EFEKTIFITAS PROGRAM LAYANAN RAKYAT UNTUK SERTIFIKASI TANAH (LARASITA) DALAM RANGKA MEWUJUDKAN TERTIB ADMINISTRASI PERTANAHAN (Studi Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara)

(1)

ABSTRAK

EFEKTIFITAS PROGRAM LAYANAN RAKYAT UNTUK SERTIFIKASI TANAH (LARASITA) DALAM RANGKA MEWUJUDKAN TERTIB

ADMINISTRASI PERTANAHAN

(Studi Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara) Oleh:

Syamsi Mayrie Badaruddin

Larasita adalah kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa keadilan yang diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh masyarakat. Larasita dibangun dan dikembangkan untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria, yang kemudian pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Kepala BPN RI No. 18 Tahun 2009 tentang Larasita BPN RI. Kabupaten Lampung Utara merupakan salah satu daerah yang telah melaksanakan program Larasita sejak tahun 2010. Karena itu menarik untuk diketahui dan dianalisis efektifitas pelaksanaan program tersebut. Pendekatan ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, pengamatan dan dokumentasi. Analisis data menggunakan model interaktif yang terdiri dari tiga hal yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Efektifitas pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara akan dilihat dari lima hal, diantaranya: (1) Kompetensi sumber daya manusia (SDM) aparatur Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara; (2) Sarana pra sarana yang dimiliki untuk melaksanakan program Larasita; (3) Prosedur dan sosialisasi pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara; (4) Kesesuaian hasil dengan tujuan program Larasita; (5) Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita. Berdasarkan pengumpulan data dan pengamatan di lapangan maka dapat diketahui pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara belum efektif, hal ini disebakan karena beberapa faktor yaitu: Pertama, kurangnya kompetensi tim pelaksana program Larasita sehingga belum menimbulkan antusias masyarakat dalam membuat sertifikat hak atas tanah. Kedua, minimnya sarana dan pra sarana program Larasita yang dimiliki sehingga kendaraan Larasita hanya mampu melayani permohonan sertifikasi hak atas tanah saja, sedangkan untuk proses selanjutnya hingga terbitnya sertifikat dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara. Ketiga, sosialisasi yang kurang maksimal sehingga sampai sekarang masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui apakah Larasita tersebut. Keempat, pelaksanaan Larasita masih dirasakan masyarakat memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tidak murah, serta sistem jemput bola yang dijanjikan dirasakan masyarakat jarang dilakukan. Kata Kunci: Efektifitas, Program, Administrasi Pertanahan.


(2)

(3)

I. PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Pada hakekatnya, pemerintah adalah pelayan masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Fungsi pelayan masyarakat adalah fungsi fundamental yang harus diemban pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Fungsi ini juga diemban oleh BUMN/BUMD dalam memberikan dan menyediakan layanan jasa dan atau barang publik. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang baik dan profesional seperti yang tercantum dalam Kepmenpan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Pelayanan publik yang dihasilkan oleh pemerintah berupa tersedianya barang dan jasa. Barang dan jasa yang dihasilkan semata-mata untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Oleh karena itu, setiap institusi pemerintah harus memiliki agenda pelayanan yang jelas, meliputi jenis-jenis pelayanan publik apa yang akan diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bagaimana memberikannya, siapa yang perlu dilibatkan, dan sebagainya. Dalam


(4)

penyusunan agenda pelayanan tersebut, keterlibatan masyarakat dan pihak swasta menjadi suatu kebutuhan yang tak terhindarkan dalam rangka menghasilkan institusi pemerintah yang berorientasi pada penciptaan kesejahteraan serta kemakmuran rakyatnya.

Namun, usaha membangun pelayanan publik yang baik bukanlah perkara mudah. Hingga saat ini masih banyak kita temui kisah-kisah ironi dari pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat. Jangankan pelayanan publik yang lebih cepat, lebih murah dan lebih baik (faster, cheaper, and better), standar pelayanan publik yang ada saja seringkali tidak mampu dipertahankan keberadaannya. Menurut Sinambela dkk (2006: 6) dalam Pasolong (2007: 13), mengatakan bahwa kualitas pelayanan prima tercermin dari: transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban. Sebaliknya, di bidang pelayanan publik, biaya ekstra atau pungutan liar merupakan gambaran sehari-hari yang umum terlihat pada kantor-kantor pelayanan masyarakat. Masyarakat dapat melihat dengan kasat mata dan merasakan praktik korupsi yang semakin marak dan meluas. Lihat saja pada saat masyarakat mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Sertifikat Tanah, dan sebagainya. Laporan dan pengaduan pun banyak mengalir dari masyarakat.

Kondisi rendahnya kinerja pelayanan publik yang dilakukan pemerintah tersebut tentu saja disebabkan karena berbagai faktor, diantaranya karena cakupan wilayah pelayanan yang sangat luas, banyaknya jenis pelayanan yang harus disediakan,


(5)

terbatasnya dana bagi penyediaan pelayanan umum, kurangnya supervisi maupun ketiadaan pedoman dari pemerintah, serta beragamnya kondisi sosial ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya dari para pengguna pelayanan umum sendiri.

Pelayanan publik di Indonesia selalu meninggalkan kesan yang kurang baik bagi masyarakat pengguna. Proses pelayanan yang super pelik, waktu penyelesaian yang lambat, ketidakramahan para pelayan masyarakat dan wajah para pelayan masyarakat yang jarang sekali tersenyum adalah gambaran yang akan terlintas bagi para pencari pelayanan publik menjadi menu sehari-hari dan menjadi bahan kritikan dan analisis oleh para pengamat dan akademisi. Semua masalah tersebut bisa dikatakan sebagai suatu ketidakramahan birokrasi. Dalam keadaan ini, definisi pelayanan publik menjadi tidak bermakna karena kata tidak adanya unsur pelayanan.

Salah satu jenis pelayanan yang memprihatinkan adalah pelayanan sertifikasi tanah. Tanah makin lama, makin banyak yang tersangkut masalah perekonomian seperti jual beli tanah, dan tanah sebagai jaminan kredit di Bank. Didalam kehidupan sehari-hari sertifikat tanah seringkali menjadi persengketaan bahkan sampai ke sidang pengadilan. Hal ini timbul karena tanah mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, yang membuat masyarakat berusaha untuk memperoleh tanah dengan berbagai cara bahkan dengan menyerobot tanah milik orang lain. Tanah merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam kehidupan manusia atau harta kekayaan tidak bergerak yang paling vital dan banyak diminati oleh setiap warga, khususnya di Indonesia yang sebagian besar penduduknya hidup disektor pertanahan (Sutedi, 2011: 1).


(6)

Masalah pertanahan dari dulu sampai sekarang merupakan masalah yang sering terjadi dan penyelesaiannya kadang berakhir dengan sengketa. Baik yang langsung berhubungan dengan pengadilan maupun sebatas pada keluarga sendiri yang hanya disebabkan oleh masalah atas status hak kepemilikan. Hal tersebut merupakan dampak dari perkembangan pembangunan yang membutuhkan sebagian dari tanah warga dan meningkatnya jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan luas tanah.

Akibat adanya persengketaan di bidang pertanahan dapat menimbulkan konflik-konflik yang berkepanjangan antarwarga masyarakat yang bersengketa, bahkan sampai ke ahli warisnya, yang dapat menimbulkan banyak korban. Kesemuanya bermula dari pertanyaan-pertanyaan tentang siapakah yang lebih berhak atas tanah tersebut, sehingga para pihak berlomba-lomba membuktikan bahwa merekalah yang lebih berhak atas tanah tersebut.

Berhubungan dengan hal itu, makin lama makin terasa perlu adanya jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas kepemilikan tanah. Untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, maka masyarakat perlu mendaftarkan tanah guna memperoleh sertifikat hak atas tanah yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah. Untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah, dilaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah negara Indonesia yang meliputi: pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; pendaftaran hak-hak atas tanah dan perolehan hak-hak tersebut; pemberian surat-surat tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (Sutedi, 2011: 3).


(7)

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 19 ayat (1) menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah (Sutedi, 2011: 277). Peraturan juga diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Kegiatan pendaftaran tanah tersebut meliputi: pengukuran, pemetaan, pembukuan tanah dan pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak.

Selanjutnya dalam Sutedi (2011: 3) menyebutkan pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah di Indonesia bertujuan untuk: memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah; menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan; terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Sertifikat tanah juga memiliki fungsi diantaranya pertama, sertifikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat. Inilah fungsi yang paling utama sebagaimana disebut dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA. Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas suatu bidang tanah. Apabila telah jelas namanya tercantum dalam sertifikat itu. Dia pun dapat membuktikannya mengenai keadaan-keadaan dari tanahnya itu, misalnya luas, batas-batasnya, bangunan-bangunan yang ada, jenis haknya beserta beban-beban yang ada hak atas tanah itu, dan sebagainya. Semua keterangan yang


(8)

tercantum dalam sertifikat itu mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak ada bukti lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Kedua, sertifikat hak atas tanah memberikan kepercayaan bagi pihak bank/kreditor untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya. Dengan demikian, apabila pemegang hak atas tanah itu seorang pengusaha misalnya, sudah tentu akan memudahkan baginya mengembangkan usahanya itu karena kebutuhan akan modal mudah diperoleh. Ketiga, bagi pemerintah, adanya sertifikat hak atas tanah juga sangat menguntungkan walaupun kegunaan itu kebanyakan tidak langsung. Adanya sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa tanah yang bersangkutan secara lengkap telah tersimpan dikantor pertahanan, dan apabila sewaktu-waktu diperlukan dengan mudah diketemukan. Data ini sangat penting untuk perencanaan kegiatan pembangunan misalnya pengembangan kota, pemasangan pipa-pipa irigasi, kabel telepon, penarikan pajak bumi dan bangunan, dan sebagainya (Sudjito, 1987: 72).

Beberapa kendala penerbitan sertifikat hak atas tanah adalah terjadinya berbagai pungutan atau korupsi dalam sertifikat tanah. Pensertifikatan tanah bisa berjalan cepat, tergantung pada siapa yang menginginkan dan “berapa” uang yang disediakan. Dalam praktik, sertifikat tanah dapat dengan cepat keluar apabila yang berkepentingan menyediakan biaya yang jumlahnya jauh lebih besar dari biaya resmi yang tertulis di dalam kuitansi, atau jika kepengurusannya menggunakan memo dari orang kuat. Fenomena pensertifikatan tanah yang berbau KKN seperti ini bukan hanya terjadi di kantor BPN namun disinyalir sejak mulai dari padukuhan dan desa/kelurahan. Yang menjadi korban umumnya orang kecil yang secara mental masih menganggap aparat pemerintah bukan pelayan masyarakat melainkan tuan yang harus dijamu dan dilayani (Sutedi, 2011: 37).


(9)

Selanjutnya Sutedi (2011: 187) menambahkan beberapa kendala proses pensertifikatan tanah, yang sepenuhnya belum dapat di atasi, yaitu terbatasnya tenaga ahli pengukuran dan pemetaan pada lingkungan pegawai negeri dalam lembaga BPN, kurang lengkapnya Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Standar Produk (SP), sering munculnya berbagai kasus sertifikat ganda yang diakibatkan oleh belum dipetakannya bidang-bidang tanah terdaftar dalam peta pendaftaran, kecilnya jumlah bidang tanah yang terdaftar, banyaknya peraturan pertanahan lain yang bersifat komponen (unit kerja) yang kemudian menimbulkan pelaksanaan pendaftaran tanah yang rumit dan lain-lain.

Disamping faktor-faktor tersebut terdapat juga faktor-faktor lain yang bersifat nonteknis yang juga melatarbelakangi, yakni adanya sikap instansi agraria yang bersikap pasif, menunggu kehadiran anggota masyarakat (pemegang hak atas tanah) yang berkeinginan untuk mendaftarkan hak atas tanahnya. Dengan cara kerja demikian, maka pekerjaan itu menjadi sangat lambat. Selain itu, dijumpai sementara oknum aparat yang mempunyai mentalitas tidak terpuji, tetapi justru membodohinya, yang karena tingkahnya itu timbul citra yang kurang baik terhadap instansi agraria (Sudjito, 1987: 6).

Mengingat begitu banyak kendala dalam penerbitan sertifikat tanah, kiranya Badan Pertanahan Nasional harus melakukan pembenahan secara menyeluruh dan tersistem untuk mengantisipasi permohonan sertifikat tanah. Rendahnya sertifikasi ini, tidak bisa dilepaskan dari peran Badan Pertanahan Nasional selaku lembaga yang memiliki otoritas dibidang sertifikasi. Sampai dengan tahun 2004, sertifikasi tanah baru 20% tanah di Indonesia yang memiliki sertifikat, ini jauh dibawah


(10)

standar negara lain seperti Filipina di mana sertifikasi tanah sudah mencapai 90%, dan Thailand 60%. Rendahnya sertifikasi tanah sudah menjadi perhatian Bank Dunia, dan lembaga internasional lainnya, karena minimnya pendataan tanah, sehingga sulit bagi Bank Dunia untuk melakukan perencanaan pembangunan di semua bidang, karena tanah sebagian besar tidak terdaftar. Rendahnya persentase sertifikat tanah inilah yang mendorong Badan Pertanahan Nasional dengan didukung Bank Dunia beberapa waktu lalu menerapkan program nasional agraria yang memberikan kemudahan memperoleh sertifikat tanah bagi masyarakat yang finansialnya terbatas. Sayangnya program ini tidak bisa menaikkan persentase sertifikasi tanah secara signifikan. Selain menyangkut rendahnya sertifikasi tanah, pembangunan perumahan juga memicu terjadinya konflik tanah (Dorodjatun: www.kapanlagi.com).

Kebijakan pendaftaran tanah harus dilakukan secara terencana, berkesinambungan, dan komprehensif, melalui cara-cara sebagai berikut: mengembangkan sistem pendaftaran tanah yang efektif dan efisien sebagai upaya memberikan jaminan kepastian hak dan perlindungan hukum sebagai pemegang hak, mewajibkan pendaftaran atas semua jenis hak atas tanah dan melakukan pencatatan yang berkaitan dengan hak atas tanah, penataan infrastruktur pendaftaran tanah dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, penyederhanaan prosedur dan proses pendaftaran tanah, menyusun dan menetapkan SOP dan SP, melakukan percepatan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, penataan program sertifikasi tanah yang ada, peningkatan profesionalisme sumber daya manusia di bidang pertanahan (www.bktrn.com).


(11)

Melihat kondisi tersebut, BPN harus memiliki kemampuan untuk melakukan inovasi dan perubahan. Sistem kerja birokrasi pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah didorong untuk menuju kearah yang lebih baik. Pemerintah harus membuka ruang yang luas bagi terciptanya inovasi dan perubahan dalam pengelolaan sumber daya pemerintahan dan pembangunan sedemikian rupa untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel, transparan dan bertanggungjawab, serta pelayanan masyarakat yang cepat, murah, baik, dan mampu memenuhi kebutuhan riil masyarakat.

Salah satu inovasi yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional adalah mengusung sebuah program bertajuk Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah). Larasita, merupakan kantor pertanahan bergerak (mobile) yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sama dengan yang berlaku di kantor pertanahan. Larasita beroperasi dengan sistem “jemput bola” langsung mendatangi masyarakat. Kantor pertanahan bergerak ini merupakan sebuah mobil yang dilengkapi dengan fasilitas teknologi informasi online untuk melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan pertanahan. Konsepnya yang mendatangi warga memungkinkan bentuk-bentuk pelayanan yang mudah dijangkau, murah, efisien dan praktis untuk masyarakat.

Larasita adalah kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa keadilan yang diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh masyarakat. Larasita dibangun dan dikembangkan untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria, yang kemudian pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Kepala BPN RI No. 18 Tahun 2009 tentang Larasita BPN RI. Rencana


(12)

strategis ini diuraikan lagi menjadi 11 Agenda Kebijakan BPN RI dengan dua diantaranya adalah membangun Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia, serta membangun database pemilikan dan penguasaan tanah skala besar. Munculah Larasita yang sekiranya mampu memenuhi dua di antara 11 Agenda Kebijakan tersebut. Rintisan awal pelaksanaan program Larasita adalah di Kabupaten Karanganyar. Nama Larasita diberikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Bapak DR. Ir. Joyo Winoto yang sekaligus meresmikan sistem pelayanan ini bersama Bupati Karanganyar Ibu Hj. Rina Iriani SR, S. Pd., M. Hum pada tanggal 19 Desember 2006 di Karanganyar.

Larasita adalah layanan kantor berjalan dengan menggunakan sistem komputerisasi untuk mempercepat pelayanan dan pembuatan sertifikat tanah masyarakat dengan mendatangi langsung rumah-rumah masyarakat diseluruh pelosok Indonesia. Pengembangan Larasita berangkat dari kehendak dan motivasi untuk mendekatkan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) dengan masyarakat, sekaligus merubah paradigma pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPN RI dari menunggu atau pasif menjadi aktif dan pro aktif, mendatangi masyarakat secara langsung.

Tujuan utama diluncurkannya program Larasita adalah percepatan sertifikasi tanah sehingga akan mampu mencegah dan menanggulangi konflik-konflik pertanahan yang acapkali bergulir di masyarakat. Lewat Larasita, pengurusan sertifikasi tanah lebih mudah dijangkau, murah, dan bebas dari usaha-usaha makelar atau percaloan yang selama ini selalu mewarnai proses pengurusan tanah


(13)

di Indonesia. Karena sistemnya yang “jemput bola” atau mendatangi warga, tentunya akan lebih banyak warga yang dapat dilayani terutama yang berada di pedalaman dan jauh dari perkotaan. Bahkan, untuk mereka dengan keterjangkauan daerah yang sulit, BPN menyediakan pula Larasita menggunakan mobil/motor. Inilah komitmen BPN RI yang memang ingin berubah dari kantor yang pasif menjadi pro aktif melayani masyarakat.

Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk melihat pelaksanaan program Larasita yang mobile ini di Kabupaten Lampung Utara. Seperti kita ketahui, bahwa Kabupaten Lampung Utara merupakan Kabupaten dimana tidak luput dari berbagai permasalahan didalamnya khususnya pelayanan publik terutama pelayanan pembuatan masalah sertifikat tanah. Kabupaten Lampung Utara memiliki luas tanah seluas 19.200 hektar tetapi luas tanah tersebut hanya sekitar 60% yang telah memiliki sertifikat (www.bpn.go.id). Hal itu dikarenakan oleh berbagai hal khususnya mengenai pelayanan pembuatan sertifikat tanah yang dilakukan oleh lembaga yang melaksanakannya yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dianggap masyarakat masih kaku, berbelit-belit, tidak transparan dan serta rentan akan percaloan sehingga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat enggan untuk mengurus sertifikat tanah mereka.

Masyarakat Lampung Utara mengeluhkan berbagai permasalahan pembuatan sertifikat tanah seperti ketidakjelasan waktu penyelesaian, ketidakjelasan biaya, serta ketidakjelasan masalah prosedur penyelesaian sengketa tanah yang terjadi. Seperti yang dikeluhkan masyarakat yang berdomisili di Kelurahan Kotabumi Udik lantaran sejak lima bulan terahir, sertifikat tanah mereka tak kunjung terbit,


(14)

dan tidak ada penyelesaian dari BPN Lampung Utara. Menyikapi hal ini, DPRD Lampung Utara meminta kepada BPN Lampung Utara untuk segera menyelesaikan permasalah sertifikat pertanahan yang ada di wilayah Lampung Utara, khususnya di kelurahan Kotabumi Udik yang sudah menjadi masalah. Karena dikhawatirkan persoalan ini tidak segera diselesaikan secepatnya, akan menimbulkan persoalan yang tidak diinginkan (Radarkotabumi.com).

Hal ini juga sesuai dengan yang diungkapkan oleh Supriyadi, salah satu warga

desa Bukit Kemuning Kecamatan Abung Tinggi, beliau menyatakan: “prosedur birokrasi di Kantor Pertanahan Lampung Utara yang berbelit-belit

membuat masyarakat terkadang enggan mengurus masalah KTP, Akte kelahiran dan sertifikat tanah. Selain itu juga kadang memakan waktu yang lama”(Radar Kotabumi).

Pernyataan senada ini juga sesuai dengan Herman warga desa Poncowolo, Kota Bumi Selatan, yang mengatakan:

“selain biayanya mahal, terkadang petugas yang mengurusi masalah tanah juga jarang ada di kantor, ada juga pelayanannya kadang kurang ramah terhadap masyarakat” (Radar Kotabumi).

DPRD Kabupaten Lampung Utara juga menyoroti kinerja Kantor Pertanahan Lampung Utara mengenai permasalahan program proyeksi Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara tahun 2008-2010 silam secara keseluruhan tercapai lebih dari 15.000 pelayanan pembuatan sertifikat. Untuk program nasional (prona) tercatat 1500, program daerah (proda) sebanyak 1000 pelayanan sertifikat. Sebagian besar dari program ini belum terealisasi (Radarkotabumi.com).

Kabupaten Lampung Utara memiliki daerah yang jauh terpisah dari pusat kota dan beberapa diantaranya memiliki medan yang relatif sulit dijangkau karena jalannya yang berliku-liku. Contohnya saja Kecamatan Abung Tinggi yang


(15)

terpisah ± 40 km dari pusat Kabupaten Lampung Utara dan lebih dekat ke Kabupaten Waykanan daripada Kabupaten Lampung Utara. Sedangkan untuk daerah Kecamatan Kotabumi Utara, terkenal merupakan daerah dengan jalan yang berliku-liku dan jarak yang jauh dari pusat kota. Keberadaan daerah-daerah ini yang jauh dari pusat kota tentunya menjadi masalah tersendiri bagi warga apabila ingin mengurus persoalan administrasi kependudukan. Selain jauh dan memakan waktu, penyebaran informasi administrasi kepada merekapun juga terbatas. Oleh karenanya, keberadaan Larasita yang secara proaktif mendatangi warga dengan sistem “jemput bola” memberikan kemudahan kepada warga untuk mengurus sertifikat tanah. Mudah, murah, cepat dan efisien. Fenomena tersebut kemudian coba peneliti angkat dalam penelitian ini untuk dapat menjawab seberapa efektifkah keberadaan program Larasita dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat untuk mempermudah proses pengurusan sertifikasi tanah. Penelitian ini berusaha mengkaji rangkaian proses dalam Larasita yang dilakukan dan dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara dalam rangka mewujudkan tujuan utamanya yaitu percepatan sertifikasi tanah demi terwujudnya tertib administrasi pertanahan.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

“Bagaimanakah efektifitas Program Larasita dalam rangka mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Kabupaten Lampung Utara?”


(16)

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan yaitu:

Untuk mengetahui dan menganalisis efektifitas program Larasita dalam rangka mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Kabupaten Lampung Utara.

D.Manfaat Penelitian

Penilitian ini dihararapkan memiliki manfaat, yaitu: 1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah keilmuan khususnya dalam bidang Manajemen Pelayanan Publik.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu untuk memberi masukan terhadap pemerintah dalam rangka mewujudkan tertib administrasi pertanahan.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan Pelayanan Publik 1. Pengertian Pelayanan

Menurut Sedarmayanti (2009: 243) pelayanan berarti melayani suatu jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam segala bidang. Pelayanan pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai aktifitas seseorang, sekelompok/dan organisasi baik langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan.

Monir (2003: 16) dalam Pasolong (2007: 128) mengatakan bahwa pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktifitas orang lain secara langsung. Sedangkan menurut Albrecht dalam Lovelock (1992) dalam Sedarmayanti (2009: 243) pelayanan adalah suatu pendekatan organisasi total yang menjadi kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan penggerak utama dalam pengoperasian bisnis.

2. Pengertian Pelayanan Publik

Pelayanan publik menurut Sinambela (2005: 5) dalam Pasolong (2007: 128) adalah sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.


(18)

Agung Kurniawan (2005: 6) dalam Pasolong (2007:128) mengatakan bahwa pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Definisi pelayanan publik menurut Kepmenpan No. 25 Tahun 2004 adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dala rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Kepmenpan No. 58 Tahun 2002 mengelompokkan tiga jenis pelayanan dari instansi pemerintah serta BUMN/BUMD. Pengelompokkan jenis pelayanan tersebut didasarkan pada ciri-ciri dan sifat kegiatan serta produk pelayanan yang dihasilkan, yaitu (1) pelayanan administratif, (2) pelayanan barang, (3) pelayanan jasa.

Jenis pelayanan administratif adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa pencatatan, penelitian, pengambilan keputusan, dokumentasi dan kegiatan tata usaha lainnya yang secara keseluruhan menghasilkan produk akhir berupa dokumen, misalnya sertifikat, ijin-ijin, rekomendasi, keterangan dan lain-lain. Misalnya jenis pelayanan sertifikat tanah, pelayanan IMB, pelayanan admnistrasi kependudukan (KTP, NTCR, akte kelahiran dan akte kematian).

Jenis pelayanan barang adalah pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan atau pengolahan bahan berwujud fisik termasuk distribusi dan penyampaiannya kepada konsumen langsung dalam suatu sistem.


(19)

Secara keseluruhan kegiatan tersebut menghasilkan produk akhir berwujud benda atau yang dianggap benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi penggunaannya.

Jenis pelayanan jasa adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa sarana dan pra sarana serta penunjangnya. Pengoperasiannya berdasarkan suatu pengoperasian tertentu dan pasti. Produk akhirnya berupa jasa yang mendatangkan manfaat bagi penerimanya langsung dan habis terpakai dalam jangka waktu tertentu.

Karakteristik pelayanan yang harus dimiliki organisasi pemberi pelayanan:

a. Prosedur pelayanan harus mudah dimengerti, mudah dilaksanakan, sehingga terhindar dari prosedur birokratik yang sangat berlebihan, berbelit-belit. b. Pelayanan diberikan dengan kejelasanan dan kepastian bagi pelanggan. c. Pemberian pelayanan diusahakan agar efektif efisien.

d. Pemberi pelayanan memberikan kecepatan dan ketepatan waktu yang ditentukan.

e. Pelanggan setiap saat mudah memperoleh informasi berkaitan pelayanan secara terbuka.

f. Dalam melayani, pelanggan diperlakukan motto: “customer is king and customer is always right” (Nisjar, 1997) dalam Sedarmayanti (2009: 244). Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan


(20)

kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.

Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan (welfare state). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1994) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelayanan publik dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat Thoha (1997).


(21)

Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahannya. Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi dalam Widodo, 2001). Arah pembangunan kualitas manusia tadi adalah memberdayakan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan krativitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.

Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis di atas, birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayanai, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha dalam Widodo, 2001). Dengan revitalitas birokrasi publik (terutama aparatur pemerintah daerah) ini, pelayanan publik yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenagan yang diberikan kepadanya dapat terwujud.


(22)

3. Kualitas Pelayanan Publik a. Definisi Kualitas

Menurut Pasolong (2007: 132) kualitas pada dasarnya merupakan kata yang menyandang arti relatif karena bersifat abstrak, kualitas dapat digunakan untuk menilai atau menentukan tingkat penyesuaian suatu hal terhadap persyaratan atau spesifikasinya. Bila persyaratan atau spesifikasi itu terpenuhi berarti kualitas sesuatu hal yang dimaksud dapat dikatakan baik, sebaiknya jika persyaratan tidak terpenuhi maka dapat dikatakan tidak baik. Dengan demikian, untuk menentukan kualitas diperlukan indikator. Karena spesifikasi merupakan indikator harus dirancang berarti kualitas secara tidak langsung merupakan hasil rancangan tidak tertutup kemungkinan untuk diperbaiki atau ditingkatkan.

Sedangkan menurut Fandy Tjiptono (2004: 2) kualitas adalah 1) kesesuaian dengan persyaratan/tuntutan, 2) kecocokan pemakaian, 3) perbaikan atau penyempurnaan keberlanjutan, 4) bebas dari kerusakan, 5) pemenuhan kebutuhan pelanggan sejak awal dan setiap saat, 6) melakukan secara benar sejak awal, 7) sesuatu yang bisa membahagiaan pelanggan. Kualitas (quality) menurut Montgomery dalam Supratmo (2001), “the extent to which products meet the requirement of people who use them”. Jadi suatu produk, apakah itu bentuknya barang atau jasa, dikatakan bermutu bagi seseorang kalau produk tersebut dapat memenuhi kebutuhannya.

b. Definisi Pelayanan Yang Berkualitas

Selanjutnya pelayanan yang berkualitas menurut Osborne dan Gebler (1995), serta Bloom (1981) dalam Pasolong (2007: 133) antara lain memiliki ciri-ciri seperti:


(23)

tidak prosedural (birokratis), terdistribusi dan terdesentralisasi, serta berorientasi kepada pelanggan.

Sinambela dkk. (2006: 6) dalam Pasolong (2007: 133) mengatakan bahwa kualitas pelayanan prima tercermin dari: transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak, dan keseimbangan hak dan kewajiban. Kasmir (2005: 31), mengatakan bahwa pelayanan baik adalah kemampuan seseorang dalam memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan standar yang ditentukan.

Pelayanan yang berkualitas atau pelayanan prima yang berorientas pada pelanggan sangat tergantung pada kepuasan pelanggan. Lukman (1999) dalam Pasolong (2007:134) menyebutkan bahwa suatu ukuran keberhasilan menyediakan pelayanan yang berkualitas (prima) sangat tergantung pada tingkat kepuasan pelanggan yang dilayani. Pendapat tersebut artinya menuju pada pelayanan eksternal, dari perspektif pelanggan, lebih utama atau lebih didahulukan apabila ingin mencapai kinerja pelayanan yang berkualitas.

Untuk dapat menilai sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk. Zeitham, Parasuraman dan Berry (1990) dalam Ratminto dan Winarsih (2005: 185) mengemukakan dalam mendukung hal tersebut, ada 10 (sepuluh) dimensi yang harus diperhatikan dalam melihat tolok ukur kualitas pelayanan publik, yaitu sebagai berikut :

a. Tangible, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi; b. Realiable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan


(24)

c. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap kualitas pelayanan yang diberikan;

d. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan;

e. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi; f. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan

masyarakat;

g. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus bebas dari berbagai bahaya dan resiko;

h. Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan; i. Communication, kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara,

keinginan atau aspirasi pelanggan sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat;

j. Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam kualitas pelayanan: a. Akurasi pelayanan

b. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan c. Tanggung jawab

d. Kelengkapan

e. Kemudahan dalam mendapatkan pelayanan f. Variasi model pelayanan

g. Pelayanan pribadi


(25)

Organisasi pelayanan publik mempunyai ciri public accuntability, dimana setiap warga negara mempunyai hak untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang mereka terima. Adalah sangat sulit untuk menilai kualitas suatu pelayanan tanpa mempertimbangkan peran masyarakat sebagai penerima pelayanan dan aparat pelaksana pelayanan itu. Evaluasi yang berasal dari pengguna pelayanan, merupakan elemen pertama dalam analisis kualitas pelayanan publik. Elemen kedua dalam analisis adalah kemudahan suatu pelayanan dikenali baik sebelum dalam proses atau setelah pelayanan itu diberikan.

Adapun dasar untuk menilai suatu kualitas pelayanan selalu berubah dan berbeda. Apa yang dianggap sebagai suatu pelayanan yang berkualitas saat ini tidak mustahil dianggap sebagai sesuatu yang tidak berkualitas pada saat yang lain. Maka kesepakatan terhadap kualitas sangat sulit untuk dicapai.

Kualitas dapat diberi pengertian sebagai totalitas dari karakteristik suatu produk (barang dan/atau jasa) yang menunjang kemampuan dalam memenuhi kebutuhan. Kualitas sering kali diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan atau sesuai dengan persyaratan atau kebutuhan.

4. Kriteria Kualitas Pelayanan

Menurut Sedarmayanti (2009: 253) prinsip menyiapkan kualitas pelayanan:

a. Terjamah: penampilan fasilitas fisik, peralatan, personal dan komunikasi material.

b. Handal: kemampuan membentuk pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan memiliki ketergantungan.


(26)

c. Pertanggungjawaban: rasa tanggungjawab terhadap mutu pelayanan. d. Jaminan : pengetahuan, perilaku, dan kemampuan pegawai.

e. Empati: perhatian perorangan pada pelanggan (Lovelock, 1992) dalam Sedarmayanti (2009: 253).

Selanjutnya, Sedarmayanti menyebutkan bahwa dimensi kualitas pelayanan adalah:

a. Reliability (handal), kemampuan untuk memberi secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/pelanggan. b. Responsiveness (pertanggungjawaban), kesadaran/keinginan membantu

konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat.

c. Assurance (jaminan), pengetahuan/wawasan, kesopanan santunan, kepercayaan diri dari pemberi pelayanan, respek terhadap konsumen. d. Emphaty (empati), kemauan pemberi layanan untuk melakukan

pendekatan, memberi perlindungan, berusaha mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen.

e. Tangibles (terjamah), penampilan pegawai dan fasilitas fisik lainnya, seperti: peralatan/pelengkapan yang menunjang pelayanan (Fitzsimmons, 1994) dalam Sedarmayanti (2009: 254).

Hambatan pengembangan sistem manajemen berkualiatas adalah: a. Ketiadaan komitmen dari manajemen.

b. Ketiadaan pengetahuan/kekurangpahaman tentang manajemen kualitas. c. Ketidakmampuan merubah tolak ukur.


(27)

e. Ketiadaan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.

f. Ketidakmampuan membangun learning organization yang memberikan perbaikan terus menerus.

g. Ketidakcocokan struktur organisasi dan departemen individu yang terisolisasi.

h. Ketidakcukupan sumberdaya.

i. Ketidaktepatan sistem penghargaan dan balas jasa bagi pegawai.

j. Ketidaktepatan mengadopsi prinsip manajemen kualitas ke dalam organisasi

k. Ketidakefektifan teknik pengukuran dan ketiadaan akses ke data dan hasil.

l. Berfokus jangka pendek dan menginginkan hasil tepat.

m.Ketidaktepatan dalam memberikan perhatian pada pelanggan internal dan eksternal.

n. Ketidakcocokan kondisi untuk implementasi manajemen kualitas.

o. Ketidaktepatan menggunakan pemberdayaan dan kerjasama (Masters, 1996 dalam Gaspersz, 1997) dalam Sedarmayanti (2009: 255).

5. Kelemahan-kelemahan dalam Manajemen Pelayanan Umum dan Pelayanan Perizinan

Menurut Ratminto (2006: 35) mengatakan bahwa terdapat beberapa kelemahan dari praktek manajemen pelayanan di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Sistem yang berlaku masih belum mengaitkan secara langsung prestasi kerja aparat dengan perkembangan karirnya. Dengan demikian, seorang pegawai yang prestasi kerjanya tidak bagus tetap dapat naik pangkat,


(28)

sementara pegawai yang prestasi kerjanya bagus dan memberikan pelayanan baik kepada masyarakat justru karirnya terhambat.

2. Sistem tersebut sudah dapat mengatasi hal-hal yang bersifat teknis manajerial, tetapi masih belum membenahi hal-hal yang bersifat strategis kebijakan. Untuk mengurus lebih dari satu pelayanan perizinan, masyarakat memang cukup datang ke unit pelayanan terpadu satu atap. Akan tetapi prosedur, jumlah kelengkapan persyaratan dan biaya yang harus dibayar masih tetap jumlahnya belum berubah.

3. Sistem manajemen tersebut juga belum disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga masih cukup banyak masyarakat yang belum mengetahui sistem dan prosedur pelayanan yang harus diikuti jika masyarakat hendak mengurus suatu izin. Akibatnya partisipasi katif masyarakat juga masih sangat rendah.

Selanjutnya Ratminto mengatakan bahwa berdasarkan analisis data dari media massa dan observasi diketahui bahwa hal yang paling penting dan essensial dalam peningkatan kualitas pelayanan adalah adanya kesetaraan hubungan masyarakat pengguna jasa dengan aparat yang bertugas memberikan jasa pelayanan. Pelayanan publik hanya akan menjadi baik atau berkualitas apabila masyarakat yang mengurus suatu jenis pelayanan tertentu mempunyai posisi tawar yang sebanding dengan posisi tawar petugas pemberi pelayanan.

Pentingnya kesetaraan posisi tawar petugas dan instansi pemberi layanan disatu sisi dengan masyarakat pengguna jasa disisi lainnya adalah mutlak untuk mewujudkan pelayanan perizinan yang berkualitas. Dengan demikian masyarakat


(29)

harus diberdayakan dan pemberi layanan harus dikontrol. Kontrol ini harus dilakukan pada semua instansi pemberi layanan, baik itu pemerintah, swasta atau LSM. Biasanya hanya instansi pemerintah saja yang ditengarai melakukan penyimpangan, padahal swasta dan LSM pun kerap melakukan hal yang sama.

Kesetaraan ini dapat diwujudkan apabila terdapat mekanisme exit dan voice. Mekanisme exit artinya pengguna jasa pelayanan mempunyai pilihan untuk menggunakan penyedia jasa layanan perizinan yang lain apabila dia tidak puas dengan sesuatu penyedia jasa. Apabila alternatif pengguna penyedia jasa layanan perizinan tidak memungkinkan, maka harus ada mekanisme voice. Mekanisme voice ini artinya pengguna jasa dapat menyampaikan atau mengekspresikan ketidakpuasannya terhadap pelayanan yang diberikan oleh instansi penyelenggara pelayanan perizinan. Jadi untuk mewujudkan kesetaraan hubungan agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan perizinan, yang harus dilakukan adalah: (a) memperkuat posisi tawar penggunan jasa layanan; (b) mengfungsikan mekanisme voice. Sedangkan faktor-faktor manajerial yang menjadi penentu kualitas pelayanan perizinan adalah: (a) adanya birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa; (b) terbangunnya kultur pelayanan dalam organisasi pemerintah untuk memberikan pelayanan perizinan; dan; (c) diterapkannya sistem yang mengutamakan kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa pelayanan. Dengan demikian kualitas pelayanan perizinan sangat dipengaruhi oleh lima hal, yaitu:

1. Kuatnya posisi tawar pengguna jasa pelayanan; 2. Berfungsinya mekanisme voice;


(30)

3. Adanya birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa;

4. Terbangunnya kultur pelayanan dalam organisasi pemerintah yang bertugas untuk memberikan pelayanan perizinan; dan

5. Diterapkannya sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat. Khususnya pengguna jasa pelayanan.

Manajemen pelayanan perizinan dan juga pelayanan umum atau pelayanan pemerintah harus mengoptimalkan berfungsinya kelima faktor tersebut agar dapat mewujudkan pelayanan yang tepat, cepat, murah dan efisien sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.

B.Tinjauan Efektifitas

Efektifitas yaitu suatu keadaan tercapainya tujuan yang diharapkan atau dikehendaki melalui penyelesaian pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Adapun pengertian efektifitas menurut para ahli diantaranya sebagai berikut:

Menurut Pasolong (2007: 9) efektifitas pada dasarnya berasal dari kata “efek” dan digunakan dalam istilah ini sebagai hubungan sebab akibat. Efektifitas dapat dipandang sebagai suatu sebab dari variabel lain. Efektifitas berarti tujuan yang telah direncanakan sebelumnya dapat tercapai atau dengan kata sasaran tercapai karena adanya proses kegiatan.

James L. Gibson dkk (1996: 38) dalam Pasolong (2007: 9), mengatakan bahwa efektifitas adalah pencapaian sasaran dari upaya bersama. Derajat pencapaian sasaran menunjukkan derajat efektifitas. Sedangkan Tjokroamidjojo (1987: 3)


(31)

dalam Pasolong (2007: 9) mengatakan bahwa efektifitas, agar pelaksanaan administrasi lebih mencapai hasil seperti direncanakan, mencapai sasaran tujuan yang ingin dicapai dan lebih berdaya hasil.

Selanjutnya Keban (2004: 140) dalam Pasolong (2007: 9) mengatakan bahwa suatu organisasi dapat dikatakan efektif bila tujuan organisasi atau nilai-nilai sebagaimana ditetapkan dalam visi tercapai. Nilai-nilai yang telah disepakati bersama antara para stakeholders dari organisasi yang bersangkutan.

Sedangkan pengertian efektivitas menurut Sumijo (2008:35) adalah sebagai berikut : “Efektifitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (OS), jika (OA) > (OS) disebut efektif ”.

Pengertian efektifitas menurut Ratminto (2006: 179) adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang, maupun misi organisasi. Akan tetapi pencapaian tujuan ini harus juga mengacu pada pada visi organisasi. Sedangkan Siagian (2001: 24) memberikan definisi sebagai berikut : “Efektifitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektifitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektifitasnya.Dari beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan dapat dilaksanakan secara tepat, efektif apabila pekerjaan tersebut dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan yang telah direncanakan.


(32)

Melihat keterangan dari para ahli di atas maka dapat peneliti simpulkan bahwa yang dimaksud dengan efektifitas adalah tercapainya hasil dan tujuan dari suatu organisasi atau program yang sebelumnya sudah ditentukan secara bersama-sama. Pencapaian tersebut dengan memanfaatkan segala sumber daya (manusia, anggaran) dan sarana prasarana yang tersedia atau yang dimiliki.

Dalam konteks penelitian ini yaitu efektifitas pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara maka peneliti akan melihat pencapaian Kantor Pertanahan Nasional Lampung Utara terhadap tujuan-tujuan dan sasaran program Larasita di Lampung Utara. Indikator yang akan peneliti ketahui dan analisis adalah:

1. Kompetensi sumber daya manusia (SDM) aparatur Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara pelaksana Tim Larasita, meliputi: kecerdasan, keterampilan, kecakapan dan sikap aparatur pemberi pelayanan.

2. Sarana pra sarana yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara untuk melaksanakan program Larasita, seperti: kendaraan, komputer dan peralatan yang berkenaan dengan kegiatan sertifikasi tanah.

3. Prosedur dan Sosialisasi pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara.

4. Kesesuaian hasil dengan tujuan program Larasita: Prosedur pelayanan yang cepat, waktu penyelesaian cepat dan tepat, biaya pelayanan murah, dan sistem pelayanan “jemput bola”.


(33)

5. Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara. Indikator ini akan dilihat dari jumlah warga/masyarakat yang telah mendapatkan sertifikat tanah melalui program Larasita dan jumlah masyarakat yang belum memiliki sertifikat tanah.

Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara. Indikator ini akan dilihat dari jumlah warga/masyarakat yang telah mendapatkan sertifikat tanah melalui program Larasita dan jumlah masyarakat yang belum memiliki sertifikat tanah.

C.Tinjauan Program Larasita 1. Pengertian Program

Konsep program menurut World Bank adalah usaha-usaha jangka panjang yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan pada suatu sector tertentu untuk mencapai beberapa proyek. Program juga dapat dipahami sebagai, kegiatan sosial yang teratur, mempunyai tujuan yang jelas dan khusus, serta dibatasi oleh tempat dan waktu tertentu. Program pembangunan dibagi atas proyek-proyek pembangunan (Reksopoetranto, 1985:77).

Program adalah rencana yang telah diolah dengan memperhatikan faktor-faktor kemampuan ruang waktu dan urutan penyelenggaraannya secara tegas dan teratur sehingga menjawab pertanyaan tentang siapa, dimana, sejauhmana dan bagaimana. Program juga merupakan tahap-tahap dalam penyelesaian yang berisi langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.


(34)

Kemudian menurut Sidu (2006: 60) adalah kegiatan pokok yang akan dilaksanakan organisasi untuk melaksanakan strategi yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 adalah kumpulan instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.

2. Pengertian Larasita

Pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Larasita adalah kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa keadilan yang diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh masyarakat. Larasita dibangun dan dikembangkan untuk mewujudnyatakan amat pasa 33 ayat (3) UUD Tahun 1945, Undang-Undang Pokok Agraria, serta seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan keagrariaan.

Pengembangan Larasita berangkat dari kehendak dan motivasi untuk mendekatkan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) dengan masyarakat, sekaligus merubah paradigm pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPN RI dari menunggu atau pasif menjadi aktif atau pro aktif, mendatangi masyarakat secara langsung. Larasita telah diuji cobakan pelaksanaannya dibeberapa kota/kabupaten yang setelah dilakukan evaluasi ternyata Larasita dapat diterapkan di seluruh Indonesia.


(35)

Larasita menjalankan tugas pokok dan fungsi yang ada pada kantor pertanahan. Namun sesuai sifatnya yang bergerak, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut diberikan pemberian atau pendelegasian kewenangan yang diperlukan guna kelancaran pelaksanaan di lapangan. Dengan demikian Larasita menjadi mekanisme untuk:

1. Menyiapkan masyarakat dalam pelaksanaan pembaharuan agrarian nasional (reforma agrarian);

2. Melaksanakan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;

3. Melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah terlantar;

4. Melakukan pendeteksian awal ditanah yang diindikasikan bermasalah; 5. Memfasilitasi penyelesaian tanah yang bermasalah yang mungkin

diselesaikan dilapangan;

6. Menyambungkan program BPN RI dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat; dan

7. Meningkatkan legalisasi asset tanah masyarakat.

Dengan Larasita, kantor pertanahan menjadi mampu menyelenggarakan tugas-tugas pertanahan dimanapun target kegiatan berada. Pergerakan tersebut juga akan memberikan ruang interaksi antara aparat BPN RI dengan masyarakat sampai pada tingkat kecamatan, kelurahan/desa, dan tingkat komunitas masyarakat, di seluruh wilayah kerjanya, terutama pada lokasi yang jauh dari kantor pertanahan.


(36)

Larasita menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada kantor pertanahan, dengan kekhususan pada jenis kegiatan sebagai berikut:

1. Melaksanakan secara lebih dini pengawasan dan pengendalian, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta melaksanakan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang diindikasikan terlantar;

2. Melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan sinkronisasi dan penyampaian informasi penatagunaan tanah dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) kabupaten/kota;

3. Memfasilitasi serta mendekatkan akses-akses untuk menciptakan sumber-sumber ekonomi baru dalam rangka menigkatkan kesejahteraan masyarakat;

4. Melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan identifikasi masalah, sengketa atau perkara pertanahan secara dini serta memfasilitasi upaya penanganannya;

5. Melakukan sosialisasi dan berinteraksi untuk menyampaikan informasi pertanahan dan program-program pertanahan lainnya serta menghubungkan kebutuhan masyarakat dengan program BPN RI; 6. Melaksanakan kegiatan legalisasi aset dan tugas-tugas pertanahan lain.

D. Kerangka Pikir

Larasita adalah kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa keadilan yang diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh masyarakat.


(37)

Larasita dibangun dan dikembangkan untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria, yang kemudian pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Kepala BPN RI No. 18 Tahun 2009 tentang Larasita BPN RI. Rencana strategis ini diuraikan lagi menjadi 11 Agenda Kebijakan BPN RI dengan dua diantaranya adalah membangun Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia, serta membangun database pemilikan dan penguasaan tanah skala besar. Munculah Larasita yang sekiranya mampu memenuhi dua di antara 11 Agenda Kebijakan tersebut. Rintisan awal pelaksanaan program Larasita adalah di Kabupaten Karanganyar. Nama Larasita diberikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Bapak DR. Ir. Joyo Winoto yang sekaligus meresmikan sistem pelayanan ini bersama Bupati Karanganyar Ibu Hj. Rina Iriani SR, S. Pd., M. Hum pada tanggal 19 Desember 2006 di Karanganyar.

Larasita adalah layanan kantor berjalan dengan menggunakan sistem komputerisasi untuk mempercepat pelayanan dan pembuatan sertifikat tanah masyarakat dengan mendatangi langsung rumah-rumah masyarakat diseluruh pelosok Indonesia. Pengembangan Larasita berangkat dari kehendak dan motivasi untuk mendekatkan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) dengan masyarakat, sekaligus merubah paradigma pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPN RI dari menunggu atau pasif menjadi aktif dan pro aktif, mendatangi masyarakat secara langsung.


(38)

Tujuan utama diluncurkannya program Larasita adalah percepatan sertifikasi tanah sehingga akan mampu mencegah dan menanggulangi konflik-konflik pertanahan yang acapkali bergulir di masyarakat. Lewat Larasita, pengurusan sertifikasi tanah lebih mudah dijangkau, murah, dan bebas dari usaha-usaha makelar atau percaloan yang selama ini selalu mewarnai proses pengurusan tanah di Indonesia. Karena sistemnya yang “jemput bola” atau mendatangi warga, tentunya akan lebih banyak warga yang dapat dilayani terutama yang berada di pedalaman dan jauh dari perkotaan. Bahkan, untuk mereka dengan keterjangkauan daerah yang sulit, BPN menyediakan pula Larasita menggunakan mobil/motor. Inilah komitmen BPN RI yang memang ingin berubah dari kantor yang pasif menjadi pro aktif melayani masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang efektifitas program Larasita yang ada di Kabupaten Lampung Utara. Efektifitas dari program Larasita ini akan peneliti ketahui melalui penelusuran beberapa hal yang menjadi persyaratan untuk tercapainya efektifitas suatu program. Dalam peneletian ini ada 5 (lima) poin yang akan menjadi tolak ukur dari program Larasita, diantaranya:

1. Kompetensi sumber daya manusia (SDM) aparatur Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara pelaksana program Larasita, meliputi: kecerdasan, keterampilan, kecakapan dan sikap aparatur pemberi pelayanan.


(39)

2. Sarana pra sarana yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara untuk melaksanakan program Larasita, seperti: kendaraan, komputer dan peralatan modern yang berkenaan dengan kegiatan sertifikasi tanah.

3. Prosedur dan sosialisasi pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara.

4. Kesesuaian hasil dengan tujuan program Larasita: Prosedur pelayanan yang cepat, waktu penyelesaian cepat dan tepat, biaya pelayanan murah, dan sistem pelayanan “jemput bola”.

5. Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara. Indikator ini akan dilihat dari jumlah warga/masyarakat yang telah mendapatkan sertifikat tanah melalui program Larasita dan jumlah masyarakat yang belum memiliki sertifikat tanah.

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Peraturan Kepala BPN RI No. 18 Tahun 2009 tentang Larasita BPN RI.

Pelaksanaan Program Larasita di Kabupaten Lampung Utara.

1. Kompetensi SDM 2. Sarana pra Sarana 3. Prosedur dan Sosialisasi

4. Kesesuaian hasil dan tujuan progra, 5. Output

Efektivitas Program Larasita


(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas dari program Larasita dalam rangka mewujudkan tertib administrasi pertanahan. Tipe penelitian ini merupakan penelitian yang bertipe deskriptif (menggambarkan), yakni jenis penelitian yang berupaya menggambarkan suatu fenomena atau kejadian dengan apa adanya (Moleong, 2006:5), hal tersebut didasarkan karena penelitian ini menghasilkan data-data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati, adapun tujuannya adalah untuk menggambarkan secara tepat mengenai suatu keadaan, sifat-sifat individu atau gejala kelompok tertentu.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena data-data yang dikumpulkan di lapangan adalah data-data yang berbentuk kata dan perilaku, kalimat, skema, dan gambar dengan latar belakang alamiah, manusia sebagai instrumen. Kemudian data-data tersebut digunakan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan fenomena sosial yang diteliti. Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2005:4), mendefinisikan metodelogi penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.


(41)

Penelitian ini dtekankan pada metode kualitatif deskriptif yang menekankan proses penelitian daripada hasil penelitian, sehingga bukan kebenaran mutlak yang dicari tetapi pemahaman menyeluruh dan mendalam tentang objek yang diteliti. Penelitian ini memberikan pemahaman mengenai efektifitas program Larasita dalam rangka mewujudkan tertib administrasi pertanahan. Melalui proses wawancara mendalam (indeptherview) kepada aktor-aktor yang terkait serta data-data lainnya yang peneliti dapatkan.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian merupakan pedoman untuk mengambil data apa saja yang relevan dengan permasalahan penelitian. Fokus harus konsisten dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang ditetapkan telebih dahulu. Fokus penelitian juga berfungsi sebagai pedoman dalam melakukan pembahasan terhadap hasil penelitian yang telah ditetapkan (Moleong, 2006: 92).

Penelitian ini akan menggunakan fokus yaitu pencapaian tujuan-tujuan dan sasaran program Larasita di Kabupaten Lampung Utara dengan memperhatikan bagaimana penggunaan sumber daya dan sarana pra sarana untuk melaksanakan program tersebut, dengan rincian sebagai berikut:

1. Kompetensi sumber daya manusia (SDM) aparatur Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara pelaksana program Larasita, meliputi: kecerdasan, keterampilan, kecakapan dan sikap aparatur pemberi pelayanan.


(42)

2. Sarana pra sarana yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara untuk melaksanakan program Larasita, seperti: kendaraan, komputer dan peralatan modern yang berkenaan dengan kegiatan sertifikasi tanah.

3. Prosedur dan sosialisasi pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara.

4. Kesesuaian hasil dengan tujuan program Larasita: Prosedur pelayanan yang cepat, waktu penyelesaian cepat dan tepat, biaya pelayanan murah, dan sistem pelayanan “jemput bola”.

5. Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara. Indikator ini akan dilihat dari jumlah warga/masyarakat yang telah mendapatkan sertifikat tanah melalui program Larasita dan jumlah masyarakat yang belum memiliki sertifikat tanah.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian. Lokasi yang menjadi tempat penelitian yaitu Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Lampung Utara. Alasan yang menjadi dasar dalam pemilihan lokasi penelitian Kantor Pertanahan di Kabupaten Lampung Utara adalah salah satu kantor wilayah BPN yang telah melaksanakan program Larasita. Selain itu Kabupaten Lampung Utara memiliki wilayah luas dan beberapa lokasi di Kabupaten Lampung Utara sukar untuk dijangkau, oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara. Pada penelitian ini peneliti akan


(43)

mengambil lokasi pada 2 (dua) kelurahan yang ada di Kabupaten Lampung Utara. Peneliti akan mewawancarai masyarakat di kelurahan tersebut yang peneliti anggap dapat memberikan informasi yang tepat.

D. Jenis Data

Sumber data yang utama dalam penelitian kualitatif adalah kata–kata dan tindakan. Selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal ini pada bagian ini jenis data dibagi ke dalam kata–kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto dan statistik (Lofland dalam Moleong, 2006: 157).

Data adalah bahan keterangan dalam suatu objek penelitian yang diperoleh. Sedangkan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung peneliti dari lapangan. Dalam penelitian ini data diperoleh melalui wawancara mendalam melalui tatap muka antara peneliti dan informan, dimana cara yang digunakan adalah purposive sampling yaitu pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tersebut antara lain paling mengetahui tentang informasi yang diharapkan oleh peneliti, dan memudahkan peneliti memasuki situasi sosial yang diteliti. Adapun wawancara mendalam dilakukan dengan informan yang memiliki data yang berkaitan dengan proses penerapan implementasi program Larasita di Kabupaten Lampung Utara diantaranya:


(44)

Tabel 3.1 Daftar Nama-nama Informan

No Nama Informan Keterangan

1 Drs. Merodi Sugarda Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten

Lampung Utara

2 Ir. Hendra Imron Penanggung Jawab dan Pengendali Kegiatan Larasita

3 Nirwanda, S.H Koordinator Pelayanan

4 Fuad Hasyim,S.H Administrasi Tekstual

5 Sapri Warga Rejoasari, Kotabumi Selatan

6 Jumairi Warga Rejosari, Kotabumi Selatan

7 Bowo Warga Tanjung Iman, Blambangan Pagar

8 Sigit Warga Tanjung Iman, Blambangan Pagar

9 Supono Warga Kembang Tanjung kecamatan Abung Selatan

10 Basri Zuhar Ketua RT di kelurahan Rejosari kecamatan Kotabumi Selatan 2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperlukan dalam penelitian untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari data primer. Data sekunder dapat berupa naskah, dokumen resmi, dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian ini berupa, surat-surat keputusan, data statistik, catatan-catatan, arsip-arsip, laporan kegiatan, foto– foto di lapangan, laporan kegiatan yang berkaitan dengan proses penerapan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara.

Tabel 3.2 Tabel Nama-nama Dokumen

No Nama Dokumen

1 Laporan Tahunan Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara tahun 2009 dan 2010

2 Peraturan Kepala BPN RI No 18 tahun 2009 tentang Larasita

3 Program kerja Kegiatan Larasita Tahun 2010

4 Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara tahun 2011


(45)

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan dalam mengumpulkan data agar pekerjaan peneliti lebih mudah dalam arti lengkap, sistematis, efektif sehingga hasil penelitian lebih mudah diolah nantinya. Dalam penelitian kualitatif yang menjadi intrumen atau alat selama penelitian berlangsung adalah peneliti itu sendiri. Dengan menggunakan alat panca indera melakukan pengamatan terhadap fenomena yang terjadi di tempat peneliti. Pada pelaksanaan penelitian, mulai dari proses memasuki lapangan, pengumpulan data dengan berprinsip bahwa peneliti adalah sebagai Human Instrument. Dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan alat bantu seperti kamera, tape recorder, dan lain–lain.

F. Proses dan Teknik Pengumpulan

Adapun tahapan–tahapan yang peneliti lakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Memasuki Lokasi Penelitian

Dalam tahap ini sebelum memasuki lokasi penelitian, terlebih dahulu peneliti melapor dan memperkenalkan diri pada aktor kunci di lokasi penelitian dengan membawa surat izin riset formal dari intitusi peneliti kemudian menunjukkan tanda pengenal dan identitas. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Purposive Sampling untuk mengumpulkan data dan informasi. Selain itu juga, peneliti mencoba untuk melakukan interaksi sebaik mungkin dengan informan kunci dan informan lainnya yang mengetahui banyak informasi untuk data primer terkait dengan


(46)

permasalahan utama penelitian. Selain itu data–data seperti dokumentasi dan arsip–arsip juga sangat peneliti butuhkan guna sebagai bukti dari kegiatan ini.

2. Ketika Berada di Lokasi Penelitian (Getting Along) dan Pengumpulan Data (Logging Data)

Pada tahap ini peneliti mencoba untuk mengenali karakteristik informan– informan penelitian ini dengan harapan peneliti mudah mengetahui apa yang menjadi maksud informasi yang diberikan informan terhadap peneliti. Sedangkan untuk teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Interview atau Wawancara Mendalam

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2006: 186).

Wawancara mendalam merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti. Dengan metode wawancara mendalam, peniliti dapat menghasilkan data yang lebih mendalam, terperinci dan gambaran jelas mengenai pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara.


(47)

b. Studi Dokumentasi

Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan sumber–sumber data sekunder yang behubungan dengan masalah penelitian yang ada di lokasi penelitian. Dokumen ini dapat berupa data– data penting termasuk gambar atau foto yang berkaitan pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara.

c. Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data melalui proses pengamatan. Pengamatan difokuskan pada jenis kegiatan dan peristiwa tertentu yang memberikan informasi dan pandangan benar-benar berguna (Moleong, 2006: 173). Observasi atau pengamatan dapat diklasifikasikan atas pengamatan melalui cara berperan serta dan tidak berperan serta. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi berperan serta, dimana peran peneliti sebagai pengamat diketahui oleh para subjek.

G. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa kualitatif, yaitu menganalisa data dengan cara menjelaskan dalam bentuk kalimat logis. Patton dalam Moleong (2006: 287), menyatakan bahwa analisis data adalah proses mengatur ukuran data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satu untaian dasar. Kemudian analisa data dilakukan secara bersama dengan jalan penelitian, analisa data akan dilakukan melalui tiga kegiatan analisa data:


(48)

1. Reduksi data

Reduksi data mencakup kegiatan mengihktiarkan adil pengumpulan data selengkap mungkin, memilah-milahnya ke dalam suatu konsep tertentu, kategori tertentu, atau tema tertentu. Reduksi data merupakan suatu analisa yang menajamkan, menggolongkan dan mengarahkan, membuang yang tidak perlu, mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik.

Pada penelitian kali ini peneliti melakukan pereduksian data seperti ketika penulis melakukan interview dengan informan, banyak informasi yang diperoleh yang tidak berkaitan dengan proses penelitian sepertii ketika informan menceritakan masa-masa ketika mereka menjadi mahasiswa, dalam reduksi data, hasil wawancara yang tidak mengena dengan fokus penelitian seperti tersebut dibuang, untuk selanjutnya data diklasifikasikan.

2. Penyajian Data

Alur kedua dari kegiatan analisa data penelitian adalah penyajian data. Penyajian sering digunakan pada analisa data kualitatif adalah bentuk teks naratif (peristiwa–peristiwa ditampilkan secara berurutan). Data yang diperoleh dari hasil wawanara mendalam dikumpulkan untuk diambil kesimpulan–kesimpulan sehingga bisa disajikan dalam bentuk teks deskriptif.

3. Menarik Kesimpulan

Kegiatan analisa ketiga menarik kesimpulan dan verifikasi. Setelah proses pengumpulan, dan penyajian data dilakukan, langkah selanjutnya yaitu


(49)

menarik kesimpulan dan verifikasi data. Yang dimaksud verifikasi dalam kegiatan ini yaitu kegiatan peninjauan ulang pada catatan–catatan lapangan, dengan kata lain menguji ulang kebenaran–kebenaran data yang ada (uji validitas). Hasil wawancara dari informan kemudian ditarik kesimpulannya sesuai dengan masalah dan tujuan peneliti.

H. Teknik Keabsahan Data

Untuk menentukan keabsahan data dalam penelitian kualitatif harus memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana dikemukakan oleh Moleong (2006: 324) yang dalam pemeriksaan data menggunakan empat kriteria:

1. Derajat Kepercayaan (Credibilty)

Penerapan derajat kepercayaan pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dari non kualitatif. Kriteria ini berfungsi untuk melaksanakan inquri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuan dapat dicapai dan mempertunjukkan hasil–hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kriteria ini menggunakan tehnik pemeriksaan, ketekunan, pengamatan, triangulasi, pengecakan dengan pihak–pihak yang terlibat, memperbanyak referensi dan juga menganalisis kasus negatif sebagai pembanding. Adapaun kegiatan–kegiatan yang dilakukan agar hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dipercaya antara lain.


(50)

a) Triangulasi

Triangulasi adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain, diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data itu. Denzim dalam Moleong (2006: 330) mengatakan triangulasi data berarti menggunakan data dari sumber, metode penyidik, dan teori. Triangulasi ini digunakan, karena merupakan cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagi kejadian dan hubungan dari berbagai hubungan dan dari berbagai pandangan. Untuk memeriksa keabsahan data, peneliti melakukan pengecekan dalam berbagai sumber yaitu dengan cara melakukan wawancara lebih dari satu pihak informan yang berasal dari unsur-unsur yang berbeda.

b) Perpanjangan Waktu Pengamatan

Perpanjangan waktu pengamatan dilakukan guna meningkatkan kepercayaan. Dengan perpanjangan pengamatan seperti peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lain dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru. Dengan perpanjangan pengamatan ini berarti hubungan peneliti dengan narasumber akan semakin akrab (tidak ada jarak lagi 0, semakin terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada hal yang disembunyikan lagi.

2. Keteralihan (Tranferability)

Keteralihan sebagai persoalan empiris tergantung antara kesamaan antara konteks pengirim dan penerima peneliti. Untuk melakukan keteralihan


(51)

tersebut maka peneliti mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks peneliti bertanggung jawab untuk menyediakan data deskriptif secukupnya.

3. Ketergantungan (Dependality)

Merupakan subtitusi istilah reabilitas dalam penelitian non kualitatif. Pada acara non kualitatif, reabilitas ditunjukkan dengan jalan, mengadakan replikasi studi. Kondisi yang sama dan hasilnya secara esensial sama maka dapat dikatakan reabilitasnya tercapai. Dalam penelitian kualitatif konsep kebergantungan lebih luas dari reabilitas. Hal tersebut disebabkan oleh peninjauannya dari segi bahwa konsep itu memperhitungkan segalanya, yaitu yang ada pada rehabilitas itu sendiri ditambah faktor-faktor yang terkait.

Untuk mengetahui, mengecek hasil penelitian benar atau salah, peneliti mendiskusikannya dengan dosen pembimbing secara bertahap. Mengenai konsep yang dihasilkan di lapangan. Setelah penelitian ini dianggap benar baru diadakan terbuka dengan mengundang teman mahasiswa, pembimbing dan pembahas dosen.

4. Kepastian (Confirmability)

Kepastian berasal dari konsep objektifitas menurut non kualitatif. Pemastian objektivitas atau tidak bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan penemuan seseorang. Jika sesuatu itu objektif berarti dapat dipercaya, faktual, dan dapat dipastikan. Pada penelitian ini ditekankan pada data kepastian, melalui suatu audit kepastian.


(52)

(53)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Pada pembahasan ini peneliti akan menguraikan hasil penelitian yang telah didapat pada saat penelitian berlangsung. Kemudian hasil temuan-temuan di lapangan yang berhasil diperoleh dari hasil penelitian akan disesuaikan dengan rumusan masalah dan fokus penelitian.

Pencapaian hasil dari pelaksanaan program Larasita oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara pada periode 2010 yang dapat dilihat dari perbedaan pada masyarakat dalam hal kepemilikan sertifikat hak atas tanah sesudah dilaksanakan program Larasita. Menurut Siagian (2001: 24) memberikan definisi bahwa efektifitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan pra sarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektifitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektifitasnya.

Maka dalam sub bab ini peneliti juga akan memaparkan mengenai ketersedian sumber daya dan sarana prasarana yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara dalam rangka untuk melaksanakan program Larasita.


(54)

Sumber daya tersebut yaitu sumber daya manusia pelaksana program, yang akan peneliti lihat dari segi kecerdasan, keterampilan dan kecakapan dan sikap aparatur melayani masyarakat. Selain itu dalam hal sarana dan prasarana yang dimiliki untuk melaksanakan program meliputi kendaraan, komputer dan peralatan yang berkenaan dengan kegiatan sertifikasi tanah.

1. Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM)

Sumber daya manusia adalah salah satu hal yang pertama perlu dipersiapkan dalam pelaksanaan program pada setiap lembaga atau instansi. Kualitas sumber daya manusia pelaksana juga menentukan sekali terlaksana atau tidaknya suatu kebijakan tertentu. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan efektifitas dari suatu program maka manajemen sumber daya manusia yang berkompeten wajib dilaksanakan.

Dalam rangka untuk melaksanakan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara maka pada tanggal 01 Maret berdasarkan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara No. 247/2.18.03/00/III/2011 tentang Penunjukan Pelaksana Program Larasita Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara ditetapkan nama-nama berikut sebagai Tim Larasita Kabupaten Lampung Utara.

Tabel. 5.1 Daftar Nama Tim Larasita Kabupaten Lampung Utara

No. Nama/NIP Pangkat/Gol Ditugaskan Sebagai

1 Ir. Hendra Imron

NIP.196002151989101001

Penata Tk.I/III d Penanggung Jawab dan Pengendali Kegiatan Larasita 2 Nirwanda, S.H

NIP. 196805051989031002

Penata/III c Koordinator Pelayanan 3 Maryoni

NIP. 195812181986031001

Penata Muda Tk. I/ III b


(55)

4 Fuad Hasyim,S.H

NIP. 198106232003121002

Penata Muda/III b Koordinator Pelayanan 5 Muhammad Rifai Pinrua,S.H

NIP. 198206132008041003

Penata Muda/III a Petugas Pelayanan 6 Ridho Gunarsa Ali S,S.T

NIP. 198206022001122001

Penata Muda/III a Administrasi Grafikal 7 Sahmuni

NIP. 197312232000031002

Penata Muda/III a Petugas Pelayanan 8 Natalian Anggalena

Sipangkar,A.Md.

NIP. 198801072009122002

Pengatur/II c Pembantu Bendara Penerima

Sumber: Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara tahun 2001 No. 196/2.18.03.100/III/2011

Data-data di atas adalah nama-nama dari Tim Larasita Kabupaten Lampung Utara, sebagai sebuah tim sudah selayaknya mereka memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas yang ada. Menurut keterangan dari Kepala Kantor Pertanahan Nasional Lampung Utara, Drs. Merodi Sugarda, terkait dengan pembentukan tim pelaksana maka beliau menyatakan bahwa:

“pembentukan tim Larasita ini berdasarkan pengalaman dan kemampuan. Saya menyatukan antara pegawai yang sudah lama berkecimpung dalam masalah pertanahan di Lampung Utara dan pegawai-pegawai yang masih muda tapi memiliki kemampuan kerja. Diharapkan kombinasi antara tenaga berpengalaman dan tenaga muda akan lebih efektif. Karena kalau tidak digabungkan dengan tenaga pengalaman saya khawatir tim ini nantinya malah gugup dilapangan. Lampung Utara itu luas sekali dan tipe masyarakatnya juga sangat beragam”.

Berdasarkan keterangan di atas maka dapat diketahui bahwa dasar pemilihan sumber daya manusia dalam rangka pembentukan Tim Larasita terdapat penggabungan antara aparatur pemerintah yang sudah memiliki masa kerja yang lama dan aparatur pemerintah yang tergolong masih muda. Tujuan dari keputusan tersebut diharapkan aparatur yang sudah lama masa kerjanya dibidang pertanahan dapat memberikan masukan-masukan dalam tim berdasarkan pengalaman yang diperoleh. Mengingat kondisi geografi dan tipe masyarakat di Kabupaten Lampung Utara yang sangat beragam.


(1)

Tabel 3.1 Daftar Nama-nama Informan

Tabel 3.2 Daftar Nama-nama Dokumen No Nama Dokumen

1 Laporan Tahunan Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara tahun 2009 dan 2010 2 Peraturan Kepala BON RI No 18 tahun 2009 tentang Larasita

3 Program kerja Kegiatan Larasita Tahun 2010

4 Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara tahun 2011

No Nama Informan Keterangan

1 Ir. Tri Margo Yuwono,M.H Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten Lampung Utara

2 Ir. Hendra Imron Penanggung Jawab dan

Pengendali Kegiatan Larasita

3 Nirwanda, S.H Koordinator Pelayanan

4 Fuad Hasyim,S.H Administrasi Tekstual

5 Sapri Warga Rejoasari, Kotabumi

Selatan

6 Jumairi Warga Rejosari, Kotabumi

Selatan

7 Bowo Waraga Tanjung Iman,

Blambangan Pagar

8 Uyakanang Waraga Tanjung Iman,


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan.

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 Tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.

Lembaga Administrasi Negara RI. 1994. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jilid I dan II, Cetakan XII. Jakarta: CV. Haji Masagung.

Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Remaja Rosdkarya. Pasolong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.

Perangin, Effendi. 1986. Hukum Agraria Di Indonesia. Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Huku.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Ratminto dan Winarsih.2005. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Reksopoetranto, S.1992. Manajemen Pembangunan: Konsep dan Beberapa Studi Kasus di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sedarmayanti. 2009. Reformasi Admnistrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik). Bandung: PT. Refika Aditama

Siagian, Sondang P. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.


(3)

Sidu, Dasmin.2006.Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tengggara. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sumijo, Wahyu. 2008.Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sutedi, Adrian. 2011. Sertifikat Hak Atas Tanah.Jakarta: Sinar Grafika.

Sudjito. 1987. Prona Pensertifikatan secara Massal dan Penyelesaian Sengketan Tanah yang Bersifat Strategis. Yogyakarta: Liberty.

Thoha, M. 1997. Dimensi-Dimensi Prima Admninistrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana.2001. Total Quality Management.Edisi Revisi.Yogyakarta: Andi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Widodo, J. 2001. Good Governance, Telaah Dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralis.

www.bktrn.org. Masalah Pertanahan Dewasa ini, diakses tanggal 1 November 2011.

www.kapanlagi.com. Pemetaan Masalah Utama dalam Sertifikat Tanah, diakses tanggal 1 November 2011.

www.radarkotabumi.com. Program Larasita Cegah Praktek Pungli, diakses tanggal 29 Oktober 2011


(4)

Mengesahan

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Bambang Utoyo .S., M.Si ...

Sekretaris : Nana Mulyana, S.IP, M.Si ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Simon Sumanjoyo H, S.AN., M.P.A ...

2. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Drs. H. Agus Hadiawan, M. Si. NIP. 195801091986031002


(5)

Judul Skripsi : EFEKTIFITAS PROGRAM LAYANAN RAKYAT UNTUK SERTIFIKASI TANAH (LARASITA) DALAM RANGKA MEWUJUDKAN TERTIB ADMINISTRASI PERTANAHAN (Studi Pada

Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara)

Nama Mahasiswa : Syamsi Mayrie Badaruddin Jurusan : Ilmu Administrasi Negara Nomor Pokok Mahasiswa : 0516041048

Jurusan : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Menyetujui

1. Komisi Pembimbing

Dr. Bambang Utoyo .S., M.Si Nana Mulyana, S.IP, M.Si NIP.1963020661988031002 NIP.19710615200511003

2. Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara

Rahayu Sulistyowati, S. Sos., M.Si NIP.197101221995122001


(6)

EFEKTIFITAS PROGRAM LAYANAN RAKYAT UNTUK

SERTIFIKASI TANAH (LARASITA) DALAM RANGKA

MEWUJUDKAN TERTIB ADMINISTRASI PERTANAHAN

(Studi Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara)

Oleh:

Syamsi Mayrie Badaruddin

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara

Pada

Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG 2012