53
Menurut penulis konseli ini sebenarnya tidak ingin melakukan kekerasan verbal. Seperti yang dipaparkan oleh teori Galtung yaitu mengenai
kekerasan psikis. Kekerasan yang dilakukan oleh konseli ini berdampak timbal balik antara konseli dan nasabah. Konseli yang melakukan kekerasan
itu pun mengalami dampak yaitu stres. Konseli tidak nyaman melakukan kekerasan verbal itu. Di satu sisi konseli memiliki naluri keibuan, yang
lembut, tetapi di sisi lain sesuai dengan pekerjaan maka konseli harus mampu untuk bertindak tegas dan keras.
144
3.2.2. Eksploitasi Suku Bunga Tinggi
Bentuk eksploitasi yang terjadi di pasar Salatiga adalah rentenir meraup keuntungan yang lebih besar sampai mencapai tingkat suku bunga
20. Suku bunga yang tinggi ini juga membuat bisnis ini diminati perempuan jemaat HKBP Salatiga ini. Menurut pengakuan responden ibu Len:
145
“Andorang so ro tu Salatiga on, nunga karejo di toko hian ahu di Riau, alai beralih ma au gabe rentenir ala hubege balga do bunga ni
hepeng.”
Ibu Len sanggup meninggalkan pekerjaannya di Riau setelah ibu Len mendengar suku bunga tinggi yang menggiurkan dari bisnis ini, sehingga ibu
Len tertarik melakukan pekerjaan ini hanya karena suku bunga yang cukup tinggi.
144
Hamka, Aldrin Ali Danarti, Tyas, Ibid, 17.
145
Wawancara dengan Ibu Len.
54
3.2.3 Masalah Peran Domestik
Menurut ibu JS yang menjadi kendala baginya tidak memiliki waktu membimbing anak dan melihat perkembangan mental anak. Menurut
wawancara dengan ibu JS:
145
“Ganup ari lao ahu tu pasar pukul 03.00 manogot, dakdanak modom dope, alani i, ndang sanga be hubereng toho do manang ndang
dakdanak on laho tu sikola. Ndang adong tingkiku parade sipanganon dohot mamareso dakdanak. Amanta pe dohot do karejo
tu pasar, jadi laos holan dakdanak i do di jabu.”
Responden berangkat ke pasar sekitar pukul 03.00 dini hari beserta suami, sehingga tidak punya waktu untuk mempersiapkan keperluan anak-anaknya
ke sekolah, dan oleh karenanya kurang waktu untuk membina mental si anak.
3.2.4. Masalah Psikologis Anak
Ibu JS punya anak 03.00 orang dan semuanya sudah sekolah. Anak pertama sekolah di tingkat SLTA, anak kedua dan ketiga sekolah di tingkat
SLTP. Ketiga anak ibu JS sudah remaja dan beranjak dewasa. Ibu JS menceritakan kondisi psikologis anaknya yang terganggu dengan keadaan
pekerjaannya itu. Anak-anak JS sebenarnya merasa malu dan minder di sekolah jika guru bertanya apa pekerjaan orang tuanya. Anaknya ini
cenderung diam tidak menjawab apa status pekerjaan orang tuanya. Pernah anak-anak ibu JS tersebut memohon kepada ibunya agar berhenti dari
pekerjaannya karena malu. Dari hasil penelitian ibu JS mengatakan:
147
“Naeng maradi nama ahu na marpasar on secara bertahap. Nunga huorui be
145
Wawancara dengan Ibu JS.
147
Ibid.
55
godang ni nasabah di pasar. Annon dung maradi ahu marpasar, naeng mambahen kursus senam nama, asa unang maila dakdanak on.”
Ibu JS berusaha untuk beralih dari profesi rentenir ini hanya demi kenyamanan dan perkembangan psikologis anak-anaknya. Sebenarnya ibu JS
sulit untuk meninggalkan bisnis ini. Anak-anak ibu JS merasa malu dan minder tentang pekerjaan orang tuanya adalah karena stigma yang melekat
pada rentenir ini, bahwa rentenir adalah pekerjaan yang sadis, kasar, eksploitasi, jauh dari kejujuran, ketidakadilan, serta kurangnya waktu untuk
membina mental anak. Menurut pengakuan responden ibu HS:
146
“Molo hami na marpasar on holan na margabus do tu nasabah i, mangotootoi. Nidok baru 10 hali dope dibayar nasabah, hape nunga
12 hali, ai so adong catatan ni nasabah i.”
Dari pengakuan ibu HS ini, bahwa pekerjaan rentenir itu pekerjaan yang selalu berbuat yang tidak jujur pada nasabah karena nasabah tidak punya
catatan tersendiri. Dari kondisi pekerjaan inilah maka anak-anak perempuan rentenir ini merasa minder di lingkungannya dan malu untuk mengakui status
pekerjaan orang tuanya.
3.3. Analisa Terhadap Permasalahan Perempuan Rentenir Ditinjau dari