Penyebab Terjadinya Banjir Rob Digital Elevation Models

3 Tabel 1. Data kejadian banjir rob pasang di Pesisir Jakarta Kejadian Banjir ROB Tanggal Kejadian Masehi Tanggal Kejadian Hijriah Lokasi Kejadian Tinggi Genangan 23 Agustus 2007 9 Shaban 1428 Muara Baru 70-80 cm 23 Desember 2007 13 Dzulhijjah 1428 Muara Baru 50-80 cm 04 Juni 2008 5 Muharram 1428 Muara Baru - 01 Desember 2008 2 Dzulhijjah 1429 Muara Baru 60 cm 15 Desember 2008 16 Dzulhijjah 1429 Muara Baru 10-20 cm 11 Januari 2009 14 Muharram 1430 Marunda 40 cm 14 Januari 2009 17 Muharram 1430 Muara Baru 20 cm Penjaringan 10-15 cm Kapuk Muara 30-40 cm Jalan Kapuk raya 10-20 cm Kaw. Pluit pelelangan 10-20 cm 14 Mei 2009 19 Jamada Aula 1430 Muara Baru - 22 Oktober 2009 3 Dzulkaidah 1430 Muara Baru 10-100 cm 05 Nopember 2009 17 Dzulkaidah 1430 Marunda 60-80 cm 04 Desember 2009 16 Dzulhijjah 1430 Jl. RE Martadinata 20-40 cm 30 Januari 2010 14 Safar 1431 Jl.RE Martadinata 5-10 cm 13 Maret 2010 27 Rabiul awal 1431 Muara Baru 197 cm 16 Juni 2010 4 Rajab 1431 Jl.RE Martadinata 40-50 cm 25 Juni 2010 13 Rajab 1431 Muara Baru - Sumber : www.liputan6.com Bila ditinjau kembali banjir-banjir besar pada saat-saat bulan penuh, umumnya pada saat air laut mengalami pasang tinggi dan akan berlangsung genangan selama berhari-hari sepanjang pantai. Tidak mustahil bahwa hujan besar di pegunungan dan wilayah Kota Jakarta serta pasang tinggi terjadi pada saat bersamaan itulah yang membuat efek banjir dengan sedimentasi di wilayah muara sungai, maka tidak mustahil pula kinerja arus pasang ini menimbulkan arus balik pada sungai-sungai dan saluran- saluran dengan akibat luapan-luapan di alur bagian hulu Soehoed, 2004. Kejadian banjir rob pasang terjadi 2 kali dalam setahun, yakni pada saat musim hujan dan musim pancaroba pada saat musim barat tiba.

2.3 Penyebab Terjadinya Banjir Rob

Pasang Banjir rob pasang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu : a. Faktor-faktor alam, seperti iklim angin, durasi dan intensitas curah hujan yang sangat tinggi, oseanografi pasang surut dan kenaikan permukaan air laut, kondisi geomorfologi dataran rendahperbukitan, ketinggian, dan lereng, bentuk sungai, geologi dan genangan. Ditambah kondisi hidrologi siklus, kaitan hulu-hilir, kecepatan aliran. b. Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang yang berdampak pada perubahan alam. Aktivitas manusia yang sangat dinamis, seperti pembabatan hutan mangrove bakau untuk daerah hunian, konversi lahan pada kawasan lindung, pemanfaatan sungaisaluran untuk permukiman, pemanfaatan wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, dan sebagainya. c. Degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup lahan pada catchment area, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai, dan sebagainya. d. Jebolnya tanggul pembatas antara daratan dan lautan seperti digambarkan pada Gambar 2. 4 Gambar 2 Tanggul pembatas jebol akibat gelombang dan pasang surut

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerawanan Banjir Rob

Pasang

2.4.1 Penutupan Lahan

Penutupan lahan land cover adalah perwujudan secara fisik kenampakan visual dari vegetasi, benda alami dan unsur- unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa mempermasalahkan kegiatan manusia pada objek yang ada Townshend dan Verge, 1998. Di wilayah yang tingkat perkembangannya sangat pesat dan labil, penutupan lahan bersifat dinamis. Dinamika tingkat perkembangan ini disebabkan oleh faktor utamanya yaitu faktor manusia dan faktor alam itu sendiri yang mudah berubah. Perubahan yang berasal dari faktor manusia antara lain dipicu oleh tingkat aksebilitas, pesatnya laju pertumbuhan penduduk, jarak lokasi terhadap pusat kegiatan infrastruktur. Faktor dari alam seperti iklim dan erosi sangat mempengaruhi perubahan di lahan yang labil terutama di daerah pantai atau sungai . Beberapa pendekatan yang digunakan dalam penutupan lahan diantaranya pendekatan fungsional yang berorientasi pada kegiatan pertanian, kehutanan, perkotaan, dan seterusnya serta pendekatan morfologi yang menjelaskan penutupan lahan dengan memakai beberapa istilah seperti, lahan rumput, lahan hutan, lahan sawah, areal dibangun, dan sebagainya Lo, 1995. Jakarta Utara atau lebih tepatnya daerah pesisir utara Jakarta yang merupakan daerah kajian penelitian, merupakan wilayah yang tingkat perkembangannya sangat pesat karena menjadi pusat ibukota DKI Jakarta. Penggunaan tanah luas daratan di Kotamadya Jakarta Utara 154,11 km 2 . Dirinci berdasarkan penggunaan 47,58 untuk perumahan, 15,78 untuk areal indrustri, 8,89 digunakan sebagai perkantoran dan pergudangan serta sisanya merupakan lahan pertanian, lahan kosong dan sebagainya. Sementara luas lahan berdasarkan status kepemilikan dapat dirinci sebagai berikut : status hak milik 13,28 , Hak Guna Bangunan HGB sekitar 29,04, lainnya masih berstatus Hak Pakai, Hak Pengelolaan dan non sertifikat Pemprov DKI Jakarta, 2010. Jumlah penduduk : 1.182.749 jiwa, kepadatan penduduk : 8.475 jiwakm 2 , pertumbuhan penduduk 0,46, terdiri dari : 6 kecamatan, 31 kelurahan, 409 RW, dan 4.746 RT.

2.4.2 Garis Pantai

Garis pantai shoreline adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan antara air laut dengan daratan pantai. Garis pantai selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, baik perubahan sementara akibat pasang surut maupun perubahan yang permanen dalam jangka waktu yang panjang akibat abrasi dan akresi pantai atau keduanya Pratikto, 2004 Penyebab perubahan garis pantai dipengaruhi oleh faktor alami dan manusiawi. Faktor alami terdiri dari sedimentasi, abrasi, pemadatan sedimen pantai dan kondisi geologi. King, 1974 menyebutkan bahwa secara umum ada tiga hal yang berpengaruh terhadap faktor alami pada perubahan fisik pantai, yaitu gelombang, pasang surut, dan angin. Faktor manusiawi meliputi penanggulangan pantai, reklamasi penggurugan pantai, penggalian sedimen pantai, penimbunan pantai, pembabatan hutan bakau pelindung pantai, pembuatan kanal banjir, dan pembangunan pelabuhan atau bangunan pantai lainnya. 5 Secara garis besar perubahan pantai ada dua macam, yaitu perubahan maju dan perubahan mundur. Garis pantai dikatakan bergerak maju akresi apabila terjadi pengendapan substrat pantai akibat penambahan material hasil endapan dari sungai dan laut. Garis pantai dikatakan mundur apabila terjadi proses pengikisan atau penggerusan pantai abrasi karena pengaruh dinamika gerak laut seperti gelombang dan hempasan ombak Pardjaman, 1977 in Hutomo et all. Upaya penanggulangan erosi pantai antara lain dengan dibangunnya tembok laut sea wall atau pelindung tebing revetment, krib tegak lurus pantai groin dan pemecah gelombang sejajar pantai Pratikto, 2004. Namun demikian upaya untuk melindungi erosi pantai, seperti pembuatan pembangunan pelindung pantai juga dapat menimbulkan masalah erosi pantai baru disekitarnya. Perubahan-perubahan garis pantai yang terjadi dapat diinterpretasikan dan dipetakan dari citra satelit. Perubahan garis pantai tersebut berupa penambahan dan pengurangan areal tiap tahun yang dapat dihitung dan dipantau dari rekaman satelit yang berupa citra Hermanto, 1986.

2.4.3 Pasang Surut

Pasang surut Sarbidi, 2002 adalah pergerakan permukaan air laut arah vertikal yang disebabkan pengaruh gaya tarik bulan, matahari dan benda angkasa terhadap bumi. Gerakan permukaan air laut berperiodik sesuai gaya tariknya, intensitas gaya tarik akan berfluktuasi sesuai posisi bulan, matahari dan bumi. Posisi bulan dan bumi akan mempengaruhi besar kecilnya tunggang air. Tunggang air tidal range yaitu perbedaan tinggi air antara pasang maksimum High Water dan pasang minimum Low Water disebut tunggang air dengan tinggi air rata-rata mencapai dari beberapa meter hingga puluhan meter. Puncak gelombang disebut pasang maksimum dan lembah gelombang disebut pasang minimum Wibisono, 2005. Pasang terutama disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik antara dua tenaga yang terjadi di lautan, yang berasal dari gaya sentrifugal yang disebabkan oleh perputaran bumi pada sumbunya dan gaya gravitasi yang berskala dari bulan. Gaya sentrifugal adalah suatu tenaga yang didesak ke arah luar dari pusat bumi yang besarnya lebih kurang sama dengan tenaga yang ditarik ke permukaan bumi. Tidak sama halnya dengan gaya tarik gravitasi bulan di mana gaya ini terjadi tidak merata pada bagian-bagian permukaan bumi. Gaya ini lebih kuat terjadi pada daerah-daerah yang letaknya lebih dekat dengan bulan, sehingga gaya yang terbesar terdapat pada bagian bumi yang terdekat dengan bulan dan gaya yang paling lemah terdapat pada bagian yang letaknya terjauh dari bulan. Gaya tarik gravitasi menarik laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan bulge pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari Hutabarat dan Evans,1988. Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya. Nilai periode pasang surut bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit. Pasang purnama spring tide terjadi ketika bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu garis lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi dan pasang rendah yang sangat rendah. Pasang purnama ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama. Pasang perbani neap tide terjadi ketika bumi, bulan, dan matahari membentuk sudut tegak lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang rendah dan pasang rendah yang tinggi. Pasang surut perbani ini terjadi pada saat bulan ¼ dan ¾. Sistem pasang surut purnama spring tide dan perbani neap tide dijelaskan pada Gambar 3 Karl, 2002. 6 Gambar 3 Sistem pasang surut Karl, 2002 Dilihat dari pola gerakan muka lautnya, pasang surut di dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu pasang surut harian tunggal diurnal, harian ganda semi diurnal dan dua jenis campuran mixed tides. Pada jenis harian tunggal terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari, saat spring dapat terjadi dua kali pasang sehari. Pada jenis harian ganda terjadi dua kali pasang sehari dengan tinggi pasang dan surut yang relatif sama. Pada pasang surut campuran terdapat dua jenis yaitu campuran tunggal mixed tide prevalling diurnal dan campuran ganda mixed tide prevalling semi diurnal. Pasang surut campuran tunggal terjadi satu atau dua kali pasang sehari dengan interval yang berbeda, sedangkan pada campuran ganda terjadi dua kali pasang sehari dengan perbedaan tinggi dan interval yang berbeda. Dalam sebulan, variasi harian dari rentang pasang surut berubah secara sistematis terhadap siklus bulan. Rentang pasang surut juga bergantung pada bentuk perairan dan konfigurasi lantai samudera. Tabel 2 Komponen-komponen harmonik pasang surut utama Sumber: Triadmojo, 2007 Pasang surut bersifat periodik, data amplitudo dan beda fase dari komponen pembangkit pasang surut dibutuhkan untuk meramalkan pasang surut. Komponen- komponen utama pasang surut terdiri dari komponen tengah dan harian. Namun demikian, karena interaksinya dengan bentuk morfologi pantai dan superposisi antar gelombang pasang surut komponen utama, terbentuk komponen-komponen pasang surut yang baru Pond dan Pickard, 1983.

2.4.4 Kenaikan Muka Laut

Kenaikan muka laut merupakan fenomena naiknya muka air laut terhadap Jenis Nama Komponen Periode jam FENOMENA Semi-Diurnal M2 12,42 Gravitasi bulan dengan orbit lingkaran dan sejajar ekuator bumi S2 12,00 Gravitasi matahari dengan orbit lingkaran dan sejajar ekuator bumi N2 12,66 Perubahan jarak bulan ke bumi akibat lintasan yang berbentuk elips Diurnal K1 23,93 Deklinasi sistem bulan dan matahari O1 25,28 Deklinasi Bulan 7 rata-rata muka laut titik acu benchmark di darat akibat pertambahan volume air laut. Perubahan tinggi permukaan air laut dapat dilihat sebagai suatu fenomena alam yang terjadi secara periodik maupun menerus. Perubahan secara periodik dapat dilihat dari fenomena pasang surut air laut, sedangkan kenaikan air laut yang menerus adalah seperti yang teridentifikasi oleh pemanasan global. Fenomena naiknya muka laut yang direprsentasikan dengan SLR sea level rise dipengaruhi secara dominan oleh pemuaian thermal thermal expansion sehingga volume air laut bertambah. Selain itu, mencairnya es di kutub dan gletser juga memberikan kontribusi terhadap perubahan kenaikan muka laut. Beberapa tahun terakhir ini, perubahan sea level rise di estimasi dari pengukuran dari stasiun pasang surut Nurmaulia, et all, 2006. Dampak yang terjadi secara permanen antara lain perubahan kondisi ekosistem pantai, meningkatnya erosi, makin cepatnya kerusakan yang terjadi bergantung pada tingkat dan jenis pemanfaatan kawasan tepi pantai. Menurut IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change, memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan meningkat setinggi 15-90 cm dengan kepastian peningkatan setinggi 48 cm. Apabila perkiraan IPCC tentang kenaikan muka laut terjadi, maka diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau. Hal ini pula yang akan menyebabkan mundurnya garis pantai di sebagian besar wilayah Indonesia Mimura, 2000. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan mayoritas populasinya terbesar di sekitar wilayah pesisir. Dampak negatif yang dapat dirasakan langsung dari fenomena kenaikan muka laut diantaranya erosi garis pantai, penggenangan wilayah daratan, meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, meningkatnya dampak badai di daerah pesisir, salinisasi lapisan akuifer dan kerusakan ekosistem wilayah pesisir. Meskipun demikian sampai saat ini karakteristik serta perilaku dari fenomena naiknya muka laut di wilayah region perairan Indonesia belum dipahami secara baik dan komprehensif. Jadi, perilaku kedudukan muka laut baik variasi temporal maupun spasialnya di wilayah Indonesia merupakan salah satu informasi penting yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan suatu wilayah secara berkelanjutan.

2.5 Citra Satelit Sumberdaya Alam

2.5.1 SPOT-5

Satelit SPOT-5 Systeme Pour I’Observation de la Terre-5 merupakan kelanjutan dari program seri satelit remote sensing Prahasta, 2008. Satelit komersial ini merupakan kerjasama antara Perancis, Swedia, dan Belgia dibawah koordinasi Centre National d’Etudes Spatial CNES. Satelit pengamatan bumi SPOT-5 diluncurkan dari pusat luar angkasa The Guiana, Kourou, Guyana, Perancis. Satelit pengamatan SPOT-5 memiliki banyak kelebihan dibandingkan satelit SPOT pendahulunya. Kemampuan kualitas citra yang lebih tinggi sehingga menjamin keefektifan solusi penambahan harga citra yaitu dengan peningkatan resolusi sebesar 2,5 –5 meter untuk pankromatik serta 10 meter untuk multispektral, satelit SPOT-5 memberikan keseimbangan ideal antara resolusi yang tinggi dan luas area cakupan. Satelit SPOT-5 dilengkapi dengan beberapa sensor, diantaranya sensor High Resolution Geometric HRG, sensor High Resolution Streosopic HRS yang memiliki kemampuan untuk produksi digital terrain model DEM, dan sensor vegetasi Prahasta, 2008. Karakteristik dari citra satelit SPOT- 5, serta sensornya dijelaskan pada Tabel 3. Pada penelitian ini digunakan sensor HRG High Resolution Geometric. Dua sensor HRG merupakan instrumen yang berasal dari HRVIR SPOT 4 yang mampu menghasilkan data pada empat tingkat resolusi yang sama. Sensor dengan resolusi sebesar 2,5 meter yang menghasilkan konsep sampling yang unik disebut Supermode. Supermode menggunakan teknik pemrosesan yang canggih untuk menghasilkan gambar 2,5 meter dari dua gambar 5 meter dimana kedua gambar ini diperoleh secara bersamaan. Satelit SPOT-5 disajikan pada Gambar 4. 8 Gambar 4 Satelit SPOT CNES, 1999 Pengolahan citra satelit SPOT pada penelitian ini dengan sensor HRG, yaitu hanya pada band 1 hijau , band 2 merah, dan band 3 near infrared karena ketiga band tersebut memiliki resolusi yang sama yaitu 10 meter. 2.5.2 ALOS Satelit ALOS Advanced Land Observing Satellite diluncukan oleh Japan Aerospace Exploration Agency JAXA, memiliki lebar 3,5 meter, panjang 4,5 meter dan tinggi 6,5 meter dengan Solar Battery Paddle memiliki lebar 22 meter x 3 meter yang merupakan satelit pengamatan bumi terbesar yang pernah dibangun Jepang Restec, 2008. Alos merupakan satelit yang diutamakan untuk pengamatan daratan, observasi wilayah, pemantauan bencana alam, dan survei sumber daya alam. Satelit ALOS diprogramkan untuk meneruskan dan meningkatkan fungsi satelit JERS-1 Japanese Earth Resources Satellite-1 dan satelit ADEOS Advanced Earth Observing Satellite. ALOS mempunyai tiga instrumen penginderaan jauh, yaitu Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping PRSIM untuk pemetaan elevasi digital yang memiliki resolusi spasial 2,5 meter, Advance Visible and Near Infrared Radiometer type 2 AVNIR-2 untuk observasi penutupan lahan secara tepat yang memiliki resolusi spasial 10 meter, dan Phased Array type L-band Synthetic Apertur Radar PALSAR untuk observasi permukaan bumi dan cuaca pada siang dan malam hari yang terdiri dari high resolution dan ScanSAR yang masing-masing memiliki resolusi spasial 10 meter dan 100 meter JAXA, 2007. Karakteristik citra ALOS, serta sensornya dijelaskan pada Tabel 3. Pada penelitian ini digunakan citra satelit ALOS sensor AVNIR-2. AVNIR-2 adalah suatu sensor yang dirancang untuk meneruskan sensor VNIROPS pada satelit JERS-1 adalah satelit Jepang untuk pengamatan daratan. AVNIRADEOS adalah sensor optik dengan 4 kanal spectral, mempunyai resolusi spasial 10 m untuk pengamatan daratan dan zona-zona garis pantai. Sensor AVNIR-2 merupakan peningkatan dari sensor AVNIRADEOS. Satelit ALOS disajikan pada Gambar 5. Gambar 5 Satelit ALOS JAXA, 2007 Pengolahan citra satelit ALOS pada sensor AVNIR-2 dari band 2, band 3, dan band 4. Pada kedua citra, digunakan band yang memiliki domain spektral sama yaitu band hijau, band merah, band NIR. Nilai spektral masing-masing band pada kedua citra memiliki nilai yang hampir sama, yaitu di dominasi oleh warna merah yang dihasilkan dari pantulan vegatasi yang mendominasi penutupan lahan daerah penelitian. 9 Tabel 3 Karakteristik citra satelit SPOT-5 dan ALOS Sumber : Prahasta, 2008 ; JAXA, 2007 Keterangan : Sensor citra satelit yang digunakan dalam penelitian

2.6 Digital Elevation Models

Digital Elevation Model atau DEM adalah model digital yang memberikan informasi bentuk permukaan bumi topografi dalam bentuk data lainnya. Data DEM ini merupakan data digital berformat raster yang memiliki informasi koordinat posisi x,y dan elevasi z pada setiap pixel atau selnya. DEM terdiri dari 2 informasi, yaitu : data ketinggian topografi dan data posisi koordinat dari ketinggian tersebut di permukaan bumi Bambang dan Firsan, 2007. Data DEM dari permukaan bumi merupakan informasi yang sangat penting dalam membantu proses koreksi dan analisis citra seperti koreksi citra karena pengaruh ketinggian orthorektrfikasi, pembuatan kontur, tampilan citra 3D, analisis manajemen bencana penentuan daerah rawan bencana banjir, longsor, dan tsunami, penyusunan tata ruang, penurunan level tanah land subsidence dan yang lainnya Trisakti, 2005. Pada penelitian ini data DEM dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi topografi wilayah yang diteliti sebagai salah satu data pendukung dalam analisa daerah kejadian banjir rob pasang. Data DEM dapat dibuat berdasarkan data titik tinggi spot height yang dapat diperoleh dari hasil pengolahan foto udara, citra satelit secara fotogrametri atau citra RADAR melalui proses inferometri. Data DEM juga dapat diperoleh dengan melakukan pengolahan terhadap berbagai peta topografi atau peta rupabumi. Secara konvensional DEM juga dapat diperoleh melalui survei lapangan dengan menggunakan berbagai alat survei yang banyak digunakan untuk survei lokasi. Data DEM yang digunakan dalam penelitian ini adalah data DEM hasil perekaman space shuttle NASA yaitu GDEM 30 meter. Pengolahan data DEM akan selalu menghasilkan kesalahan sink dari proses interpolasi yang akan berpengaruh terhadap akurasi data. Hasil pengolahan dari data DEM dengan proses-proses di atas tidak sepenuhnya dapat menggambarkan kondisi dari kenampakan yang ada. Untuk meningkatkan kualitas topografi tersebut pada pekerjaan data DEM perlu di sesuaikan dengan data survei, sehigga kenampakan Karakteristik SPOT-5 ALOS Tanggal Peluncuran 03 Mei 2002 24 Januari 2006 Ukuran Scene 60 x 60 km 70 x 70 km Orbit Sun-Syncrronous Sun-Syncrronous Sub-Reccurent Ketinggian 832 km diatas equator 691,65 km diatas equator Inklinasi 98 o 98,16 o Periode Orbit 101 menit 2 hari Sensor HRG, HRS, dan Vegetation PRSIM, AVNIR-2, PALSAR, dan ScanSAR Siklus Kembali 26 hari 46 hari Domain Spektral Sensor HRG 1. Hijau : 0,50 – 0,59 µm 2. Merah : 0,61 – 0,68 µm 3. NIR : 0,78 – 0,89 µm Sensor AVNIR-2 1. Biru : 0,42 – 0,50 µm 2. Hijau : 0,52 – 0,60 µm 3. Merah : 0, 61– 0,69 µm 4. NIR : 0,76 – 0,89 µm Resolusi Spasial 1. Hijau : 10 m 2. Merah : 10 m 3. NIR : 10 m 1. Biru : 10 m 2. Hijau : 10 m 3. Merah : 10 m 4. NIR : 10 m 10 topografi wilayah yang direkam tersebut dapat terwakili pada data DEM.

2.7 Sistem Informasi Geografis SIG