44 2. Zona 2: tingkat bahaya longsor sedang: peluang terjadinya longsor 1 kali
dalam 5 tahun pada lahan dengan kemiringan 15 3. Zona 3: tingkat bahaya longsor tinggi: peluang terjadinya longsor 1-2 kali
dalam 5 tahun 4. Zona 4: tingkat bahaya longsor sangat tinggi: berpeluang longsor 2 kali
dalam 5 tahun 3.3.3.2. Dinamika Permukiman
1. Teknik analisis data untuk mengetahui dinamika permukiman pada setiap kecamatan diperoleh dari perubahan tutupan lahan lokasi penelitian yang
dilakukan dengan: a. Interpretasi citra terhadap 3 peta tutupan lahan Citra Landsat 5+TM tahun
1985, Citra Landsat 7+ETM tahun 1994, dan Citra Landsat 7+ETM tahun 2006 dengan ERDAS 8.6
b. Overlay dengan Peta Administrasi Kota Padang dengan alat analisis Arc View 3.3.
c. Teknik analisis data untuk mengetahui dinamika pemukiman pada setiap wilayah administratif kecamatan di Kota Padang dilakukan dengan analisis
data pertumbuhan penduduk disetiap wilayah administratif kecamatan tahun 1985, 1994, dan 2006 Zain, 2002 dan Pribadi et al., 2006.
2. Teknik analisis data untuk mengetahui dinamika permukiman pada setiap tingkat bahaya longsor diperoleh dari perubahan tutupan lahan lokasi
penelitian, dilakukan dengan: a. Interpretasi citra terhadap 3 peta tutupan lahan CitraLandsat 5+TM tahun
1985, Citra Landsat 7+ETM tahun 1994, dan Citra Landsat 7+ETM tahun 2006 dengan ERDAS 8.6.
b. Overlay dengan Peta Tingkat Bahaya Longsor dengan alat analisis Arc View 3.3 Zain, 2002 dan Pribadi et al., 2006.
3.3.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Tutupan Lahan menjadi Lahan Permukiman
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tutupan lahan, menjadi lahan permukiman di lokasi penelitian dilakukan dengan:
45 1. Tabulasi data hasil analisis perubahan tutupan lahan ha merupakan dependent
variabel yang kemudian dikaitkan dengan variabel-variabel independent pewakil karakteristik kependudukan dan sosial, yaitu berupa data jumlah
penduduk PDDK, jumlah kepala keluarga KK, persentase keluarga petani KKP, persentase pemilik lahan sekaligus sebagai penggarap GARAP,
persentase pemilik lahan PEMILIK, dan persentase penggarap sekaligus penyewa lahan SEWA, kepadatan penduduk DENSITY, persentase keluarga
prasejahtera PRA, data rata-rata kedalaman muka air tanah AIR, data kebijakan pemerintah dalam hal bantuan pembangunan PEMB yang diperoleh
dari tabular Potensi Kecamatan dari BPS yang dianalisis dengan SPSS 15. 2. Metode disusun dengan menggunakan teknik analisis multiple regression
dengan metode forward stepwise regression Ezekiel dan Fox, 1959. Model yang dihasilkan adalah:
y
=
a
o
+
a
1
x
1
+
a
2
x
2
+
a
3
x
3
+ .......... +
a
n
x
n
Dimana: y : dependent variable variabel yang diduga;
x : independent variable variabel penduga; a : koefisien regresi
Dalam membangun model persamaan di atas, variabel independent yang dipilih adalah yang sesuai dengan karakteristik wilayah studi.
3.3.3.4. Arahan Kebijakan Pengembangan Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor
3.3.3.4.1. Spasial Pengembangan Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor
Langkah-langkah analisis arahan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor adalah:
1. Analisis tumpangsusun overlay peta tingkat bahaya longsor dengan peta tingkat kesesuaian lahan untuk permukiman Teknik Analisis Tingkat
Kesesuaian Lahan untuk Permukiman: Lampiran 3; hal. 137, sehingga diperoleh 3 zona peruntukan lahan untuk pengembangan permukiman pada
kawasan rawan longsor di lokasi penelitian, yaitu: a. Zona A, zona peruntukan pengembangan permukiman dengan karakteristik
lahan sesuai untuk permukiman dengan tingkat bahaya longsor rendah.
46 b. Zona B, zona peruntukan pengembangan permukiman dengan karakteristik
lahan sesuai untuk permukiman dengan tingkat bahaya longsor sedang. c. Zona C, zona peruntukan pengembangan permukiman dengan karakteristik
lahan tidak sesuai untuk permukiman dengan tingkat bahaya longsor sedang-sangat tinggi.
2. Analisis tumpangsusun overlay peta zona peruntukan lahan untuk permukiman dengan peta tutupan lahan untuk permukiman tahun 2006 untuk
mengidentifikasi sebaran permukiman pada masing-masing zona peruntukan lahan.
a. Zona A, zona peruntukan pengembangan permukiman dengan karakteristik lahan yang sesuai untuk permukiman dengan tingkat bahaya longsor rendah.
Zona A dibedakan atas: 2 Zona A1, zona peruntukan lahan untuk permukiman pada Zona A yang
telah digunakan untuk permukiman 3 Zona A2, zona peruntukan lahan untuk permukiman pada Zona A yang
belum digunakan untuk permukiman b. Zona B, zona peruntukan pengembangan permukiman dengan karakteristik
lahan yang sesuai untuk permukiman dengan tingkat bahaya longsor sedang. Zona B dibedakan atas:
1 Zona B1, zona peruntukan lahan untuk permukiman pada Zona B yang telah digunakan untuk permukiman
2 Zona B2, zona peruntukan lahan untuk permukiman pada Zona B yang belum digunakan untuk permukiman
c. Zona C, zona peruntukan pengembangan permukiman dengan karakteristik lahan tidak sesuai untuk permukiman dengan tingkat bahaya longsor sedang-
sangat tinggi. Zona C ini dibedakan lagi atas: 1
zona C1, zona tidak sesuai untuk permukiman dengan tingkat bahaya longsor sedang yang telah digunakan untuk permukiman
2 Zona C2, zona tidak sesuai untuk permukiman dengan tingkat bahaya
longsor tinggi yang telah digunakan untuk permukiman 3
Zona C3, zona tidak sesuai untuk permukiman dengan tingkat bahaya longsor sangat tinggi yang telah digunakan untuk permukiman
4 Zona C4, zona C tanpa permukiman
47 3. Analisis tumpangsusun overlay peta sebaran permukiman pada masing-
masing zona peruntukan lahan dengan peta administrasi lokasi penelitian untuk menganalisis luasan masing-masing zona peruntukan berdasarkan kecamatan
dan luasan permukiman pada masing-masing zona per kecamatan
3.3.3.4.2. Arahan Kebijakan Pengembangan Permukiman pada Kawasan Rawan Longsor di Lokasi Penelitian
Perumusan arahan kebijakan pengembangan permukiman dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Perumusan
arahan kebijakan tergolong atas beberapa tahap, yaitu: 1. Menyusun alternatif arahan kebijakan, berdasarkan pengembangan lanjut data
primer dan sekunder penelitian, berupa uraian tentang hal-hal yang harus dikembangkan menjadi prioritas kebijakan publik Suharto, 2006; Indrawati,
2006; Nainggolan, 2006. 2. Merumuskan prioritas arahan kebijakan Eriyatno dan Sofyar, 2007;
Sadyohutomo, 2008. 3. Pemilihan prioritas arahan kebijakan dilakukan melalui penyeleksian alternatif
kebijakan untuk dijadikan sebagai prioritas arahan kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor di lokasi penelitian dilakukan
dengan metode AHP Analytical Hierarchy Process Eriyatno dan Sofyar, 2007; Sadyohutomo, 2008. Prioritas arahan kebijakan terurai strategi
implementasi serta implikasinya secara deskriptif berdasarkan pada teknik FGD Focus Group Discussion.
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis AHP adalah sebagai berikut: a. Penyusunan hierarki, untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-unsur
dalam wujud kriteria dan alternatif yang disusun dalam bentuk hierarki Kerangka Hierarki Kebijakan: Lampiran 4; hal. 137.
b. Penyusunan kriteria, digunakan untuk membuat keputusan yang dilengkapi dengan bentuk alternatif yang terkait masing-masing kriteria
tersebut untuk dipilih sebagai keputusan tercantum pada tingkatan paling bawah
c. Penilaian kriteria dan alternatif, untuk melihat pengaruh strategis terhadap pencapaian sasaran yang dinilai melalui perbandingan berpasangan. Nilai
dan definisi pendapat kualitatif berdasarkan skala perbandingan Marimin, 2005, seperti tertera pada Tabel 11.
48 d. Penentuan prioritas, menggunakan teknik perbandingan berpasangan
pairwise comparisons untuk setiap kriteria dan alternatif. Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut diolah dengan menggunakan manipulasi
matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif yang ada. Selanjutnya
dilakukan perhitungan untuk melihat konsistensi penilaian dengan menggunakan penghitungan Inconsistency Ratio.
Tabel 11. Kriteria Penilaian dalam AHP
Nilai Keterangan
1 A sama penting dengan B
3 A sedikit lebih penting dari B
5 A jelas lebih penting dari B
7 A sangat jelas lebih penting dari B
9 A mutlak lebih penting dari B
2, 4, 6, 8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Sumber: Marimin 2005
49
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Administrasi dan Posisi Astronomis Lokasi Penelitian
Kota Padang terdiri atas 11 kecamatan, yaitu: 1 Kecamatan Koto Tangah, 2 Kecamatan Padang Utara, 3 Kecamatan Nanggalo, 4 Kecamatan Kuranji,
5 Kecamatan Padang Barat, 6 Kecamatan Padang Timur, 7 Kecamatan Padang Selatan, 8 Kecamatan Pauh, 9 Kecamatan Lubuk Begalung, 10
Kecamatan Lubuk Kilangan, dan 11 Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Secara astronomis, Kota Padang terletak antara 314000-334000 mT dan 9874000-
9917000 mS Peta Administratif Lokasi Penelitian: Lampiran 5; hal.138. Adapun batas daerah Kota Padang adalah sebagai berikut:
1. sebelah barat berbataskan dengan Samudera Indonesia, 2. sebelah timur berbataskan dengan Kabupaten Solok,
3. sebelah utara berbataskan dengan Kabupaten Padang Pariaman, dan 4. sebelah selatan berbataskan dengan Kabupaten Pesisir Selatan
4.2. Kondisi Fisik Lokasi Penelitian
4.2.1. Karakteristik Iklim Lokasi Penelitian
Hujan merupakan parameter iklim yang paling penting dalam memberikan kontribusi terhadap terjadinya proses longsor Peta Distribusi Curah Hujan
Lokasi Penelitian: Lampiran 6; hal. 139. Parameter tersebut berupa curah hujan yang terdiri atas bulan basah CH rata
2
100mm dan bulan kering CH rata
2
60mm. Rata-rata curah hujan Kota Padang periode 1980-2005 tertera pada Tabel 12.
Tabel 12. Rata-Rata Curah Hujan mm Kota Padang Periode 1980-2005
Wilayah Jumlah Curah Hujan Bulanan
Stasiun Jan Peb
Mar Apr Mai
Jun Jul
Agt Sep
Okt Nop
Des
Jml
Tabing 324.8 265.4 253.3 328.3 244.9 273.5 297.5 353.3 385.2 452.9 485.7 372.0
4037.2 Ladang Padi
392.2 252.0 390.6 497.3 412.4 302.4 351.2 340.3 437.7 514.9 564.7 464.5 4920.3
Simpang Alai 258.0 230.3 273.4 349.0 261.1 293.8 304.5 292.8 355.6 409.2 459.8 346.7
3834.2 Gunung Nago
280.8 144.2 226.4 327.2 248.1 253.1 305.4 316.9 391.2 369.4 446.7 350.2 3659.6
Teluk Bayur 195.3 162.3 140.0 238.0 184.5 236.9 181.7 231.4 243.9 235.7 464.0 267.0
2781.1 Kasang
323.8 244.7 194.6 377.7 195.5 264.9 265.8 316.5 359.6 346.5 421.6 411.3 3722.5
Gunung Sarik 296.0 188.3 219.0 285.3 251.8 270.1 261.3 341.1 302.6 418.7 439.7 405.1
3679.0
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Tabing Padang 2007; Stasiun Curah Hujan Ladang Padi 2007; Stasiun Curah Hujan Simpang Alai 2007; Stasiun Curah Hujan Gunung
Nago 2007; Stasiun Curah Hujan Teluk Bayur 2007; Stasiun Curah Hujan Kasang 2007; Stasiun Curah Hujan Gunung Sarik 2007