global. Untuk itu perguruan tinggi harus memperoleh kemandirian, otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar. Penekannya ada pada adanya proses globalisasi.
Akhirnya dari ketiga faktor diatas kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi
Negeri sebagai Bahan Hukum yang kemudian disusul diterbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 155 tahun 2000 tentang Penetapan Institut Teknologi Bandung
menjadi Bahan Hukum Milik Negara. Pertimbangan pertama yang ditinjau dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 secara singkat adalah adanya globalisasi yang
menimbulkan persaingan yang tajam.
2.6 Legitimasi Privatisasi Pendidikan di Indonesia
Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang
kemudian melahirkan RUU BHP Rancangan Undang Badan Hukum Pendidikan. Penerapan kebijakan privatisasi pendidikan mendapat legalitasnya
melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian memunculkan Rancangan Undang-
Undang Badan Hukum Pendidikan RUU BHP. Penguatan kebijakan privatisasi pendidikan itu dapat dilihat dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dengan beberapa pasal pendukung, antara lain:
a. Pasal 9 menyebutkan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
b. Dalam. Pasal 12 ayat 2 b memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi
yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang berlaku. c. Pasal 24, yang menyebutkan bahwa:
1. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik
dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan. 2. Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri
lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
d. Pasal 46 ayat 1, menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat. e. Pasal 50 ayat 1, yang menyebutkan bahwa: Perguruan tinggi menentukan
kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan dilembaganya.
f. Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan bahwa: 1. Penyelenggara danatau satuan pendidikan formal yang didirikan
oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
2. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
Universitas Sumatera Utara
3. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk
memajukan satuan pendidikan. f. Pasal 54 tentang peran masyarakat dalam pendidikan, menyebutkan:
1. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha,
dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan
2. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tersebut kemudian memunculkan RUU BHP Rancangan
Undang Badan Hukum Pendidikan. Kemunculan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan RUU BHP didasari oleh Pasal 53 Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional, yang pada ayat 1 menyebutkan bahwa penyelenggara danatau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Kemudian pada ayat 4 disebutkan bahwa ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan
undang-undang tersendiri. Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan melegalkan
pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Tidak hanya di perguruan tinggi, tapi juga di sekolah, termasuk pada tingkat pendidikan dasar;
sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama. Dari 35 pasal, tidak ada satu pun yang mengatur kewajiban pemerintah dalam penyediaan dana pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Rancangan Undang-Undang tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang isinya, antara lain, meminta partisipasi masyarakat atas tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Ini
berkaitan dengan pemenuhan atas pembiayaan pendidikan. Jika Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan disahkan, setiap SD-SLTA
negeriswasta dan perguruan tinggi negeri akan menjadi BHP Badan Hukum Pendidikan.
Konsep Badan Hukum Pendidikan sebetulnya berangkat dari paradigma bahwa dalam situasi negara belum mampu membiayai pendidikan secara utuh,
sehingga peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, istilah peran serta masyarakat itu cenderung disalah artikan dengan cara menggali dana dari
masyarakat, terutama uang kuliah mahasiswa, di samping dari kerja sama riset dengan dunia usaha.
Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan adalah upaya pengalihan tanggung jawab negara terhadap pendidikan dengan meminta
masyarakat memikul pembiayaan pendidikan. Jika Rancangan Undang-Undang ini diterapkan akan makin sedikit masyarakat tidak mampu yang bisa mengakses
pendidikan tinggi. Konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sementara yang miskin kian tersisih. Kampus yang sudah telanjur besar
dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap
tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar. Padahal, dalam prinsip Rancangan Badan Hukum Pendidikan dengan jelas mengatakan bahwa Non diskriminasi,
Universitas Sumatera Utara
yaitu memberikan pelayanan pendidikan kepada calon peserta didik dan peserta didik secara berkeadilan, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis,
gender, status sosial, dan kemampuan ekonomi. Pelegalan kebijakan privatisasi dapat dilihat dari beberapa pasal
Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan sebagai berikut: 1. Pasal 1 Ayat 1 RUU BHP yang berbunyi: Badan Hukum Pendidikan
BHP adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan
pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom. 2. Pasal 22 ayat 3, yaitu pada bagian pendanaan dan kekayaan, hanya
disebutkan bahwa pemerintah danatau pemerintah daerah memberikan sumber daya dalam bentuk hibah kepada badan hukum pendidikan sesuai
dengan penugasan yang diberikan. Pada ayat 4 disebutkan bahwa hibah dan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 digunakan sepenuhnya
untuk pendidikan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan berlakunya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, terkesan pemerintah ingin mereposisi perannya yang sudah baku di
UUD 1945 Pasal 31 dengan melepas tanggung jawab atas penanganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu. Dengan sejumlah legalitasnya, ke depan akan
tampak di hadapan mata sejumlah model privatisasi pendidikan, baik yang nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang sudah terjadi ialah adanya cost sharing,
di mana pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.
Universitas Sumatera Utara
Terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan mekanisme BHP Badan
Hukum Pendidikan. Mekanisme tersebut dapat dilihat dengan adanya Manajemen Basis Sekolah MBS dan Otonomi Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan,
sekolah dan perguruan tinggi dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan
1. Manajemen Basis Sekolah MBS Berdasarkan Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tetang
Sistem Pendidikan Nasional bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar
pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolahmadrasah. Manajemen Basis Sekolah MBS dipandang sebagai strategi untuk
meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Manajemen Basis
Sekolah MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan
pendidikan secara mandiri. Manajemen Basis Sekolah MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang
tua atas proses pendidikan di sekolah mereka. Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu
mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua,
dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu,
Universitas Sumatera Utara
Manajemen Basis Sekolah MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya
Manajemen Basis Sekolah MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung Manajemen Basis Sekolah MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan
dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya
ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para
guru yang harus menerapkannya tidak berperan serta merencanakan-nya. Dalam rangka penerapan Manajemen Basis Sekolah MBS di Indonesia,
kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi
tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran
kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara
mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran buku misalnya, sementara
sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.
Universitas Sumatera Utara
2. Otonomi Pendidikan Tinggi Otonomi kampus dilatar belakangi oleh krisis ekonomi yang dialami
Indonesia yang kemudian mengakibatkan negara kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di bidang pendidikan. Hal ini mempengaruhi
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Di lain pihak, globalisasi menuntut adanya kompetisi, transparansi, dan aturan sesuai sistem pasar. Karena itu, perlu
restrukturisasi pendidikan, yaitu akuntabel terhadap publik, efisiensinya tinggi, kualitas dan relevansi output, manajemen internal yang transparan dan sesuai
standar mutu, serta responsif dan adaptif terhadap perubahan. Sejalan dengan konsep tersebut, maka pendidikan tidak sepenuhnya
menjadi tanggungan negara tetapi dari dana masyarakat, sehingga mereka memiliki hak untuk mengawasi kinerja universitas. Selanjutnya, dikenal lima pilar
paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan tinggi, yaitu mutu, otonomi, akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi. Otonomi kampus, di antaranya dengan
kebebasan finansial juga dimaksudkan untuk menciptakan independensi kampus. Sehingga universitas sebagai moral force dapat menjalankan perannya untuk
mendukung pembangunan nasional. Untuk mengimplementasikan paradigma baru tersebut, pemerintah harus
mendorong otonomi kampus. Otonomi kampus dilegalkan melalui Undang- Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pasal 24 ayat 2, bahwa Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya
sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Tahap awal dari proses otonomi kampus itu adalah perubahan struktur organisasi dan demokratisasi kampus. Pada struktur yang baru itu, universitas
tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Pendidikan Nasional Mendiknas tetapi pada Majelis Wali Amanat MWA, sebagai
stakeholders dari universitas yang terdiri dari unsur pemerintah, senat akademik,
dosen, mahasiswa, dan masyarakat. Perubahan format perguruan tinggi menjadi Badan Hukum Pendidikan
memungkinkan otonomi seluas-luasnya, sebab dengan Badan Hukum Pendidikan ini perguruan tinggi memiliki otonomi yang luas. Dengan demikian, rektor lebih
kreatif dan tak lagi terkungkung oleh struktur dan mekanisme birokrasi. Otonomi ini menjadi prasyarat bagi kreativitas dan inovasi untuk menuju world class
university . Untuk mencapai universitas bertaraf dunia, perguruan tinggi memang
harus berbenah dalam tata kelola dan tata pamong, yakni dengan menerapkan format Badan Hukum Pendidikan.
Otonomi kampus, di antaranya dengan kebebasan finansial juga dimaksudkan untuk menciptakan independensi kampus. Sehingga universitas
sebagai moral force dapat menjalankan perannya untuk mendukung pembangunan nasional. Untuk mengimplementasikan paradigma baru tersebutlah maka
pemerintah mendorong otonomi kampus. Tahap awal dari proses otonomi kampus itu adalah perubahan struktur organisasi dan demokratisasi
kampus. Pada struktur yang baru itu, universitas tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada Mendiknas Menteri Pendidikan Nasional tetapi
pada Majelis Wali Amanat MWA, sebagai stakeholders dari universitas yang terdiri dari unsur pemerintah, senat akademik, dosen, mahasiswa, dan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Konsekuensi perguruan tinggi badan hukum mengharuskan Pengelolaan perguruan tinggi Secara Bisnis Profesional yang menyebabkan:
1. Pemerintah tidak boleh mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk mendanai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara
PT BHMN 2. Peningkatan partisispasi masyarakat melalui kenaikan uang kuliah dengan
mekanisme subsidi silang 3. Kegiatan Usaha Perguruan Tinggi dengan mendirikan Unit Usaha, yaitu
Auxiliary Enterprises Berhubungan dengan Tridharma dan Commercial
Ventures , misalnya: asrama, toko, kantin, dan lain-lain.
4. Seluruh dosen dan karyawan Pegawai Negeri Sipil berubah status menjadi pegawai Perguruan Tinggi bersangkutan.
Selain mekanisme Manajemen Basis Sekolah dan Otonomi Perguruan tinggi, pengadaan guru kontrak juga merupakan salah satu bentuk implementasi
kebijakan privatisasi pendidikan. Sistem kontrak ini makin banyak terjadi, antara lain untuk tenaga guru di daerah-daerah terpencil, dengan tingkat penggajian
minim dan bahkan pembayaran gaji yang tertunda-tunda. Ke depan, tenaga pengajar layaknya pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila kontraknya selesai,
sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya diluar itu.
36
36
Harian Kompas, 9 April 2005
Universitas Sumatera Utara
3. Sistem Guru Kontrak Sistem guru kontrak saat ini telah diterapkan di Indonesia. Sistem ini
dianggap lebih efektif dibandingkan pengangkatan sebagai pegawai tetap. Melalui kontrak, pemantauan terhadap kinerja guru menjadi lebih terpantau. Jika mereka
sudah tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai pengajar, bisa dilakukan pemutusan kontrak.
Memang dalam tataran konsep keefektifan dalam proses belajar-mengajar dapat terjadi, tetapi dalam pelaksanaannya ada beberapa permasalahan yang
dijumpai dalam penerapan sistem guru kontrak, antara lain: 1. Gaji yang diterima para guru kontrak tergolong sangat kecil. Apa yang
mereka terima perbulan tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dengan kontrak semacam itu, guru tentunya menjadi tidak termotivasi.
Berdasarkan survei FGII Federasi Guru Independen Indonesia pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan
serbesar 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS Pegawai Negeri Sipil per bulan sebesar 1,5 juta rupiah. Guru bantu 460 ribu
rupiah, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata 10 ribu rupiah per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa
melakukan pekerjaan sampingan.
37
37
Harian Republika, 13 Juli 2005
Padahal Pasal 40 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan jelas
mengatakan Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai
serta penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
Universitas Sumatera Utara
2. Selain tidak termotivasi, kontrak tersebut akan membuat guru memilih profesi lain. Kalau itu terjadi, pasti membuat dunia pendidikan semakin
kekurangan tenaga pendidik. Jika banyak guru yang beralih profesi, bagaimana mungkin mutu pendidikan bisa menjadi semakin baik.
Persoalan yang tidak kalah penting adalah kualitas guru kontrak dalam aktivitas belajar-mengajar. Pertanyaan menarik yang dapat diambil yaitu apakah
guru kontrak sudah memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan
penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
BAB III DAMPAK PENERAPAN KEBIJAKAN PRIVATISASI PENDIDIKAN