Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Sebagai grand theory dalam penelitian ini digunakan adalah teori negara hukum rechstaat. Dalam teori negara hukum, negara melindungi hak asasi warga negaranya sebagaimana negara hukum diakui dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang menentukan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Norma yang terkandung di dalam konstitusi UUD 1945 ini mengandung asas persamaan di hadapan hukum bagi setiap warga negara Indonesia untuk diakui hak-hak di hadapan hukum. Hak asasi manusia setiap orang dilindungi yang dalam konsep negara hukum rechstaat menjamin segala hak warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan sekaligus menjadi salah satu ciri negara hukum. 13 Ciri negara hukum antara lain: 14 a. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan pada hukum atau peraturan perundang-undangan. b. Adanya jaminan terhadap HAM warga negara. c. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. d. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. Sebagai midle theory dalam penelitian ini digunakan adalah teori sistem hukum legal system theory yang memandang hukum tersusun atas tiga komponen 13 Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 ditegaskan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya amandemen kedua. 14 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni, 1992, hal. 29. Universitas Sumatera Utara yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. 15 Ketiga elemen ini sekaligus sebagai faktor penentu penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Lawrence M. Friedman memandang ketiganya sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak, menekankannya pada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum, dan budaya hukum menyangkut perilaku. Ketiga komponen ini akan menentukan berjalannya suatu hukum dalam masyarakat. Jika salah satu elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan baik, akan mengganggu elemen lainnya hingga pada gilirannya mengakibatkan terganggunya rangkaian dalam sistem. 16 Struktur hukum terdiri dari lembaga-lembaga dalam proses penegakan hukum. Ruang lingkup struktur hukum penegak hukum sangat luas, mencakup mereka yang secara langsung atau tidak langsung turut bertanggung jawab dalam penegakan hukum. Namun dalam arti sempit, penegak hukum mencakup mereka yang bertugas di lembaga Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat, atau Lembaga Kemasyarakatan. 17 Substansi hukum menyangkut produk hukum yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, produk yang dikeluarkan, aturan-aturan baru yang disusun. Dalam hal ini undang-undang mempunyai peranan yang penting dalam 15 Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta: Tatanusa, 2001, hal. 9. 16 Lawrence M. Friedman, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Loc. cit. 17 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Legal Theory dan Teori Peradilan Judicialprudence Termasuk Interpretasi Undang-Undang Legisprudence, Jakarta: Kencana, 2009, hal. 204. Universitas Sumatera Utara mengarahkan masyarakat menuju ketertiban, kedamaian, dan keadilan. Sedangkan budaya hukum merupakan bagian dari kekuatan-kekuatan sosial yang memberi masukan, menjadi penggerak, dan selanjutnya memberi hasil. 18 Budaya hukum sebagai perwujudan dari pemikiran masyarakat terhadap hukum akan berubah sesuai dengan perubahan sikap, pandangan, nilai yang dihayati masyarakat harus memperhatikan secara menyeluruh aspek-aspek kemasyarakatan dari masyarakat yang bersangkutan dan proses perubahan serta perkembangan yang terjadi didalamnya. 19 Struktur yang ketiga ini mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku. Nilai-nilai ini merupakan konsepsi yang abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga diikuti dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Nilai-nilai ini lazimnya merupakan pasangan nilai yang mencerminkan dua keadaan yang ekstrim yang harus diserasikan. Nilai-nilai budaya masyarakat berkaitan erat dengan hukum karena hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Wujud yang lebih kongkrit dari nilai itu adalah dalam bentuk norma. Dari norma-norma yang ada, maka norma hukum adalah norma yang paling kuat karena dapat dipastikan pelaksanaanya oleh aparat penegak hukum. 20 18 Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, New York: Russel Sage Foundation, 1975, hal. 6. 19 Lawrence. M. Friedmen, American Law, New York: W.W. Norton and Company, 1984, hal. 7. 20 Lili Rasjidi dan Ira Rasjid, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 80. Universitas Sumatera Utara Berfungsinya hukum dalam praktik sehari-hari dapat dirasakan jika ketiga elemen Sistem Peradilan Pidana SPP di atas berfungsi dengan baik dan menjunjung tinggi norma hukum sebagaimana norma yang memperlakukan orang sama di setiap proses hukum acara pidana. Pentingnya norma persamaan di hadapan hukum dalam kerangka SPP yaitu prosedur pembuktian perbuatan pidana. Menurut Soeharto, masing-masing kepentingan dan keinginan dapat berjalan secara harmonis tanpa perlu saling tumpang tindih jika aparatur penegak hukum menerapkan asas persamaan di hadapan hukum dengan sungguh-sungguh. 21 Oleh sebab itu, sebagai aplied theory digunakan sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini adalah teori pembuktian. Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu communis opinio. Hakim harus mengkonstatir peristiwa dan mengkualifisirnya sehingga tujuan pembuktian adalah apa yang disebutkan dalam putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. 22 21 H. Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistim Peradilan Pidana Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2007, hal. 12. Tujuan pembuktian ialah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu 22 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberti, 1988, hal. 105. Universitas Sumatera Utara benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya sehingga nampak adanya hubungan antara para pihak. 23 Jenis-jenis pembuktian dalam teori pembuktian hukum pidana diuraikan berikut ini. Teori pembuktian yang semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim conviction in time. Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. 24 Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. 25 Teori pembuktian dengan keyakinan hakim dibatasi conviction raisonee. Jenis pembuktian ini di mana keyakinan hakim dibatasi artinya peran keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Alasan-alasan tersebut harus logis dan benar- 23 A. Mukti Arto, Praktek-Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 140. 24 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedia, Jakarta: Sinar Grafika, 1985, hal. 277. 25 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996, hal. 260. Universitas Sumatera Utara benar dapat diterima akal, tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 26 Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif formele bewijstheorie. Jenis pembuktian ini secara positif harus ditentukan dalam undang- undang yang ada atau pembuktian alat-alat bukti harus didasarkan pada ketentuan undang-undang melulu. Jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan di dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Jenis pembuktian ini sangat bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim conviction in time. Keyakinan hakim dalam formele bewijstheorie tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa, melainkan berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang dengan asas legalitas di Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana, bahwa seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 27 Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif negatief wettelijk stelsel. Jenis pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan 26 M. Yahya Harahap, Loc. cit. 27 Ibid, hal. 278. Universitas Sumatera Utara kombinasi antara jenis pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim. Jenis pembuktian menurut undang- undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dikatakan seimbang karena menggabungkan secara terpadu jenis pembuktian menurut keyakinan dengan jenis pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan keduanya yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu jenis pembuktian baru yaitu pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang memandang salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang- undang. 28 Hukum acara pidana Indonesia menganut teori pembuktian menurut undang- undang secara positif formele bewijstheorie. Hal ini tampak dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP, yang menentukan ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut di atas jelas diketahui bahwa ketentuan tersebut mengandung dua unsur penting yakni: sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan hakim. Dengan demikian, model pembuktian yang dianut dalam KUHAP adalah pembuktian menurut undang-undang 28 Ibid, hal. 278-279. Universitas Sumatera Utara secara negatif negatief wettelijk stelsel. Menggabungkan secara terpadu jenis pembuktian menurut keyakinan dengan jenis pembuktian menurut undang-undang secara positif. Norma yang terkandung dalam pengaturan demikian adalah untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang- undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah jika kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi dengan keyakinan hakim. 29 Pasal 183 KUHAP memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Jika salah satu di antara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Ditinjau dari segi cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Di antara kedua komponen tersebut harus saling mendukung. 29 Ibid, hal. 279. Universitas Sumatera Utara Pembuktian dalam hukum acara pidana dikenal dengan sistem negatif di mana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang materil, sedangkan dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif di mana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formil. Jenis pembuktian secara negatif ini benar-benar diakui berlakunya secara eksplisit dalam Pasal 183 KUHAP. Setelah diberlakukannya KUHAP maka masalah pembuktian diatur secara tegas dalam kelompok sistem hukum pidana formil hukum acara pidana. Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya. 30 Hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinannya dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 dua alat bukti yang sah. Tetapi dalam menjatuhkan putusan tersebut, hakim harus benar-benar yakin bahwa terdakwa bersalah. Sehingga dengan seminimal mungkin dapat menjamin tegaknya kebenaran sejati serta tegaknya keadilan dan kepastian hukum. Sehingga dapat dimengerti bahwa pembuktian merupakan suatu rangkaian proses dalam Sistem Peradilan Pidana SPP yang mempergunakan atau mengajukan atau mempertahankan alat-alat bukti di muka persidangan sesuai dengan hukum acara 30 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi UU No. 31 Tahun 1999, Jakarta: C.V. Mandar Maju, 2001, hal. 98. Universitas Sumatera Utara yang berlaku dalam hal tindak pidana pencucian uang berlaku hukum acara pidana sehingga mampu meyakinkan hakim terhadap kebenaran dari alat-alat bukti yang menjadi dasar tuntutan, atau alat-alat bukti yang dipergunakan untuk menyanggah tentang kebenaran alat-alat bukti yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.

2. Landasan Konsepsional

Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Terhadap Kemiripan Merek Pada Produk Makanan Dan Minuman Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

4 81 87

Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Industri Rumahan yang Memproduksi Barang Menggunakan Merek Orang Lain Tanpa Izin dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

0 6 97

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

Akibat Hukum Pemakaian Merek Yang Memiliki Persamaan Pada Pokoknya Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

1 12 81

PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS MEREK TERDAFTAR DI INDONESIA MENURUT UNDANG UNDANG MEREK NOMOR 15 TAHUN 2001

0 2 92

Penggunaan Merek Terdaftar Sebagai Nama Badan Hukum Di Indoensia Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek Dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas.

0 0 26

Kedudukan dan Kekuatan Hukum Perjanjian Lisensi Merek dari Merek yang Dibatalkan Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

0 0 1

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA MEREK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK.

0 0 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Tindak Pidana Merek Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

0 0 31

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN MEREK PASCA BERLAKUNYA UNDANG – UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK TESIS

0 0 14