berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai
masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah,
menengah, atau atas. Jadi, untuk menentukan latar cerita sebuah karya sastra, pembaca perlu
mencermati segala keterangan, petunjuk, pengacuan, yang berkaitan dengan tempat, waktu, dan lingkungan terjadinya peristiwa dalam karya sastra tersebut.
2.2.2.5 Sudut Pandang
Sudut pandang, point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca Abrams dalam
Nurgiyantoro 2010:248. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sudut pandang cerita secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua
macam: persona pertama, first- person, gaya “aku”, dan persona ketiga, third-
person, gaya “dia”. Jadi, dari sudut pandang “aku” dan “dia”, dengan berbagai variasinya, sebuah cerita dikisahkan. Kedua sudut pandang tersebut masing-
masing menyaran dan menuntut konsekuensinya Nurgiyantoro 2010:249.
Penentuan sudut pandang sebuah cerita dapat dilihat dari kata ganti pelaku yang digunakan oleh pengarang. Jika menggunakan
kata “aku atau saya”, maka sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang Orang Pertama. Jika
menggunakan “ia atau dia”, maka sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang Orang Ketiga.
2.2.2.6 Gaya Bahasa
Dalam karya sastra, istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang dalam menyampikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa
yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca Aminuddin 2010:72.
Gaya atau gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada
lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan
dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata
secara indah Keraf 2010: 112. Sudjiman 1993:13 menyatakan bahwa gaya bahasa selalu ditautkan
dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat majas dan citraan, pola rima, mantra yang
digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Penggunaan gaya bahasa ini dapat dilihat pada dialog tokoh atau uraian
deskriptif pada cerita. Penyampaian gaya yang baik membawa kenikmatan dalam
membaca karya sastra. Kenikmatan terhadap gaya memang merupakan keasyikan tersendiri dalam memahami karya sastra. Jadi, gaya bahasa adalah seni
pengungkapan seorang pengarang terhadap karyanya.
2.2.2.7 Amanat