BAB II LANDASAN TEORI
A. Psychological Well Being PWB
1. Definisi
Psychological Well Being PWB
Psychological Well Being PWB merupakan integrasi dari teori- teori perkembangan manusia, teori psikologi klinis dan konsep mengenai
kesehatan mental Ryff, 1989. Psychological Well Being PWB sebagai suatu kondisi dimana seorang individu memiliki tujuan dalam hidupnya
agar lebih bermakna, menyadari potensi-potensi yang dimiliki, menciptakan dan mengatur kualitas hubungannya dengan orang lain,
sejauh mana mereka merasa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri, serta berusaha mengembangkan dan mengeksplorasi dirinya.
Menurut Ryff 1989 gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers
tentang orang yang berfungsi penuh fully-functioning person, pandangan Maslow tentang aktualisasi diri self actualization,
pandangan Jung tentang individuasi individuation, konsep Allport tentang kematangan maturity, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam
menggambarkan individu yang mencapai integration vs despair. Menurut Bradburn dalam Ryff Keyes, 1995 Psychological
Well Being PWB merujuk kepada segala aktifitas yang dilakukan oleh individu yang berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai dari kondisi mental negatif kepada kondisi mental yang positif.
Berdasarkan uraian diatas, maka Psychological Well Being PWB dapat didefinisikan sebagai istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif, seperti sejauh mana seorang individu
memiliki tujuan dalam hidupnya, apakah mereka menyadari potensi- potensi yang dimiliki, kualitas hubungannya dengan orang lain, sejauh
mana mereka merasa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri, serta berusaha mengembangkan dan mengeksplorasi dirinya.
2. Dimensi-Dimensi
Psychological Well Being PWB
Ryff dalam Ryff, 1989; Ryff Keyes, 1995 merumuskan 6 enam dimensi Psychological Well Being PWB, antara lain:
a. Dimensi penerimaan diri self-acceptance
Self-acceptance berhubungan dengan penerimaan diri individu pada masa kini dan masa lalunya, serta sikap positif terhadap diri
sendiri Ryff, 1989. Seorang individu memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi
penerimaan diri jika ia memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri, menerima dan menghargai berbagai aspek dalam dirinya,
baik kualitas diri yang baik maupun buruk. Disamping itu, seorang individu memiliki nilai penerimaan diri yang tinggi juga dapat
Universitas Sumatera Utara
melihat dan merasakan masa lalunya dengan perasaan yang positif Ryff, 1995.
Sebaliknya, individu memiliki nilai yang rendah dalam dimensi penerimaan diri jika ia merasa kurang puas terhadap dirinya
sendiri, kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya di masa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya
dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri Ryff, 1995.
b. Dimensi hubungan yang positif dengan orang lain positive
relations with others Dimensi yang mencakup ketabahan dan kesenangan yang berasal
dari hubungan dalam kelekatan dan perasaan cinta dengan orang lain. Membina hubungan yang hangat dengan orang lain
merupakan salah satu dari criterion of maturity yang dikemukakan oleh Allport Ryff, 1989. Teori perkembangan manusia juga
menekankan intimacy dan generativity sebagai tugas utama yang harus dicapai oleh manusia dalam tahap perkembangan tertentu.
Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi hubungan yang positif dengan orang lain mampu membina
hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan. Selain itu, individu tersebut mempunyai kepedulian akan kesejahteraan orang lain,
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan empati, intimitas, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam suatu hubungan Ryff, 1995.
Sebaliknya, seseorang yang memiliki nilai yang rendah dalam dimensi hubungan yang positif dengan orang lain ditandai dengan
tingkah laku yang tertutup, sulit untuk bersikap hangat dan peduli terhadap orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina
hubungan interpersonal, serta tidak ingin berkompromi dan mempertahankan hubungan dengan orang lain Ryff, 1995.
c. Dimensi otonomi autonomy
Roger dalam Ryff, 1989 mengemukakan bahwa seseorang dengan fully functioning digambarkan sebagai seorang individu yang
memiliki internal locus of evaluation, dimana ia tidak selalu membutuhkan pendapat dan persetujuan dari orang lain, melainkan
mampu mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar personal. Teori perkembangan memandang otonomi sebagai rasa kebebasan
seseorang untuk terlepas dari norma-norma yang mengatur kehidupan sehari-hari.
Seseorang dengan nilai otonomi yang tinggi dapat menentukan segala sesuatu seorang diri dan mandiri. Individu mampu
mengambil keputusan tanpa campur tangan orang lain, memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur
Universitas Sumatera Utara
tingkah laku dari dalam diri, serta mampu mengevaluasi diri dengan standar personal Ryff, 1995.
Sebaliknya, seseorang dengan nilai otonomi yang rendah, akan sangat mempertimbangkan evaluasi dari orang lain, bergantung
pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial Ryff, 1995.
d. Dimensi penguasaan lingkungan environmental mastery
Allport dalam Ryff, 1989 mengemukakan bahwa individu yang matang akan mampu berpartisipasi dalam aktivitas diluar dirinya.
Dalam teori perkembangan disebutkan bahwa individu dewasa yang sukses adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk
menciptakan perubahan-perubahan yang dinilai perlu pada lingkungan melalui aktifitas fisik dan mental serta mengambil
manfaat dari lingkungan tersebut. Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi pada dimensi
penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan, dapat mengendalikan berbagai aktivitas
eksternal, mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai- nilai pribadi Ryff, 1995.
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya, seseorang yang memiliki nilai yang rendah pada dimensi penguasaan lingkungan akan mengalami kesulitan dalam
mengatur situasi, tidak mampu meningkatkan kualitas lingkungannya, kurang peka terhadap kesempatan yang ada, serta
kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan Ryff, 1995.
e. Dimensi tujuan hidup purpose in life
Allport dalam Ryff, 1989 mengemukakan bahwa salah satu ciri kematangan individu adalah memiliki tujuan hidup, yakni rasa
keterarahan sense of directedness dan rasa bertujuan intentionality. Selain itu, Rogers dalam Ryff, 1989
mengemukakan bahwa fully functioning person memiliki tujuan dan rasa keterarahan yang membuat dirinya merasa bahwa hidup
ini bermakna. Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi tujuan
hidup memiliki rasa keterarahan, mampu merasakan arti dari masa lalu dan masa kini, memiliki keyakinan akan tujuan hidup, serta
memiliki target yang ingin dicapai Ryff, 1995. Sebaliknya, seseorang yang memiliki nilai yang rendah dalam
dimensi tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, rasa keterarahan, dan keyakinan akan tujuan hidup, serta tidak melihat
makna yang terkandung dalam kejadian di masa lalu Ryff, 1995.
Universitas Sumatera Utara
f. Dimensi pertumbuhan pribadi personal growth
Kebutuhan akan aktualisasi diri dan menyadari potensi diri merupakan perspektif utama dari dimensi pertumbuhan dri.
Keterbukaan akan pengalaman baru merupakan salah satu karakteristik dari fully functioning person Ryff, 1989. Teori
perkembangan juga menekankan pada pentingnya manusia untuk bertumbuh dan menghadapi tantangan baru dalam setiap periode
pada tahap perkembangannya. Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi
pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya pertumbuhan yang berkelanjutan dalam dirinya, terbuka terhadap pengalaman-
pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menaydari potensi yang dimiliki, merasakan adanya peningkatan yang terjadi pada diri
dan tingkah lakunya, serta dapat berubah menjadi individu yang lebiih efektif melalui pengetahuan yang terus bertambah Ryff,
1995. Sebaliknya, seseorang yang memiliki nilai yang rendah dalam
dimensi pertumbuhan pribadi akan mengalami stagnasi, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa
tidak mampu mengembangkan sikap dan tingkah laku ke arah yang lebih baik Ryff, 1995.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi