Pengaruh pelatihan muhadharah terhadap kemampuan berpidato santri pondok pesantren Nurul Achmad kecamatan Mauk kabupaten Tangerang

(1)

KECAMATAN MAUK KABUPATEN TANGERANG

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom. I)

CLARK

BY : JOHN BAKELESS

Oleh:

RINI RASMAYANTI NIM : 108051000159

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1434 H / 2013 M


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah penulis skripsi yang berjudul

“Pengaruh Pelatihan Muhadharah Terhadap Kemampuan Berpidato Santri Pondok

Pesantren Nurul Achmad Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang”, dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dalam bentuk referensi, baik footnote, maupun daftar pustaka, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikian lembar pernyataan ini dibuat, sehingga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum WR. Wb.

Jakarta, 4 Juni 2013


(5)

i NIM : 108051000159

Pengaruh Pelatihan Muhadharah Terhadap Kemampuan Berpidato Santri Pondok Pesantren Nurul Achmad Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang

Kemampuan berpidato adalah kesanggupan seseorang untuk melakukan sebuah tindakan berbicara atau berpidato di depan khalayak atau publik untuk menyampaikan pesan-pesan penting. Hal itu adalah kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Sebab, tanpa kemampuan itu, setiap orang tidak akan bisa mengungkapkan segala pendapat dan pemikiran kita untuk mencapai kesuksesan. Oleh karena itu, Pondok Pesantren Nurul Achmad mengadakan pelatihan muhadharah bagi santri agar mereka bisa meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan dapat berpidato dengan mahir.

Dengan demikian, rumusan masalahnya adalah bagaimana pengaruh pelatihan muhadharah terhadap kemampuan berpidato santri Pondok Pesantren Nurul Achmad?

Berpidato adalah berbicara di depan khalayak dengan tahap penyusunan pidato yaitu teknik membuka, menyampaikan, dan menutup pidato yang baik agar pesan-pesan penting yang terkandung di dalam materi yang disampaikan bisa bermanfaat dan diterima oleh audiens.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian survey, yaitu “penelitian yang menggunakan uji data dua sampel dengan menggunakan instrumen tes, yakni Mann-Whitney Test sebagai alat ukur pokok.

Berdasarkan hasil temuan penulis menggunakan Mann-Whitney Test yaitu uji dua sisi adalah ( 0,034 < 0,05 ), maka Ho ditolak.

Jadi, pelatihan muhadharah berpengaruh bagi santri yang bersungguh-sungguh ingin melatih diri dan belajar berpidato dan dapat berkomunikasi yang baik dan benar agar bisa menjadi seorang pembicara yang handal. Pelatihan muhadharah dapat meningkatkan kemampuan berpidato santri karena kegiatan ini bisa bermanfaat bagi santri yang ingin menjadi seorang pembicara yang handal dan bisa berpidato dengan baik di masa yang akan datang apabila santri tersebut dengan sungguh-sunguh berlatih agar bisa mencapai keinginannya.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim...

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillahirobbil „alamin, puji syukur karena Allah SWT. Berkat nikmat-Nya yang tak terhingga karya sederhana ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan serta suri tauladan kita, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

“Ungkapan tidak selalu mencapai makna”, demikian ungkap Jalaluddin Rumi. Mungkin begitu pula halnya dengan karya penulis yang sangat sederhana ini. Begitu banyak orang baik yang membantu proses pembuatan karya ini, yang ungkapan rasa terima kasih pun tak akan cukup membalas bantuan dan budi baik mereka. Rasanya terlalu sedikit ruang untuk berbagi kisah dan terlalu miskin kata untuk menyampaikan rasa hati yang begitu dalam. Namun dengan tanpa mengurangi rasa hormat, penulis haturkan ungkapan terimakasih ini kepada: 1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, Wakil Dekan bidang Akademik Drs. Wahidin Saputra, MA, Wakil Dekan bidang Administrasi dan Keuangan Drs. H. Mahmud Jalal, MA, Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan Drs. Study Rizal, LK, MA.

2. Drs. Jumroni, M.Si selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Dr. Cecep Castrawijaya, MA selaku Pembimbing Akademik serta Dra.


(7)

iii

seluruh bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas segala pengetahuan yang telah diberikan. Dan Pak Fatoni yang telah berdedikasi merapikan nilai akademis penulis.

3. Rubiyanah, MA selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, serta motivasi selama proses penulisan skripsi ini, yang dengan ikhlas dan ketulusannya untuk dapat meluangkan waktu dan perhatiannya untuk membimbing serta mengoreksi setiap tulisan-tulisan dalam skripsi ini.

4. Nurul Hidayati, S.Ag.M.Pd yang telah meluangkan waktu untuk mengajarkan metodologi dan meminjamkan buku dan membawa ide bagi penulis dalam merampungkan skripsi ini.

5. Bapak KH. Ahmad Syarif, ibu Hj. Syifah serta segenap Keluarga Besar Pondok Pesantren Nurul Achmad Mauk-Tangerang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengadakan penelitian serta mendapatkan data dan informasi.

6. Ust. Fahmi dan Ust. Mathlubi serta segenap jajaran kepengurusannya yang telah meluangkan waktu untuk berbagi informasi, santri-santri Pondok Pesantren Nurul Ahmad selaku responden sejak penelitian ini berlangsung, juga sahabat-sahabat lain yang tak dapat ditulis satu-persatu.

7. Ayahanda Djunaedi HS dan Ibu tersayang Sukaesih berkat merekalah, mata air kehidupan penulis terus mengalir, serta kakak-kakak penulis yaitu Euis


(8)

iv

Dewiyanti, Bayu Wahyudin, Neng Novi Fauziyanti, Asep Indra Mulyana, Spd, Ningrat Hadiansyah yang telah memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi penulis.

8. Ibrahim Yahya keponakan penulis yang selalu menemani ketika penelitian berlangsung.

9. Seluruh teman-teman KPI E, khususnya untuk Farhatullaily Zahra, Ana Lestari, Siti Asiyah, Nadya Anggraeni, Deniza Anggia Ayu, Siti Sabili Zahro, dan Nia Najiah yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lainnya.

10. Kakak kelas Nadya Ramayani yang selalu menemani ketika sedang menyelesaikan skripsi penulis.

11. Serta adik-adik kosan yaitu Vicky Visilia, Ratna Agustina, Nimas Wiranti, Windi Hamdalah Putri dan Aan Hanafiah yang selalu membantu dan menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi penulis.

Dengan ketidaksempurnaan ini, penulis berharap semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Dan semoga Allah SWT membalas jasa baik yang telah diberikan dari berbagai pihak kepada penulis selama pembuatan skripsi ini, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Aamiin ya Robbal „alamiin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


(9)

v LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 4

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D.Metodologi Penelitian ... 5

1. Penentuan Responden ... 6

2. Variabel Penelitian ... 6

3. Definisi Operasional dan Indikatornya ... 7

4. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

5. Instrumen Pengumpulan Data ... 9

6. Analisis Data dan Perumusan Hipotesis ... 11

E. Tinjauan Pustaka ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II : LANDASAN TEORI ... 15

A. Pengaruh ... 15


(10)

vi

C. Muhadharah ... 18

D. Kemampuan ... 25

E. Berpidato ... 26

F. Santri... 37

G.Pondok Pesantren ... 40

BAB III : GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN NURUL ACHMAD ... 45

A. Sejarah dan Perkembangannya ... 45

B. Profil Santri ... 46

C. Visi dan Misi ... 47

D. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ... 48

E. Sruktur Organisasi ... 49

F. Program-program Pondok Pesantren ... 50

G. Program Pelatihan Muhadharah ... 51

BAB IV : HASIL PENELITIAN ... 53

A. Identitas Responden ... 53

B. Pengaruh Pelatihan Muhadharah Terhadap Kemampuan Berpidato Santri Pondok Pesantren Nurul Achmad ... 54

BAB V : PENUTUP ... 63

A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

vii

Tabel 1 Data Responden Berdasarkan Usia ... 53

Tabel 2 Data Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 54

Tabel 3 Telaah Pakar ... 55

Tabel 4 Laki-laki ... 57

Tabel 5 Perempuan ... 58

Tabel 6 Data Kemampuan Pidato ... 60


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbicara dan berdialog merupakan salah satu seni dan keterampilan yang harus dimiliki setiap orang. Sebab, dengan cara itulah orang bisa menggunakan bahasa dan berkomunikasi serta berinteraksi dengan orang lain secara baik. Hal ini juga dapat meningkatkan dan mengembangkan kepribadian setiap orang. Seperti halnya dengan muhadharah dapat mengembangkan potensi diri dalam mengembangkan seni berbicara di depan umum atau teman-teman.

Komunikasi banyak digunakan dalam setiap aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam muhadharah. Karena, pembelajaran adalah merupakan proses komunikasi di mana terjadi proses penyampaian pesan tertentu dari sumber belajar.

Menurut Ust. Mathlubi Muhadharah adalah suatu kegiatan atau latihan berbicara yang biasa disebut pidato dengan disaksikan banyak orang atau publik. Muhadharah ini dilakukan agar kemampuan berpidato setiap orang bisa dikembangkan dengan baik dan dilatih untuk tidak malu di depan masyarakat. Kegiatan ini di lakukan tepatnya di pesantren Nurul Achmad.

Kegiatan muhadharah di pesantren Nurul Achmad ini di laksanakan dalam seminggu hanya satu kali agar santrinya dapat berbicara dengan mahir dan bisa melatih diri supaya dapat lebih berinteraksi dengan orang lain secara


(13)

baik. Kegiatan muhadharah atau pelatihan muhadharah di pesantren ini dengan menggunakan tiga bahasa yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa arab yang sekiranya agar santri dapat belajar bahasa dengan baik dan benar. Muhadharah ini dilakukan agar santri dapat belajar berani dan tidak takut ketika berbicara di tempat umum.

Pelatihan muhadharah di Pondok Pesantren Nurul Achmad, setiap santri yang berpidato bukan hanya yang mendapatkan tugas saja, akan tetapi santri lain/audiens yang mendengarkan akan ditunjuk langsung secara mendadak untuk menyampaikan pidato didepan audiens hal ini guna untuk menjadikan santri selalu siap kapanpun.

Apabila ditinjau dari ilmu komunikasi, bahasa sebagai lambang dalam proses komunikasi itu tidak berdiri sendiri, tetapi bertautan dengan komponen-komponen komunikasi lainnya: komunikator yang menggunakan bahasa itu, pesan yang dibawakan oleh bahasa itu, media yang akan meneruskan bahasa itu, komunikan yang dituju oleh bahasa itu, dan efek yang diharapkan dari komunikan dengan menggunakan bahasa itu.1

Seorang santri yang akan berpidato di depan umum atau teman-teman, para pengurus serta para ustadz dan ustadzah harus melakukan persiapan terlebih dahulu, maka dari itu pelatihan muhadharah penting di pesantren ini karena guna melatih santri untuk kemampuan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi yakni kemampuan berbicara untuk mempertinggi taraf kesadaran pendengar akan ikut sertanya mereka dalam situasi pembicaraan.

1

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya) , 2007, h. 53.


(14)

3

Di kalangan para ahli pidato, atau orator, atau retor terdapat suatu

pemeo sebagai pegangan yang berbunyi sebagai berikut: “Qui ascendit sine labore, descendit sine honore” yang artinya “Siapa yang naik tanpa persiapan, akan turun tanpa kehormatan”. Dalam hubungannya dengan pidato, makna pemeo tersebut ialah bahwa seseorang yang berpidato tanpa melakukan persiapan, akan mengalami kegagalan, jika gagal, berarti kehormatannya akan jatuh. Oleh karena itu, seseorang sebelum naik ke mimbar harus melakukan persiapan terlebih dahulu secara seksama.2

Pengajar atau ustadz dan ustadzahnya bisa mengajar dengan baik sesuai dengan peraturan yang ada di pesantren yang salah satunya melatih kegiatan muhadharah yang dapat menggali kemampuan berpidato dengan baik dan benar.

Pidato bisa disebut juga public speaking, komunikasi kolektif, komunikasi retorika, komunikasi publik dan komunikasi khalayak. Apapun namanya, komunikasi publik menunjukkan suatu proses komunikasi di mana pesan-pesan disampaikan oleh pembicara dalam situasi tatap muka di depan khalayak yang lebih besar.3

Para ahli menganjurkan pentingnya mempelajari pidato, apalagi santri berada yang bergerak dibidang pendidikan masih dalam tahap belajar, serta kehidupan sosial lainnya, bahkan kemampuan santri yang mempelajari dan mengetahui berpidato dapat bertindak pada waktu tertentu untuk memutuskan

2

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya), 2007, h. 64.

3

Hafiedz Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2006, h. 34.


(15)

sesuatu dengan segera dan dapat diterima. Setiap kesempatan secara bertahap bahkan seumur hidup dipergunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara didepan khalayak.

Kekuatan berpidato seorang santri yang selalu di asah dan dilatih terus menerus merupakan salah satu faktor penentu keberhasilannya dalam berbicara. Karena, sekarang ini keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam mencapai sesuatu yang diinginkan termasuk karir mereka banyak ditentukan oleh kemampuan komunikasinya.

Mengingat pentingnya kemampuan berbicara di depan khalayak seperti berpidato bagi santri, maka berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti “Pengaruh Pelatihan Muhadharah Terhadap Kemampuan Berpidato Santri Pondok Pesantren Nurul Achmad Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasannya lebih terarah dan lebih fokus, maka penulis batasi pembahasan ini pada santri Pondok Pesantren Nurul Achmad angkatan tahun 2012-2013 dalam mengikuti pelatihan muhadharah.

Sedangkan rumusan masalahnya sebagai berikut:

Bagaimana pengaruh pelatihan muhadharah terhadap kemampuan berpidato santri Pondok Pesantren Nurul Achmad?


(16)

5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh pelatihan muhadharah terhadap kemampuan berpidato santri Pondok Pesantren Nurul Achmad.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi santri Pondok Pesantren Nurul Achmad dalam mengikuti pelatihan muhadharah dan dapat dipahami oleh santri dengan kemampuan berpikir dan komunikasi.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembangunan ilmu dakwah dan ilmu komunikasi serta mendapatkan khasanah ilmu pengetahuan yang luas bagi setiap orang.

D. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian yang menggunakan metode dengan menarik informasi dari data lapangan yang didapat berdasarkan tingkat beragam secara tepat.4 Sedangkan jenis

penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian survey, yaitu “penelitian

yang menggunakan instrumen tes sebagai alat pengukur data yang pokok.

4

Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta : Kencana), 2007, edisi ke-1, Cet ke-2, h. 135.


(17)

1. Penentuan Responden a. Populasi

Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian peneliti dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang ditentukan.5 Sedangkan dalam penelitian ini populasi yang akan diteliti adalah santri pondok pesantren Nurul Achmad dengan jumlah 18 santri.

b. Sampel

Menurut Suharsimi Arikunto, sampel didefinisikan sebagai pemilihan sejumlah subjek penelitian sebagai wakil dari populasi sehingga dihasilkan sampel yang mewakili populasi tersebut.6 Karena itulah populasi kurang dari 100 orang (18 orang) maka penulis mengambil keseluruhan populasi sebagai sampel, yakni 100%.

2. Variabel Penelitian

Variabel adalah fenomena yang bervariasi dalam bentuk kualitas, kuantitas, dan mutu standar.7 Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu:

a. Variabel independen (bebas) yaitu variabel yang menjadi sebab atau yang memengaruhi varibel terikat, yang dilambangkan dengan X, yakni (pelatihan Muhadharah) yang merupakan modal untuk melatih diri dalam berbicara di depan umum agar tidak ada keraguan atau

5

Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan, (Jakarta : PT. Bumi Aksara), 2007, h. 116.

6

Nurul Zuriah, h. 122. 7

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Jakarta : Kencana), 2005, Edisi ke-1, Cet ke-3, h. 59.


(18)

7

gugup dan mendapatkan hasil yang baik serta menambah kemampuan komunikasi bagi santri agar tertata dengan baik.

b. Variabel dependen (terikat) yaitu variabel yang menjadi akibat atau yang dipengaruhi, yang dilambangkan Y, yakni (kemampuan pidato) yang merupakan meningkatnya kemampuan berpidato oleh pelatihan muhadharah bagi santri.

3. Definisi Operasional dan Indikatornya a. Definisi Operasional

Pidato adalah seni menutur, menyadarkan dan menarik publik. Adapun tahapan penyusunan pidato adalah cara membuka pidato adalah langsung menyebutkan persoalan, menghubungkan dengan peristiwa yang sedang diperingati, dan mengajukan pertanyaan provokatif atau serentetan pertanyaan, serta menceritakan pengalaman pribadi. Sedangkan cara menyampaikan pidato adalah membangun kepercayaan diri, kontak mata, dan karakteristik olah vokal, serta olah visual. Adapun cara menutup pidato adalah menyimpulkan atau mengemukakan ikhtisar pembicaraan, mengatakan peribahasa atau kata mutiara, dan melantunkan pantun, serta menyampaikan dengan kalimat-kalimat lucu.

b. Indikator

1. Cara membuka pidato

a) Langsung menyebutkan persoalan


(19)

c) Mengajukan pertanyaan provokatif atau serentetan pertanyaan

d) Menceritakan pengalaman pribadi 2. Cara menyampaikan pidato

a) Membangun kepercayaan diri b) Kontak mata

c) Karakteristik olah vokal d) Olah visual

3. Cara menutup pidato

a) Menyimpulkan atau mengemukakan ikhtisar pembicaraan b) Mengatakan peribahasa atau kata mutiara

c) Melantunkan pantun

d) Menyampaikan dengan kalimat-kalimat lucu 4. Ruang Lingkup Penelitian

a. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek Penelitian ini adalah santri pondok pesantren Nurul Achmad. Sedangkan Objek penelitian ini adalah pelatihan Muhadharah.

b. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Nurul Achmad yang beralamat di Jl. Cibenong Mauk. Kab. Tangerang.


(20)

9

c. Waktu penelitian

Penulis meneliti selama 3 bulan yaitu 12 minggu setiap hari sabtu malam minggu setelah shalat Isya pada pukul 19.30-21.00 WIB.

5. Instrumen Pengumpulan Data

a. Data Primer adalah yang langsung diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian.8 Data tersebut sebagai berikut:

1) Observasi

Penelitian ini menggunakan metode observasi dengan melakukan pengamatan visual secara langsung terhadap proses pelatihan muhadharah di Pondok Pesantren Nurul Ahmad. 2) Dokumentasi

Dokumentasi adalah salah satu instrumen pengumpulan data yang sering digunakan dalam berbagai metode dalam pengumpulan data. Tujuannya untuk mendapatkan informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data. Proses pengumpulan dan pengambilan data berdasarkan tulisan-tulisan berbentuk catatan.

3) Tes

Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, kemampuan atau

8

M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: Kencana), 2005, Cet ke-5, h.122.


(21)

bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Tes prestasi, yaitu tes yang digunakan untuk mengukur pencapaian seseorang setelah mempelajari sesuatu.9

4) Wawancara

Wawancara adalah alat pengumpul informasi dengan cara mengajukan pertanyaan secara lisan dan untuk dijawab secara lisan pula.10Penulis mewawancarai putra dari kepala pimpinan Pondok Pesantren.

b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari data yang kita butuhkan.11

Dalam memprosentasikan responden dengan menggunakan rumus: P= F x 100 %

N

Keterangan : P = Prosentase F = Frekuensi N = Jumlah Data

9

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian ;Suatu Pendekatan Praktis, (Bandung : Alfabeta), 2010, h. 193-194.

10

Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Jakarta : PT. Bumi Aksara), 2007, h.179.

11

M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Jakarta : Kencana), 2005, Cet ke-5, h. 122.


(22)

11

6. Analisis Data dan Perumusan Hipotesis a. Analisis Data

Dalam menganalisis data dan menginterpretasikannya dengan cara pengolahan data sebagai berikut:

1) Editing adalah kegiatan yang dilaksanakan setelah peneliti selesai menghimpun data di lapangan.

2) Coding adalah data yang telah diedit tersebut diberi identitas sehingga memiliki arti tertentu pada saat dianalisis.

3) Tabulasi adalah memasukkan data pada tabel-tabel tertentu dan mengatur angka-angka serta menghitungnya.

Analisis data pada penelitian ini digunakan untuk mencari kedua variabel tersebut. Teknik ini menganalisis hubungan antara variabel X, yaitu pelatihan muhadharah santri, dan variabel Y yaitu kemampuan pidato. Untuk membuktikan hipotesis antara variabel/data. Analisis data ini dengan menggunakan Sofware SPSS

yaitu Mann-Whitney Test.12

12

Singgih Santoso, Mastering SPSS Versi 19, (Jakarta : PT. Alex Media Komputindo, Kompas Gramedia), 2011, h. 372.


(23)

b. Perumusan Hipotesis

Penulis dapat menentukan arah pemecahan masalah dengan menggunakan dugaan sementara yaitu hipotesis.

Rumusan tersebut untuk menguji hipotesa sebagai berikut:

a. Ho (Hipotesis nol) yaitu hipotesis yang dirumuskan dalam kalimat negatif.

Tidak terdapat hubungan atau pengaruh antara pelatihan muhadharah dengan kemampuan berpidato santri pondok pesantren Nurul Achmad Mauk-Tangerang.

b. Ha (Hipotesis alternatif) yaitu hipotesis yang menggunakan kalimat positif.13

Terdapat hubungan atau pengaruh antara pelatihan muhadharah dengan kemampuan berpidatosantri pondok pesantren Nurul Ahmad Mauk-Tangerang.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan penelitian ini penulis mengadakan suatu telaah kepustakaan, penulis menemukan skripsi yang memiliki kemiripan judul yang akan penulis teliti, judul skripsi tersebut adalah:

1. Pada tahun 2009, Amin Dimyati, Nim 102051025492, dengan judul skripsi “Komunikasi Instruksional dalam Kegiatan Muhadharah di Pondok Pesantren Raudhatut Tullab Kecamatan Kemiri Kabupaten

13

Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif, (Malang : UIN Maliki Press), 2008, h. 252.


(24)

13

Tangerang Provinsi Banten”. Berisi tentang aktivitas komunikasi instruksional dalam kegiatan muhadharah pondok pesantren Raudhatut Tullab kemiri Tangerang Banten dan proses komunikasi instruksional dalam kegiatan muhadharah di pondok pesantren Raudhatut Tullab kemiri Tangerang Provinsi Banten.

2. Pada tahun 2009, Sukma Pribadi, Nim 102051025527, dengan judul

skripsi “Komunikasi Instruksional dalam Pengajaran Muhadharah di

Pondok Pesantren Putra As-Syafi‟iyah Jati Waringin Bekasi”. Dalam skripsi ini menganalisa pada komunikasi instruksional yang digunakan oleh guru muhadharah di pondok pesantren putra As-Syafi‟iyah Jati Waringin Bekasi dalam mengajar khususnya pada pengajaran muhadarah.

3. Pada tahun 2008, Rizka Aulia, Nim 104051001764, dengan judul skripsi “Pembinaan Calon Muballigh melalui Muhadharah di Yayasan Yatim

Piatu Miftahul Ulum Gandul Depok”. Berisis tentang usaha yang

dilakukan Yayasan Miftahul Ulum Gandul Depok dalam pembinaan calon muballigh melalui muhadharah dan metode yang digunakan Yayasan Miftahul Ulum dalam membina calon muballigh.

Berbeda dengan isi skripsi penulis walaupun judul hampir mirip tetapi berisi tentang pengaruhnya dalam pelatihan muhadharah terhadap kemampuan berpidato santri pondok pesantren Nurul Achmad.


(25)

F. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN

Menerangkan secara singkat mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka serta sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Terdiri dari teori-teori yang berhubungan dengan judul skripsi. BAB III : GAMBARAN UMUM

Bab ini berisi mengenai profil Pondok Pesantren Nurul Achmad dan gambaran umum tentang pelatihan muhadharah yang dilaksanakan oleh Pondok Pesantren tersebut.

BAB IV : ANALISIS HASIL PENELITIAN

Dalam bab ini penulis mencoba menampilkan hasil analisis pengaruh pelatihan muhadharah sebagai upaya melatih kemampuan berpidato bagi santri Pondok Pesantren Nurul Achmad.

BAB V : PENUTUP

Bab ini terdiri dari kesimpulan terhadap apa yang telah diteliti oleh penulis terkait mengenai pengaruh pelatihan muhadharah terhadap kemampuan berpidato bagi santri, serta memberikan saran dalam penelitian tersebut. DAFTAR PUSTAKA


(26)

15 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengaruh

Pengaruh menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu atau benda yang membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.14

Dalam buku “pengantar ilmu komunikasi” pengaruh atau efek ialah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan.15 Pengaruh dapat mengena jika perubahan (P) yang terjadi pada penerima sama dengan tujuan (T) yang diinginkan oleh komunikator (P=T), atau seperti rumus yang dibuat oleh Jamias (1989), yakni pengaruh (P) sangat ditentukan oleh sumber, pesan, media, dan penerima (P=S/P/M/P).16

Berdasarkan definisi tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa pengaruh adalah efek dari hasil pelatihan atau pendidikan. Pengaruh dapat dirasakan oleh setiap orang ketika mengalami suatu peristiwa yang dialaminya secara berulang-ulang, jika orang tersebut sangat menyukainya terhadap apa yang dialaminya bukan tidak mungkin akan menimbulkan

14

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka), 2002, h. 849.

15

Stuart, 1998.

16

H. Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), 2006, h.147.


(27)

pengaruh positif pada dirinya baik perbuatan atau kepercayaan seperti halnya seorang santri mengikuti pelatihan muhadharah.

B. Pelatihan

Pelatihan adalah proses sistematik pengubahan perilaku para pegawai dalam suatu arah guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasional.

Nadler dan Nadler mengatakan bahwa “pelatihan merupakan pembelajaran yang disediakan pengusaha kepada pekerja berkaitan dengan

pekerjaan mereka saat ini”.17

Sedangkan Smith mendefinisikan pelatihan sebagai “proses terencana

dalam memodifikasi sikap, pengetahuan atau perilaku keahlian melalui pengalaman pembelajaran untuk mencapai kinerja efektif dalam kegiatan atau

sejumlah kegiatan.”18

Dugan Laird mendefinisikan “pelatihan sebagai akvisisi teknologi yang memungkinkan pekerja bekerja sesuai standart. Ia mengembangkan pengertian pelatihan sebagai pengalaman, kedisiplinan atau suatu cara dalam hidup yang menyebabkan pekerja belajar sesuatu yang baru, perilaku yang

ditetapkan sebelumnya.”19

17

Francesco Sofo, Di terjemahkan oleh Jusuf Irianto, Pengembangan Sumber Daya Manusia: Perspektif, Peran dan Pilihan Praktis, (Surabaya: AirLangga University Press), 2003, h. 137.

18

Francesco Sofo, Di terjemahkan oleh Jusuf Irianto, h. 138. 19


(28)

17

Henry Simamora menjelaskan bahwa “pelatihan (training) diarahkan untuk membantu karyawan menunaikan kepegawaian mereka saat ini secara

lebih baik.”20

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pelatihan adalah suatu perilaku pekerja terhadap pekerjaannya dalam suatu organisasi dengan pengalaman, kedisiplinan agar pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan tertata, sehingga menimbulkan pekerjaan yang lebih maksimal.

Dalam pelatihan tidak hanya sekedar berlatih akan tetapi ada tahap-tahap pelatihannya dan penilaian kebutuhan pelatihan.

1. Tahap-tahap Pelatihan:

Program pelatihan mempunyai tiga tahap aktivitas, (Barnardin & Russsell, yang mencakup):21

a. Penilaian kebutuhan pelatihan (need assessment), yang tujuannya adalah mengumpulkan informasi untuk menentukan dibutuhkan atau tidaknya program pelatihan.

b. Pengembangan program pelatihan (development), bertujuan untuk merancang lingkungan pelatihan dan metode-metode pelatihan yang dibutuhkan guna mencapai tujuan pelatihan.

c. Evaluasi program pelatihan (evaluation) yang mempunyai tujuan untuk menguji dan menilai apakah program-program pelatihan yang

20

Ambar Teguh Sulistiyani Rosidah, Manajemen Sumber Daya Manusia: Konsep, Teori dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik, (Yogyakarta: Graha Ilmu), Cet ke 1.2009, h. 219-220.

21


(29)

telah dijalani, secara efektif mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2. Penilaian Kebutuhan Pelatihan

Penentuan kebutuhan pelatihan memerlukan tiga tipe analisis22 :

a. Analisis organisasioanl adalah pemeriksaan jenis-jenis permasalahan yang dialami organisasi dan di mana permasalahan itu berada dalam organisasi.

b. Analisis operasional adalah proses menentukan perilaku-perilaku yang dituntut dari pemegang jabatan dan standar kinerja yang harus dipenuhi.

c. Analisis personalia adalah mengidentifikasi kesenjangan antara kebutuhan-kebutuhan kerja dengan organisasi yang teridentifikasi dengan karakteristik-karakteristik masing-masing.

C. Muhadharah

Secara etimologi, muhadharah berasal dari bahasa Arab dari kata “haadhoro-yuhaadhiru- muhaadharah” yang berarti ada atau hadir,

menghadirkan”.23

Jadi secara etimologi muhadharah dapat diartikan sebagai sebuah proses interaksi.

22

Ambar Teguh Sulistiyani Rosidah, Manajemen Sumber Daya Manusia: Konsep, Teori dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik, (Yogyakarta: Graha Ilmu), Cet ke 1.2009, h.225.

23

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif), 1999, Cet. Ke2, h. 295.


(30)

19

Nasaruddin Latif mendefinisikan muhadharah secara bahasa yaitu

“terjemah keagamaan atau tabligh atau khutbah”.24

Idrus Alkaf dalam Kamus Tiga Bahasa Almanar, mengartikan muhadharah yaitu “ceramah atau

kuliah”.25

Sedangkan Peter Salim dalam kamusnya mengartikan muhadharah

adalah “pencurahan pikiran dan perasaan”.26

Secara terminologi, muhadharah mempunyai beberapa arti, seperti yang dikemukakan pakar berikut ini, H.S.M Nasaruddin Latif mengartikan “muhadharah adalah Ceramah keagamaan atau tabligh atau khutbah yang pada hakikatnya merupakan suatu bentuk hubungan komunikasi, yang berupa penyampaian ajaran-ajaran Islam yang diselenggarakan dalam suatu masjid, surau, gedung pertemuan, ataupun tempat-tempat lainnya”.27

Sedangkan pendapat KH. Tajuddin HM memberikan definisi

“muhadharah adalah saling menyampaikan ceramah dalam suatu ruang

pertemuan dalam rangka pengembangan daya nalar dan menggali potensi diri

dan bakat dalam berdakwah”.28

Abdur Rahman Abdul Khaliq berpendapat bahwa “muhadharah adalah suatu kegiatan ceramah yang diadakan dalam suatu ruangan, di mana seorang penceramah menyampaikan uraian pidatonya di depan orang-orang yang hadir sementara yang lain mendengarkan dan

menyimak”.29

24

S.M. Nasaruddin Latif, Teori dan Praktek Dakwah, (Jakarta), 1970, Cet ke-1, h. 80. 25

Idrus Alkaf, Kamus Tiga Bahasa Arab-Indonesia-Inggris. (Surabaya: Karya Utama), 1997, h. 295.

26

Peter Salim dan Yunny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Surabaya: Giri Utama), 1999, h. 1001.

27

S.M. Nasaruddin Latif, Teori dan Praktek Dakwah, (Jakarta), 1970, Cet ke-1, h. 80. 28

A. Tajuddin, H.M, Dakwah Islam, (Jakarta : Bulan Bintang). 1994. Cet. Ke 1 h. 7. 29

Abdur Rahman Abdul Khalik, Sistem Dakwah Salafiyah, (Jakarta: Gema Insani Press), 2001, Cet. Ke-1 h. 49.


(31)

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa muhadharah adalah suatu bentuk komunikasi bagi setiap orang dapat saling berinteraksi dan dapat memberikan informasi atau ceramah keagamaan yang dilaksanakan di dalam suatu ruangan tertentu yaitu di masjid, gedung pertemuan, mushola dan tempat lainnya yang dihadiri oleh sejumlah orang yang di dalamnya terdiri dari penceramah, pendengar dan penyimak.

1. Metode

Metode dakwah dapat digunakan untuk metode muhadharah, karena muhadharah secara tidak langsung merupakan sebuah pelatihan dakwah. Dengan mengetahui metode dakwah, penyampaian dakwah dapat mengena sasaran, dan dakwah dapat diterima oleh mad‟u (objek) dengan mudah karena penggunaan metode yang tepat sasaran.

Dengan menguasai metode dakwah, maka pesan-pesan dakwah yang disampaikan seorang da‟I kepada mad‟u sebagai penerima atau objek dakwah akan mudah dicerna dan diterima dengan baik.

Secara etimologi, metode berasal dari bahasa Yunani metodos yang artinya cara atau jalan. Jadi, metode dakwah adalah jalan atau cara untuk mencapai tujuan dakwah yang dilaksanakan secara efektif dan efisien.30

30


(32)

21

Adapun metode dakwah dalam Al-Qur‟an adalah sebagai berikut : a. Bi Al Hikmah

Kata hikmah sering kali diterjemahkan dalam pengertian bijaksana, yaitu suatu pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak objek dakwah mampu melaksanakan apa yang didakwahkan atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, konflik, maupun rasa tertekan.31

Jadi, hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi yang dilaksanakan atas dasar persuasif (ajakan).

b. Mau‟izhah Hasanah

Mau’izhah Hasanah atau nasihat yang baik, maksudnya adalah memberikan nasihat kepada orang lain dengan cara yang baik, yaitu petunjuk-petunjuk kearah kebaikan dengan bahasa yang baik, dapat diterima, berkenan di hati, menyentuh perasaan, lurus di pikiran, menghindari sikap kasar, dan tidak mencari atau menyebut kesalahan audiens sehingga pihak objek dakwah dengan rela hati dan atas kesadarannya dapat mengikuti ajaran yang disampaikan oleh pihak subjek dakwah.

c. Mujadalah

Mujadalah adalah berdiskusi dengan cara yang baik dari cara-cara berdiskusi yang ada. Jadi, mujadalah merupakan cara terakhir yang digunakan untuk berdakwah manakala kedua cara terakhir yang

31


(33)

digunakan untuk orang-orang yang taraf berpikirnya cukup maju, dan kritis seperti ahli kitab yang memang telah memiliki bekal keagamaan dari para utusan sebelumnya.32

2. Seni Muhadharah

Seni muhadharah (dakwah), seni dengan misi dakwah, yaitu seni yang menyampaikan makna pesan berupa nilai-nilai Islamiyah yang di dalam interaksi sosialnya berusaha membawa audiens kearah perubahan budaya yang lebih baik mendekati kebenaran syariat dan akidah Islamiyah.

Dalam hal ini, kekuatan seni sebagai misi muhadharah atau dakwah dalam perubahan budaya adalah tergantung seberapa kemampuan seniman menuangkan makna dalam seni kemudian mensosialisasikan makna-makna Islamiyah tersebut terhadap massa atau massa itu sendiri yang aktif menjadi penerjemah.

Alat pengukur untuk mengetahui kadar keislaman dari ekspresi kesenian yang beraneka ragam itu dapat dikemukakan dalam dua hal, yaitu 33:

a. Ketaatan asas atau konsistensi ekspresi itu sendiri dalam panjang nafas keislaman.

b. Kesungguhan isi pesan yang bibawakan.

Pengakuan seni oleh Islam tidak lepas dari fitrah manusia yang menuntut keserasian dan keseimbangan antara unsur-unsur pikir,rasa,

32

Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta : Amzah), 2009, Cet ke-1, h. 100. 33


(34)

23

karsa, dan karya. Dari sisi fungsinya, seni dapat menjadi media mensyukuri nikmat Allah, di mana Allah telah menganugerahi manusia berbagai potensi, baik potensi rohani, maupun potensi inderawi (mata, telinga, dan lain-lain). Fungsi seni disini adalah menghayati sunnah Allah, baik pada alam, maupun yang terdapat pada kreasi manusia.

Dalam hal ini nilai lebih pidato melalui kegiatan seni mampu menyentuh dimensi rasa dan kesadaran lebih dalam. Dengan menggunakan seni sebagai media dakwah, audiens atau mad‟u sebagai penerima dakwah akan merasa mendapat pesan-pesan dakwah secara universal tanpa merasa digurui.

Seni tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kesenian merupakan dari pikir, rasa, karsa, dan karya bagi manusia atau merupakan fitrah manusia agar hidup tidak membosankan. Islam pada dasarnya membenarkan adanya seni dengan berbagai cabangnya, sepanjang tidak melalaikan Allah dan tidak menimbulkan kemungkaran.

Potensi-potensi masyarakat dalam mengembangkan kesenian dalam Islam seharusnya menjadi sarana dan media untuk mengembangkan dakwah Islamiyah, yang pada tujuan akhirnya adalah dapat mendekatkan manusia untuk lebih memahami ajaran dan perintah Tuhan melalui pendekatan seni ini. Dengan demikian seni mempunyai landasan dan kriteria batasan-batasan yang tidak menjerumuskan pemirsa atau penikmatnya, akan tetapi justru melalui seni ini manusia dapat secara tidak langsung mengerti dan bertambah pengetahuan agamanya, di


(35)

mana pada akhirnya mereka akan menjalankan ajaran agama Islam secara lebih baik.

Selain ilmu-ilmu agama yang lain yang harus dipelajari pelatihan

muhadharah di Pesantren Nurul Ahmad memang harus di adakan karena untuk menambah ilmu dan rasa percaya diri jika menghadapi khalayak atau publik.

3. Materi Dakwah

Menurut Barmawi Umari, materi dakwah Islam, antara lain:34 a. Aqidah, menyebarkan dan menanamkan pengertian aqidah Islamiyah

berpangkal dari rukun iman yang prinsipil darn segala perinciannya. b. Akhlak, menerangkan mengenai akhlak mahmudah dan akhlak

madzmumah dengan segala dasar, hasil dan akibatnya, diikuti oleh contoh-contoh yang telah pernah berlaku dalam sejarah.

c. Ahkam, menjelaskan aneka hukum meliputi soal-soal ibadah, muamalat yang wajib diamalkan oleh setiap muslim.

d. Ukhuwah, menggambarkan persaudaraan yang dikehendaki oleh Islam antar penganutnya sendiri, serta sikap pemeluk Islam terhadap pemeluk agama lain.

e. Pendidikan, melukiskan sistem pendidikan model Islam yang telah dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam di masa sekarang.

34


(36)

25

f. Sosial, mengemukakan solidaritas menurut tuntunan agama Islam, tolong menolong, kerukunan hidup sesuai dengan ajaran Al-qur‟an dan hadist.

g. Kebudayaan, mengembangkan perilaku kebudayaan yang tidak bertentangan dengan norma-norma agama.

h. Kemasyarakatan, menguraikan konstruksi masyarakat yang berisi ajaran Islam, dengan tujuan keadilan dan kemakmuran bersama.

i. Amar ma‟ruf, mengajak manusia untuk berbuat baik.

j. Nahi munkar, melarang manusia dari berbuat jahat.

D. Kemampuan

Menurut Chaplin Kemampuan ( kecakapan, ketangkasan, kesanggupan, bakat) adalah tenaga ( daya kekuatan ) untuk melakukan suatu perbuatan. Kemampuan bisa merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir, atau merupakan hasil latihan atau praktek.35

a. Faktor kemampuan

Robbins menyatakan bahwa kemampuan terdiri dari dua faktor, yaitu: 1. Kemampuan Intelektual merupakan kemampuan melakukan

aktivitas secara mental.

2. Kemampuan fisik merupakan kemampuan melakukan aktivitas berdasarkan stamina kekuatan dan karakteristik fisik.

35

Anonymous, Konsep Kemampuan Sumber Daya Manusia, www. Google.com diakses pada tanggal 15 Maret 2013.


(37)

E. Berpidato

Berpidato adalah salah satu wujud kegiatan berbahasa lisan. Oleh sebab itu, berpidato memerlukan dan mementingkan ekspresi gagasan dan penalaran dengan menggunakan bahasa lisan yang didukung oleh aspek nonbahasa, seperti ekspresi wajah, kontak pandang, dan intonasi suara.36

“Pidato merupakan salah satu wujud kegiatan kebahasaan lisan yang mementingkan ekspresi gagasan dan penalaran dengan menggunakan bahasa lisan yang didukung oleh aspek-aspek nonkebahasaan (ekspresi wajah), gesture atau bahasa tubuh, kontak

pandang, dan bahasa nonverbal lainnya)”.37

Dalam buku lain yaitu “Dakwah Islamiyah”, pidato adalah seni menutur, menyadarkan dan menarik publik.38

Para khatib berhadapan dengan publik, dan berusaha mengalihkan pandangan padanya dengan cara penampilan dan alunan suaranya, keelokan mimiknya dan keindahan uraiannya. Khatib berhadapan dan berdialog dengan yang membaca dan buta aksara, para tunanetra dan yang melihat, kecil dan besar, dia bergumul dengan seluruh kekuatan manusia secara langsung, berdialog dan menarik simpati, meratapi jiwa manusia, menggerakan motivasi kebaikan manusia, mengajar pembuktian dan keterangan untuk diresapi, dan merobah dari satu bentuk pidato serta gayanya menurut perobahan yang datang dari publik.

Jadi, berpidato adalah kegiatan menyampaikan gagasan secara lisan dengan menggunakan penalaran yang tepat serta memanfaatkan aspek

36

Zaenal Arifin dan Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Akademika Pressindo), 2008, h. 228.

37

Minto Rahayu, Bahasa Indonesia Di Perguruan Tinggi, (Jakarta : PT. Grasindo), 2007, h. 234.

38


(38)

27

nonkebahasaan yang mendukung dayaguna dan tepatguna pengungkapan gagasan kepada banyak orang dalam suatu acara tertentu.

1. Kriteria berpidato

Pidato yang baik ditandai oleh beberapa kriteria. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

a. Isinya sesuai dengan kegiatan yang sedang berlangsung. b. Isinya menggugah dan bermanfaat bagi pendengar. c. Isinya tidak menimbulkan pertentangan sara. d. Isinya jelas.

e. Isinya benar dan objektif.

f. Bahasa yang dipakai mudah dipahami.

g. Bahasanya disampaikan secara santun, rendah hati dan bersahabat. 2. Tata tertib dan etika berpidato

Tata cara berpidato merujuk kepada langkah-langkah dan urutan untuk memulai, mengembangkan, dan mengakhiri pidato. Sementara itu, etika berpidato merujuk kepada nilai-nilai kepatutan yang perlu diperhatikan dan dijunjung ketika seseorang berpidato.

Etika berpidato akan menjadi pegangan bagi siapa saja yang akan berpidato. Ketika berpidato, kita tidak boleh menyinggung perasaan orang lain, sebaliknya berupaya untuk menghargai dan membangun optimisme bagi pendengarnya. Selain itu, keterbukaan, kejujuran, empati, dan persahabatan perlu diusahakan dalam berpidato.


(39)

3. Penulisan Naskah Pidato

Menulis naskah pidato pada hakikatnya adalah menuangkan gagasan ke dalam bentuk bahasa tulis yang siap dilisankan. Pilihan kosa kata, kalimat, dan paragraf dalam menulis sebuah pidato sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan menulis naskah yang lain. Hanya saja disesuaikan dengan situasi pidato; resmi, kurang resmi, atau kekeluargaan yang menentukan pilihan kata.

a. Menyunting/mengedit naskah pidato, untuk menyempurnakan naskah pidato. Hal yang disunting adalah:

1) Isinya dicermati kembali apakah telah sesuai dengan tujuan pidato, calon pendengar, dan kegiatan yang digelar. Apakah isinya benar, representative, dan mengandung informasi yang relevan dengan konteks pidato. Bahasanya diarahkan pada ketepatan pilihan kata, kalimat dan paragraf.

2) Penalaran untuk memastikan isi dalam naskah telah dikembangkan dengan tepat.

b. Menyempurnakan naskah setelah disunting, baik oleh penulis atau orang lain, diarahkan pada aspek isi dan bahasa. Penyempurnaan bahasa dengan mengganti kosa kata dengan lebih tepat, kalimat dan paragraf dengan memperbaiki koherensi dan kohesinya dan menghilangkan unsur yang tidak diperlukan. 39

39

Minto Rahayu, Bahasa Indonesia Di Perguruan Tinggi, ( Jakarta: PT. Grasindo), 2007, h. 235.


(40)

29

4. Penyampaian Pidato

Menyampaikan pidato berarti melisankan naskah pidato yang telah disiapkan. Akan tetapi, menyampaikan pidato bukan sekedar membacakan naskah pidato di depan hadirin, tetap perlu juga menghidupkan dan menghangatkan suasana dan menciptakan interaksi yang hangat dengan audiens. 40

5. Pidato keagamaan

Pidato keagamaan adalah yang berlandaskan kepada agama disegi materinya, judulnya, maka menghubungkan pendengar dengan khalik, mengingatkan mereka dengan pahala, siksaan dan mengajak mereka kepada kebaikan serta memperingatkan dari keburukan.41

6. Mengapa tidak berbobotnya pidato keagamaan

Kita perhatikan kebanyakan dari pidato-pidato keagamaan tidak mahir dalam pidatonya, ini tergantung oleh beberapa sebab yang berikut42:

a. Pidato mereka terdiri dari beberapa judul, sejak dari ajakan berbuat baik sampai kepada peringatan menyingkirkan dari kejelekan, nampaknya pidato-pidato itu seperti buku yang terkumpul beberapa judul campur baur yang tidak dipelajari satu judul untuk pelajaran yang sempurna, sehingga melekat di hati pendengar dan tersentuh perasaan mereka. Pidato yang sukses harus mempunyai satu judul.

40

Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, ( Jakarta: Akademika Pressindo), 2008, h. 228-230.

41

Abdullah Syihata, Dakwah Islamiyah, (Jakarta : Departemen Agama), 1978, h. 33. 42


(41)

b. Judul-judul ini kebanyakan mempunyai pengertian yang satu dan terulang-ulang, terkadang dengan cara yang sama berulang-ulang kepada pendengaran orang sehingga membosankan.

c. Disamping judulnya yang bercorak ragam, pengertian yang satu tidak sesuai dengan perjalanan masa, berlawanan dengan kenyataan hidup juga tidak terdapat kesungguhan.

d. Dari keseluruhannya pidato itu tidak sesuai bagi daya pikir para pendengar, dan tidak menggairahkan karena sistimnya memaksa pengertian tanpa daya tarik, penyampaian yang mengundang menguap dan membosankan.

7. Penampilan yang baik, dan penyampaian yang bagus

Khatib harus bagus dan baik penampilannya karena pribadi dan kedudukannya, isyarat, nada, suara, dan indahnya suara baik nada naik turunnya, dan bagus akhlaknya, semua ini menolong atas kesan dan kecondongan kita membaca pidato yang berguna ketika engkau mendengar maka tidak kerasa dengannya keindahan karena dia telah memberi kesan dari sebab yang mengiringi penyampaian.

8. Tahap Penyusunan Pidato43 a. Cara membuka pidato

Pembukaan pidato adalah bagian penting dan menentukan. Kegagalan dalam membuka pidato akan menghancurkan seluruh komposisi dan presentasi pidato. Tujuan utama pembukaan pidato

43

Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern : Pendekatan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), 2011, h. 52-87.


(42)

31

ialah membangkitkan perhatian, memperjelas latar belakang pembicaraan dan menciptakan kesan yang baik mengenai komunikator.

Terdapat beberapa cara membuka pidato antara lain:

1) Langsung menyebutkan pokok persoalan. Komunikator menyebutkan hal yang akan dibicarakannya dan memberikan kerangka pembicaraannya.

2) Menghubungkan dengan peristiwa yang sedang diperingati. Ini biasanya dilakukan dalam pidato untuk memperingati hari bersejarah, bangunan baru, atau orang besar yang sudah tiada. 3) Mengajukan pertanyaan provokatif atau serentetan pertanyaan.

Pertanyaan yang baik dapat mendorong khalayak untuk memikirkan jawabannya. Pertanyaan itu haruslah yang erat kaitannya baik dengan kepentingan khalayak maupun dengan isi pidato.

4) Menceritakan pengalaman pribadi. Pengalaman pembicara yang menarik dapat membuka minat pendengar. Pengalaman tersebut

akan terasa “dekat” dan “nyata”, sebab orang yang

mengalaminya hadir ditengah khalayak. b. Cara menyampaikan pidato

Ada dua cara orang memandang dalam penyampaian pidato. Sebagian orang yang melihat pidato hanya sebagai suatu percakapan yang diperluas dan dianggap tidak perlu mempelajarinya dengan


(43)

menguasai bahan, maka pidato akan berjalan dengan sendirinya. Sebagian lagi melihat pidato bukan lagi sebagai suatu percakapan, tetapi sudah merupakan peristiwa yang memerlukan bakat dan keterampilan.

Semua orang dapat menyampaikan pidato dengan baik bila mereka mengetahui dan memperaktekkan prinsip penyampaian pidato sebagai berikut:

1) Membangun kepercayaan diri. Banyak istilah digunakan untuk menamai gejala ini; demam panggung dan kecemasan bicara. Menurut para psikolog, semua gejala itu adalah reaksi alamiah kepada ancaman. Begitu makhluk menghadapi ancaman, ia bersiaga untuk melawan atau melarikan diri.

2) Kontak mata. Mata merupakan bagian yang paling ekspresif dari seluruh wajah. Pandanglah para pendengar. Hindari menatap langit-langit atau lantai, mengapa tidak menatap mata yang diajak berbicara. Kalau ini terjadi bisa kehilangan kesempatan untuk berkomunikasi dengan baik. Sebagian pakar komunikasi menyebutnya hubungan erat dengan pendengar. Pidato adalah komunikasi tatap muka, yang bersifat dua arah.

3) Karakteristik olah vokal. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam olah vokal yaitu kejelasan, keragaman, dan ritma.

4) Olah visual. Berbicara dengan seluruh kepribadian, dengan wajah, tangan, dan seluruh tubuh.


(44)

33

c. Cara menutup pidato

Permulaan dan akhir pidato adalah bagian-bagian yang paling menentukan. Kalau permulaan pidato harus dapat mengantarkan pikiran dan menambatkan perhatian kepada pokok pembicaraan, maka penutup pidato harus dapat memfokuskan pikiran dan perasaan khalayak pada gagasan utama atau kesimpulan penting dari seluruh isi pidato.

Di bawah ini ada beberapa cara menutup pidato:

1) Menyimpulkan atau mengemukakan ikhtisar pembicaraan. Manusia sanggup mengingat banyak hal, tetapi hanya sanggup mengingat jelas beberapa hal saja. Karena itu pokok-pokok utama disebutkan kembali.

2) Mengatakan kata peribahasa atau kata mutiara. Kutipan dapat menambah keindahan komposisi, asalkan kutipan itu ada kaitannya dengan tema yang dibicarakan atau menunjukkan arah tindakan yang harus dilakukan.

3) Melantunkan pantun


(45)

Penunjang untuk indahnya pandangan dan bagusnya penampilan, sebagai berikut44 :

a. Berdiri

Khatib berdiri didepan publik untuk memimpin dan diperhatikan padanya, dia dapat berdiri sebagai menambah kemegahan dan kebesaran, dengan menjauhkan sebagian kebiasaan yang jelek seperti meletakkan tangan pada badan, atau banyak gerakan, dengan cara yang sederhana dalam berdiri dan menampakkan dadanya kedepan dan selalu dalam kebesaran serta berwibawa.

b. Isyarat yang bagus

Isyarat yang bagus artinya perhatian atau arah gerak yang mengerti, apabila isyarat diiringi dengan bahasa pada tempat yang sesuai tentu akan memberi kesan yang besar. Suara khatib walaupun bagaimana perubahan nada dan iramanya tidak akan cukup untuk menampilkan seluruh perasaannya, maka harus dibantu dengan gerakan tangan, kepala, dua bahu dan raut mukanya.

c. Pandangan dua mata

Mata adalah pintu yang menembusi kealam dan kepada diri kita, menampakkan perasaan pada penglihatan serta membuka apa yang ada di dalam jiwa.

“Misalnya mata yang membelalak berarti kesal, takut atau heran, mata yang terpejam menunjukkan kerendahan atau parah, mata yang melirik, diartikan merendahkan dan menghina, mata yang bergerak kiri kanan ditimbulkan ria dan sombong, mata yang

44


(46)

35

menatap ke langit melambangkan kepada do‟a, pandangan ke bumi menampakkan kesan khusyu‟ atau malu, mata yang tetap pada pandangannya lepas dari kesusahan, tetap dan mengharap, mata yang berkaca-kaca berarti kemenangan.”

Berpidato juga bisa disebut dengan komunikasi di depan publik atau biasa disebut dengan komunikasi secara tatap muka dengan audiens sehingga audiens dapat mendengarkan dengan jelas dan dapat memahami tentang apa yang dikemukakan oleh seorang komunikator.

Berpidato atau pidato biasa disebut komunikasi publik, komunikasi kolektif, komuikasi retorika, public speaking dan komunikasi khalayak (audience communication). Apapun namanya, komunikasi publik menunjukkan suatu proses komunikasi di mana pesan-pesan disampaikan oleh pembicara dalam situasi tatap muka di depan khalayak yang lebih besar. 1. Ciri-ciri komunikasi publik45:

a. Komunikasi interpersonal (pribadi), karena berlangsungnya secara tatap muka, tetapi terdapat beberapa perbedaan yang cukup mendasar sehingga memiliki ciri masing-masing. Dalam komunikasi publik penyampaian pesan berlangsung secara continue. Dapat diidentifikasi siapa yang berbicara (sumber) dan siapa pendengarnya. b. Pesan yang disampaikan itu tidak berlangsung secara spontanitas,

tetapi terencana dan dipersiapkan lebih awal. Tipe komunikasi publik biasanya ditemui dalam berbagai aktifitas seperti pidato, rapat kabar, pengarahan, ceramah, dan semacamnya.

45

Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta : PT. RajaGrapindo Persada), 2008, h.. 35.


(47)

David K. Berlo membuat formula komunikasi yang lebih sederhana.

Fomula ini dikenal dengan nama “SMCR”, yaitu Source (pengirim),

Message (pesan), Channel (media) dan Receiver (penerima).46 a. Sumber atau pengirim

Dalam komunikasi antarmanusia, sumber bisa terdiri satu orang, juga bisa dalam bentuk kelompok misalnya; partai, organisasi, atau lembaga.

b. Pesan

Pesan dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Isinya bisa berupa ilmu pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat.

c. Media

Dalam komunikasi publik media ialah alat yang diperlukan untuk menyalurkan suara dari sumber ke khalayak seperti mikrofon, sound sistem, mimbar, dan lain-lain. Sedangkan dalam komunikasi massa media ialah alat yang dapat menghubungkan antara sumber dan penerima yang sifatnya terbuka, di mana setiap orang dapat melihat, membaca dan mendengar.

d. Penerima

Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber atau pengirim pesan yang bisa disebut seperti, khalayak, sasaran, komunikan.

46

Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta : PT. RajaGrapindo Persada), 2008.


(48)

37

Jadi, komunikasi publik berupa pidato di depan khalayak baik di raung kelas, masjid, mushola, tempat-tempat pertemuan. Dalam kehidupan sehari-hari berbicara di depan publik itu sudah menjadi kebiasaan karena tanpa adanya pembicaraan maka tidak akan adanya suatu interaksi yang menarik sehingga dalam kehidupan sangat sepi tidak ada kreatifitas dan aktifitas sehari-hari. Dengan komunikasi atau berbicara juga dapat mengenal satu sama lain serta dapat bertukar pikiran yang awalnya tidak tahu menjadi tahu.

Komunikasi jelas tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ia diperlukan untuk mengatur tatakrama pergaulan antarmanusia, sebab berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh langsung pada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat, apakah ia seorang

penceramah/da‟I, dosen, pramugari, public relations dan sebagainya.

F. Santri

Dalam tradisi pesantren dikenal adanya dua kelompok santri. Mereka adalah “santri mukim” dan “santri kalong”. Santri mukim adalah para santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren pada pondok yang disediakan oleh pesantren yang bersangkutan. Sedangkan, santri kalong adalah murid-murid atau para santri yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk pelajarannya di pesantren mereka bulak-balik dari rumahnya sendiri.


(49)

Santri mukim ini memang ingin benar-benar menuntut ilmu agama supaya ketika pulang kerumah masig-masing mempunyai bekal. Sedangkan santri kalong benar ingin mengkaji ilmu agama di Pesantren namun mereka tidak ingin tinggal di pesanrennya karena memang rumahnya di sekitarlingkungan pesantren.

Ada berbagai alasan mengapa santri menetap di suatu pesantren. Dhofier (1982) mengemukakannya ada tiga alasan, yaitu:

a) Ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kyai yang memimpin pesantren.

b) Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren-pesantren terkenal.

c) Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya.47

Dalam buku “Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan”,

mengenai asal-usul santri perkataan “santri” itu ada dua pendapat yang bisa

dijadikan acuan. Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa “santri”

itu berasal dari kata “Sastri”, sebuah kata dari bahasa Sansekerta, yang

artinya “melek huruf”. Agaknya dulu, lebih pada permulaan tumbuhnya

kekuasaan politik Islam di Demak, kaum santri adalah kelas “literary” bagi

orang Jawa.

47

Sindu Galba, Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 1995, h. 54.


(50)

39

Kedua, adalah pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri itu sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya berasal dari kata “cantrik”, yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke manapun guru ini pergi menetap. Tentunya dengan tujuan belajar darinya mengenai suatu keahlian. Sebenarnya kebiasaan cantrik ini masih bisa kita lihat sampai

sekarang, tetapi sudah tidak “sekental” seperti yang pernah kita dengar.48

Pola hubungan “guru-cantrik” itu kemudian diteruskan dalam masa

Islam. Pada proses evolusi selanjtnya “guru-cantrik” menjadi “guru-santri”.

Proses belajarnya santri kepada kiai atau guru itu sering juga sejajar dengan sesuatu kegiatan pertanian. Arti sesungguhnya dari perkataan “cantrik” adalah orang yang menumpang hidup atau dalam bahasa Jawa juga disebut ngenger. Pada masa sebelum kemerdekaan, orang yang datang menumpang di rumah orang lain yang mempunyai sawah-ladang untuk ikut menjadi buruh tani juga disebut dengan kata santri. Tentu ini juga berasal dari kata cantrik tadi.

Dalam buku lain yaitu “Model-model Pembelajaran di Pesantren”

santri adalah sebutan untuk siapa saja yang telah memilih lembaga pondok pesantren sebagai tempat menuntut ilmu. Secara generic, santri di pesantren dapat dikategorikan pada dua kelompok besar,49 yaitu:

1. Santri mukim adalah mereka yang tinggal dan menetap di pondok (asrama) pesantren.

48

Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta : Paramadina), 1997, h. 19-20.

49

Mahmud, Model-model Pembelajaran di Pesantren, (Tangerang: Media Nusantara), 2006, h. 7.


(51)

2. Santri kalong adalah mereka yang hanya mengaji tetapi tidak menetap di pondok pesantren.

Jadi, dapat penulis simpulkan santri adalah sebutan orang-orang yang berada atau tinggal di pondok pesantren untuk memperdalam ilmu agama. Santri merupakan murid-murid yang diasuh dalam bimbingan para ustadz dan ustadzah agar mereka dapat belajar lebih baik.

G. Pondok Pesantren

Pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan system pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keIslaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia. Sebab, lembaga yang serupa dengan pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindhu – Budha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengIslamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.

“Pesantren sebagaimana dikatakan oleh Didin Hafiduddin adalah

salah satu lembaga iqamatuddin.”50

Lembaga-lembaga iqamatuddin memiliki dua fungsi utama, yaitu:

1. Sebagai tempat tafaqquh fiddien (pengajaran, pemahaman, dan pendalaman ajaran agama Islam)

50

Umi Musyarrofah, Dakwah KH. Hamam Dja’far dan Pondok Pesantren Pabelan, (Jakarta: UIN Jakarta Press), 2009, h. 21.


(52)

41

2. Indzar (menyampaikan dan mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat).

Kata “Pondok Pesantren” terdiri dari dua suku kata, yaitu “pondok” dan “pesantren”. Kata pondok berasal dari bahasa arab funduqun, yang artinya “hotel atau penginapan”.

Kontjoroningrat mengatakan “pondok dengan orang yang tinggal di rumah orang lain, tapi pondok yang dimaksud di sini adalah rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu atau lainnya, tempat para

santri tidur (menginap) setelah mereka belajar”.51

Sedangkan Muhammad Ridwan Lubis yang mengatakan bahwa

“pondok adalah tempat tinggal para santri selama menuntut ilmu.”52

Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.

Kunto menyebutkan bahwa “pesantren di Indonesia mempunyai akar sejarah yang panjang, sekalipun pesantren-pesantren besar yang ada sekarang, keberadaan asal usulnya hanya dapat dilacak sampai akhir abad ke 19 atau

awal abad ke 20”.53

Keberadaan pesantren sebagai wadah untuk memperdalam agama dan sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam

51

Umi Musyarrofah, Dakwah KH. Hamam Dja’far dan Pondok Pesantren Pabelan, (Jakarta: UIN Jakarta Press), 2009, h. 22.

52

Umi Musyarrofah, h. 22 53

Yayasan Katanta Bangsa, Pemberdayaan Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), 2005, h. 2.


(53)

diperkirakan sejalan dengan gelombang pertama dari proses pengislaman di daerah Jawa yang berakhir sekitar abad ke 16.

a. Bentuk-bentuk Pesantren

Pesantren sebagai lembaga iqamatuddin dalam kenyataannya dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. Pengelompokkan ini berdasarkan karakteristik pengajaran dan penyampaian yang dilakukan oleh pesantren tersebut.54

Secara garis besar bentuk pesantren dibedakan menjadi tiga yaitu: 1. Pesantren Tradisional

Pesantren Tradisional adalah pesantren yang masih kuat memegang pola tradisional dari segi penyampaian dan pengajaran nilai-nilai Islam. Ciri dari pesantren ini adalah kitab-kitab yang dipelajari masih dengan cara atau system sorongan, bandongan, maupun weton.

2. Pesantren Tradisional Modern

Pesantren Tradisional Modern adalah pesantren yang menggabungkan system tradisional di satu sisi dan di sisi lain menggunakan system madhrasah (klasikal), yang megarah kepada system atau pola modern dari segi penyampaian dan pengajaran nilai-nilai Islam. Ciri pesantren ini adalah kewenangan seorang kiyai tidak mutlak lagi, akan tetapi sudah ada pembagian tugas di antara para pengurusnya.

54

Umi Musyarrofah, Dakwah KH. Hamam Dja’far dan Pondok Pesantren Pabelan, (Jakarta: UIN Jakarta Press), 2009, h. 22-24.


(54)

43

3. Pesantren Modern

Pesantren Modern adalah pesantren yang menggunakan system modern (baru) dari segi penyampaian dan pengajaran materi.

Ciri dari pesantren ini adalah :

a) Memakai cara diskusi dan Tanya jawab dalam penyampaian materinya.

b) Adanya pendidikan kemasyarakatan.

c) Santri diberi kebebasan sebebas mungkin, akan tetapi harus bertanggung jawab.

d) Adanya organisasi pelajar yang mengatur aktivitas para santri. Jadi, pesantren adalah biasanya dengan sebutan pondok pesantren merupakan tempat tinggal para santri atau lembaga pendidikan untuk santri-santri untuk mengemban ilmu agama yang baik dan benar serta menjadikan santri agar dapat berperilaku yang sopan sehingga santri dapat menjadi santri yang sukses dan bisa mengamalkan ilmu-ilmu yang telah dipelajari salah satunya berpidato dengan baik.

Akan tetapi, kurangnya kemampuan pesantren dalam meresponi dan mengimbangi perkembangan zaman tersebut, ditambah dengan faktor lain yang sangat beragam, membuat produk-produk pesantren dianggap kurang siap untuk “lebur” dan mewarnai kehidupan modern. Secara positif mungkin saja suatu jenis pengkhususan akan merupakan kelebihan suatu pesantren terhadap pesantren lainnya. Tetapi dengan sendirinya itu berarti menuntut kesungguhan dalam penggarapan dan pengerjaannya. Artinya, suatu


(55)

kekhususan bidang keahlian tidak akan merupakan ciri kelebihan suatu pesantren yang patut dihargai jika tidak digarap secara serius atau hanya menurut apa adanya saja. Tentunya keseriusan penggarapan ini harus diikuti dengan kejelasan program, penggunaan metode yang komprehensif, kecakapan pelaksana, dan kelengkapan sarananya.

Jadi, tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang bersifat menyeluruh. Selain itu produk pesantren ini diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Maka dalam pesantren Nurul Ahmad diadakan pelatihan Muhadharah agar santri dapat melatih diri dalam berpidato dengan baik dan tertata kata-katanya agar dapat dipahami oleh khalayak atau masyarakat pada umumnya.


(56)

45 BAB III

GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN NURUL ACHMAD

A. Sejarah dan Perkembangannya

Berawal dari keprihatinan dan kepedulian seorang kiyai Kharismatik dan bijaksana KH. Ahmad Syarif keturunan dari H. Ahmad yaitu murid dari Syeikh Nawawi Al-Bantani Tanara terhadap pendidikan Islam berkualitas yang sulit tersentuh oleh kalangan bawah, maka pada bulan syawal tahun 1978 didirikanlah Pondok Pesantren Nurul Ahmad, yang bertempat di Desa Gunung Sari Kecamatan Mauk Tangerang, sebagai bentuk pengabdian beliau kepada masyarakat.

Kehadiran Pondok Pesantren Nurul Ahmad ini merupakan salah satu pemekaran dan pengembangan dari Pesantren Gunung Sari yang beberapa tahun setelah tahun didirikanya. Selang beberapa tahun pondok pesantren Nurul Ahmad dipindahkan dan dibangun di Desa Cibenong Kecamatan Mauk Tangerang. Secara umum lembaga ini memiliki tujuan untuk menegakkan dan melestarikan Syari‟at Islam. Sedangkan secara khusus pendirian Pesantren ini adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan berpartisipasi melahirkan sumber daya manusia, membentuk kader-kader muslim yang beriman, berilmu, mandiri, dan bertaqwa serta ber-akhlaqul karimah, sehingga mampu menampilkan dirinya sebagai figure kepemimpinan yang arif dan bijaksana di tengah-tengah masyarakat kelak.


(57)

Pada saat itu jumlah santri yang berawal dari tetanga-tetangganya yang tinggal di Pondok Pesantren ini, akan tetapi pada saat ini jumlah santri sekitar 200 mulai dari usia 10 tahun sampai usia yang tidak ditentukan, yang tinggal di Pesantren ini tidak ada batas keluarnya. Mereka berasal dari berbagai daerah Indonesia, dan dari semua kalangan, baik kurang mampu maupun dari keluarga berada semuanya mendapatkan fasilitas yang sama. Hal ini memberikan kesadaran bahwa peningkatan kualitas pendidikan harus tetap diupayakan memberdayakan potensi-potensi yang ada, dan mengupayakan hal-hal lain yang menjadi penunjang pendidikan Islam yang berkualitas. Salah satu upaya tersebut ialah dengan mengadakan kegiatan rutin muhadharah. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan public speaking atau berpidato di depan publik.55

Pelatihan muhadharah ini mengalami perkembangan dari tahun ke tahunnya. Kegiatan ini awalnya berjalan dengan tanpa ada peraturan dari pengurus tetapi seiring dengan waktu pelatihan ini terdapat peraturan dari pengurus sehingga pelatihan ini bisa terlaksana dengan efektif.

B. Profil Santri

Sejak didirikannya Pondok Pesantren Nurul Achmad, santri yang tiggal di Pondok Pesantren tersebut berawal dari tetangga-tetangga dekat, setelah ada kemajuan di Pondok Pesantren tersebut barulah banyak santri yang

55

Wawancara Pribadi dengan Ustad Fahmi putra dari KH. Ahmad Syarif pada tanggal 17 November 2012.


(58)

47

mendaftar ke Pondok Pesantren dari mulai daerah jabotabek, ke daerah luar jawa baik santri yang menengah ke atas sampai santri yang biasa saja.

Di Pondok Pesantren Nurul Achamd dalam menerima santri tidak ada batasan baik dari umur 13 tahun hingga dewasa semua diterima dengan senang hati dan tangan terbuka baik laki-laki maupun perempuan, akan tetapi rata-rata santri yang tinggal disini usianya 14-18 tahun. Disini santri digembleng untuk diasah pengetahuan agamanya. Awalnya santri yang tinggal di Pondok Pesantren tidak ada yang betah namun, lambat laun karena sudah terbiasa dengan kegiatan dan peraturan yang ada di Pesantren ini santri betah untuk tetap tinggal sampai para santri tersebut sudah mempunyai bekal agama untuk dikembangkan dimasyarakat luas.

C. Visi dan Misi Pondok Pesantren Nurul Achmad 1. Visi

Pondok Pesantren Nurul Achmad memiliki visi untuk menegakkan Syiar Islam berdasarkan muslim dan muslimah yang berilmu, beriman, bertaqwa, mandiri serta berakhlaqul karimah sehingga mampu tampil sebagai pemimpin masyarakat.

2. Misi

Demi mencapai visi tersebut, Pondok Pesantren Nurul Achmad memiliki misi sebagai berikut :

a. Untuk menciptakan generasi muda yang Islami dari Kecamatan Mauk dan sekitarnya.


(59)

b. Handal dalam ilmu Nahwu dan Shorof.

c. Melestarikan pendidikan Islam dan menyelenggarakan kegiatan yang menumbuh kembangkan potensi santri untuk menjadi muslim-muslimah yang mandiri, kreatif dan cerdas.

D. Tradisi dan Sistem Nilai Pondok Pesantren 1. Tradisi

Di Pondok Pesantren ini dalam tradisi atau cara pengajaran menggunakan cara sorogan dan bandungan (Ustad mengajar dan memberikan materi/menterjemahkan kitab kuning dan santri yang mendengarkan dan menulis). Begitu juga dalam pelatihan muhadharah sebelum berbicara di depan khalayak atau santri lain, santri yang bertugas untuk menampilkan pidato mereka harus sorogan (bimbingan) terlebih dahulu agar bisa diketahui kekurangannya oleh pengurus dan bisa menambahkan masukan dari pengurus.

2. Sistem Nilai

Pengajaran di Pondok Pesantren Nurul Ahmad ini menjadikan santri agar berakhlakul karimah yang baik, dapat berpikir bebas sehingga menciptakan kreativitas yang sangat tinggi, dan berkepribadian yang sopan dan santun terhadap yang lebih tua maupun yang muda. Pondok Pesantren ini mengamalkan ajaran Islam Nahdhatul Ulama (NU) mengarah kepada madzhab Imam Syafi‟i.


(60)

49

E. Struktur Organisasi

Struktur Organisasi Pesatren Nurul Achmad

PIMPINAN

KH. AHMAD SYARIF

BIDANG KESEJAHTER

AAN

UST. JALILUDIN

WAKIL SEKRETARIS UST. MATHLUBI SEKRETARIS

USTD. SYUFAIHAH

PENGASUH HJ. SYIFAH

BENDAHARA USTD. HUMAIDAH

BIDANG HUMAS

UST. ZUHRO

BIDANG KEAMANAN

UST. MASYUFI

BIDANG PENDIDIKAN

UST. SYAKHRUDDIN

BIDANG MUHADHAR

AH

UST. SUWANDI


(61)

F. Program-program Pondok Pesantren

Pondok Pesantren Nurul Achmad terdapat program-program/kegiatan pesantren yang harus diikuti dan diamalkan oleh para santri yang tinggal di Pesantren, antara lain:

1. Mengakaji ilmu Nahwu 2. Mengkaji ilmu Shorof

3. Mengkaji Kitab-kitab yang lainnya yang biasa disebut dengan kitab kuning

4. Mengaji Al-Qur‟an (Qira‟ah dan Murrotal)

5. Sholat berjama‟ah

Namun, Pondok Pesantren Nurul Achmad ini bukan hanya untuk tinggal santri dan belajar tentang agama oleh para ustad dan ustadzah akan tetapi, dalam kegiatan pesantren ini terdapat pelajaran lain yaitu santri dididik dan diajarkan mengenai agri bisnis di bidang pertanian, yakni bercocok tanam dan peternakan karena ini sebagai pondasi untuk santri agar jika ketika keluar dari pondok pesantren ini mereka mempunyai kemampuan wirausaha.

Adapun sistem penilaian Pondok Pesantren dapat menilai santri dari kemampuan santri tersebut apakah mereka layak untuk naik ataukah sebaliknya tidak layak dan terus harus rajin lagi belajar. Hal yang sesuai penilaian dari mulai belajar pengajian iqra, Al-Qur‟an, Nahwu, Shorof, kajian kitab kuning, serta pelatihan muhadharah.


(62)

51

G. Program Pelatihan Muhadharah di Pondok Pesantren Nurul Achmad Muhadharah dilaksanakan setiap seminggu sekali tepatnya pada hari sabtu malam minggu. Kegiatan muhadharah ini bersifat formal dan terstruktur. Tema dan petugas yang akan tampil yang diumumkan oleh pengurus bidang muhadharah seminggu sebelum hari-H. Petugas muhadharah yang akan tampil diwajibkan sorogan (sejenis bimbingan, santri berlatih pidato di depan pengurus, jika ada kekurangan maka pengurus menambahkan redaksi atau memberi masukkan lainnya yang berhubungan dengan persiapan). Pelatihan ini dilaksanakan di musholla, yang biasa digunakan

untuk sholat berjama‟ah dan kondisinya bisa dijaga untuk menciptakan

ketertiban agar pelatihan muhadharah ini berjalan dengan efektif.. Pelatihan ini dilaksanakan dari jam 19.30 sampai dengan jam 21.00. Pelatihan ini berlangsung secara tatap muka. Pembicara berada di hadapan khalayak, dan berdiri dibelakang mimbar. Khalayak adalah seluruh santri yang saat itu tidak mendapatkan tugas muhadharah.

Tujuan diadakannya pelatihan muhadharah adalah untuk meningkatkan keterampilan publik speaking atau kemampuan berpidato.

Dalam pelaksanaan pelatihan muhadarah pengurus muhadharah melakukan upaya-upaya tertentu agar muhadharah dapat terlaksana secara efektif dan terarah:

a. Memantau proses acara muhadharah

b. Mewajibkan santri untuk membawa buku khusus untuk mencatat dan menyimpulkan uraian dari penceramah.


(63)

c. Memberikan teguran bagi santri yang tidak memperhatikan muhadharah dan hukuman bagi santri yang sering melanggar aturan muhadharah. d. Memberikan waktu khusus untuk membacakan kesimpulan yang telah

ditulis bagi santri yang ditunjuk secara mendadak.

e. Memeriksa buku khusus muhadharah secara mendadak, dengan tujuan untuk mengetahui perhatian santri terhadap yang berpidato.

f. Petugas muhadharah ditunjuk perkelompok secara bergilir.

g. Petugas muhadharah diumumkan setelah acara muhadharah selesai dan ditegaskan kembali pada hari kamis.

h. Sebelum acara muhadharah ditutup buku catatan dikumpulkan dan diberi nilai atau tanda.

i. Buku catatan dikembalikan keesokannya.

j. Setiap santri yang mendapat tugas muhadharah diwajibkan terlebih dahulu untuk sorogan dengan pengurus muhadharah.


(64)

53 BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Identitas Responden

Untuk menganalisis bagaimana pengaruh pelatihan muhadharah terhadap kemampuan berpidato santri Pondok Pesantren Nurul Ahmad, dalam hal ini penulis mengamati santri yang mengikuti pelatihan muhadharah dan yang tidak mengikuti pelatihan muhadharah dalam berpidato.

Adapun data keadaan responden yakni santri baik dilihat dari segi usia dan jenis kelamin, tergambarkan dalam data berikut :

Tabel 1

Data Responden berdasarkan Usia

No Kategori Usia Frekuensi Prosentase ( % )

1 13-15 6 33,33

2 16-18 12 66,67

Jumlah 18 100

Pada tabel 1, jumlah santri yang berusia 13-15 terdapat 33,33 %, dan usia 16-18 terdapat 66,67 %. Dalam hal ini, rata-rata usia responden atau santri yang mengikuti pelatihan muhadharah dan tidak mengikuti pelatihan muhadharah yang berusia 16-18 dengan prosentase 66,67%.


(65)

Tabel 2 Jenis Kelamin

No Kategori Frekuensi Prosentase ( % )

1 Laki-laki 6 33,33

2 Perempuan 12 66,67

Jumlah 18 100

Tabel 2, menunjukkan bahwa responden yang mengikuti pelatihan muhadharah dan yang tidak mengikuti pelatihan muhadharah yaitu laki-laki 33,33%, sedangkan perempuan 66,67%.

Jadi dalam tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata santri yang mengikuti pelatihan muhadharah dan yang tidak mengikuti pelatihan muhadharah yaitu perempuan hingga mencapai 66,67%.

Karena yang lebih berminat masuk ke Pondok Pesantren Nurul Achamd adalah perempuan.56

B. Pengaruh Pelatihan Muhadharah Terhadap Kemampuan Berpidato Santri

Untuk menganalisis dan mengetahui bagaiman pengaruh pelatihan muhadharah terhadap kemampuan berpidato santri Pondok Pesantren Nurul Ahmad Penulis menggambarkan hasil penelitian sebagai berikut :

56


(66)

55

Tabel 3 Telaah Pakar Perhitungan Validitas Konstruk

1. Kesesuaian Dimensi dengan Variabel Pedoman penilaian para pakar/panelis a) Rentangan sekor 1-3 butir harus diganti b) Rentangan sekor 3,1-6 butir harus diperbaiki c) Rentangan sekor 6,1-9 butir digunakan

No Nama Dimensi Penilai/panelis

I II III Median Status 1 Cara Membuka Pidato 8 9 8 8 Digunakan 2 Cara Menyampaikan

Pidato

8 9 8 8 Digunakan

3 Cara Menutup Pidato 8 9 8 8 Digunakan 2. Kesesuaian Indikator dengan Dimensi

Nomor Indikator

Penilai/panelis

I II III Median Status

1 7 7 4 7 Digunakan

2 8 8 8 8 Digunakan

3 8 9 8 8 Digunakan

4 8 8 5 8 Digunakan

(tidak berlebihan)

5 8 8 9 8 Digunakan

6 8 8 9 8 Digunakan

7 8 9 9 9 Digunakan

8 8 8 8 8 Digunakan

9 9 9 7 9 Digunakan

(tidak menggurui)

10 9 9 6 9 Digunakan

11 9 9 5 9 Digunakan


(67)

Adapun materi atau judul pidato antara lain :

a. Akhlak : Akhlak terhadap orang tua dan kepada yang lebih tua maupun anak kecil.

b. Keagamaan : Isra‟ Mi‟raj

c. Ilmu d. Syariah

e. Menghormati orang tua f. Menjaga lidah agar selamat g. Akhlak Rasulullah SAW

h. Jadilah seorang penyabar sebatas kemampuan i. Lestarikan bumi

j. Bagaimana menasehati orang lain agar bisa diterima k. Cinta adalah anugerah

l. Pornografi dan pornoaksi m. Kekayaan yang kita miliki n. Bergotong royong

o. Bersyukur p. Menjaga amanah q. Menutup aurat r. Perhiasan dunia


(68)

57

Tabel 4 Laki-laki

No Nama Usia No Butir %

1 2 3 3 5 6 7 8 9 10 11 12

1 Iwan Setiawan 16 3 3 4 2 3 2 3 1 3 2 2 1 29 13,94 2 Herdiansyah 16 3 3 4 4 5 5 5 4 5 4 4 3 49 23,56 3 Sarwandi 18 3 3 4 2 4 4 5 3 5 5 4 3 45 21,63 4 M. Agus 18 2 3 3 1 4 3 4 2 3 3 2 1 31 14,90 5 Syakrudin 17 2 2 2 1 2 3 4 3 4 2 1 1 27 12,98 6 Hamdan Kholik 18 3 2 3 1 3 3 3 2 3 2 1 1 27 12,98

Jumlah 208 100,00

Pada tabel 4 di atas, menjelaskan bahwa dari 6 responden laki-laki yang telah mengikuti pelatihan muhadharah, yang mendapat rangking tertinggi adalah responden 2 yaitu Herdiansyah, yakni memiliki kemampuan berpidato sesuai dengan dimensi teknik membuka, menyampaikan, dan menutup pidato. Nilai indikatornya dari teknik membuka, menyampaikan, dan menutup pidato sangat baik. Lalu yang menempati nilai yang ke2 yaitu Sarwandi no responden 3, yakni memiliki kemampuan pidato sesuai dengan dimensi teknik membuka, menyampaikan, dan menutup pidato dengan nilai indikatornya baik. kemudian yang menempati nilai ke 3 adalah responden 4 yaitu M. Agus, yakni memiliki kemampuan sesuai dengan dimensi teknik membuka, menyampaikan, dan menutup pidato dengan nilai cukup baik. selain itu responden 1 yaitu Iwan setiawan, yakni memiliki kemampuan pidato sesuai dengan dimensi teknik membuka, menyampaikan,dan menutup pidato dengan nilai indikatornya cukup baik. Sedangkan dari 6 responden laki-laki yaitu responden 5 dan 6 Syakrudin dan Hamdan Kholik, yakni


(1)

Kepada Yth. Bapak/Ibu Dosen Di

Tempat

Assalamu’alaikkum Wr.Wb

Sehubungan dengan penyusunan skripsi saya yang berjudul “Pengaruh Pelatihan Muhadharah terhadap kemampuan berpidato santri Pondok Pesantren Nurul Achmad Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang”, saya memohon kesediaan ibu/bapak untuk menilai dan memberikan saran (jika ada) instrumen saya tentang kemampuan berpidato.

Adapun yang menjadi indikasi pokok dalam penilaian instrumen ini ialah Kesesuaian Dimensi dengan Variabel serta Kesesuaian Indikator dengan Dimensi. Sekian surat permohonan saya, saya berharap ibu/bapak dapat membantu pada penelitian ini.

Terima kasih, Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Ciputat,14 Mei 2013

Rini Rasmayanti (108051000159)


(2)

Penilai :

Dosen pengampuh Matakuliah : Retorika

Cara penilaian :

Memberikan skor pada kolom dengan skala 1-9 tentang :

1. Kesesuaian Dimensi dengan Variabel

Variabel : Kemampuan Berpidato

Dimensi 1 2 3 Catatan

a. Cara Membuka Pidato b. Cara

Menyampaik an Pidato c. Cara

Menutup Pidato


(3)

2. Kesesuaian Indikator dengan Dimensi

Dimensi Indikator 1 2 3 Catatan

a. Cara Membuka Pidato

a. Langsung menyebutkan persoalan

b. Menghubungkan dengan peristiwa yang sedang diperingati

c. Mengajukan pertanyaan provokatif atau serentetan pertanyaan

d. Menceritakan pengalaman pribadi

b. Cara Menyamp aikan Pidato

a. Membangun kepercayaan diri

b. Kontak mata

c. Karakteristik olah vokal

d. Olah visual

c. Cara Menutup Pidato

a. Menyimpulkan atau mengemukakan ikhtisar pembicaraan

b. Mengatakan peribahasa atau kata mutiara

c. Melantunkan pantun

d. Menyampaikan dengan kalimat-kalimat lucu


(4)

Pondok Pesantren Nurul Achmad


(5)

Tempat untuk pelatihan Muhadharah / Mushola

Asrama Putri

Asrama Putra


(6)

Wawancara dengan Ust. Fahmi