3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas
Thouless 2000 membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas sebagai berikut:
a. Faktor Sosial, mencakup semua pengaruh sosial dalam
perkembangan keagamaan, termasuk pendidikan dari orang tua sejak masa kanak-kanak, tradisi-tradisi sosial yang
diterima dari masa lampau, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap
yang disepakati oleh lingkungan. b.
Faktor Alami, berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap keagamaan. Terutama pengalaman
mengenai keindahan, konflik moral dan pengalaman emosional keagamaan yang berbeda pada setiap individu.
Faktor ini umumnya berupa pengalaman spiritual yang secara cepat dapat mempengaruhi perilaku individu.
c. Faktor Kehidupan, dimana secara garis besar, kebutuhan –
kebutuhan dalam kehidupan yang mempengaruhi religiusitas yaitu: kebutuhan akan keamanan atau keselamatan,
kebutuhan akan cintakasih, kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan kebutuhan yang timbul karena adanya
ancaman kematian. d.
Faktor Intelektual, berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi. Kemampuan berpikir
Universitas Sumatera Utara
dalam bentuk kata-kata dan menggunakannya sebagai alat untuk membedakan yang benar dan yang salah merupakan
keberhasilan menusia yang bisa diharapkan pengaruhnya terhadap perkembangan tingkat religiusitas.
C. Religiusitas Suku Batak Toba
Suku Batak merupakan salah satu dari ratusan suku yang ada di Indonesia. Suku bangsa Batak Toba merupakan salah satu dari enam suku
bangsa Batak yang terdiri dari Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak PakpakDairi, Batak Mandailing, dan Batak Angkola Bangun dalam
Koentjaraningrat, 2002. Suku Batak memiliki nilai-nilai budaya yang mencakup segala aspek
kehidupan masyarakatnya, salah satu diantaranya adalah religi. Religi merupakan kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama
yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya Harahap
Siahaan, 1997. Sebelum suku Batak Toba mengenal dan menganut agama dari luar,
masyarakat suku Batak Toba mempunyai agama tradisional yakni sistem kepercayaan tentang Mulajadi Nabolon, yang merupakan harmoni atau
kesatuan dari tiga unsur yang berbeda. Istilah yang digunakan untuk totalitas ketiganya dalam bahasa Batak Toba disebut dengan Debata Natolu
Pederson, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Adapun ketiga unsur tersebut antara lain: a.
Tondi, yaitu jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan. Oleh karena itu, tondi didapatkan sejak di dalam kandungan dan memberi
nyawa kepada manusia. Tondi berdiam dalam seluruh bagian tubuh sehingga bersifat integral satu sama lain dan bukanlah satuan-satuan
yang terpisah. Seluruh kehidupan beragama masyarakat Batak Toba, yang mencari kesejahteraan hidup, dipenuhi dengan merawat tondi-
nya menurut perilaku yang terkadang berubah-ubah. b.
Sahala, yaitu jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala.
Sahala dapat berarti sikap wibawa, kefasihan berbicara,
penghormatan, keberanian yang menjadi sumber kekuatan atau kekuasaan.
c. Begu, yaitu tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama
dengan tingkah laku manusia, namun hanya muncul pada malam hari. Dengan demikian, kebudayaan agama Batak Toba merupakan suatu
gambaran totalitas dari berbagai unsur yang menjadi bagian tidak terpisahkan satu sama lain.
Peranan keluarga dekat diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pemberi pesan religi melalui ungkapan tradisional. Keluarga dekat
termasuk dalam unsur-unsur Dalihan na Tolu, dimana yang berperan di dalamnya adalah laki-laki dan perempuan yang telah lanjut usia. Mereka
dianggap memiliki pengalaman, pengetahuan yang lebih luas serta arif dan
Universitas Sumatera Utara
bijaksana. Pemberian pesan tersebut biasa dilakukan dalam 3 tiga situasi penting yaitu kelahiran, pernikahan, dan kematian Harahap Siahaan,
1997. Dalam budaya Batak Toba, agama tidak dapat dipilih optional.
Kepercayaan dan praktek kerohanian yang diterima tidak hanya diterima begitu saja sebagai sesuatu yang sudah semestinya, namun juga dipelajari
dengan cara yang sama dengan mempelajari pola-pola kebudayaan lainnya Tampubolon, 1985.
Dalam suku Batak Toba, agama yang dianut pada umumnya adalah Kristen. Pada beberapa gereja, masyarakat suku Batak Toba tidak
menghapus identitas mereka sebagai orang Batak, melainkan memperkokohnya. Hal ini dapat dilihat dalam tata cara ibadah Minggu di
HKBP Huria Kristen Batak Protestan, yang merupakan gereja Batak terbesar di dunia saat ini, menggunakan Bibel Alkitab dalam bahasa Batak,
Buku Ende sebagai pedoman lagunyanyian dalam bahasa Batak Toba, serta bahasa Batak Toba sebagai bahasa pengantar dalam penyampaian khotbah.
Di gereja pun masyarakat Batak Toba dapat bertemu secara teratur, baik membicarakan hal-hal yang bersifat agamawi, maupun membahas masalah-
masalah sosial budaya masyarakat Batak Toba yang ada di sekitar tempat tinggal mereka Harahap Siahaan, 1997.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka religiusitas dan budaya Batak Toba menjadi kesatuan yang mendukung masyarakatnya untuk tetap dapat
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan budaya yang telah ada seiring dengan melakukan praktek kerohanian dalam kehidupan sehari-hari.
D. Pensiun
1. Definisi Pensiun