20 kemampuan GIS Arc View adalah: 1 pertukaran data, membaca, dan menuliskan
data dalam format perangkat lunak GIS lainnya, 2 melakukan analisis statistik dengan operasi-operasi matematis, 3 menampilkan informasi basis data spasial
maupun atribut, 4 menjawab query spasial maupun atribut, 5 melakukan fungsi-fungsi dasar GIS, 6 membuat peta tematik, 7 meng-costumize aplikasi
dengan menggunakan bahasa skrip, 8 melakukan fungsi-fungsi GIS dengan menggunakan extension yang ditujukan untuk mendukung penggunaan perangkat
lunak Arc View West et al., 2000.
2.5. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
Menurut Arif 2003, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang proses penyusunan rencana tata ruang, tetapi termasuk
pula dimensi pemanfaatan ruang wujud operasionalisasi rencana tata ruangpelaksanaan pembangunan dan pengendalian pemanfaatan ruang
mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Selanjutnya dalam RTRW Kota
Padang 2004-2013 dijelaskan bahwa pelaksanaan tata ruang di Kota Padang menimbulkan beberapa masalah dalam proses pemanfaatan ruang. Issue dan
tantangan dalam penataan ruang Kota Padang yang terkait dengan pembangunan permukiman antara lain: 1 pemanfaatan lahan permukiman belum sepenuhnya
mengacu pada RTRW, dan masih berorientasi pada pengembangan yang bersifat horizontal, sehingga cenderung menciptakan urban sprawling pembangunan
yang tidak terpola dengan baik dan inefisiensi pelayanan prasarana dan sarana, 2 izin lokasi pemanfaatan lahan permukiman melebihi kebutuhan nyata sehingga
meningkatkan luas area lahan tidur vacant land dan lahan kritis, 3 pemanfaatan lahan permukiman belum memberikan rasa keadilan pada penduduk
berpenghasilan rendah sehingga selalu tersingkir ke pinggiran kota dan kawasan rawan longsor, 4 pemanfaatan ruang untuk permukiman belum serasi dengan
pengembangan kawasan fungsional lainnya atau dengan program sektorfasilitas pendukung lainnya, 5 konflik penggunaan lahan, khususnya antara penggunaan
permukiman dengan penggunaan kawasan lindung, 7 kebutuhan lahan untuk permukiman semakin meningkat seiring dengan terus meningkatnya jumlah
penduduk, 8 tingginya laju pertumbuhan penduduk akan menimbulkan
21 kebutuhan lahan permukiman yang sangat besar, sementara kemampuan
pemerintah sangat terbatas. Menurut catatan, hanya 15 kebutuhan permukiman yang mampu disediakan oleh pemerintah, sisanya sebesar 85 disediakan oleh
masyarakat atau swasta. Apabila pembangunan permukiman yang dilakukan oleh masyarakat atau swasta tidak dikendalikan pengembangannya, maka akan
menimbulkan masalah besar yang mengancam kawasan lindung, 9 tantangan terbesar dalam penataan ruang serta pembangunan permukiman adalah bagaimana
memberdayakan peranserta masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan permukimannya sendiri yang sehat, aman, serasi, dan produktif tanpa merusak
lingkungan hidup dan merugikan masyarakat luas. Kota Padang memiliki tipe relief yang kompleks dengan kemiringan lereng
datar-curam. Dengan pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi setiap tahunnya, maka pembangunan perumahan dan permukiman telah berkembang pada
kawasan-kawasan rawan bencana longsor. Myester et al. 1997 dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi 2007 menjelaskan bahwa ada 2
pendekatan untuk melakukan penyidikan tingkat bahaya longsor, yaitu: 1 pendekatan rekayasa, dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan pada aspek-
aspek rekayasa geologi dan rekayasa teknik sipil. Rekayasa geologi yaitu melalui kegiatan pengamatan yang berkaitan dengan struktur, jenis batuan, geomorfologi,
topografi, geohidrologi dan sejarah hidrologi yang dilengkapi dengan kajian geologi SNI 03-1962-1990 atau kajian yang didasarkan pada kriteria fisik alami
dan kriteria aktifitas manusia dan 2 pendekatan keruangan yang dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan pada aspek-aspek penggunaan ruang yang
didasarkan pada perlindungan terhadap keseimbangan ekosistem dan jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat yang dilakukan secara harmonis, yaitu:
penilaian pada struktur ruang dan pola ruang pada kawasan rawan bencana longsor sesuai dengan tipologi serta tingkat kerawanan fisik alami dan tingkat
risiko, serta menjaga kesesuaian antara kegiatan pelaksanaan pemanfaatan ruang dengan fungsi kawasan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang
wilayahnya
.
Aplikasi GIS dengan program Arc View 3.3. telah dilaksanakan oleh Kumajas 1997 untuk analisis rawan bencana di Kota Manado. Hasil penelitian
22 menunjukkan bahwa faktor penyebab terjadinya longsor adalah kemiringan
lereng, curah hujan yang tinggi, litologi terutama pada tufa Tondano yang menjadi bidang luncur, adanya zona sesar yang memanjang tepat di pusat kota, dan
penggunaan lahan terutama permukiman yang berada pada zona tidak layak huni. Waktu kejadian longsor selalu terjadi pada saat musim penghujan dengan
intensitas hujan yang tinggi. Strategi yang dapat dilakukan untuk pengendalian kawasan rawan longsor dapat diatasi dengan: 1 penegakan peraturan yang
berkaitan dengan tata ruang sehingga menggunakan lahan sesuai peruntukan termasuk daerak layak huni, 2 pencegahan longsor melalui upaya civil teknis dan
upaya vegetatif, 3 peningkatan kesadaran untuk mengantisipasi terjadinya bencana longsor, dan 4 penggunaan peta rawan bencana longsor untuk
pengambilan kebijakan dalam pengendalian bencana longsor. Penerapan GIS untuk meneliti longsor juga diterapkan oleh Guzzetti et al.
1999 yang bertujuan untuk mengiventarisasi dan memetakan kawasan rawan bencana longsor serta menyusun rencana pengendaliannya dengan unit analisis
adalah peta kemiringan lereng, peta geologi, peta tanah, dan peta penggunaan lahan. Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan rawan longsor yang
digunakan adalah perangkat lunak ArcView GIS dengan bantuan extensions geoprocessing. Selanjutnya hasil penelitian Guzzetti 2001, menjelaskan bahwa
penetapan kawasan rawan bencana longsor dan zona berpotensi longsor didasarkan pada hasil pengkajian terhadap kawasan yang diindikasikan berpotensi
longsor atau lokasi yang diperkirakan akan terjadi longsor akibat proses alami. Penetapan tingkat bahaya dan tingkat risiko longsor, selain dilakukan kajian fisik
alami, juga dilakukan kajian berdasarkan aspek aktifitas manusianya. Selanjutnya Zain 2002 melakukan penelitian dengan menggunakan GIS
ERDAS 8.5 untuk meneliti dan mengevaluasi kestabilan tanah melalui pendekatan spasial melalui overlay data spasial berupa peta-peta. Metode yang digunakan
adalah metode MAFF-Japan yang telah dikembangkan dan diterapkan pada tiga kota besar di Asia Tenggara, termasuk Jakarta, dan dihasilkan suatu rujukan
bahwa Model MAFF-Japan cocok untuk wilayah-wilayah tropika basah, seperti di Indonesia. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi 2007 menjelaskan
perbedaan tingkat kerawanan, tingkat kerentanan, tingkat risiko, dan tingkat
23 bahaya longsor. Tingkat kerawanan longsor merupakan ukuran yang menyatakan
tinggi rendahnya atau besar kecilnya kemungkinan suatu kawasan mengalami bencana longsor ditinjau berdasarkan bagian-bagian kondisi fisik alami suatu
kawasan. Tingkat kerentanan longsor merupakan ukuran yang menyatakan tinggi rendahnya atau besar kecilnya kemungkinan suatu kawasan mengalami bencana
longsor ditinjau dari kondisi fisik alami pada kawasan yang belum dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya. Tingkat risiko longsor merupakan ukuran yang
menyatakan tinggi rendahnya atau besar kecilnya kemungkinan suatu kawasan mengalami bencana longsor ditinjau dari kerugian manusia akibat longsor.
Tingkat bahaya longsor merupakan ukuran yang menyatakan tinggi rendahnya atau besar kecilnya kemungkinan suatu kawasan mengalami bencana longsor
ditinjau dari faktor pemicu terjadinya longsor yang didukung oleh faktor-faktor yang dipicu untuk terjadinya longsor. Berdasarkan pengertian tingkat bahaya
tersebut, Model MAFF-Japan sangat cocok digunakan untuk meneliti tingkat bahaya longsor di lokasi penelitian, karena model MAFF-Japan lebih menekankan
terjadinya longsor akibat adanya interaksi faktor pemicu longsor curah hujan dan penggunaan lahan terhadap faktor-faktor fisik lainnya.
Prathumchai dan Samarakoon 2005 dan Kumajas 2006 juga melaksanakan penelitian dengan menggunakan pendekatan spasial dengan unit
lahan sebagai satuan analisisnya. Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan overlay beberapa data spasial parameter penentu rawan
longsor untuk menghasilkan unit pemetaan baru unit lahan yang digunakan sebagai unit analisis. Data spasial tersebut adalah peta kemiringan lereng, peta
geologi, peta tanah dan peta penggunaan lahan Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan rawan longsor menggunakan perangkat lunak ArcView
GIS dengan bantuan extensions geoprocessing. Syarief dan Murdohardono 2007 dan Djadja et al. 2007 menjelaskan
bahwa zona bahaya longsor dapat dibedakan atas 4 zona, yaitu: 1 zona bahaya rendah untuk terjadi longsor, zona ini sangat jarang atau tidak pernah terjadi
longsor, baik longsor lama maupun baru, terkecuali pada daerah tebing sungai, 2 zona bahaya sedang untuk terjadi longsor, zona ini jarang terjadi longsor jika
tidak mengalami gangguan pada lereng dan jika terdapat longsor lama, lereng
24 telah mantap kembali. Longsor berdimensi kecil mungkin dapat terjadi, terutama
pada tebing lembah alur sungai dan lereng 15, 3 zona bahaya tinggi untuk terjadi longsor, zona ini sering terjadi longsor terutama pada daerah yang
berbatasan dengan lembah sungai, gawir tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan. Longsor lama dapat aktif kembali akibat curah hujan yang tinggi, 4
zona bahaya sangat tinggi untuk terjadi longsor, zona ini sangat sering terjadi longsor, sedangkan longsor lama dan longsor baru masih aktif bergerak akibat
curah hujan tinggi dan erosi yang kuat. Mardiatno 2001 serta Hermon dan Triyatno 2005 melakukan penelitian
dengan mengembangkan metode Zuidam dan Concelado 1979, memberikan informasi bahwa pada tingkat bahaya longsor rendah, tanah lahan sangat stabil
dan tidak pernah atau jarang terjadi longsor, kecuali pada tebing jalan dan sungai, pada tingkat bahaya longsor sedang, peluang terjadinya longsor 1 kali dalam 5
tahun pada lahan dengan kemiringan 15, pada tingkat bahaya longsor tinggi, peluang terjadinya longsor 1-2 kali dalam 5 tahun, dan pada tingkat bahaya
longsor sangat tinggi, peluang terjadinya longsor 2 kali dalam 5 tahun. P3TL dan P4W 2004 serta Pribadi et al. 2006 melakukan penelitian
untuk merumuskan dinamika perubahan tutupan lahan adalah dengan GIS ERDAS 8.5 untuk menganalisis 2 titik tahun Citra Landsat ETM+7. Metode
yang digunakan untuk merumuskan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perubahan masing-masing tutupan lahan adalah metode multiple regression
dengan metode forward stepwise regression. Dalam membangun model persamaan di atas, variabel independent yang dipilih adalah yang sesuai dengan
karakteristik wilayah studi. Hasil penelitian menunjukkan: 1 perubahan penggunaan lahan di Kota Batam lebih banyak didorong oleh kebijakan
pembangunan, sehingga pembangunan dalam konteks ruang harus benar-benar diperhatikan agar dapat mengendalikan terjadinya konversi lahan, 2 perubahan
penggunaan lahan di Kota Malang lebih banyak didorong oleh proses urban sprawl, sehingga pengendalian pemanfaatan ruang harus menjadi perhatian agar
dapat mengendalikan terjadinya konversi lahan, 3 perubahan penggunaan lahan di Pemalang lebih banyak didorong oleh tumbuhnya pusat-pusat hirarkhi wilayah
baru, dan 4 perubahan penggunaan lahan di Muara Jambi lebih banyak didorong
25 oleh kebutuhan lahan untuk aktivitas pertanian yang berorientasi pada
peningkatan intensifikasi sehingga mampu menekan kebutuhan ekstensifikasi lahan.
Hasil penelitian Baja dan Dragovich 2001 menunjukkan : 1 interpretasi
citra satelit dengan GIS memberikan informasi secara spasial tentang sebaran tutupan lahan, sehingga proses pengklasifikasian tingkat kualitas lahan dapat
memberikan informasi yang sebenarnya, dan 2 kualitas lahan pada catchments area sangat dipengaruhi oleh pola penggunaan lahan yang diterapkan, terutama
pada kawasan-kawasan hulu. Kemudian Lubowski et al. 2006 juga melakukan analisis GIS dengan ERDAS 8.5 untuk merumuskan perubahan tutupan lahan
. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan hutan untuk
pertanian dan permukiman akan mempengaruhi fungsi ekosistem dalam mendukung proses kehidupan diatasnya. Zain 2002, Zain et al. 2006
a
, dan Zain et al. 2006
b
, memberikan informasi bahwa pemanfaatan GIS ERDAS 8.5 dalam analisis tutupan lahan sangat efektif, baik untuk melakukan evaluasi
penggunaan lahan maupun untuk melakukan evaluasi kawasan-kawasan rawan bencana.
Hugo 2000, Indarwati 2006, dan Nainggolan 2006 memberikan informasi tentang perumusan kebijakan secara deskriptif yang berdasarkan pada
data sekunder dan primer yang dikumpulkan dalam suatu proses penelitian. Selanjutnya Giyarsih 2005 menjelaskan bahwa dinamika permukiman
disebabkan oleh mobilitas permanen atau migrasi penduduk dan mobilitas penduduk non permanen baik nglaju maupun sirkulasi. Mobilitas penduduk non
permanen merupakan tipe dominan bagi Kota Yogyakarta. Kemudian hasil penelitian Yunus 1991 menunjukkan bahwa 85 migran tidak ingin menetap di
Kota Yogyakarta. Artinya bahwa Kota Yogyakarta hanya merupakan tempat untuk mencari nafkah, bukan sebagai tempat tinggal. Gejala lain yang tampak
bahwa keadaan tersebut sudah mulai merembes ke daerah sekitar kota. Akibatnya daerah sekitar kota terutama daerah pinggiran kota yang berbatasan dengan Kota
Yogyakarta akan menjadi daerah padat penduduk. Hal ini terjadi karena Kota Yogyakarta sudah mengalami kejenuhan sebagai daerah tempat tinggal. Karena
kejenuhan tersebut, diperkirakan akan terjadi dinamika penduduk ke daerah pinggiran kota.
26 Hermon dan Triyatno 2001 melakukan penelitian tingkat bahaya dan
risiko longsor di Gunung Padang dengan pendekatan GIS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kawasan-kawasan dengan tingkat bahaya longsor tinggi
dan risiko longsor yang juga tinggi, perlu dilakukan relokasi penduduk ke kawasan-kawasan yang aman dari bencana longsor. Kemudian, Dasrizal 2006
menjelaskan bahwa tingkat bahaya longsor di Gunung Padang Kota Padang Sumatera Barat dapat dibedakan atas 3 tingkat, yaitu tingkat bahaya longsor
rendah, tingkat bahaya longsor sedang, dan tingkat bahaya longsor tinggi. Penelitian dilakukan berdasarkan pada kemiringan lereng, sehingga sebaran
tingkat bahaya longsor rendah terdapat pada lereng kaki Gunung Padang, sebaran tingkat bahaya longsor sedang pada lereng tengah Gunung Padang, dan sebaran
tingkat bahaya longsor tinggi pada lereng atas Gunung Padang dan kawasan- kawasan yang berlereng curam.
Berdasarkan kajian-kajian dari hasil penelitian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa kajian tentang bahaya longsor yang bersifat holistik melalui pengabungan
pendekatan keruangan, pendekatan geografi, dan pendekatan tanah belum pernah dilakukan, terutama di Kota Padang. Selain itu, penelitian dinamika permukiman
dan arahan kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor juga belum pernah dilakukan. Hal ini disebabkan penelitian longsor dan
penelitian tentang dinamika permukiman dilakukan secara terpisah, sehingga dinamika permukiman pada masing-masing tingkat bahaya longsor tidak dapat
dirumuskan. Selain itu, arahan kebijakan pengembangan permukiman pada kawasan rawan longsor juga belum ada ditemukan, baik secara teoritis maupun
secara spasial, terutama untuk wilayah Kota Padang.
27
III. METODE PENELITIAN