Preparasi dan Karakterisasi Film Sambung Silang Kitosan- Sitrat yang Mengandung Verapamil Hidroklorida dengan Metode Perendaman

(1)

PREPARASI DAN KARAKTERISASI FILM

SAMBUNG SILANG KITOSAN-SITRAT YANG

MENGANDUNG VERAPAMIL HIDROKLORIDA

DENGAN METODE PERENDAMAN

SKRIPSI

ICHSANA ESKHA WIDYA

NIM 1111102000092

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2015


(2)

ii

PREPARASI DAN KARAKTERISASI FILM

SAMBUNG SILANG KITOSAN-SITRAT YANG

MENGANDUNG VERAPAMIL HIDROKLORIDA

DENGAN METODE PERENDAMAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ICHSANA ESKHA WIDYA

1111102000092

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

vi

Nama : Ichsana Eskha Widya Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Preparasi dan Karakterisasi Film Sambung Silang Kitosan- Sitrat yang Mengandung Verapamil Hidroklorida dengan

Metode Perendaman

Telah dibuat sediaan film sambung silang kitosan-sitrat yang mengandung verapamil hidroklorida. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi film kitosan-sitrat yang disambung silang pada pH 4, 5, 7, membandingkan karakteristik film kitosan sitrat dengan film kitosan tripolifosfat, dan untuk mengetahui pengaruh pH natrium sitrat terhadap karakteristik film sambung silang kitosan-sitrat. Film dibuat dengan memvariasikan pH larutan natrium sitrat 4% yaitu pH 4, 5, dan 7. Sambung silang sitrat dibuat dengan menggunakan metode perendaman dan film dibuat dengan menggunakan metode penguapan pelarut. Film yang dihasilkan dikarakterisasi meliputi analisis dengan FT-IR, evaluasi organoleptis, ketebalan, keragaman bobot, keseragaman kandungan, kadar air, ketahanan pelipatan, sifat mekanik, derajat pengembangan, dan pelepasan obat. Karakteristik film kitosan-sitrat yang dihasilkan dibandingkan dengan karakteristik film kitosan-tripolifosfat. Hasilnya menunjukkan bahwa film sambung silang kitosan sitrat pH 4, 5, 7 dan kitosan-tripolifosfat dengan kadar air 14-24% memiliki karakteristik : persen kekuatan tarik berturut-turut adalah 885,23 ± 165,72%, 1734,20 ± 506,72%, 1864,81 ± 171,12%, dan 3482,18 ± 1242,05%; persen elongasi berturut-turut adalah 130,00 ± 0,00%, 80,00 ± 0,00%, 70,00 ± 0,00% dan 36,67 ± 5,77%; persen kumulatif disolusi pada jam ke-6 berturut-turut adalah 49,12 ± 2,88%, 47,49 ± 2,78%, 65,45% ± 13,70%, dan 62,34 ± 6,47%. Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pH natrium sitrat mempengaruhi karakteristik film sambung silang kitosan-sitrat. Peningkatan pH larutan sitrat menyebabkan peningkatan persen kekuatan tarik dan penurunkan persen elongasi. Nilai kekuatan tarik tertinggi dan elongasi terendah dihasilkan oleh film kitosan-tripolifosfat, sedangkan persentase kumulatif pelepasan obat verapamil HCl terendah dihasilkan oleh film kitosan-sitrat pH 5.

Kata kunci : film, sambung silang, kitosan, natrium sitrat, natrium tripolifosfat, verapamil hidroklorida.


(7)

vii

Name : Ichsana Eskha Widya Program Study : Pharmacy

Title : Preparation and Characterization of Crosslinked Chitosan- Citrate Films Containing Verapamil Hydrochloride with Soaking Method

Crosslinked chitosan-citrate films contaning verapamil hydrochloride have been prepared with soaking method. The aims of this study were to characterize chitosan-citrate films that have been prepared in pH 4, 5, 7, to compare the characteristics of chitosan-citrate films with chitosan-tripolyphosphate film, and to know the effect of pH sodium citrate solution to the characteristics of crosslinked chitosan-citrate films. Films have been prepared by varying pH sodium citrate 4% solution including pH 4, 5, and 7. Crosslinked chitosan-citrate was prepared by soaking method and the films were prepared by solvent casting method. The resulting films were characterized, including analysis with FTIR, organoleptic evaluation, film thickness, weight variation test, content uniformity test, water content, folding endurance, mechanical properties, swelling degree, and drug release. The characteristics of citrate films were compare to characteristics chitosan-tripolyfosfat. The result showed that crosslinked chitosan-citrate pH 4, 5, 7 films and chitosan-tripolyphosphate film with water content 14-24% had characteristics : percent tensile strength respectively were 885,23 ± 165,72%, 1734,20 ± 506,72%, 1864,81 ± 171,12%, and 3482.18 ± 1242.05%; Percent elongation break respectively were 130,00 ± 0,00%, 80,00 ± 0,00%, 70,00 ± 0,00% and 36,67 ± 5,77%; percent cumulative drug release of verapamil hydrochloride after sixth hours respectively were 63,56 ± 3,72%, 51,27 ± 3,01%, 95,84 ± 6,06%, and 65,27 ± 6,78%. Based on data, we can conclude that pH sodium citrate solution affect the characteristics of crosslinked chitosan-citrate films. An increases in pH sodium citrate solution causes an increases of percent tensile strength and decreases of percent elongation break. The highest value of percent tensile strength and the lowest value of percent elongation had to chitosan-tripolyphosphate film, whereas the lowest percent cumulative drug release of verapamil hydrochloride had to chitosan-citrate film pH 5.

Keywords : Film, crosslinked, chitosan, sodium citrate, sodium tripolyphosphate, verapamil hydrochloride


(8)

viii

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Penulisan

skripsi yang berjudul “Preparasi dan Karakterisasi Film Sambung Silang Kitosan

-Sitrat yang mengandung Verapamil Hidroklorida dengan Metode Perendaman”

bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt dan Dra. Herdini, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, waktu, tenaga, saran, dan dukungan dalam penelitian ini. Semoga segala bantuan dan bimbingan ibu mendapat imbalan yang lebih baik di sisi-Nya.

2. Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Yardi, Ph.D., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada saya.

5. Kedua orang tua tercinta H. Muljadi Nasir S.H. dan Hj. Susilawati S.H. atas dukungannya baik secara moril maupun materi. Terima kasih telah memberikan kasih sayang yang begitu besar dan selalu mendoakanku disetiap doa-doamu. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan, perlindungan, keselamatan, dan keberkahan kepada kedua orang tua hamba. 6. Adik dan kakakku, Ichsan Exa Ananta, Diah Eginawati, Mukmin Esha Mahendra, Jacob Ong, dan Ankatama yang telah memberikan doa,


(9)

ix

7. Arya Wirawan Maulana yang telah memberikan semangat, dukungan, dan bantuannya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

8. Sahabat “mirror” Nova Sari Aulia yang telah memberikan dukungan, semangat, doa, dan saran selama penelitian sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

9. Wukir Wijatmoko Legowo, Wilhan Tjahyadi, dan Aditya Ramadhan yang telah memberikan dukungan, semangat, dan doa sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

10.Kakak-kakak laboran FKIK, kak Rachmadi, kak Eris, kak Anis, mbak Rani, kak Lisna, kak Tiwi, kak liken, dan mbak Lilis atas bantuan, waktu, dan kerja samanya selama penelitian.

11.Seluruh karyawan FKIK atas bantuan dan kerja samanya selama penelitian. 12.Teman-teman seperjuangan Rizka Nurbaiti, Ageng Hasna Fauziyah, Subhan

Asfari, Evi Nurul Hidayati, Lela Laelatu, Herlina Pertiwi, Wardah Annajah, dan keluarga besar “Tableters” yang telah memberikan semangat dan kebersamaannya dalam perjuangan penelitian.

13.Teman-teman kelas B-D, Farmasi angkatan 2011, dan juga pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan dan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Akhir kata penulis berharap Allah SWT akan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu saya dalam penelitian ini.

Ciputat, 9 Juli 2015


(10)

(11)

xi

Halaman

HALAMAN JUDUL... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Pembentukan Film ... 5

2.2 Sambung Silang ... 6

2.2.1 Sambung Silang Kovalen ... 6

2.2.2 Sambung Silang Ionik ... 8

2.2.3 Efek dari Sambung Silang ... 10

2.3 Agen Sambung Silang Ionik ... 11

2.3.1 Natrium Sitrat... 11

2.3.2 Natrium Tripolifosfat ... 12

2.4 Kitosan ... 13

2.4.1 Sifat Fisika Kimia Kitosan ... 13

2.4.2 Aplikasi Kitosan... 14

2.4.3 Film Kitosan-Sitrat... 15

2.4.4 Film Kitosan-Tripolifosfat ... 16

2.5 Asam Asetat ... 18

2.6 Plasticizer ... 18

2.6.1 Gliserin... ... 18

2.7 Verapamil Hidroklorida ... 19

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

3.2 Alat dan Bahan ... 21

3.2.1 Alat ... 21


(12)

xii

Kitosan-Tripolifosfat ... 22

3.3.3 Karakterisasi Film ... 23

3.3.3.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembu- atan Kurva Kalibrasi Verapamil HCl ... 23

3.3.3.2 Analisis dengan FT-IR ... 23

3.3.3.3 Evaluasi Organoleptis Film ... 23

3.3.3.4 Pengukuran ketebalan Film ... 23

3.3.3.5 Keragaman Bobot ... 23

3.3.3.6 Optimasi Ekstraksi Verapamil HCl dari Film ... 24

3.3.3.7 Uji Keseragaman Kandungan dan Penetapan Kadar .... 24

3.3.3.8 Uji Kadar Air ... 24

3.3.3.9 Uji Ketahanan Pelipatan Film ... 25

3.3.3.10 Uji Mekanik ... 25

3.3.3.11 Uji Derajat Pengembangan ... 25

3.3.3.12 Uji Pelepasan Obat ... 26

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Preparasi Film Kitosan ... 27

4.2 Preparasi Film Sambung Silang Kitosan-Sitrat (pH 4, 5, dan 7) dan Kitosan Tripolifosfat ... 28

4.3 Karakterisasi Film ... 29

4.3.1 Analisis dengan FT-IR ... 29

4.3.2 Evaluasi Organoleptis ... 31

4.3.3 Ketebalan ... 32

4.3.4 Keragaman Bobot ... 33

4.3.5 Optimasi Ekstraksi Verapamil HCl dari Film ... 34

4.3.6 Keseragaman Kandungan dan Penetapan Kadar Verapamil HCl ... 35

4.3.7 Kadar Air ... 37

4.3.8 Ketahanan Pelipatan... 38

4.3.9 Uji Mekanik ... 38

4.3.10 Derajat Pengembangan ... 40

4.3.11 Pelepasan Obat ... 42

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46


(13)

xiii

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Bentuk Kitosan Hidrogel... 7

Gambar 2.2 Struktur Natrium Sitrat ... 11

Gambar 2.3 Struktur Natrium Tripolifosfat ... 12

Gambar 2.4 Struktur Kitosan ... 13

Gambar 2.5 Struktur Kitosan-Sitrat ... 15

Gambar 2.6 Struktur Kitosan-Tripolifosfat ... 17

Gambar 2.7 Struktur Asam Asetat ... 18

Gambar 2.8 Struktur Gliserin ... 19

Gambar 2.9 Struktur Verapamil Hidroklorida ... 19

Gambar 4.1 Larutan CPF Kitosan 4%... 28

Gambar 4.2 Spektrum FT-IR Kitosan, Kitosan-Sitrat (pH 4, 5, 7), dan Kitos- an-Tripolifosfat (TPP) ... 30

Gambar 4.3 Gambar Makroskopik Permukaan Bawah Film Kitosan-Sitrat pH 4 (a), pH 5 (b) pH 7 (c) dan Kitosan-Tripolifosfat (d) ... 31

Gambar 4.4 Gambar Mikroskopik Membujur Film Kitosan-Sitrat pH 4 (a), pH 5 (b) pH 7 (c) dan Kitosan-Tripolifosfat (d) ... 31

Gambar 4.5 Gambar Mikroskopik Melintang Film Kitosan-Sitrat pH 4 (a), pH 5 (b) pH 7 (c) dan Kitosan-Tripolifosfat (d) ... 32

Gambar 4.6 Film Kitosan ... 33

Gambar 4.7 Kekuatan Tarik Masing-Masing Film ... 39

Gambar 4.8 Elongasi Masing-Masing Film ... 40

Gambar 4.9 Grafik Derajat Pengembangan ... 42 Gambar 4.10 Grafik Persentase Kumulatif Disolusi Verapamil Hidroklorida. 44


(14)

xiv

Halaman

Tabel 4.1 Nilai Puncak pada Spektrum FT-IR ... 29

Tabel 4.2 Ketebalan Film ... 32

Tabel 4.3 Keragaman Bobot ... 34

Tabel 4.4 Hasil Optimasi Ekstraksi Verapamil HCl dari Film ... 35

Tabel 4.5 Keseragaman Kandungan Film ... 36

Tabel 4.6 Kadar Film ... 37

Tabel 4.7 Kadar Air... 37

Tabel 4.8 Kekuatan Pelipatan dan Uji Mekanik ... 39

Tabel 4.9 Derajat Pengembangan Film dalam Medium Dapar Fosfat pH 6,8.. 40

Tabel 4.10 Persentase Kumulatif Disolusi Verapamil HCl dari Sediaan Film.. 43


(15)

xv

Halaman

Lampiran 1. Bagan Alur Penelitian ... 52

Lampiran 2. Gambar Alat dan Bahan Penelitian ... 53

Lampiran 3. Pembuatan Larutan Asam Asetat 8% ... 54

Lampiran 4. Pembuatan Larutan natrium Sitrat 4% pH 4, 5, dan 7 ... 54

Lampiran 5. Pembuatan Larutan Natrium Tripolifosfat ... 54

Lampiran 6. Pembuatan Larutan Dapar Fosfat 6,8 ... 54

Lampiran 7. Perhitungan Dosis ... 54

Lampiran 8. Panjang Gelombang Maksimum Verapamil HCl dalam Dapar Fosfat pH 6,8 ... 55

Lampiran 9. Data Standar Absorbansi dan Kurva Kalibrasi Verapamil HCl dalam Dapar Fosfat pH 6,8 ... 55

Lampiran 10. Data Standar Absorbansi dan Kurva Kalibrasi Verapamil HCl dalam Na-Sitrat 4% pH 4 ... 56

Lampiran 11. Data Standar Absorbansi dan Kurva Kalibrasi Verapamil HCl dalam Na-Sitrat 4% pH 5 ... 56

Lampiran 12. Data Standar Absorbansi dan Kurva Kalibrasi Verapamil HCl dalam Na-Sitrat 4% pH 7 ... 57

Lampiran 13. Spektrum FT-IR Kitosan dan Kitosan-Sitrat ... 57

Lampiran 14. Spektrum FT-IR Kitosan dan Kitosan-Tripolifosfat ... 58

Lampiran 15. Ketebalan Film ... 58

Lampiran 16. Keragaman Bobot Film ... 58

Lampiran 17. Kandungan Zat Aktif dalam Larutan Sambung Silang ... 59

Lampiran 18. Kadar Air ... 59

Lampiran 19. Hasil Optimasi Waktu Ekstraksi Verapamil HCl pada Sediaan Film ... 59

Lampiran 20. Keseragaman Kandungan Film ... 60

Lampiran 21. Kadar Film ... 60

Lampiran 22. Uji Mekanik Kekuatan Tarik (Tensile Strength) ... 61

Lampiran 23. Uji Mekanik Elongasi (Elongation Break) ... 61

Lampiran 24. Derajat Pengembangan ... 62

Lampiran 25. Data Uji Disolusi Verapamil HCl dari Sediaan Film Kitosan- Sitrat pH 4 ... 63

Lampiran 26. Data Uji Disolusi Verapamil HCl dari Sediaan Film Kitosan- Sitrat pH 5 ... 63

Lampiran 27. Data Uji Disolusi Verapamil HCl dari Sediaan Film Kitosan- Sitrat pH 7 ... 64

Lampiran 28. Data Uji Disolusi Verapamil HCl dari Sediaan Film Kitosan- Tripolifosfat ... 64

Lampiran 29. Data Statistik Persentase Uji Mekanik Kekuatan Tarik (Tensile Strength) ... 70

Lampiran 30. Data Statistik Persentase Uji Mekanik Elongasi (Elongation Break) ... 68


(16)

xvi

Kitosan-Sitrat pH 5 ... 79

Lampiran 34. Contoh Perhitungan Optimasi Ekstraksi Verapamil HCl pada Film Kitosan-Sitrat pH 4 ... 81

Lampiran 35. Contoh Perhitungan Kadar Verapamil HCl pada Film Kitosan Sitrat pH 4 ... 82

Lampiran 36. Sertifikat Analisis Kitosan ... 83

Lampiran 37. Sertifikat Analisis Natrium Sitrat ... 84


(17)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada beberapa tahun terakhir, penggunaan polimer hidrofilik alam sebagai pembawa obat telah menerima banyak perhatian. Polisakarida seperti kitosan telah banyak diteliti (Tiwary dan Rana, 2010) karena kitosan memiliki karakteristik biodegradabel, biokompatibel, bioadesif, tidak toksik, serta stabilitas kimia dan suhu. Karena karakteristik polimer kationiknya yang unik dan memiliki sifat sebagai pembentuk film yang baik, kitosan memiliki potensi sebagai sumber pembentuk film dalam pengembangan sistem penghantaran obat untuk aplikasi pada bidang kedokteran, industri, dan farmasetikal (Czubenko dan Pierog, 2010; Shu dan Zhu, 2002).

Pada bidang farmasetikal film kitosan dapat digunakan dalam sistem penghantaran bukal, sistem penghantaran transdermal, dan penutup luka. Kitosan merupakan polimer yang baik untuk digunakan dalam sistem penghantaran bukal karena sifat bioadhesif dan kemampuannya sebagai peningkat absorpsi. Sifat kitosan yang mampu membentuk film dengan baik dimanfaatkan dalam sistem penghantaran transdermal dan efikasi kitosan dalam sistem penghantaran transdermal sebagai penutup luka pertama kali dilaporkan pada tahun 1978 (Shaji, Jain, dan Lodha, 2010). Meskipun demikian, film kitosan memiliki kekurangan yaitu mengembang pada kondisi asam yang disebabkan oleh ionisasi gugus amino namun menyusut pada kondisi netral (Shu, Zhu, dan Song, 2001).

Banyak upaya yang dilakukan untuk memperbaiki kemampuan

mengembang kitosan yang tidak tahan terhadap media asam (Pieróg, Drużyńska,

dan Czubenko, 2009) dan untuk mengoptimalkan penggunaannya untuk aplikasi sistem penghantaran obat dengan pelepasan terkontrol (Lima, Lia, dan Ramdayal, 2014). Proses sambung silang merupakan salah satu upaya yang paling efektif untuk memperbaiki karakteristik tersebut (Czubenko dan Pierog, 2010).

Film kitosan umumnya disambung silang secara kimia melalui ikatan kovalen dengan menggunakan senyawa glutaraldehid (Berger et al., 2004). Namun


(18)

sambung silang secara kimia dapat menginduksi toksisitas dan efek yang tidak diinginkan lainnya. Untuk mengatasi kerugian ini, sambung silang secara fisik menggunakan agen ionik dengan interaksi elektrostatik diterapkan dalam pembuatan film kitosan (Shu, Zhu, dan Song, 2001).

Sambung silang secara fisik dengan menggunakan agen ionik yang disebut juga sebagai sambung silang ionik merupakan salah satu metode sambung silang yang cepat dan sederhana. Sambung silang ionik tidak membutuhkan katalis dalam reaksinya sehingga sangat menarik untuk aplikasi medis dan farmasetikal. Proses sambung silang pun dapat terjadi hanya dengan menambahkan agen sambung silang baik dengan melarutkan atau mendispersikannya ke dalam larutan kitosan atau dengan merendam film kitosan ke dalam larutan agen sambung silang. Salah satu metode yang digunakan dalam proses sambung silang ionik adalah metode perendaman. Metode ini sudah banyak digunakan pada penelitian film sambung silang kitosan karena prosesnya yang mudah dan sederhana. Contoh agen sambung silang ionik adalah natrium sitrat dan natrium tripolifosfat (Berger et al., 2004).

Natrium sitrat merupakan agen sambung silang anion dengan mekanisme interaksi elektrostatik. Sitrat adalah anion dengan tiga gugus karboksilat (Shu, Zhu, dan Song, 2001) dengan konstanta ionisasi (pKa) pada suhu 250C yaitu 3,128;

4,761;6,396 (Rowe, Sheskey, Quinn, 2009). Reaksi sambung silang dipengaruhi oleh densitas muatan global, di mana densitas muatan global pada molekul ionik bergantung pada nilai pKa dan larutan pH selama reaksi. Densitas muatan global agen sambung silang dan kitosan (pKa 6,3) harus tinggi untuk dapat terjadinya reaksi. Oleh karena itu pH selama reaksi sambung silang harus berada pada sekitar rentang pKa agen sambung silang dan kitosan. Untuk dapat membentuk kitosan sambung silang, setidaknya dibutuhkan muatan ionik agen sambung silang dan kitosan (Berger et al., 2004). Penelitian-penelitian tentang film sambung silang kitosan-sitrat pada berbagai pH sudah pernah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan penelitian tersebut derajat mengembang dan profil pelepasan obat dipengaruhi oleh pH (Shu, Zhu, dan Song, 2001). Namun belum ada penelitian yang membandingkan pengaruh pH ionisasi sitrat terhadap karakteristik film sambung silang kitosan yang dihasilkan.


(19)

Natrium tripolifosfat merupakan polianion dan dapat berinteraksi dengan kationik pada kitosan melalui gaya elektrostatik (Shu dan Zhu, 2000). Natrium tripolifosfat telah digunakan sebagai agen sambung silang untuk sediaan film kitosan sambung silang. Tripolifosfat telah banyak digunakan untuk memperoleh sambung silang ionik, karena hanya membutuhkan kondisi sederhana dan tidak membutuhkan molekul tambahan (Colonna et al., 2006). Film sambung silang kitosan-tripolifosfat memiliki kemampuan mengembang dan pelepasan obat yang juga dipengaruhi oleh pH (Shu dan Zhu, 2000). Pada penelitian sebelumnya kemampuan mengembang film kitosan-tripolifosfat pH 5,5 lebih rendah dibandingkan dengan film kitosan-sitrat pH 5 (Pierog, Druzynska, dan Milena, 2009). Salah satu penelitian penggunaan tripolifosfat sebagai agen sambung silang adalah pembuatan film sambung silang kitosan-tripolifosfat yang mengandung obat verapamil hidroklorida (Wisnu, 2012).

Penelitian penggunaan obat verapamil hidroklorida dalam sediaan patch

bukal sudah banyak dilakukan. Hal ini dikarenakan verapamil hidroklorida cepat tereliminasi dari tubuh dan memiliki waktu paruh yang singkat yaitu 2-4 jam. Pada bentuk sediaan oral, walaupun absorpsinya mencapai 90% obat ini dapat mengalami metabolisme lintas pertama di hati dan bioavailbilitasnya hanya 20% (Emami, Varshozaz, dan Saljouhian, 2008). Oleh karena itu obat ini dapat dipilih sebagai obat untuk sediaan film.

Pada penelitian ini akan dibuat film sambung silang kitosan-sitrat pH 4, 5, dan 7 yang mengandung obat verapamil hidroklorida, di mana dasar pemilihan pH menyesuaikan dengan pKa sitrat. Karena penggunaan tripolifosfat sebagai agen sambung silang pada film kitosan sudah sangat umum digunakan, sehingga tripolifosfat cocok sebagai pembanding. Oleh karena itu karakteristik film kitosan-sitrat pada pH yang paling baik akan dibandingkan dengan karakteristik film kitosan-tripolifosfat. Film sambung silang kitosan-sitrat dan kitosan-tripolifosfat dibuat dengan menggunakan metode perendaman, karena metode ini mudah dan sederhana.


(20)

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik film sambung silang kitosan-sitrat pH 4, 5, 7 dan bagaimana karakteristik yang dihasilkan apabila dibandingkan dengan karakteristik film kitosan-tripolifosfat?

2. Apakah pH larutan sitrat mempengaruhi karakteristik film sambung silang kitosan-sitrat?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan karakteristik film sambung silang kitosan-sitrat pada pH 4, 5 ,7 dan kemudian membandingkannya dengan karakteristik film sambung silang kitosan-tripolifosfat. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh pH larutan sitrat terhadap karakteristik film sambung silang kitosan-sitrat.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Menambah informasi tentang perbedaan karakteristik film sambung silang kitosan-sitrat pH 4, 5, dan 7.

2. Menambah informasi tentang perbedaan karakteristik film sambung silang kitosan-sitrat dan kitosan-tripolifosfat.

3. Menambah informasi tentang pengaruh pH larutan sitrat terhadap karakteristik film sambung silang kitosan-sitrat.

4. Sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya dalam pembuatan film yang disambung silang dengan sitrat dan tripolifosfat dengan menggunakan metode perendaman.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembentukan Film

Kecepatan proses pembentukkan film bergantung pada kecepatan penguapan pelarut. Setelah lapisan sangat tipis dari larutan polimer tersebar pada substrat, terjadi penguapan dengan cepat pada permukaan pelarut, yang menghasilkan penurunan konsentrasi polimer terutama pada volume tepat di bawah permukaan, yang secara bersamaan menyebabkan penurunan yang luar biasa dari daerah aktif penguapan. Setelah itu, penghilangan pelarut dilakukan melalui difusi seluruh lapisan dari larutan polimer terkonsentrasi. Konsentrasi polimer dari keseluruhan lapisan meningkat secara bertahap yang pada konsekuensinya menurunkan mobilitas makromolekul dan jarak intramolekular diantara mereka. Setelah itu peningkatan kepadatan sistem menghasilkan penekanan bertahap lanjut pada difusi dari molekul pelarut dan film polimer terbentuk. Dengan cara ini, tingkat penguapan pelarut menurun selama proses pembentukkan film. Sejumlah pelarut telah ditemukan terperangkap dalam film polimer. Peristiwa ini disebut retensi yang memiliki pengaruh negatif terhadap sifat fisik film yaitu pada sifat mekanik, kimia, fotokimia, dan ketahanan panas (Krzyzanowska, 1975).

Proses pembentukan film juga dapat terjadi melalui serangkaian tahapan berikut ini. Ada dua gaya yang berperan saat pembentukan film, yaitu gaya kohesi antara molekul polimer dan gaya adhesi antara film dengan substrat (Sukkunta, 2005). Ketika larutan pembentuk film dituangkan pada suatu permukaan, gaya kohesi akan membentuk ikatan dengan molekul polimer. Ketika kekuatan kohesi pada molekul polimer relatif tinggi, permukaan polimer terus menerus menyatu. Penyatuan lapisan molekul polimer yang berdekatan terjadi melalui difusi. Setelah penguapan air, proses gelasi berlangsung dan memungkinkan rantai polimer untuk berdekatan satu sama lain dan untuk menyatu dengan lapisan polimer sebelumnya. Ketika ada daya tarik yang cukup kohesif antara molekul, difusi yang cukup, dan penguapan air yang sempurna, rantai polimer akan menyesuaikan diri untuk membentuk film (Nadrajah, 2005).


(22)

2.2 Sambung Silang

Sambung silang terjadi ketika agen sambung silang membuat jembatan intermolekular atau yang lebih dikenal dengan tahap sambung silang. Agen sambung silang dapat berinteraksi dengan rantai linier makromolekul (tahap sambung silang) dan/atau dirinya sendiri (tahap polimerisasi) pada medium basa. Sambung silang secara drastis menurunkan mobilitas polimer dan sejumlah rantai yang terhubung oleh pembentukan dari keterkaitan antar rantai yang baru. Jaringan tiga dimensi kemudian terbentuk. Jika derajat retikulasi memiliki efisiensi yang tinggi, matriks dari polimer menjadi tidak larut dalam air (tetapi mengembang di dalam air) dan di pelarut organik (Shweta, Aggarwal, dan Pahuja Sonia, 2013).

Reaksi sambung silang secara utama dipengaruhi oleh ukuran, tipe agen sambung silang, dan gugus fungsi dari kitosan. Ukuran molekul agen sambung silang yang lebih kecil akan menghasilkan reaksi sambung silang yang lebih cepat, karena difusinya menjadi semakin mudah. Pada agen sambung silang dari alam, interaksi utama membentuk jaringan ikatan ionik atau kovalen. Derajat sambung silang adalah parameter utama yang mempengaruhi sifat kekuatan mekanik, derajat pengembangan, dan pelepasan obat. Contohnya gel, umumnya menunjukkan pengembangan yang sensitif terhadap pH dan pelepasan obat oleh difusi melalui struktur berpori. Mekanisme sambung silang kitosan dengan tripolifosfat yaitu terjadi dengan kenaikan pH dan kekuatan ion dari larutan, membentuk gel dan mendorong interaksi antara gugus amino dari kitosan dengan grup anionik dari tripolifosfat (Shweta, Aggarwal, dan Pahuja Sonia, 2013).

2.2.1 Sambung Silang Kovalen

Ikatan sambung silang kovalen dalam kitosan hidrogel dibedakan menjadi tiga, yaitu (a) ikatan silang kitosan-kitosan (b) jaringan polimer hybrid (HPN) (c) jaringan polimer sebagian atau saling penetrasi seluruhnya (semi-IPN atau HPN sepenuhnya) (Berger et al., 2004).

Pembentukan kitosan dengan ikatan kovalen minimal membutuhkan kitosan dan agen sambung silang dalam pelarut yang sesuai, biasanya air. Komponen lain dapat ditambahkan, seperti tambahan polimer untuk membentuk suatu HPN


(23)

IPN sepenuhnya. Molekul tambahan juga dapat digunakan sebagai katalis reaksi selama pembuatan jaringan. Sebagaimana tersirat dari namanya, ikatan sambung silang kitosan-kitosan terjadi antara dua unit struktural pada rantai polimer kitosan yang sama, sedangkan pada HPN, reaksi sambung silang terjadi antara satu unit dari struktur rantai kitosan dan unit lain dari struktur polimer tambahan. Berbeda dengan HPN, semi-IPN atau IPN sepenuhnya terjadi jika ditambahkan polimer lain yang tidak bereaksi dengan larutan kitosan sebelum terjadi ikatan silang. Agen sambung silang yang dapat membentuk ikatan kovalen yaitu suatu senyawa dengan berat molekul rendah, minimal memiliki dua gugus fungsi reaktif sehingga dapat terbentuk suatu jembatan yang menghubungkan antar rantai polimer. Agen sambung silang kovalen yang paling umum digunakan dengan kitosan adalah golongan dialdehid seperti glioxal dan glutaraldehid. Pada reaksi sambung silang kovalen tersebut, gugus aldehid dari agen sambung silang bereaksi dengan gugus amin dari kitosan membentuk ikatan imin kovalen. Namun, penggunaan kedua agen sambung silang tersebut dapat menginduksi sifat toksik dimana glutaraldehi bersifat neurotoksik dan glioksal bersifat mutagenik (Berger et al., 2004).

[Sumber : Berger et al., 2009]


(24)

2.2.2 Sambung Silang Ionik

Sebagian besar agen sambung silang kovalen bersifat toksik, untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan menggunakan agen sambung silang ionik yang bersifat reversibel. Kitosan adalah polimer kationik, sehingga dapat bereaksi dengan molekul bermuatan negatif baik dengan ion atau molekul yang dapat membentuk jaringan melalui jembatan ionik diantara rantai polimer. Sifat interaksi ini sama seperti polielektrolit, sehingga sulit untuk mengklasifikasikan secara terpisah dua jenis jaringan ini. Namun, pada klasifikasi antara sambung silang ionik yang bereaksi dengan kitosan adalah molekul ion yang memiliki bobot molekul lebih rendah daripada bobot molekul kedua rantai polimer yang disambungkan (bobot molekul telah diketahui dengan jelas) sedangkan pada polielektrolit, kitosan bereaksi dengan polimer, di mana polimer tersebut memiliki distribusi bobot molekul yang luas (berbobot molekul besar) (Berger et al., 2004).

Jaringan sambug silang kitosan secara ionik dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jenis dari agen sambung silang yang digunakan baik anion atau molekul anionik. Jaringan terbentuk karena adanya muatan negatif yang akan membentuk jembatan dengan muatan positif dari rantai polimer kitosan. Interaksi ionik antara muatan-muatan negatif dari agen sambung silang dan muatan positif dari gugus kitosan adalah interaksi utama di dalam jaringan. Ikatan kovalen memiliki sambungan yang lebih kuat dibandingkan dengan interaksi elektrostatik yang dibentuk oleh molekul anionik sebagai agen sambung silang. Sambung silang ionik dapat pula terjadi pada gugus lain dari kitosan yaitu gugus hidroksil. Reaksi tambahan dapat terjadi di dalam jaringan seperti interaksi hidrofobik yang disebabkan oleh penurunan derajat deasetilasi kitosan atau ikatan hidrogen akibat dari penurunan elektrostatik setelah netralisasi kitosan oleh agen sambung silang (Berger et al., 2004).

Jaringan polimer kitosan yang mengandung sambung silang ionik setidaknya membutuhkan satu muatan ionik agen sambung silang dan kitosan yang terdispersi dalam pelarut. Sambung silang ionik membutuhkan ion multivalen sebagai agen sambung silang untuk membentuk jembatan diantara rantai polimer. Tripolifosfat biasa digunakan sebagai agen sambung silang ionik. Penggunaan sulfat dan sitrat sebagai agen sambung silang ionik dapat menyebabkan


(25)

pengendapan. Namun dengan penambahan gelatin dapat mengurangi interaksi ini yang diikuti dengan penggunaan suhu rendah agar dapat terbentuk gel yang homogen. Sambung silang ionik merupakan metode yang sederhana dan tidak membutuhkan suatu molekul tambahan seperti katalis. Sambung silang ionik dapat dilakukan dengan metode klasik yaitu dengan menambahkan agen sambung silang ke dalam larutan kitosan. Kitosan dapat pula disambung silang dengan cara merendam sediaan film ke dalam larutan agen sambung silang dengan menambahkan larutan kitosan melalui syringe ke dalam larutan agen sambung silang (Berger et al., 2004).

Derajat sambung silang mempengaruhi sifat hidrogel sambung silang ionik yang dihasilkan. Oleh karena itu penting untuk menentukan kondisi reaksi yang mempengaruhi derajat sambung silang untuk dapat meningkatkan sifat dari jaringan. Reaksi sambung silang dipengaruhi oleh ukuran agen sambung silang dan muatan global dari kitosan dan agen sambung silang selama reaksi. Ukuran molekul agen sambung silang yang lebih kecil, akan mempercepat reaksi karena lebih mudah berdifusi. Karena muatan global mempengaruhi, terdapat perbedaan antara ion dengan molekul ionik. Derajat muatan dari ion bergantung pada jumlah oksidasi dan tidak bergantung pada pH, sedangkan pada molekul ionik muatan globalnya bergantung pada nila pKa dan pH larutan selama reaksi seperti kitosan yang memiliki nilai pKa 6,3. Derajat muatan global dari kitosan dan agen sambung silang harus tinggi agar dapat terjadi interaksi dan pembentukan hidrogel. Hal ini menunjukkan bahwa pH selama proses sambung silang harus berada di sekitar pKa kitosan dan agen sambung silang. Jika pH terlalu tinggi, muatan positif kitosan akan ternetralisasi dan sistem bukan menjadi sambung silang ionik, namun menjadi fase koaservasi terbalik, di mana kitosan akan mengendap. Untuk menghindari pengendapan kitosan, larutan pH harus tidak boleh lebih tinggi dari pH 6. pH yang lebih asam akan menurunkan biokompatibilitas terhadap sistem. Selain ukuran agen sambung silang dan derajat muatan global, derajat sambung silang dipengaruhi oleh penambahan polimer lain. Namun yang paling mempengaruhi adalah konsentrasi agen sambung silang, berat molekul, derajat deasetilasi, dan konsentrasi kitosan selain itu juga durasi reaksi (Berger et al., 2004).


(26)

2.2.3 Efek Sambung Silang

Derajat pengembangan pada sambung silang ionik dipengaruhi oleh interaksi ionik antara rantai kitosan, yang bergantung pada derajat sambung silang yang terjadi pada pembentukan jaringan. Peningkatan derajat sambung silang menginduksi penurunan derajat pengembangan dan sensitivitas terhadap pH dengan meningkatkan stabilitas jaringan sehingga menghasilkan penurunan pelepasan obat. Pada hidrogel sambung silang ionik, derajat sambung silang dimodifikasi melalui kondisi eksternal setelah administrasi, biasanya dengan pH medium aplikasi. Hal tersebut dapat mempengaruhi derajat muatan global kitosan dan agen sambung silang yang secara langsung menentukan derajat sambung silang, interaksi, dan derajat pengembangan. Pada hidrogel sambung silang kovalen, derajat sambung silang tidak dimodifikasi setelah proses administrasi karena hidrogel telah terhubung dengan ikatan yang irreversible. Oleh karena itu hidrogel sambung silang ionik tidak hanya dapat mengembang pada pH asam tapi juga dapat mengembang pada pH basa yang dapat menambah potensi aplikasinya. Jika pH menurun, derajat muatan agen sambung silang menurun sehingga derajat sambung silang yang terjadi juga menurun yang akan menyebabkan pengembangan. Selain itu derajat mengembang juga dapat disebabkan oleh protonasi dan tolakan dari gugus amonium bebas kitosan. Jika penurunan pH terlalu besar, terjadi disosiasi ionik dan disolusi jaringan dapat terjadi yang mengakibatkan pelepasan obat dengan cepat. Jika pH meningkat, protonasi kitosan menurun dan menginduksi penurunan derajat sambung silang yang akan menyebabkan pengembangan. Jika pH menjadi terlalu tinggi, gugus amino kitosan akan dinetralisasi dan sambung silang ionik terhambat. Jika derajat sambung silang terlalu rendah, interaksi tidak cukup kuat untuk menghindari disolusi dan agen sambung silang ionik dilepaskan (Berger et al., 2004).

Parameter sekunder yang mempengaruhi pengembangan dan pelepasan obat juga terdapat pada hidrogel sambung silang ionik. Karena sensitivitasnya terhadap pH, pengembangan juga sensitif terhadap ion karena adanya ion akan melemahkan interaksi ionik melalui efek perisai yang meningkatkan pengembangan dan penghantaran. Selain itu penurunan berat molekul kitosan juga dapat menurunkan pengembangan dan disolusi. Selain itu, pelepasan obat bergantung pada kelarutan


(27)

dan berat molekul obat dan hal ini dipengaruhi oleh konsentrasi di dalam jaringan (Berger et al., 2004).

Derajat mengembang dari hidrogel ionik sangat unik. Hal tersebut dipengaruhi oleh ionisasi gugus fungsi rantai polimer dan ionisasi molekul agen sambung silang. Faktor lain yang mempengaruhi adalah hidrofilisitas dari bahan yang digunakan untuk membentuk jaringan hidrogel, derajat sambung silang, pH, kekuatan ionik, dan medium derajat pengembangan. Kemampuan mengembang membran sambung silang ionik sangat bergantung pada hidrofilisitas keseluruhan jaringan. Setelah proses sambung silang, membran kitosan menjadi kurang hidrofilik akibat hilangnya gugus amino yang berikatan pada reaksi dengan agen sambung silang. Hidrofilisitas agen sambung silang yang digunakan mempengaruhi hidrofilisitas jaringan. Hidrofilisitas agen sambung silang tripolifosfat < sitrat < sulfat (Pierog, Druzynska, dan Czubenko, 2009).

2.3 Agen Sambung Silang Ionik 2.3.1 Natrium Sitrat

[Sumber : Rowe, Sheskey, Quinn, 2009]

Gambar 2.2 Struktur Natrium Sitrat

Natrium sitrat (C6H5Na3O7.2H2O) dengan BM : 294,10 berupa bubuk

kristalin putih, tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna. Larut dalam 1 : 1.5 air, 1 : 0.6 air panas, dan praktis tidak larut dalam etanol (95%). Konstanta ionisasi sitrat pada 250C yaitu 3,128; 4,761; 6,396. Natrium sitrat memiliki pH 7,0-9,0 pada

larutan 5% dengan titik leleh 1500C. (Rowe, Sheskey, Quinn, 2009).

Natrium sitrat adalah bahan yang stabil. Pada penyimpanan, larutan natrium sitrat dapat menyebabkan pemisahan sedikit partikel padat dari wadah gelas.


(28)

Larutan natrium sitrat sedikit basa dan akan bereaksi dengan zat-zat asam. Garam alkaloidal dapat terendapkan dari cairan atau dari larutan hidro-alkohol. Natrium sitrat inkompatibel dengan basa, agen pereduksi, dan agen pengoksidasi (Rowe, Sheskey, Quinn, 2009).

2.3.2 Natrium Tripolifosfat

[Sumber : Varshosaz and Karimzadeh, 2007]

Gambar 2.3 Struktur Natrium tripolifosfat

Natrium tripolifosfat (Na5O10P3) memiliki berat molekul 367,86. Natrium

tripolifosfat berupa kristal, granul, atau serbuk berwarna putih atau tidak berwarna dengan titik leleh 622oC (Chemical Book, 2010). pH 1% larutan tripolifosfat

9,7-9,8 dengan kelarutan dalam air pada suhu 250C 1 : 20 dan pada suhu 1000C 1 : 86,5

(Pubchem, 2015). Tripolifosfat memiliki lima nilai pKa yaitu pKa1 1,0; pKa2 2,2;

pKa3 2,3; pKa4 5,7; pKa5 8,5 (Lim dan Seib, 1993). Tripolifosfat adalah anion

multivalen yang mengandung maksimal 5 muatan negatif (Varshosaz dan Karimzadeh, 2007). Tripolifosfat (TPP) telah digunakan sebagai agen sambung silang untuk sediaan film kitosan sambung silang. Sambung silang ionik membutuhkan ion bermutan negatif multivalen sebagai penyambung silang untuk membentuk jembatan diantara rantai polimerik, khususnya kitosan sebagai polikation. Tripolifosfat memungkinkan untuk memperoleh sambung silang ionik pada kondisi sederhana dan tanpa membutuhkan molekul pembantu. Modulasi proses sambung silang tripolifosat bergantung pada nilai-nilai pKa dan pH larutan selama reaksi (Colonna et al., 2006).


(29)

2.4 Kitosan

Kitosan adalah kopolimer dari β-(1-4) terkait

2-acetamido-2-deoksi-D-glukopiranosa dan 2-amino-2-deoksi-D-2-acetamido-2-deoksi-D-glukopiranosa. Biopolimer polikationik umumnya terdiri dari deasetilasi alkali dari kitin, yang merupakan komponen utama dari eksoskeleton krustasea, contohnya udang. Parameter utama yang mempengaruhi karakteristik kitosan adalah berat molekul dan derajat deasetilasi, yang mewakili proporsi dari unit deasetilasi (Berger et al., 2004).

[Sumber : Rowe, Sheskey, Quinn, 2009]

Gambar 2.4 Struktur Kitosan

Kitosan memiliki banyak kelebihan diantaranya adalah biokompatibel karena kitosan digunakan dalam banyak aplikasi medis (aplikasi okular topikal, implant, atau injeksi), biodegradabel karena kitosan dimetabolisme oleh enzim manusia terutama lisozim, tidak toksik, sebagai peningkat penetrasi dengan membuka epitel tight junction, bioadesif karena meningkatkan retensi pada tempat aplikasi, stabilitas kimia dan suhu, kemampuan pembentukan film dan gel yang baik, memiliki efek bakteriostatik, dapat digunakan sebagai penutup luka, jumlahnya berlimpah, biaya produksi murah, dan ekologi yang menarik. Kitosan telah secara luas diteliti sebagai sumber yang menjanjikan dari bahan pembentuk membran untuk aplikasi-aplikasi yang berbeda pada bidang kedokteran, farmasi, dan pada industri yang bervariasi (Pieróg dan Czubenko, 2010 ; Berger et al., 2004).

2.4.1 Sifat Fisika-Kimia Kitosan

Kitosan tidak berbau, bubuk, kepingan putih berwarna putih, atau putih krim. Bentuk serat sangat umum selama pengendapan dan kitosan akan terlihat


(30)

seperti kapas. Kitosan memiliki pH 4,0-6,0 (pada larutan 1%). Kitosan larut di dalam air, praktis tidak larut dalam etanol 95%, pelarut organik lain, dan larutan netral atau alkali pada pH dibawah 6,5. Kitosan mudah larut dalam larutan encer atau terkonsentrasi pada kebanyakan asam organik dan pada beberapa asam inorganik mineral (kecuali asam sulfat dan fosfat). Selama disolusi, gugus amina dari polimer menjadi terprotonasi, menghasilkan muatan positif polisakarida (RNH3+) dan garam kitosan larut di dalam air. Kelarutan kitosan dipengaruhi oleh

derajat deasetilasi. Kelarutan juga dipengaruhi oleh penambahan garam ke dalam larutan. Kekuatan ion yang semakin kuat, kelarutan akan semakin rendah sebagai hasil dari efek salting-out, yang akan mengakibatkan pengendapan kitosan pada larutan. Kitosan inkompatibel dengan agen pengoksidasi kuat (Rowe, Sheskey, dan Quinn, 2009).

Sifat film kitosan bergantung pada morfologi, yang dipengaruhi oleh berat molekul, derajat N-asetilasi, penguapan pelarut, dan mekanisme regenerasi amin bebas. Film kitosan digambarkan bersifat kuat, tahan lama, dan lentur (Bhuvaneswari et al., 2007). Film kitosan harus terdegradasi secara perlahan di bawah kondisi fisiologis, dan untuk alasan ini kitosan harus di sambung silang. Proses sambung silang, dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol kecepatan pelepasan obat, juga bisa memperngaruhi sifat utama dari sistem, contohnya mukoadesif (Colonna et al., 2006).

2.4.2 Aplikasi Kitosan

Aplikasi kitosan dalam bidang farmasetikal sebagai pengikat, bentuk sediaan pelepasan terkontrol, formulasi gel, sifat mukoadesif, sistem penghantaran optalmik, sistem penghantaran nasal, sistem penghantaran bukal, sistem penghantaran periodontal, sistem penghantaran peroral, sistem penghantaran gastrointestinal, sistem penghantaran intestinal, sistem penghantaran vaginal, sistem penghantaran transdermal, peningkat disolusi, sistem penghantaran kolon, mikrosfer dan mikrokapsul, sifat penutup luka, sistem penghantaran multipartikulat, penghantaran gen (Shaji, Jain, dan Lodha, 2010).


(31)

2.4.3 Film Kitosan-Sitrat

Ketika kitosan dilarutkan dalam larutan asam asetat encer, gugus amino menjadi terprotonasi dan terhubung dengan ion asetat yang bermuatan berlawanan, membuat muatan polimer larut. Film kitosan biasanya dibuat oleh sambung silang kimia melalui interaksi elektrostatik diantara fosfat multivalen dan kitosan pada formulasi. Film kitosan sambung silang mengembang di bawah kondisi asam akibat dari ionisasi gugus amino tetapi mengkerut pada kondisi netral (Honary, Hosenzaideh, dan Shalchian, 2010).

[Sumber : Pieróg dan Czubenko, 2009]

Gambar 2.5 Struktur Kitosan-Sitrat

Sitrat merupakan anion dengan tiga gugus karboksilat dan kitosan adalah kation polibasa. Densitas muatan dari sitrat dan kitosan secara utama dikontrol oleh larutan pH. Pada kondisi netral dan asam lemah, derajat ionisasi dari natrium sitrat menurun secara signifikan karena karakteristik asam dari asam sitrat. Kebalikan dari itu, kitosan yang menjadi polibasa lemah menunjukkan penurunan yang tajam pada ionisasi dari gugus aminnya ketika larutan pH ditingkatkan menjadi di atas 6 (pKa kitosan = 6,3) (Honary, Hosenzaideh, dan Shalchian, 2010). Densitas muatan bergantung pada pH dari sitrat dan kitosan. Pada pH rendah (1,0-4,0), larutan secara visual terlihat jernih akibat dari densitas muatan sitrat yang lemah. Turbiditas meningkat besar dan larutan memisah menjadi dua fase ketika pH ditingkatkan di atas 4,3. Hal ini dapat disebabkan oleh densitas muatan sitrat dan kitosan yang


(32)

signifikan pada daerah pH ini. Peningkatan larutan pH di atas 6,3 mengakibatkan penurunan yang besar pada densitas muatan kitosan dan oleh karena itu menyebabkan penurunan turbiditas yang signifikan. Nilai turbiditas paling rendah diamati pada pH di atas 7,6 dan turbiditas meningkat pada pH di atas 7,6 dapat disebabkan oleh kelarutan kitosan yang rendah pada daerah pH ini. Pada pH 5, kebanyakan gugus amin pada kitosan terionisasi sebanyak 95%, sehingga derajat sambung silang yang terjadi juga semakin besar, yang menghasilkan derajat pengembangan yang lebih rendah. Pada pH 7, hanya 12% gugus amin yang terionisasi dan menghasikan sambung silang yang lebih rendah (Shu, Zhu, dan Song, 2001).

Pengembangan film kitosan sangat dipengaruhi oleh pH medium akibat dari ionisasi dari sodium sitrat dan kitosan. Rasio pengembangan yang paling rendah pada pH 5,5 dan 6,5 karena interaksi elektrostatik di antara sitrat dan kitosan. Penurunan pH melemahkan ikatan garam dan oleh karena itu memfasilitasi pengembangan film kitosan. Bagaimanapun peningkatan pH di atas 6,5 juga dapat menyebabkan pelemahan ikatan garam dan menghasilkan rasio pengembangan yang lebih tinggi (Honary, Hosenzaideh, dan Shalchian, 2010).

Pelepasan obat dari film sensitif terhadap pH karena interaksi elektrostatik diantara anion sitrat dan gugus amina kitosan dipengaruhi oleh larutan pH. Penurunan pH melemahkan ikatan garam dan oleh karena itu memfasilitasi pengembangan film, dan membuat menjadi lebih berpori dan mempercepat pelepasan obat. Pada pH rendah (1,0-3,5), natrium sitrat dan kitosan akan dalam keadaan terdisosiasi dan oleh karena itu pelapasan obat menjadi lebih cepat. Hasil menunjukkan dengan waktu sambung silang yang lebih lama, kecepatan pelepasan obat menjadi semakin lama juga. Hal ini mungkin dikaitkan dengan derajat sambung silang yang lebih tinggi pada matriks, mengakibatkan penundaan pada difusi pelepasan obat (Honary, Hosenzaideh, dan Shalchian, 2010).

2.4.4 Film Kitosan-Tripolifosfat

Variasi kandungan tripolifosfat dan derajat sambung silang pada membran kitosan dan tripolifosfat diperoleh dari kondisi pH yang bervariasi yang menghasilkan perbedaan derajat ionisasi kitosan dan tripolifosfat (Druzynska dan


(33)

Czubenko, 2010). Reaksi sambung silang kitosan dengan tripolifosfat secara ionik terjadi lebih banyak pada pH rendah dibandingkan pada pH tinggi. Pada pH rendah atau asam, tripolifosfat lebih banyak terionisasi dalam bentuk ion –P3O10

5-dibandingkan bentuk ion –OH-. Sedangkan pada pH yang tinggi atau basa, tripolifosfat lebih banyak terionisasi dalam bentuk ion –OH- dibandingkan dalam bentuk –P3O105-. Reaksi sambung silang secara ionik terjadi antara ion –P3O105- dari

tripolifosfat dengan ion –NH3+ dari kitosan, sedangkan reaksi antara ion –OH- dari

tripolifosfat dengan ion NH3+ dari kitosan terjadi secara deprotonasi (Ko, Hwang,

Park, dan Lee, 2002; Bhumkar dan Pokharkhar, 2006).

Pada proses sambung silang kitosan-tripolifosfat dengan pH 5, 6, dan 7 menunjukkan bahwa pelepasan obat dari film kitosan-tripolifosfat pH 7 > pH 6 > pH 5. Hal ini dapat disebabkan oleh pKa kitosan (6,3), sehingga dengan peningkatan pH, ionisasi amin menurun sehingga derajat sambung silang pH 7 lebih kecil dari pH 5 oleh karena itu pelepasan obatnya menjadi lebih besar (Shu dan Zhu, 2000).

[Sumber : Pieróg dan Czubenko, 2009]


(34)

2.5 Asam Asetat

[Sumber : Rowe, Sheskey, dan Quinn, 2009]

Gambar 2.7 Struktur Asam Asetat

Asam asetat dengan rumus C2H4O2 dengan BM 60,05 berupa masa kristalin

putih atau jernih, larutan tidak berwarna yang mudah menguap dengan bau yang tajam. Asam asetat memiliki pH 2,4 (pada larutan 1 M), titik didih 1180C, titik leleh 170C. Larut dalam etanol, eter, gliserin, air dan minyak menguap lain. Asam asetat bereaksi dengan zat-zat alkali. Asam asetat harus disimpan dalam wadah kedap udara di tempat sejuk dan kering (Rowe, Sheskey, dan Quinn, 2009).

2.6 Plasticizer

Plasticizer umumnya molekul kecil, seperti poliol (sorbitol, gliserin dan PEG) yang dapat menyelingi dan masuk diantara rantai polimer, sehingga mengganggu ikatan hidrogen dan menguraikan rantai untuk meningkatkan fleksibilitas, tingkat transmisi uap air, dan permeabilitas gas dari film. Kerapuhan film ditentukan terutama oleh kekuatan interaksi polimer-polimer yang dapat dikontrol melalui kimia polimer atau dengan penambahan plasticizer (Núňez,

Santana, Machado, Cervantes, dan Valdez, 2014).

2.6.1 Gliserin

Gliserin dengan rumus umum C3H8O3 dan berat molekul 92,09 berupa

cairan hirgsokopik, tidak berwarna, bening, tidak berbau, kental, memiliki rasa yang manis. Kelarutan pada suhu 200C yaitu sedikit larut dalam aseton, praktis tidak


(35)

larut dalam benzen, kloroform, dan minyak. Larut dalam etanol (95%), metanol dan air (Rowe, Sheskey, dan Quinn, 2009).

[Sumber : Rowe, Sheskey, dan Quinn, 2009]

Gambar 2.8 Struktur Gliserin

Gliserin dianggap sebagai plasticizer yang baik untuk film. Namun film-film tersebut menjadi sensitif terhadap air, seperti lingkungan dengan kelembaban relatif tinggi (Núňez et al., 2014). Film kitosan yang mengandung gliserin 20% menunjukkan penurunan gaya tarik dan peningkatan elongasi. Hal ini disebabkan gliserin berpenetrasi melalui matriks biopolimer dan mengganggu rantai kitosan, sehingga mengurangi daya tarik antarmolekul dan meningkatkan mobilitas rantai biopolimer yang mengakibatkan film menjadi lebih fleksibel (Núňez et al., 2014).

2.7 Verapamil Hidroklorida

[Sumber : USP 32 United States Pharmacopeia Convention, 2009.]

Gambar 2.9 Struktur Verapamil Hidroklorida

Verapamil memiliki rumus empiris C27H38N2O4 dengan berat molekul

491,07. Titik leleh 1440C, pKa 9,04, dan log P 4,6. (Srinivasan, Vinod, Geetavani, Rajesh, dan Ramesh, 2014). Verapamil HCl larut dalam air 83 mg/mL, etanol 26 mg/mL, propilen glikol 93 mg/mL, etanol >100 mg/mL, dan etil asetat 1 mg/mL.


(36)

Panjang gelombang maksimum verapamil HCl 278 nm. Verapamil HCl harus disimpan pada temperatur ruang dan dilindungi dari cahaya. Verapamil kompatibel dengan pelarut pada rentang pH 3-6 namun dapat mengendap pada pelarut yang memiliki pH lebih dari 6 atau 7 (Pubchem, 2015).

Verapamil hidroklorida (VPH) adalah pemblok saluran kalsium dan merupakan antiaritmia golongan IV. Absorpsi oral dari obat ini dari bentuk sediaan oral adalah 90% tetapi pemberian secara oral akan mengalami metabolisme lintas pertama pada hati dan bioavailbilitasnya hanya 20%. Obat ini juga memiliki waktu paruh eliminasi yang pendek yaitu 2-4 jam dan tereliminasi dengan cepat (Emami, Varshozaz, dan Saljouhian, 2008). Sekitar 70% dosis yang teradministrasi dieksresi sebagai metabolit pada urin dan sebanyak 16% atau lebih dikeluarkan melalui feses dalam waktu 5 hari (Drugbank, 2015).


(37)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian I, Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium Formulasi Sediaan Padat, Laboratorium Riset, Laboratorium Farmakologi Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah, dan PAIR

BATAN Pasar Jum’at. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2015.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Timbangan analitik (AND GH-202, Jepang), pengaduk magnetik (Advantec SRS710HA), oven (Eyela NDO-400, Jepang), pH meter (horiba F-52,Jepang), termometer, lemari pendingin (Sanyo, Indonesia), deksikator, mikrometer digital (Mitutoyo, Jepang), tensile tester Strograph-R1 (Toyoseiki, Jepang), alat potong

dumb bell (Saitama, Jepang), cawan penguap, dissolution tester (Erweka DT626HH), spektrofotometer UV-VIS (Hitachi U-2910, Jepang), spektrofotometer FTIR (Jasco 6100, Jepang), mikroskop (Olympus IX-71, Jepang), cetakan akrilik film, gunting, spuit, saringan membran, mikropipet, pipet volumetrik, dan alat-alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium.

3.2.2 Bahan

Kitosan dengan derajat deasetilasi 86,51% (PT. Biotech Surindo, Indonesia), asam asetat glasial (Merck, Indonesia), natrium sitrat (Merck, Indonesia), natrium tripolifosfat (Wako, Jepang), KBr, natrium hidroksida (PT Brataco, Indonesia), kalium dihidrogen fosfat (PT Brataco, Indonesia), asam klorida (Teknis), aquadest, verapamil hidroklorida (PT Kimia Farma, Indonesia), gliserin (Teknis), cyanoacrylate adhesive, akrilik, kertas saring, silica blue, tissue,


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Preparasi Film Kitosan

Larutan kitosan (4%) dibuat dengan cara mendispersikan 1,200 gram verapamil HCl dan 2,00 gram kitosan ke dalam 25,00 gram larutan aquadest yang mengandung 1,400 gram gliserin (70% b/b terhadap bobot kering kitosan) pada gelas beaker dan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik. Kemudian asam asetat glasial 8% ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam larutan dan digenapkan menjadi 50,00 gram sehingga konsentrasi larutan asam asetat akhir menjadi 4%. Larutan kemudian diaduk dengan pengaduk magnetik selama 2 jam (Shu, Zhu, dan Song, 2001; Colonna et al., 2006 dengan modifikasi). Larutan kemudian dibiarkan semalam hingga gelembung udara menghilang. Larutan sebanyak 10,00 gram dituangkan ke dalam cetakan akrilik yang berukuran 8 x 4 cm dan dikeringkan selama 24 jam dalam oven dengan suhu 500C. Film yang sudah

kering kemudian dipotong menjadi ukuran 3,5 x 2 cm2 untuk proses evaluasi (Chinta, Katakam, Murthy, dan Newton, 2011 dengan modifikasi).

3.3.2 Preparasi Film Sambung Silang Kitosan-Sitrat pH 4, 5, 7 dan Kitosan- Tripolifosfat

Film sambung silang kitosan-sitrat dibuat dengan cara merendam 3 buah film kitosan yang masing-masing berukuran 3,5 x 2 cm2 ke dalam 21 mL larutan natrium sitrat 4% dengan pH 4, 5, dan 7 pada suhu 40C selama 3 jam. Selanjutnya film kitosan dibilas dengan 8,4 mL aquadest. Film kemudian direndam dalam 50 mL larutan gliserin 70% selama 15 menit. Kemudian film dibilas kembali dengan 8,4 mL aquadest dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 400C selama 15 jam. Obat yang hilang selama proses sambung silang ditentukan dengan mengukur serapan obat menggunakan spektro UV pada panjang gelombang 277,4 nm (Shu, Zhu, dan Song, 2001; Colonna et al., 2006 Honary, Hoseinzadeh, dan Shalchian. 2010 dengan modifikasi).

Film kitosan sambung silang tripolifosfat dibuat dengan cara yang sama dengan pembuatan film sambung silang kitosan-sitrat namun perendaman film kitosan dilakukan dalam larutan natrium tripolifosfat 4% (pH 9,2).


(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3.3 Karakterisasi Film

3.3.3.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembuatan Kurva Kalibrasi Verapamil HCl

Kurva kalibrasi verapamil HCl diukur dengan melarutkan 10 mg verapamil HCl dalam 50 mL dapar fosfat pH 6,8 sehingga didapatkan larutan induk dengan konsentrasi 200 ppm. Larutan kemudian diencerkan untuk membuat seri konsentrasi 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm. Untuk penentuan panjang gelombang maksimum, pengukuran serapan dilakukan dengan menggunakan larutan konsentrasi 30 ppm (Wisnu, 2012 dengan modifikasi).

3.3.3.2 Analisis dengan FT-IR

Film yang dikarakterisasi adalah film kitosan, film sambung silang kitosan-sitrat (pH 4, 5, dan 7), dan film sambung silang kitosan-tripolifosfat. Film yang digunakan untuk pengujian ini adalah film yang tidak mengandung obat dan gliserin. Film tersebut dihancurkan terlebih dahulu dan kemudian diletakkan di atas cakram yang berisi KBr. Sampel dianalisis dengan spektrofotometer FT-IR pada bilangan gelombang 4000-400 cm-1 (Chinta, Katakam, Murthy, dan Newton, dengan modifikasi 2013).

3.3.3.3 Evaluasi Organoleptis Film

Pengamatan makroskopik fisik film meliputi warna dan tekstur permukaan film dan pengamatan mikroskopik penampang membujur dan melintang film (J. Balasubramanian et al., 2012 dengan modifikasi)

3.3.3.4 Pengukuran Ketebalan Film

Ketebalan dari setiap film diukur pada lima titik yang berbeda (tengah dan empat sudut) menggunakan mikrometer digital (Rao, Shravani, dan Reddy, 2013 dengan modifikasi secara triplo).

3.3.3.5 Keragaman Bobot

Film dari semua formula dengan ukuran 3,5 x 2 cm2 ditimbang dan berat rata-ratanya dihitung. Kemudian pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali pada


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

setiap film dan standar deviasi dihitung (Chinta, Katakam, Murthy, dan Newton, 2013 dengan modifikasi secara triplo).

3.3.3.6 Optimasi Ekstraksi Verapamil HCl dari Film

Keseluruhan film dalam satu cetakan (beserta pinggiran film) dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam gelas beaker 250 ml yang mengandung 100 ml buffer fosfat pH 6,8. Medium diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik yang berkecepatan sedang selama 8 jam. Sebanyak 5 ml larutan diambil setiap satu jam dan sebanyak 5 mL larutan dimasukkan kembali ke dalam gelas beaker setiap pengambilan sampel. Pengambilan sampel dilakukan pada jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 24 jam. Sampel yang sudah diambil kemudian disaring dengan menggunakan saringan membran0,45 μm. Kemudian larutan dianalisis dengan spektrofotometer-UV pada panjang gelombang maksimal yaitu 277,4 nm (Kavitha dan Rajendra, 2011; Deshmane et al., 2009 dengan modifikasi)

3.3.3.7 Uji Keseragaman Kandungan Obat dan Penetapan Kadar

Film dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam gelas beaker 250 mL yang mengandung 100 mL buffer fosfat pH 6,8. Medium diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik selama 8 jam dan didiamkan selama 16 jam. Sebanyak 5 mL larutan diambil dan disaring dengan menggunakan saringan membran 0,45 μm. Larutan dianalisis dengan spektrofotometer-UV pada panjang gelombang maksimal yaitu 277,4 nm (Kavitha dan Rajendra, 2011; Deshmane et al, 2009 dengan modifikasi secara triplo).

Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan metode yang sama, namun film sambung-silang yang digunakan adalah film sambung silang yang memiliki bobot yang hampir sama dan dilakukan secara triplo.

3.3.3.8 Uji Kadar Air

Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode

thermogravimetri. Film yang berukuran 3,5 x 2 cm2 ditimbang terlebih dahulu (Wo). Film diletakkan di dalam cawan penguap dan dioven pada suhu 1050C selama


(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ditimbang (Wt). Tahap ini diulangi hingga dicapai bobot yang konstan (AOAC,

2005 dengan modifikasi secara triplo). Kadar Air (%) = Wo−Wt a

Wo a � %

3.3.3.9 Uji Ketahanan Pelipatan Film

Ketahanan pelipatan dievaluasi berulang kali dengan cara melipat film dengan ukuran 3,5 x 2 cm2 pada tempat yang sama sebanyak 300 kali secara terus

menerus. Jumlah pelipatan film yang dilipat pada tempat yang sama tanpa film sobek adalah nilai ketahanan pelipatan (Koland, Charyulu, dan Prabhu, 2010; Chinta, Katakam, Murthy, dan Newton, 2013 dengan modifikasi secara triplo).

3.3.3.10 Uji Mekanik

Kekuatan tarik dan elongasi diuji dengan menggunakan tensile tester strograph-R1 dengan gaya 100 kg. Film dipotong dengan alat Dumbbell Astm-D-1822-L Crosshead (kecepatan 25 mm/min). Kecepatan dan pemanjangan diukur sampai film sobek. Data yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS 16. Pengukuran dilakukan dengan rumus berikut (Abbaspour, Makhmalzadeh, dan Jalali, 2010 dengan modifikasi secara triplo) :

Kekuatan Tarik = ���� � � �

l a a a l c 2

% Elongasi = a a a l − a a awal l �

a a awal l c � %

3.3.3.11 Uji Derajat Pengembangan

Film dibiarkan mengembang dalam 25 mL medium dapar fosfat pH 6,8 pada cawan penguap. Film diambil dari cawan penguap dan dikeringkan dengan kertas saring, kemudian film ditimbang. Film diamati pada menit ke- 5, 15, 30, 60, 90, dan 120. Persen mengembang diukur dengan persamaan berikut :

Indeks Mengembang (%) = � −�


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dimana Wt adalah berat film pada menit ke-t (gram) dan Wo adalah berat

film pada menit ke-0 (gram) (Mahalaxmi et al, 2010 dengan modifikasi secara triplo). Data yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS 16.

3.3.3.12 Uji Pelepasan Obat

Uji pelepasan obat secara in vitro dilakukan dalam 400 mL larutan dapar fosfat pH 6,8 menggunakan alat disolusi tipe 2 (dayung) pada suhu 370C ± 0,50C dengan kecepatan 50 rpm. Satu sisi film ditempel ke akrilik (yang berukuran 4 x 2 cm) dengan menggunakan lem sianoakrilat. Sampel diambil sebanyak 5 ml dengan menggunakan spuit dan diganti dengan medium yang segar. Sampel diambil pada interval waktu 15, 30, 60, 120, 180, 240, 300, dan 360 menit. Sampel yang telah diambil kemudian disaring dengan saringan membran 0,45 μm. Sampel kemudian diukur dengan spektrofotometri UV pada panjang gelombang 277,4 nm (Deshmane

et al, 2009; Singh, Kumar Singh, Shah, dan Mehta, 2014 dengan modifikasi secara triplo). Data yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS 16.


(43)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Preparasi Film Kitosan

Pada penelitian ini dibuat film kitosan dengan menggunakan metode solvent casting. Metode solvent casting merupakan suatu metode pembuatan film dengan melarutkan semua eksipien termasuk obat ke dalam pelarut organik, kemudian pelarut diuapkan dan terbentuklah massa film. Film kitosan yang dibuat mengandung obat verapamil hidroklorida. Dosis obat verapamil hidroklorida yang digunakan sebesar 240 mg untuk setiap cetakan yang merupakan hasil dari perhitungan rumus (Sood, Kaur, Pawar, 2013). Sediaan film ini dibuat dengan menggunakan pelarut asam asetat dengan konsentrasi akhir 4% dan plasticizer yang digunakan adalah gliserin 70% (b/b dari bobot kering kitosan). Penggunaan gliserin 70% pada sediaan film ini adalah hasil optimasi yang berfungsi untuk memberikan elastisitas pada film dan agar film yang terbentuk mudah dilepaskan dari cetakan.

Untuk membuat larutan cairan pembentuk film (CPF) kitosan 4%, obat verapamil hidroklorida yang sudah ditimbang didispersikan terlebih dahulu di dalam campuran larutan aquadest dan gliserin 70%, kemudian ke dalam campuran tersebut didispersikan kitosan yang sudah ditimbang sedikit demi sedikit setelah itu campuran diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pada saat proses pembuatan cairan pembentuk film kitosan. Setelah itu, asam asetat didispersikan sedikit demi sedikit ke dalam larutan tersebut dan digenapkan hingga bobot yang diinginkan. Larutan CPF kitosan diaduk dengan pengaduk magnetik selama 2 jam yaitu sampai larutan homogen. Larutan CPF kitosan kemudian didiamkan selama semalam untuk menghilangkan gelembung udara yang terbentuk. Adanya gelembung udara dapat mempengaruhi karakteristik film yang dihasilkan. Setelah gelembung udara hilang, sebanyak 10 gram larutan CPF kitosan dituangkan ke dalam cetakan akrilik yang berukuran 8 x 4 cm2. Film kemudian di oven dengan menggunakan suhu 500C selama 24 jam. Jumlah cairan film yang dituangkan ke dalam cetakan, suhu, dan waktu pengeringan yang


(44)

digunakan merupakan hasil optimasi. Sediaan fim yang terbentuk kemudian dipotong menjadi ukuran 3,5 x 2 cm2 dan dilakukan evaluasi.

Gambar 4.1 Larutan CPF Kitosan 4%

4.2 Preparasi Film Sambung Silang Kitosan-Sitrat (pH 4, 5, dan 7) dan Kitosan Tripolifosfat

Film sambung silang kitosan-sitrat dibuat dengan menggunakan metode perendaman yaitu dengan cara merendam film kitosan ke dalam larutan natrium sitrat 4% pada pH 4, 5, dan 7. Dasar pemilihan pH ini adalah pH derajat ionisasi dari sitrat yaitu 3,128; 4,761; 6,396 (Rowe, Sheskey, Quinn, 2009). Hal ini bertujuan untuk melihat pengaruh pH larutan sitrat terhadap proses sambung silang yang terjadi. Pada penelitian ini, film kitosan akan mengalami dua kali proses perendaman dan dua kali proses pembilasan. Proses perendaman yang pertama adalah film kitosan direndam di dalam larutan natrium sitrat 4 % pH 4, 5, dan 7 selama 3 jam. Lamanya waktu perendaman merupakan hasil optimasi. Setelah direndam selama 3 jam, film kemudian dibilas dengan menggunakan aquadest. Banyaknya larutan natrium sitrat 4% pH 4, 5, dan 7 yang digunakan serta banyaknya aquadest yang digunakan pada proses pembilasan merupakan hasil perbandingan (Shu, Zhu, dan Song, 2001; Honary, Hoseinzadeh, dan Shalchian, 2010). Proses perendaman yang kedua adalah film direndam di dalam larutan gliserin 70% selama 15 menit. Hal ini bertujuan untuk memberikan elastisitas pada film sambung silang yang dihasilkan. Karena salah satu kekurangan dari film yang disambung silang dengan menggunakan metode perendaman yaitu film yang dihasilkan menjadi mengkerut, keras, rapuh, dan tidak elastis. Pada penelitian ini


(45)

Tighzert, dan Copinet, 2005) sehingga saat proses perendaman gliserin larut di dalam air yang mengakibatkan hilangnya efek plasticizer yaitutidak memberikan efek elastisitas pada film. Film kemudian dibilas kembali dengan aquadest untuk menghilangkan gliserin yang ada di permukaan film. Selanjutnya film dioven dengan menggunakan suhu 400C selama 15 jam. Suhu oven dan lama pengeringan film merupakan hasil optimasi. Setelah dioven selama 15 jam, film yang dihasilkan lebih elastis dan tidak mudah patah. Hal ini membuktikan bahwa perendaman film hasil sambung silang di dalam larutan gliserin 70% selama 15 menit dapat memberikan elastisitas pada film.

Film sambung silang kitosan-tripolifosfat dibuat dengan menggunakan metode yang sama dengan film kitosan-sitrat. Namun perbedaanya hanya pada larutan agen sambung silang yang digunakan. Pada film sambung silang kitosan-tripolifosfat, film kitosan direndam dalam larutan natrium tripolifosfat 4% (pH 9,2).

4.3 Karakterisasi Film 4.3.1 Analisis dengan FT-IR

Karakterisasi dengan menggunakan FT-IR dilakukan untuk melihat apakah proses sambung silang terjadi. Hal ini dilihat dengan cara membandingkan spektrum film kitosan yang terbentuk dengan spektrum film sambung silang kitosan-sitrat (pH 4, 5, dan 7) dan kitosan tripolifosfat.

Tabel 4.1 Nilai Puncak pada Spektrum FT-IR

Ket Gugus

Puncak Panjang Gelombang (cm-1)

Kitosan

Kitosan-Sitrat pH

4

Kitosan-Sitrat pH

5

Kitosan-Sitrat pH

7

Kitosan-TPP

A OH 3614 3601 3615 3595 3651

B C=O 1673 1659 1668 1660 1673

C N-H 1594 - - - -


(46)

a) Gugus –OH: 3595-3615 cm-1 d) Gugus C-O : 1260-1300 cm-1

b) Gugus C=O : 1659-1673 cm-1 e) Puncak baru kitosan-TPP : 1385 cm-1

c) Gugus N-H : 1594 cm-1 f) Gugus P=O : 1240 cm-1

Gambar 4.2 Spektrum FT-IR Kitosan, Sitrat (pH 4,5, dan 7), dan Kitosan-Tripolifosfat (TPP)

Berdasarkan hasil yang didapatkan terlihat bahwa telah terjadi perubahan spektrum FT-IR sebelum dan sesudah proses sambung silang baik pada kitosan-sitrat pH 4, 5, dan 7 maupun pada kitosan-tripolifosfat. Spektrum FT-IR pada kitosan, kitosan-sitrat (pH 4, 5, dan 7), dan kitosan-tripolifosfat menunjukkan puncak pada bilang gelombang 3500-3650 cm-1. Hal tersebut disebabkan oleh gugus -OH yang menutupi puncak gugus –NH2 dalam ikatan hidrogen (Pieróg,

Drużyńska, dan Czubenko, 2009). Pada spektrum kitosan terdapat puncak pada

bilangan gelombang 1594 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus amida, sedangkan pada spektrum kitosan-sitrat (pH 4,5, dan 7) dan kitosan-tripolifosfat tidak terdapat puncak pada daerah bilangan gelombang ini. Hal ini diduga gugus amida telah berikatan dengan gugus karboksilat pada kitosan-sitrat dan berikatan dengan gugus fosfat pada kitosan-tripolifosfat. Pada spektrum kitosan-sitrat (pH 4,5, dan 7) terbentuk puncak baru pada daerah panjang gelombang 1300 cm-1.Hal ini sesuai dengan bilangan gelombang gugus C-O pada ion COO- (Pieróg, Drużyńska, dan Czubenko, 2009). Pada kitosan-tripolifosfat terbentuk puncak baru yaitu pada

Kitosan

Kitosan-Sitrat pH 4

Kitosan-Sitrat pH 7 Kitosan-Sitrat pH 5

Bilangan gelombang (cm-1) a

Kitosan-TPP

T

ran

sm

ita

n

(

%) b

c

d

e


(47)

bilangan gelombang 1385 cm-1 yang dapat disebabkan karena adanya interaksi antara ion tripolifosfat dengan –NH3 pada kitosan. Selain itu juga terdapat puncak

pada daerah bilangan gelombang 1240 cm-1 yang sesuai dengan panjang gelombang gugus –P=O pada ion fosfat (Pieróg, Drużyńska, dan Czubenko, 2009).

4.3.2 Evaluasi Organoleptis

Gambar 4.3 Gambar Makroskopik Permukaan bawah film kitosan-sitrat pH 4 (a), pH 5 (b), pH 7 (c), dan film kitosan-tripolifosfat (d)

Film kitosan-sitrat pH 4, 5, 7 dan kitosan-tripolifosfat secara makroskopik terlihat berwarna kuning dengan permukaan bawah film berwarna kuning- keputihan dan agak kasar. Film secara keseluruhan berbentuk tipis, tidak berbau, dan tidak rapuh.

Gambar 4.4 Gambar Mikroskopik Membujur Film Kitosan-sitrat pH 4 (a), pH 5 (b), pH 7 (c), dan Film Kitosan-Tripolifosfat (d)

Hasil pengamatan secara mikroskopik pada penampang membujur film dengan perbesaran 100x menunjukkan bahwa pada kitosan-sitrat pH 4, pH 7, dan kitosan-tripolifosfat zat aktif tersebar tidak merata karena adanya

lingkaran-a b

c d


(48)

lingkaran hitam yang diduga adalah zat aktif yang sudah terlepas. Lingkaran-lingkaran ini tidak terdapat pada film kitosan-sitrat pH 5. Pada film kitosan-sitrat pH 5 obat pada film terlihat lebih homogen dibandingkan dengan obat pada film kitosan-sitrat pH 4, pH 7, dan kitosan tripolifosfat.

Gambar 4.5 Gambar Mikroskopik Melintang Film Kitosan-Sitrat pH 4 (a), pH 5 (b), pH 7 (c), dan Kitosan-Tripolifosfat (d)

Hasil pengamatan secara mikroskopik pada penampang melintang film dengan perbesaran 100x menunjukkan film tampak rata, berserat-serat, berwarna kuning, dan berbentuk satu lapisan.

4.3.3 Ketebalan

Tabel 4.2 Ketebalan Film Jenis Film Ketebalan (mm) Kitosan-Sitrat pH 4 0,32 ± 0,04 Kitosan-Sitrat pH 5 0,31± 0,02 Kitosan-sitrat pH 7 0,28 ± 0,02 Kitosan-TPP 0,23 ± 0,02

Ketebalan pada setiap film sambung silang bervariasi baik pada film sambung silang sitrat pH 4, pH 5, pH 7 dan film sambung silang kitosan-tripolifosfat. Walaupun sudah menggunakan cetakan yang terbuat dari bahan akrilik yang memiliki permukaan yang rata, ketebalan film tetap bervariasi. Ketebalan yang bervariasi ini dapat disebabkan oleh adanya obat yang hilang saat proses

a b


(49)

perendaman sehingga mempengaruhi ketebalan film setelah proses sambung silang. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 4.2 yaitu ketebalan film berdasarkan jenis film sambung silang. Ketebalan film pada bagian tengah lebih tebal dibandingkan dengan bagian pinggir film. Hal tersebut dapat disebabkan oleh penurunan mobilitas makromolekul dan jarak intramolekular yang diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi polimer saat penguapan pelarut melalui seluruh lapisan pada tahap pembentukan film (Krzyzanowska, 1975).

Gambar 4.6 Film Kitosan

4.3.4 Keragaman Bobot

Film kitosan yang dihasilkan memiliki bobot yang beragam. Ketebalan film yang bervariasi tentunya juga mempengaruhi bobot film kitosan. Bobot film kitosan yang berada dalam satu cetakan saja beragam apalagi bobot film yang berasal dari cetakan yang berbeda. Bobot film yang beragam tentunya mempengaruhi kandungan zat aktif yang terdapat di dalam sediaan film. Oleh karena itu pemilihan sampel film kitosan yang akan disambung silang didasarkan pada bobot film kitosan yang hampir sama dengan dasar bahwa pada bobot film yang hampir sama terkandung zat aktif yang jumlahnya hampir sama juga (Delvina, 2014).

Film kitosan dengan bobot yang hampir sama kemudian disambung silang dengan natrium sitrat pH 4, pH 5, pH 7, dan natrium tripolifosfat (pH 9,2). Pada proses sambung silang yang dilakukan dengan cara merendam film kitosan ke dalam larutan sambung silang, terdapat obat yang hilang selama proses perendaman selama 3 jam. Salah satu kekurangan proses sambung silang dengan menggunakan metode perendaman adalah obat yang bersifat hidrofilik memiliki persen obat yang hilang pada proses perendaman lebih besar dibandingkan dengan obat yang tidak hidrofilik. Sifat obat terutama kelarutan mempengaruhi pelepasan obat. Obat yang


(50)

kelarutannya dalam air rendah, walaupun proses sambung silang yang dilakukan cukup lama namun persentase obat yang hilang sedikit dan efisiensi muatan obatnya lebih besar (Shu dan Zhu, 2002).

Tabel 4.3 Keragaman Bobot Jenis Film Bobot (mg) Kitosan-Sitrat pH 4 253,60 ± 10,39 Kitosan-Sitrat pH 5 216,70 ± 8,07 Kitosan-Sitrat pH 7 205,53 ± 22,40

Kitosan-TPP 198,77 ± 5,84

Persen obat yang hilang diketahui dari hasil pengukuran larutan agen sambung silang setelah proses sambung silang. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut obat yang paling banyak terlepas selama proses sambung silang adalah obat yang terdapat pada film kitosan-sitrat pH 7 dengan persen obat yang hilang sebesar 43%. Sedangkan persen obat yang hilang pada film kitosan-sitrat pH 4 dan pH 5 sebesar 16% dan 17%. Pada film sambung silang kitosan-tripolifosfat, absorbansi obat yang terukur paling kecil dibandingkan dengan absorbansi obat yang terukur pada film kitosan-sitrat pH 4, pH 5, dan pH 7. Hal ini dapat disebabkan oleh kelarutan obat verapamil hidroklorida yang sangat sedikit larut dalam larutan tripolifosfat 4%. Karena kelarutannya yang sedikit di dalam larutan tripolifosfat 4% menyebabkan persentase obat yang hilang tidak dapat diukur.

Adanya obat yang hilang menyebabkan bobot film setelah proses sambung silang menjadi berkurang dan menjadi semakin beragam baik dalam jenis film yang sama maupun dalam jenis film sambung silang yang berbeda. Oleh karena itu film sambung silang yang digunakan untuk evaluasi dipilih berdasarkan bobot yang hampir sama dengan kandungan zat aktif yang juga hampir sama.

4.3.5 Optimasi Ekstraksi Verapamil HCl dari Film

Optimasi ekstraksi verapamil dari film dilakukan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk obat terekstraksi dari film. Waktu yang didapatkan dari hasil optimasi ini akan digunakan sebagai waktu pada uji keseragaman kandungan film dan pada penetapan kadar. Film dipotong kecil-kecil


(51)

bertujuan untuk memperkecil luas permukaan film sehingga zat aktif lebih cepat dan lebih mudah untuk keluar dari film.

Tabel 4.4 Hasil Optimasi Waktu Ekstraksi Verapamil HCl dari Film Jenis Film Bobot Film

(mg)

Verapamil HCl yang Terekstraksi (mg)

Verapamil HCl yang Terekstraksi (%)

Kitosan-Sitrat pH 4 815,6 190,9 79,53

Kitosan-Sitrat pH 5 994,9 106,2 44,26

Kitosan-Sitrat pH 7 842,8 114,5 47,71

Kitosan-TPP 858,5 128,7 53,24

Sampel sebanyak 5 mL diambil setiap jam untuk mengetahui berapa kadar obat yang sudah keluar dari film. Setelah diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik selama 7 jam, ternyata belum semua obat keluar dari film. Oleh karena itu film didiamkan selama 16 jam dan kembali diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik selama satu jam. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar obat yang keluar selama didiamkan dapat teraduk dan menjadi homogen kandungannya sebelum obat diambil pada waktu ke-24 jam. Sampel yang sudah diambil dan disaring kemudian diukur kadarnya. Pada film kitosan-tripolifosfat pada jam ke-26 sampel juga diambil untuk melihat perbedaan konsentrasi yang dihasilkan dengan jam ke-24. Setelah proses pengadukan selama 8 jam dan didiamkan selama 16 jam kadar film kitosan-sitrat (pH 4, 5, 7) dan kitosan-tripolifosfat berturut-turut adalah 79,53%, 44,26%, 47,71%, dan 53,64%. Kadar film kitosan-tripolifosfat pada jam ke-26 sebesar 57,24%, hal tersebut menunjukkan proses ekstraksi selama 26 jam tidak memberikan perbedaan hasil yang cukup signifikan terhadap ekstraksi verapamil HCl. Persen kadar yang didapatkan kurang dari 100%. Hal dapat disebabkan oleh adanya obat yang hilang saat proses sambung silang dan proses pembilasan.

4.3.6 Keseragaman Kandungan dan Penetapan Kadar Verapamil HCl

Keseragaman kandungan dilakukan untuk mengetahui apakah film memiliki kandungan zat aktif yang sama. Uji ini dilakukan dengan mengukur kadar obat dalam satu cetakan pada tiga titik. Berdasarkan hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa kandungan obat pada tiga titik di dalam satu cetakan beragam.


(52)

Hal ini dapat disebabkan oleh bobot film yang beragam. Film yang digunakan untuk proses evaluasi terutama pada evaluasi profil pelepasan obat, sebisa mungkin adalah film yang memiliki kandungan zat aktif yang hampir sama. Oleh karena itu pemilihan film untuk evaluasi didasarkan pada film yang memiliki kandungan zat aktif yang hampir sama yang dilihat dari bobot film yang hampir sama. Hal tersebut terbukti bahwa film yang memiliki bobot yang hampir sama memiliki kandungan zat aktif yang hampir sama juga.

Tabel 4.5 Keseragaman Kandungan Film

Jenis Film Bobot (mg)

Kandungan

Obat (mg) Kadar (%)

Rata-Rata (%)

Kitosan-Sitrat pH 4

239,1 23,33 9,76

10,65 ± 0,97 221,6 25,88 11,68

193,9 20,41 10,53

Kitosan-Sitrat pH 5

204,1 35,21 17,25

16,71 ± 2,87 211,3 28,75 13,60

163,7 31,54 19,27

Kitosan-Sitrat pH 7

254,2 35,58 14,00

12,17 ± 1,59 206,5 22,95 11,12

262,6 29,93 11,40

Kitosan-TPP

227,5 41,58 18,28

18,07 ± 3,80 198,4 43,19 21,77

165,9 23,51 14,17

Berdasarkan hasil pengukuran kadar film, persen kadar yang didapatkan memiliki simpangan deviasi yang kecil. Sehingga dasar pemilihan ini dapat digunakan untuk pemilihan film yang akan digunakan untuk evaluasi terutama evaluasi pelepasan obat.


(53)

Tabel 4.6 Kadar Film Jenis Film Bobot Film

(mg) Kandungan Verapamil HCl (mg) % Kadar Rata-Rata Kadar

Na-Sitrat pH 4

1 254,7 34,5 13,53

13,78 ± 0,90

2 263,4 34,3 13,03

3 242,7 35,9 14,78

Na-Sitrat pH 5

1 210,4 38,9 18,49

18,04 ± 0,40

2 213,9 37,9 17,73

3 225,8 40,4 17,89

Na-Sitrat pH 7

1 180,8 32,1 17,76

17,82 ± 0,94

2 171,7 32,3 18,79

3 172,6 29,2 16,92

Na-TPP

1 164,7 27,7 16,83

18,92 ± 2,15

2 167,3 31,4 18,79

3 147,3 31,1 21,12

4.3.7 Kadar Air

Kekurangan lain dari penggunaan metode perendaman pada proses sambung silang yaitu film sambung silang yang dihasilkan mengkerut, keras, dan mudah patah. Hal tersebut tentunya dapat mempengaruhi evaluasi film yang dilakukan. Oleh karena itu pemilihan film sambung silang juga didasarkan pada kadar air film. Pada film sambung silang kitosan-sitrat, kadar air paling tinggi tedapat pada film kitosan-sitrat pH 4 dan kadar air terendah terdapat pada film kitosan-sitrat pH 7. Namun bila dibandingkan dengan film kitosan-tripolifosfat, kadar air film tripolifosfat lebih rendah dibandingkan dengan film kitosan-sitrat pH 7. Kadar air film tentunya akan mempengaruhi hasil evaluasi film sambung silang yang dilakukan. Karena pada penelitian terdahulu film yang digunakan untuk proses evaluasi adalah film dengan bobot konstan.

Tabel 4.6 Kadar Air Jenis Film Kadar Air

(%) Kitosan-Strat pH 4 23,73 ± 1,49 Kitosan-Sitrat pH 5 16,40 ± 2,23 Kitosan-Sitrat pH 7 15,32 ± 1,51 Kitosan-TPP 14,84 ± 0,57


(54)

4.3.8 Ketahanan Pelipatan

Ketahanan pelipatan pada film kitosan-sitrat pH 4, pH 5, pH 7, dan film kitosan-tripolifosfat dengan kadar air 14-24% lebih dari 300 lipatan. Hal tersebut membuktikan bahwa perendaman film sambung silang kitosan-sitrat (pH 4, 5, dan 7) dan kitosan-tripolifosfat dalam 50 ml gliserin 70% selama 15 menit efektif untuk meningkatkan kekuatan pelipatan film sambung silang. Sehingga film sambung silang yang dihasilkan elastis, tidak mudah patah, dan kekuatan pelipatan yang dihasilkan lebih dari 300 lipatan. Selain itu kadar air 14-24% dalam film tentunya juga mempengaruhi ketahanan pelipatan pada film. Karena air dapat berperan sebagai plasticizer (Suyatma, Tighert, dan Copinet, 2005) yang memberikan keelastisan pada film sehingga film tidak mudah patah.

4.3.9 Uji Mekanik

Film yang memiliki derajat sambung silang tinggi akan menghasilkan nilai kekuatan tarik (tensile strength) yang tinggi dan nilai elongasi (elongation break)

yang rendah karena film sambung silang yang dihasilkan lebih kuat (Chinta, Katakam, Murthy, dan Newton, 2013). Berdasarkan hasil uji mekanik, film kitosan-sitrat pH 7 memiliki nilai kekuatan tarik yang paling besar dan nilai elongasi yang paling kecil dibandingkan dengan film kitosan-sitrat pH 4 dan pH 5. Namun bila dibandingkan dengan film tripolifosfat, nilai kekuatan tarik film kitosan-tripolifosfat lebih tinggi dan nilai perpanjangan putus film kitosan-kitosan-tripolifosfat lebih rendah dibandingkan dengan film kitosan-sitrat pH 7. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan SPSS 16 menunjukkan bahwa hasil uji kekuatan tarik dan perpanjangan putus pada sediaan film sambung silang kitosan-sitrat pH 4, pH 5, pH 7, dan film kitosan-tripolifosfat berbeda secara bermakna. Kadar air yang bervariasi pada sediaan film sambung silang kitosan-sitrat pH 4, pH 5, pH 7, dan film kitosan tripolifosfat diduga mempengaruhi hasil uji mekanik. Air yang dapat berperan sebagai plasticizer memberikan keelastisan pada film sehingga film tidak mudah putus. Adanya air dalam film menyebabkan kekuatan tarik menurun yang disebabkan oleh ikatan antarpolimer yang semakin berkurang (Anggraeni, 2012) dan meningkatkan nilai elongasi karena film menjadi semakin


(1)

UIN Syarif Hidayatullah jakarta

d) Kandungan zat aktif dalam sediaan ZA = Kadar zat aktif x Bobot sediaan ZA = 16,71% x 186,5 mg

ZA = 31,164 mg

e) Jumlah zat aktif yang terdisolusi pada menit ke-0?

Disolusi = C0 (mg/L) x Volume (L) x Faktor Pengenceran

Disolusi = 0,000 (mg/L) x 0,4 (L) x 5 = 0 mg

% Disolusi = � � � �� � �

� � � � � � � ��� � %

% Disolusi =

, � %

% Disolusi = 0%

f) Jumlah zat aktif yang terdisolusi pada menit ke-15? Faktor koreksi t0 = C0 x �� �� �

ℎ �� = 0,000 x

= 0,000

Disolusi = [C15 + FK0 (mg/L)] x Volume (L) x Faktor Pengenceran

Disolusi = [2,636 (mg/L) + 0,000] x 0,4 (L) x 5 = 5,272 mg

% Disolusi = ,

, � %

% Disolusi = 16,66 %

g) Jumlah zat aktif yang terdisolusi pada menit ke-30? Faktor koreksi t15 = C15 x �� ��ℎ ��

= 2,636 x = 0,032

Disolusi = [C15 + FK0 + FK15] x Volume (L) x Faktor Pengenceran


(2)

UIN Syarif Hidayatullah jakarta

= 5,883 mg % Disolusi = ,

, � %

% Disolusi = 18,88 %

Lampiran 34. Contoh Perhitungan Optimasi Ekstraksi Verapamil HCl pada Film

Kitosan-Sitrat pH 4

Diketahui : C1 : 9,857 ppm

C2 : 15,593 ppm

Faktor pengenceran : 50

Zat aktif yang dimasukkan : 240 mg

Ditanya : a) Kadar obat yang terekstraksi (N1) pada waktu t1?

b) Kadar obat yang terekstraksi (N2) pada waktu t2?

c) Persen kadar obat yang terekstraksi pada waktu t1?

d) Persen kadar obat yang terekstraksi pada waktu t2?

a) Mencari kadar obat yang terekstraksi pada jam ke-1? N1 = C1 x FP x 100 ml

= 9,857 ppm x 50 x 100 ml N1 = 49,28 mg

b) Mencari kadar obat yang terekstraksi pada jam ke-2? Faktor Koreksi = C1 x FP x 100 ml

= 9,857 ppm x 50 x 5 ml = 2,464 mg

N2 = (C1 x FP x 100 ml) + Faktor Koreksi t1

= (15,593 ppm x 50 x 100 ml) + 2,464 mg N2 = 80,429 mg


(3)

UIN Syarif Hidayatullah jakarta

% Kadar = (N1/240 mg) x 100 = 20,53%

d) Persen kadar obat yang terekstraksi pada waktu t2 ?

% Kadar = (N2/240 mg) x 100 = 33,51%

Lampiran 35. Contoh Perhitungan Kadar Verapamil HCl pada Film Kitosan-Sitrat

pH 4

Diketahui : C: 17,233 ppm

Faktor pengenceran : 50 Bobot Film : 254,7 mg

Ditanya : a) Kadar ? b) % Kadar?

a) Mencari kandungan zat aktif pada jam ke-1? N1 = C x FP x 100 ml

= 17,233 ppm x 50 x 100 ml N1 = 86,165 mg

b) % Kadar = (N1/Bobot Film) x 100 = 33,82%


(4)

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


(5)

UIN Syarif Hidayatullah jakarta


(6)

UIN Syarif Hidayatullah jakarta