870

37 0.1211 0.1353 0.1596 3.1590

38 0.1444 0.1581 0.1797 4.3875

39 0.0416 0.0416 0.0473 1.8995

40 0.0667 0.0663 0.0755 2.3660

41 0.0665 0.0750 0.0895 2.1000

42 0.1113 0.1156 0.1387 3.1422

43 1.0847 0.0793 0.0740 5.5052

44 0.1087 1.1084 0.1094 6.3357


(6)