3
Tabel 1. Data kejadian banjir rob pasang di Pesisir Jakarta
Kejadian Banjir ROB Tanggal Kejadian
Masehi Tanggal Kejadian
Hijriah Lokasi Kejadian
Tinggi Genangan
23 Agustus 2007 9 Shaban 1428
Muara Baru 70-80 cm
23 Desember 2007 13 Dzulhijjah 1428
Muara Baru 50-80 cm
04 Juni 2008 5 Muharram 1428
Muara Baru -
01 Desember 2008 2 Dzulhijjah 1429
Muara Baru 60 cm
15 Desember 2008 16 Dzulhijjah 1429
Muara Baru 10-20 cm
11 Januari 2009 14 Muharram 1430
Marunda 40 cm
14 Januari 2009 17 Muharram 1430
Muara Baru 20 cm
Penjaringan 10-15 cm
Kapuk Muara 30-40 cm
Jalan Kapuk raya 10-20 cm
Kaw. Pluit pelelangan 10-20 cm
14 Mei 2009 19 Jamada Aula 1430
Muara Baru -
22 Oktober 2009 3 Dzulkaidah 1430
Muara Baru 10-100 cm
05 Nopember 2009 17 Dzulkaidah 1430
Marunda 60-80 cm
04 Desember 2009 16 Dzulhijjah 1430
Jl. RE Martadinata 20-40 cm
30 Januari 2010 14 Safar 1431
Jl.RE Martadinata 5-10 cm
13 Maret 2010 27 Rabiul awal 1431
Muara Baru 197 cm
16 Juni 2010 4 Rajab 1431
Jl.RE Martadinata 40-50 cm
25 Juni 2010 13 Rajab 1431
Muara Baru -
Sumber : www.liputan6.com Bila ditinjau kembali banjir-banjir
besar pada saat-saat bulan penuh, umumnya pada saat air laut mengalami pasang tinggi
dan akan berlangsung genangan selama berhari-hari
sepanjang pantai.
Tidak mustahil bahwa hujan besar di pegunungan
dan wilayah Kota Jakarta serta pasang tinggi terjadi pada saat bersamaan itulah yang
membuat efek banjir dengan sedimentasi di wilayah muara sungai, maka tidak mustahil
pula kinerja arus pasang ini menimbulkan arus balik pada sungai-sungai dan saluran-
saluran dengan akibat luapan-luapan di alur bagian hulu Soehoed, 2004. Kejadian
banjir rob pasang terjadi 2 kali dalam setahun, yakni pada saat musim hujan dan
musim pancaroba pada saat musim barat tiba.
2.3 Penyebab Terjadinya Banjir Rob
Pasang Banjir rob pasang disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya yaitu : a.
Faktor-faktor alam, seperti iklim angin, durasi dan intensitas curah hujan yang
sangat tinggi, oseanografi pasang surut dan kenaikan permukaan air laut,
kondisi geomorfologi
dataran rendahperbukitan,
ketinggian, dan
lereng, bentuk sungai, geologi dan genangan. Ditambah kondisi hidrologi
siklus, kaitan hulu-hilir, kecepatan aliran.
b. Kegiatan manusia yang menyebabkan
terjadinya perubahan tata ruang yang berdampak
pada perubahan
alam. Aktivitas manusia yang sangat dinamis,
seperti pembabatan hutan mangrove bakau untuk daerah hunian, konversi
lahan pada
kawasan lindung,
pemanfaatan sungaisaluran
untuk permukiman,
pemanfaatan wilayah
retensi banjir, perilaku masyarakat, dan sebagainya.
c. Degradasi lingkungan seperti hilangnya
tumbuhan penutup lahan pada catchment area,
pendangkalan sungai
akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai,
dan sebagainya. d.
Jebolnya tanggul pembatas antara daratan dan lautan seperti digambarkan
pada Gambar 2.
4
Gambar 2 Tanggul pembatas jebol akibat gelombang dan pasang surut
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerawanan Banjir Rob
Pasang
2.4.1 Penutupan Lahan
Penutupan lahan land cover adalah perwujudan
secara fisik
kenampakan visual dari vegetasi, benda alami dan unsur-
unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa mempermasalahkan kegiatan manusia
pada objek yang ada Townshend dan Verge, 1998. Di wilayah yang tingkat
perkembangannya sangat pesat dan labil, penutupan lahan bersifat dinamis. Dinamika
tingkat perkembangan ini disebabkan oleh faktor utamanya yaitu faktor manusia dan
faktor alam itu sendiri yang mudah berubah. Perubahan yang berasal dari faktor manusia
antara lain dipicu oleh tingkat aksebilitas, pesatnya laju pertumbuhan penduduk, jarak
lokasi
terhadap pusat
kegiatan infrastruktur. Faktor dari alam seperti iklim
dan erosi sangat mempengaruhi perubahan di lahan yang labil terutama di daerah pantai
atau sungai .
Beberapa pendekatan yang digunakan dalam
penutupan lahan
diantaranya pendekatan fungsional yang berorientasi
pada kegiatan
pertanian, kehutanan,
perkotaan, dan seterusnya serta pendekatan morfologi yang menjelaskan penutupan
lahan dengan memakai beberapa istilah seperti, lahan rumput, lahan hutan, lahan
sawah, areal dibangun, dan sebagainya Lo, 1995.
Jakarta Utara atau lebih tepatnya daerah pesisir utara Jakarta yang merupakan
daerah kajian penelitian, merupakan wilayah yang tingkat perkembangannya sangat pesat
karena menjadi pusat ibukota DKI Jakarta. Penggunaan
tanah luas
daratan di
Kotamadya Jakarta Utara 154,11 km
2
. Dirinci
berdasarkan penggunaan
47,58 untuk perumahan, 15,78 untuk areal indrustri, 8,89 digunakan sebagai
perkantoran dan pergudangan serta sisanya merupakan lahan pertanian, lahan kosong
dan sebagainya. Sementara luas lahan berdasarkan status kepemilikan dapat dirinci
sebagai berikut : status hak milik 13,28 , Hak Guna Bangunan HGB sekitar 29,04,
lainnya masih berstatus Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan non sertifikat Pemprov
DKI Jakarta, 2010. Jumlah penduduk : 1.182.749 jiwa, kepadatan penduduk : 8.475
jiwakm
2
, pertumbuhan penduduk 0,46, terdiri dari : 6 kecamatan, 31 kelurahan, 409
RW, dan 4.746 RT.
2.4.2 Garis Pantai
Garis pantai shoreline adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan antara air
laut dengan daratan pantai. Garis pantai selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu,
baik perubahan sementara akibat pasang surut maupun perubahan yang permanen
dalam jangka waktu yang panjang akibat abrasi dan akresi pantai atau keduanya
Pratikto, 2004
Penyebab perubahan garis pantai dipengaruhi
oleh faktor
alami dan
manusiawi. Faktor alami terdiri
dari sedimentasi, abrasi, pemadatan sedimen
pantai dan kondisi geologi. King, 1974 menyebutkan bahwa secara umum ada tiga
hal yang berpengaruh terhadap faktor alami pada
perubahan fisik
pantai, yaitu
gelombang, pasang surut, dan angin. Faktor manusiawi meliputi penanggulangan pantai,
reklamasi penggurugan pantai, penggalian sedimen
pantai, penimbunan
pantai, pembabatan hutan bakau pelindung pantai,
pembuatan kanal banjir, dan pembangunan pelabuhan atau bangunan pantai lainnya.
5
Secara garis besar perubahan pantai ada dua macam, yaitu perubahan maju dan
perubahan mundur. Garis pantai dikatakan bergerak maju akresi apabila terjadi
pengendapan substrat
pantai akibat
penambahan material hasil endapan dari sungai dan laut. Garis pantai dikatakan
mundur apabila terjadi proses pengikisan atau penggerusan pantai abrasi karena
pengaruh dinamika gerak laut seperti gelombang
dan hempasan
ombak Pardjaman, 1977 in Hutomo et all.
Upaya penanggulangan erosi pantai antara lain dengan dibangunnya tembok laut
sea wall atau pelindung tebing revetment, krib tegak lurus pantai groin dan pemecah
gelombang sejajar pantai Pratikto, 2004. Namun demikian upaya untuk melindungi
erosi
pantai, seperti
pembuatan pembangunan pelindung pantai juga dapat
menimbulkan masalah erosi pantai baru disekitarnya.
Perubahan-perubahan garis pantai yang terjadi dapat diinterpretasikan dan
dipetakan dari citra satelit. Perubahan garis pantai tersebut berupa penambahan dan
pengurangan areal tiap tahun yang dapat dihitung dan dipantau dari rekaman satelit
yang berupa citra Hermanto, 1986.
2.4.3 Pasang Surut
Pasang surut Sarbidi, 2002 adalah pergerakan permukaan air laut arah vertikal
yang disebabkan pengaruh gaya tarik bulan, matahari dan benda angkasa terhadap bumi.
Gerakan permukaan air laut berperiodik sesuai gaya tariknya, intensitas gaya tarik
akan berfluktuasi sesuai posisi bulan, matahari dan bumi. Posisi bulan dan bumi
akan
mempengaruhi besar
kecilnya tunggang air. Tunggang air tidal range
yaitu perbedaan tinggi air antara pasang maksimum High Water dan pasang
minimum Low Water disebut tunggang air dengan tinggi air rata-rata mencapai dari
beberapa meter hingga puluhan meter. Puncak
gelombang disebut
pasang maksimum dan lembah gelombang disebut
pasang minimum Wibisono, 2005. Pasang terutama disebabkan oleh
adanya gaya tarik menarik antara dua tenaga yang terjadi di lautan, yang berasal dari gaya
sentrifugal yang disebabkan oleh perputaran bumi pada sumbunya dan gaya gravitasi
yang berskala dari bulan. Gaya sentrifugal adalah suatu tenaga yang didesak ke arah
luar dari pusat bumi yang besarnya lebih kurang sama dengan tenaga yang ditarik ke
permukaan bumi. Tidak sama halnya dengan gaya tarik gravitasi bulan di mana gaya ini
terjadi tidak merata pada bagian-bagian permukaan bumi. Gaya ini lebih kuat terjadi
pada daerah-daerah yang letaknya lebih dekat dengan bulan, sehingga gaya yang
terbesar terdapat pada bagian bumi yang terdekat dengan bulan dan gaya yang paling
lemah terdapat pada bagian yang letaknya terjauh dari bulan. Gaya tarik gravitasi
menarik laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan bulge pasang
surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh
deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari
Hutabarat dan Evans,1988.
Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke
puncak atau lembah gelombang berikutnya. Nilai periode pasang surut bervariasi antara
12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit. Pasang purnama spring tide terjadi ketika
bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu garis lurus. Pada saat itu akan
dihasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi dan pasang rendah yang sangat rendah.
Pasang purnama ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama. Pasang perbani
neap tide terjadi ketika bumi, bulan, dan matahari membentuk sudut tegak lurus. Pada
saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang rendah dan pasang rendah yang tinggi.
Pasang surut perbani ini terjadi pada saat bulan ¼ dan ¾. Sistem pasang surut
purnama spring tide dan perbani neap tide dijelaskan pada Gambar 3 Karl,
2002.
6
Gambar 3 Sistem pasang surut Karl, 2002 Dilihat dari pola gerakan muka
lautnya, pasang surut di dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu pasang surut
harian tunggal diurnal, harian ganda semi diurnal dan dua jenis campuran mixed
tides. Pada jenis harian tunggal terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari,
saat spring dapat terjadi dua kali pasang sehari. Pada jenis harian ganda terjadi dua
kali pasang sehari dengan tinggi pasang dan surut yang relatif sama. Pada pasang surut
campuran terdapat dua jenis yaitu campuran tunggal mixed tide prevalling diurnal dan
campuran ganda mixed tide prevalling semi diurnal. Pasang surut campuran tunggal
terjadi satu atau dua kali pasang sehari dengan interval yang berbeda, sedangkan
pada campuran ganda terjadi dua kali pasang sehari dengan perbedaan tinggi dan interval
yang berbeda. Dalam sebulan, variasi harian dari rentang pasang surut berubah secara
sistematis terhadap siklus bulan. Rentang pasang surut juga bergantung pada bentuk
perairan dan konfigurasi lantai samudera.
Tabel 2 Komponen-komponen harmonik pasang surut utama
Sumber: Triadmojo, 2007 Pasang surut bersifat periodik, data
amplitudo dan beda fase dari komponen pembangkit pasang surut dibutuhkan untuk
meramalkan pasang surut. Komponen- komponen utama pasang surut terdiri dari
komponen tengah dan harian. Namun demikian,
karena interaksinya
dengan bentuk morfologi pantai dan superposisi
antar gelombang pasang surut komponen utama,
terbentuk komponen-komponen
pasang surut yang baru Pond dan Pickard, 1983.
2.4.4 Kenaikan Muka Laut
Kenaikan muka laut merupakan fenomena naiknya muka air laut terhadap
Jenis Nama
Komponen Periode
jam FENOMENA
Semi-Diurnal M2
12,42 Gravitasi bulan dengan orbit lingkaran dan
sejajar ekuator bumi S2
12,00 Gravitasi matahari dengan orbit lingkaran
dan sejajar ekuator bumi N2
12,66 Perubahan jarak bulan ke bumi akibat
lintasan yang berbentuk elips Diurnal
K1 23,93
Deklinasi sistem bulan dan matahari O1
25,28 Deklinasi Bulan
7
rata-rata muka laut titik acu benchmark di darat akibat pertambahan volume air laut.
Perubahan tinggi permukaan air laut dapat dilihat sebagai suatu fenomena alam yang
terjadi secara periodik maupun menerus. Perubahan secara periodik dapat dilihat dari
fenomena pasang surut air laut, sedangkan kenaikan air laut yang menerus adalah
seperti yang teridentifikasi oleh pemanasan global. Fenomena naiknya muka laut yang
direprsentasikan dengan SLR sea level rise dipengaruhi secara dominan oleh pemuaian
thermal
thermal expansion
sehingga volume air laut bertambah. Selain itu,
mencairnya es di kutub dan gletser juga memberikan kontribusi terhadap perubahan
kenaikan muka laut. Beberapa tahun terakhir ini, perubahan sea level rise di estimasi dari
pengukuran dari stasiun pasang surut Nurmaulia, et all, 2006. Dampak yang
terjadi
secara permanen
antara lain
perubahan kondisi
ekosistem pantai,
meningkatnya erosi,
makin cepatnya
kerusakan yang terjadi bergantung pada tingkat dan jenis pemanfaatan kawasan tepi
pantai. Menurut IPCC Intergovernmental
Panel on Climate Change, memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun
terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan meningkat setinggi 15-90 cm
dengan kepastian peningkatan setinggi 48 cm. Apabila perkiraan IPCC tentang
kenaikan
muka laut
terjadi, maka
diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau. Hal ini pula yang akan
menyebabkan mundurnya garis pantai di sebagian besar wilayah Indonesia Mimura,
2000.
Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan mayoritas populasinya
terbesar di sekitar wilayah pesisir. Dampak negatif yang dapat dirasakan langsung dari
fenomena kenaikan muka laut diantaranya erosi garis pantai, penggenangan wilayah
daratan,
meningkatnya frekuensi
dan intensitas banjir, meningkatnya dampak
badai di daerah pesisir, salinisasi lapisan akuifer dan kerusakan ekosistem wilayah
pesisir. Meskipun demikian sampai saat ini karakteristik serta perilaku dari fenomena
naiknya muka laut di wilayah region perairan Indonesia belum dipahami secara
baik dan komprehensif. Jadi, perilaku kedudukan muka laut baik variasi temporal
maupun spasialnya di wilayah Indonesia merupakan salah satu informasi penting
yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan suatu wilayah
secara berkelanjutan.
2.5 Citra Satelit Sumberdaya Alam
2.5.1 SPOT-5
Satelit SPOT-5
Systeme Pour
I’Observation de la Terre-5 merupakan kelanjutan dari program seri satelit remote
sensing Prahasta, 2008. Satelit komersial ini merupakan kerjasama antara Perancis,
Swedia, dan Belgia dibawah koordinasi
Centre National d’Etudes Spatial CNES. Satelit
pengamatan bumi
SPOT-5 diluncurkan dari pusat luar angkasa The
Guiana, Kourou, Guyana, Perancis. Satelit pengamatan SPOT-5 memiliki
banyak kelebihan dibandingkan satelit SPOT pendahulunya. Kemampuan kualitas citra
yang lebih tinggi sehingga menjamin keefektifan solusi penambahan harga citra
yaitu dengan peningkatan resolusi sebesar 2,5
–5 meter untuk pankromatik serta 10 meter untuk multispektral, satelit SPOT-5
memberikan keseimbangan ideal antara resolusi yang tinggi dan luas area cakupan.
Satelit SPOT-5 dilengkapi dengan beberapa sensor, diantaranya sensor High
Resolution Geometric HRG, sensor High Resolution Streosopic HRS yang memiliki
kemampuan untuk produksi digital terrain model
DEM, dan
sensor vegetasi
Prahasta, 2008. Karakteristik dari citra satelit SPOT-
5, serta sensornya dijelaskan pada Tabel 3. Pada penelitian ini digunakan sensor HRG
High Resolution Geometric. Dua sensor HRG merupakan instrumen yang berasal
dari HRVIR SPOT 4 yang mampu menghasilkan data pada empat tingkat
resolusi yang sama. Sensor dengan resolusi sebesar 2,5 meter yang menghasilkan konsep
sampling yang unik disebut Supermode. Supermode
menggunakan teknik
pemrosesan yang
canggih untuk
menghasilkan gambar 2,5 meter dari dua gambar 5 meter dimana kedua gambar ini
diperoleh secara bersamaan. Satelit SPOT-5 disajikan pada Gambar 4.
8
Gambar 4 Satelit SPOT CNES, 1999 Pengolahan citra satelit SPOT pada
penelitian ini dengan sensor HRG, yaitu hanya pada band 1 hijau , band 2 merah,
dan band 3 near infrared karena ketiga band tersebut memiliki resolusi yang sama
yaitu 10 meter. 2.5.2
ALOS
Satelit ALOS
Advanced Land
Observing Satellite diluncukan oleh Japan Aerospace Exploration Agency JAXA,
memiliki lebar 3,5 meter, panjang 4,5 meter dan tinggi 6,5 meter dengan Solar Battery
Paddle memiliki lebar 22 meter x 3 meter yang merupakan satelit pengamatan bumi
terbesar yang pernah dibangun Jepang Restec, 2008. Alos merupakan satelit yang
diutamakan untuk pengamatan daratan, observasi wilayah, pemantauan bencana
alam, dan survei sumber daya alam. Satelit ALOS diprogramkan untuk meneruskan dan
meningkatkan
fungsi satelit
JERS-1 Japanese Earth Resources Satellite-1 dan
satelit ADEOS Advanced Earth Observing Satellite.
ALOS mempunyai tiga instrumen penginderaan jauh, yaitu Panchromatic
Remote-sensing Instrument
for Stereo
Mapping PRSIM untuk pemetaan elevasi digital yang memiliki resolusi spasial 2,5
meter, Advance Visible and Near Infrared Radiometer type 2 AVNIR-2 untuk
observasi penutupan lahan secara tepat yang memiliki resolusi spasial 10 meter, dan
Phased Array type L-band Synthetic Apertur Radar
PALSAR untuk
observasi permukaan bumi dan cuaca pada siang dan
malam hari yang terdiri dari high resolution dan ScanSAR yang masing-masing memiliki
resolusi spasial 10 meter dan 100 meter JAXA, 2007.
Karakteristik citra ALOS, serta sensornya dijelaskan pada Tabel 3. Pada
penelitian ini digunakan citra satelit ALOS sensor AVNIR-2. AVNIR-2 adalah suatu
sensor yang dirancang untuk meneruskan sensor VNIROPS pada satelit JERS-1
adalah satelit Jepang untuk pengamatan daratan. AVNIRADEOS adalah sensor
optik dengan 4 kanal spectral, mempunyai resolusi spasial 10 m untuk pengamatan
daratan dan zona-zona garis pantai. Sensor AVNIR-2 merupakan peningkatan dari
sensor AVNIRADEOS. Satelit ALOS disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Satelit ALOS JAXA, 2007 Pengolahan citra satelit ALOS pada
sensor AVNIR-2 dari band 2, band 3, dan band 4. Pada kedua citra, digunakan band
yang memiliki domain spektral sama yaitu band hijau, band merah, band NIR. Nilai
spektral masing-masing band pada kedua citra memiliki nilai yang hampir sama, yaitu
di dominasi oleh warna merah yang dihasilkan dari pantulan vegatasi yang
mendominasi
penutupan lahan
daerah penelitian.
9
Tabel 3 Karakteristik citra satelit SPOT-5 dan ALOS
Sumber : Prahasta, 2008 ; JAXA, 2007 Keterangan : Sensor citra satelit yang digunakan dalam penelitian
2.6 Digital Elevation Models
Digital Elevation Model atau DEM adalah model digital yang memberikan
informasi bentuk
permukaan bumi
topografi dalam bentuk data lainnya. Data DEM ini merupakan data digital berformat
raster yang memiliki informasi koordinat posisi x,y dan elevasi z pada setiap pixel
atau selnya. DEM terdiri dari 2 informasi, yaitu : data ketinggian topografi dan data
posisi koordinat dari ketinggian tersebut di permukaan bumi Bambang dan Firsan,
2007. Data DEM dari permukaan bumi merupakan informasi yang sangat penting
dalam membantu proses koreksi dan analisis citra seperti koreksi citra karena pengaruh
ketinggian orthorektrfikasi, pembuatan kontur,
tampilan citra
3D, analisis
manajemen bencana penentuan daerah rawan bencana banjir, longsor, dan tsunami,
penyusunan tata ruang, penurunan level tanah land subsidence dan yang lainnya
Trisakti, 2005. Pada penelitian ini data DEM
dapat digunakan
untuk menggambarkan kondisi topografi wilayah
yang diteliti sebagai salah satu data pendukung dalam analisa daerah kejadian
banjir rob pasang. Data DEM dapat dibuat berdasarkan
data titik tinggi spot height yang dapat diperoleh dari hasil pengolahan foto udara,
citra satelit secara fotogrametri atau citra RADAR melalui proses inferometri. Data
DEM
juga dapat
diperoleh dengan
melakukan pengolahan terhadap berbagai peta topografi atau peta rupabumi. Secara
konvensional DEM juga dapat diperoleh melalui
survei lapangan
dengan menggunakan berbagai alat survei yang
banyak digunakan untuk survei lokasi. Data DEM yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data DEM hasil perekaman space shuttle NASA yaitu GDEM 30 meter.
Pengolahan data DEM akan selalu menghasilkan kesalahan sink dari proses
interpolasi yang akan berpengaruh terhadap akurasi data. Hasil pengolahan dari data
DEM dengan proses-proses di atas tidak sepenuhnya dapat menggambarkan kondisi
dari
kenampakan yang
ada. Untuk
meningkatkan kualitas topografi tersebut pada pekerjaan data DEM perlu di sesuaikan
dengan data survei, sehigga kenampakan
Karakteristik SPOT-5
ALOS Tanggal
Peluncuran 03 Mei 2002
24 Januari 2006
Ukuran Scene 60 x 60 km
70 x 70 km
Orbit
Sun-Syncrronous Sun-Syncrronous
Sub-Reccurent
Ketinggian 832 km diatas equator
691,65 km diatas equator
Inklinasi 98
o
98,16
o
Periode Orbit 101 menit
2 hari
Sensor HRG, HRS, dan Vegetation
PRSIM, AVNIR-2, PALSAR, dan ScanSAR
Siklus Kembali
26 hari 46 hari
Domain Spektral Sensor HRG
1. Hijau : 0,50 – 0,59 µm
2. Merah
: 0,61 – 0,68 µm
3. NIR
: 0,78 – 0,89 µm
Sensor AVNIR-2
1. Biru
: 0,42 – 0,50 µm
2. Hijau : 0,52 – 0,60 µm
3. Merah : 0, 61– 0,69 µm
4. NIR
: 0,76 – 0,89 µm
Resolusi Spasial
1. Hijau
: 10 m 2.
Merah : 10 m 3.
NIR : 10 m
1. Biru : 10 m
2. Hijau : 10 m
3. Merah : 10 m
4. NIR
: 10 m
10
topografi wilayah yang direkam tersebut dapat terwakili pada data DEM.
2.7 Sistem Informasi Geografis SIG